Detik dalam jam terasa begitu lambat, pun langkah Rose yang menurut Bara seperti keong, menambah sensasi panas dingin dalam dirinya.
"Jangan mendekat!" Dengan sigap, saat Rose sudah berada tepat satu langkah dari tempatnya tersungkur, Bara menarik dirinya agar mundur dengan menggunakan satu siku, satu tangannya yang lain memberi gestur untuk Rose agar berhenti.
Tapi, Rose tak mau menurut, ia tetap melangkah mengikis jarak di antara dirinya dan Bara, bahkan tak sungkan ia berjongkok tepat di samping Bara tanpa perduli perasaannya yang kini tengah berkecamuk. Bibir Bara gemetar, terlebih ia tak kuat menggerakkan badannya agar dapat bangkit dan kabur secepat mungkin dari hadapan gadis asing itu.
Tak henti di dalam hatinya, Bara merapalkan do'a pada Tuhan untuk memberikannya kesempatan hidup, setidaknya sampai ia mendapatkan cinta dari Lily.
Ayolah, Bara tidak mau mati muda! Apalagi mati dalam keadaan konyol seperti ini, ketakutan karena sosok seorang gadis cantik yang datang dari tempat tak terdeteksi.
Atmosfer menegangkan begitu menguar hingga ke penjuru ruangan, kala gadis itu mulai mengangkat tangannya. Pikiran Bara semakin tumpang tindih, bermacam dugaan keluar masuk ke dalam pikirannya; apakah gadis ini akan memukulnya? Mencekiknya? Mencabut matanya? Mematahkan hidung mancungnya? Mencakar wajah tampannya? Menarik rambut hingga putus kepalanya? Dan masih banyak lagi dugaan liar di kepala dengan isi pas-pasan itu.
Oh Tuhan, sungguh Bara tak siap, namun, jika benar ia akan mati detik ini juga, apa yang bisa ia lakukan?
Pasrah, sepertinya hanya itulah yang bisa dilakukannya. Matanya seketika memejam kuat, menyiapkan diri untuk merasakan sakit yang mungkin tak terkira akibat ulah makhluk yang belum diketahui apa jenisnya.
Seperkian detik Bara dalam kondisi itu, mencoba pasrah. Tapi tak ada sentuhan menyakitkan, justru sebaliknya, kelembutanlah yang berhasil dirasa mendarat di bagian hidungnya.
Masih dengan kesadaran terbatas, Bara membuka matanya perlahan. Awalnya hanya mata kanannya yang berhasil terbuka, setelah melihat telunjuk lentik dari jarak begitu dekat menyentuh kulit hidungnya, kedua matanya sontak terbuka lebar fokus menjurus pada jari lentik itu.
"Pangeran?" Rose kembali memanggil nama tengahnya, membuat kesadarannya kembali terkumpul.
Dari telunjuk gadis itu, pandangan Bara beralih untuk menatap jelas sosok di hadapannya. Senyum manis tercetak jelas di bibir mungil Rose, kala netra berhasil menangkap sosoknya.
"Pa--Pangeran?" Dahi Bara mengkerut heran, bergumam mengulangi satu kata yang terucap oleh gadis itu, menyebut nama tengahnya yang tentu terdengar aneh untuk seseorang yang baru ia temui.
Apakah gadis ini seorang paranormal? Hingga mengetahui namanya. Tunggu, 'seseorang'? Bukankah Bara meragukan itu? Bagaimana bisa seorang manusia keluar dari cermin? terkecuali jika ia memiliki kekuatan sihir. Mungkinkah demikian? Astaga, itu benar-benar mustahil.
Tanpa Bara sadari, tangan Rose sudah menjauh dari hidungnya dan kini justru melambai padanya. "Hai!" sapa Rose pada Bara dengan senyum ramah.
Bara harus mengakui bahwasanya senyum gadis ini lebih manis dibandingkan senyum Lily. Lagipula, jika diingat Lily tampak jarang tersenyum padanya, hanya sesekali dan itupun termasuk sebuah senyuman miring dengan maksud mengejeknya.
"Lo--lo, kok bisa tau nama gue?" Bara terus mengupayakan diri untuk menghilangkan rasa takutnya, agar ia bisa menelisik mengenai makhluk jenis apa gadis manis ini.
"Benarkan kamu itu pangeran?" Rose balik bertanya. "Pangeran putra mahkota," lanjut gadis itu memperjelas maksudnya.
"Putra mahkota?"
Gadis itu mengangguk membuat dahi Bara lagi-lagi mengkerut. Seperkian detik berlalu, tiba-tiba Bara tertawa usai memahami apa yang Rose maksud.
Menurutnya, apa yang dikatakan gadis itu sangat lucu, ia menganggap Bara seorang pangeran putra mahkota? Berarti putra dari seorang raja? Kenapa bisa gadis ini berpikir bahwa ia adalah seorang pangeran? Apa yang dapat disamakan? Oh, big nol! Jelas tidak ada, mana ada pangeran petakilan macam dirinya.
Sebaliknya, Rose malah merasa heran dengan sikap Bara yang malah tertawa. Tapi sepertinya bukan heran, lebih tepatnya gadis itu tidak mengerti dengan apa yang membuat lelaki di hadapannya tertawa.
Karena lama menunggu Bara tertawa, ia mengubah posisinya dari berjongkok menjadi bersimpuh.
Melihat gadis itu mengubah posisinya, Bara yang tadi masih tertawa terpingkal-pingkal, kini berhenti dan memilih ikut mengubah posisinya yang tak nyaman, yakni berbaring dengan ditahan satu siku bekas dirinya terjungkal.
"Ekhem!" dehemnya setelah memastikan bersila adalah posisi ternyaman untuk duduk.
Rasa takut yang membuat persendiannya kaku, dan hampir mengancam hidupnya, perlahan hilang entah kemana selepas melihat senyum dan kepolosan Rose. Tapi, Bara tetap menjaga jarak, berjaga-jaga jika gadis itu akan berbuat macam-macam dengannya.
"Gini, ya. Nama gue emang Pangeran, tapi bukan gelar yang dimaksud, melainkan cuma nama kepanjangan," ucapnya sebagai awal untuk menjelaskan yang sebenarnya. Lihat, bahkan ia mulai sepenuhnya kembali menjadi dirinya yang banyak omong. "Gue bukan anak Bapak Raja, gue cuma anak Bapak Tentara," pungkasnya sedikit membanggakan diri.
"Anak Bapak Tentara?" Rose mengulangi kata yang barusan ia dengar dengan raut wajah seakan berpikir.
Bara mengangguk. Menangkap raut polos itu, ia dapat mengerti bahwasanya Rose kebingungan. Astaga, sebenarnya gadis ini polos atau ... bodoh?
"Udah-udah, nggak usah dipikirin. Nggak penting juga," katanya tidak mau pusing menjelaskan lebih lanjut, lagipula mana mungkin seorang pemalas sepertinya mau menjelaskan terperinci, apalagi mengenai hal yang benar-benar sesepele itu.
Ingatan Bara kembali pada kejadian dan asal-usul Rose. Sekali lagi ia berdehem untuk mengurangi rasa gugup dan takut yang kembali hadir, walaupun tidak sebesar beberapa menit lalu.
"Sebenernya ... lo ini apa? Hantu? Monster? Jin? Siluman? Dukun? Atau ... bidadari nyasar?" tanya Bara terperinci, sesuai dengan apa yang ia pikirkan sebelumnya.
Lama, Rose terdiam masih memasang wajah polos hingga muncul rasa gemas di benak Bara ingin menghujaminya dengan cubitan.
Meski menurutnya itu manis, tangan Bara menyatu dan tergenggam kuat, takut jawaban yang muncul terdengar lebih menakutkan.
Memiringkan kepala terlebih dahulu, barulah Rose menjawab, "Kenapa tidak menanyakan sosok manusia padaku?" Ia malah balik bertanya, membuat Bara semakin bingung. "Mana ada manusia keluar dari cermin?" timpal Bara, sambil menyenderkan tubuh pada ranjang yang kebetulan tepat berada di belakangnya. "Ada," balas si gadis berbulu mata lentik itu yang tengah diinterogasi oleh Bara. "Siapa?" "Aku," jawabnya cepat penuh keyakinan. Mata Bara terbelalak sempurna diikuti tubuhnya yang kembali bangkit sampai duduk tegap, terkejut dengan jawaban yang sama sekali tidak ia pertanyakan bahkan tidak terlintas sedikitpun dalam benaknya.
Setelah berhasil dengan mudah membujuk Rose, Bara gegas menutup lemari dan berjalan cepat ke arah pintu yang terus digedor. "Bentar, Ma!" lontarnya seraya berjalan mendekati pintu. Tangannya sengaja mengacak surai hitam miliknya untuk bahan beralibi pada sang mama. Ia membuka kuncinya terlebih dahulu sambil berusaha menetralkan perasaannya agar tak gugup, barulah setelah itu tangannya memutar knop dan menariknya hingga muncullah sosok yang selalu memanjakannya. "Iya, Ma?" Bara berpura-pura menggaruk kepalanya dengan mulut yang menguap sehingga terlihat khas orang yang baru bangun tidur. "Astaghfirullah, si Ganteng!" Bella meringis melihat anaknya baru bangun tidur, yang pada kenyataannya tidak benar. "Tadi, kan, Mama minta dibantuin angkat meja, kenapa malah tidur." "Hehehe. Maaf, Ma. Abisnya udara dari luar sejuk banget, tadi niatnya cuma rebahan bentar, eh malah tergoda sama buaian angin. Jadi tidur, deh," ucapnya berbohong dengan cengiran y
Di dalam kamar Rose merasa kecewa, karena pangerannya tidak mengijinkan ia bertemu mama, Rose pikir mama yang disebut Bara ada mamanya sehingga ia begitu antusias ingin bertemu. "Aku merindukan Mama, mengapa Pangeran tidak memperbolehkanku untuk bertemu? Jika aku memaksa, sama saja aku melanggar perintah dari Pangeran, aku tidak ingin melakukan itu," lirihnya, ada satu tetes air mata yang jatuh dari matanya. Rose masih saja menganggap Bara sebagai pangeran putra mahkota. "Baiklah, mungkin belum waktunya." Rose menghapus jejak air mata itu dan mencoba memahami serta menghibur diri. Ia melirik ke belakang melihat kunci yang tergelatak di sana. Bibirnya kembali tersenyum, penuh semangat tangannya meraih kunci itu, menatapnya sebentar dengan binar, setidaknya ada sesuatu yang membuat kesepiannya hilang. "Mari kita bebaskan Paman Tikus!" *** Berjalan sambil terus berpikir mengenai kejadian hari ini dan Rose, ingatannya ter
Belum lama ia merasa lega, namun rupanya sang mama kembali membuatnya tersiksa dengan ancamannya itu. "Si Bohay bohong, Ma," sergahnya seraya memelototi Rico agar diam. "Aku udah nggak ngedeketin Lily lagi, kok, sumpah," lanjutnya berbohong. Rico yang duduk di samping dengan leluasa menggigit kedua jari telunjuk dan tengah Bara yang membentuk V. Bara kembali memelototinya, sahabatnya ini memang tidak bisa diajak kompromi. "Jangan bohong kamu." Lily yang tengah melilit jempol Bara dengan kasa menginterupsi. "Beneran, Ma. Aku nggak bohong, si Bohay emang asal jeplak aja. Mana tau, sih, dia tentang hubungan aku sama Lily, yang dia tau, tuh, cuma ... makanan!" ucap Bara sengaja mengeraskan kata 'makanan' tepat di telinga Rico. Bella hanya menggelengkan kepalanya, melihat anak semata wayangnya itu masih bersikap kekanak-kanakan. Astaga, salahkan dia yang sering memanjakan Bara. "Sudah selesai." Bella kembali merapikan peralatan P3K ke dalam
Anehnya gadis itu tidak tampak di mana-mana, Bara terus mengabsen setiap sudut kamarnya, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya. Ah, benar ia harus berjalan lagi. Terpaksa Bara kembali memijakkan kakinya dan berjalan mendekati ranjang, barulah sosok yang dicarinya terlihat. Rupanya sosok itu tengah berjongkok di sebrang ranjang. Samar-samar Bara mendengar gumaman gadis aneh itu yang ucapannya tidak jelas. Tepaksa lagi Bara mendekatinya, kembali berjalan lagi untuk melihat apa yang tengah Rose lakukan. "Kasihan sekali kau Paman Tikus, aku turut berduka cita untuk itu," gumam Rose yang baru terdengar jelas saat Bara hampir sampai di dekatnya. Ternyata gadis ajaib itu tengah berinteraksi, sayangnya Bara tidak tahu dia berinteraksi dengan siapa. Karena rasa ingin tahu yang membuncah, perlahan Bara mengintip melihat sosok apa yang tengah diajaknya berinteraksi. "Rose?" Kini Bara harus membulatkan matanya jauh lebih lebar. I
Hey! Mengapa Rose hadir dan merecoki hidupnya? Menciptakan segala kejadian yang membuat Bara terasa amat tersiksa. Apakah mulai detik ini gadis itu akan menetap dan menciptakan hal-hal yang lebih mengejutkan dari ini? Mungkinkah? Mantra keparat! Mulut yang tidak bisa dijaga! Seenaknya mengucapkan sesuatu yang tidak berfaedah hingga merumitkan hidupnya sendiri. Sebenarnya mantra apa yang diucapkan Bara? Ayolah otak yang berkapasitas minimum, bekerjalah barang sedikit, sungguh Bara amat tersiksa. Setidaknya, jika ia menemukan mantra yang membuat gadis di hadapannya ini dapat keluar dari cermin, mungkin saja ada mantra lain yang bisa membuat gadis imut itu kembali ke sarangnya, agar dirinya terlepas dari neraka kehidupan bersamanya. Bara sepertinya akan gila bila bayangan tentang Rose hadir memenuhi hari-harinya. Sebab, jika tidak tahu cara mengembalikan gadis ini ke habitat aslinya, sudah pasti Rose akan menetap. Gi
"Dikurung dalam cermin sebagai kutukan?" "Hmm." "Kekuatan sihir jahat itu juga termasuk?" "Hmm." "Lalu bunga mawar hitam itu, sebagai apa?" Bara melirik bunga mawar berwarna hitam yang tidak pernah Rose lepas dari tangannya, seakan memiliki arti yang begitu besar. Sejenak Rose ikut melirik bunga mawar itu, kemudian membawanya lebih dekat ke hadapan wajah untuk ditatapnya lebih lekat. Senyum getir terukir di bibir tipisnya, namun pancaran nertranya terlihat sendu. Helaan nafas pun terdengar amat berat. Kini rupanya Bara memiliki kesempatan untuk lanjut menginterogasi gadis itu kembal. Sekuat tenaga ia hilangkan rasa takutnya, mengajak Rose bercengkrama setelah gadis itu usai menangis sebab terhimpit sesal yang begitu besar. "Papa yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunku sebab diriku teramat menyukainya." Ingatan Rose menerawang pada titik saat detik di mana papanya memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna hi
TV LED 32 inch menyala, menampilkan film kartun Malaysia dengan tokoh utama kembar yang tak berambut. Volume suaranya dibiarkan meninggi. Manusia berbobot kurang lebih 100 kg enggan mengecilkan suaranya, saking asiknya ia sesekali tertawa meski mulutnya tersumpal tahu bulat yang kata penjualnya digoreng dadakan. Seperti tidak bertulang, Rico malas bergeser sedikitpun dari tempatnya, masih bersender di penyangga sofa berwarna kuning. Mumpung di rumah sendiri, karena anggota keluarganya tengah sibuk melakukan aktivitas masing-masing, jadi ia bebas untuk saat ini, tidak ada yang merecoki ataupun mengomeli. Merasa haus, tangan Rico menyusuri meja yang sangat berantakan dengan berbagai sampah plastik snack hingga berceceran di atas lantai. Entah mengapa kepalanya juga merasa malas hanya sekedar menoleh untuk melihat di mana gelas minum itu terletak. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Rico langsung meneguk air tersebut hingga tanda