All Chapters of Satu Atap: Chapter 61 - Chapter 70
80 Chapters
61. Lifelong Love
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Lisa sedang menyandar di meja belajar sembari menatap kamarnya yang lama tidak ia tempati ketika Ares tiba-tiba datang, bersandar di pintu kamarnya yang terbuka entah sejak kapan."Kamu bisa pindah ke kamarku," tawar pemuda itu, kemudian melangkah mendekat."Buat?""Mungkin aja kamu masih keinget kejadian yang kemarin. Malem itu." Ares berkata hati-hati.Lisa tersenyum tipis, mengangguk mengerti. Tentu saja ia masih ingat Bi Inah menghembuskan napas terakhir di kamarnya ini. Meskipun bekas hal itu tidak ada di sini. Kamarnya bersih. Sprainya sudah diganti. Bahkan debu tidak ada meskipun sudah ia tinggal sepekan lamanya.Lisa menggeleng. "Nggak perlu. Aku nggak kenapa-napa. Lagian aku nggak liat kejadiannya. Aku juga nggak percaya arwah gentayangan. Bi Inah terlalu baik buat ngelakuin hal itu ke aku."Ares tersenyum mendengarnya. "Bi Inah nggak me
Read more
62. It's been a Long Time
Parkir sekolah lumayan ramai saat waktu menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Lisa dan Ares yang baru saja datang segera turun dari motor, melepas helm. Ini perdana mereka masuk sekolah setelah hampir sepekan lebih meliburkan diri.Tidak ada yang berbeda. Sekolah masih tampak sama. Yang berbeda hanyalah beberapa murid yang tiba-tiba mengalihkan pandang pada Lisa dan Ares yang sedang berjalan beriringan menuju kelas. Lisa hanya balas tersenyum singkat. Ia tidak punya ide mengapa mereka menatap mereka berdua seperti itu.Ares sendiri tampak tak acuh, tetap berjalan santai. Hal itu juga yang membuat Lisa ikut tidak memedulikan sekitar. Ia lebih memilih menatap bangunan sekolahnya yang sudah sepekan lebih tidak ia kunjungi. Sesampainya di kelas, sosok pertama yang ada di penglihatan Lisa adalah Dilla. Gadis itu duduk di depan kelas seperti biasa, langsung berseru heboh ketika melihat Lisa berdiri di gawang pintu.
Read more
63. Be My Girlfriend?
Motor Ares melesat keluar dari gerbang sekolah ketika waktu menunjukkan pukul dua lebih lima menit. Lisa dan Ares langsung keluar kelas dan menuju parkiran, berencana pergi jalan-jalan. Entah ke mana, yang pasti Ares tidak ingin memberi tahu tujuan mereka pergi. Lisa sih sempat ditanyai ingin pergi ke mana dan menjawab alam. Mungkin di antara tempat rekreasi alam.Mereka pulang sebentar, berganti baju. Beruntung kebiasaan Ares yang mengajaknya pergi tanpa mengganti seragam tidak lagi dilanjutkan. Of course, tidak enak sekali jalan-jalan masih memakai seragam.Beberapa menit kemudian, motor Ares keluar dari gerbang rumah, menuju entah ke arah mana. Lisa yang sedang asyik melihat jalanan terganggu ketika handphone-nya berdering kencang di dalam tas."Iya, Vin? Kamu di mana? Kok nggak ada di rumah? Kita lagi mau pergi. Nggak tahu pulang kapan. Kamu mau titip sesuatu?" Lisa bertanya pada seseorang di telepon. Itu Arvin. Kakaknya itu tib
Read more
64. Importantly, With You
Ares menutup buku tulis kosongnya ketika guru di depan kelas mulai mengakhiri kelas. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu.Kelas mulai ramai ketiga guru keluar kelas. Ares menatap Lisa yang duduk tak jauh di depannya. Gadis itu tampak mengambil kotak makan dari tas, tersenyum melihat isinya. Ares tebak ada empat roti panggang buatan Mama di sana. Tentu saja untuk Lisa dan dirinya. Mama sepertinya berniat tetap tinggal bersama dirinya dan Lisa setelah semua yang telah terjadi. Urusannya di luar negeri bisa dilakukan secara daring katanya. Kalaupun ada keperluan mendesak, Mama akan datang ke Amerika lalu kembali.Omong-omong Ares belum pernah bercerita pekerjaan Mama. Kedua orang tua Ares itu sama-sama sibuk. Ayah mengurus perusahaan, Mama mengurus bisnis restorannya. Dan pekerjaan mereka berdua itu ada di Amerika. Ares jadi berpikir, alih-alih jadi WNI, kedua orangtuanya itu cocok sekal
Read more
65. Where is Arvin?
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Kamar Lisa terasa senyap di sore hari. Tidak ada suara apa pun. Hanya ada suara jarum jam dinding yang bergerak memutar.Arvin sedang pergi keluar, mungkin bertemu kawan lamanya. Kakak laki-lakinya itu sepertinya belum berniat kembali ke Australia dalam waktu dekat ini. Mama dan Ares juga sedang pergi keluar, membeli barang-barang di swalayan. Lisa tidak ikut karena tadi kedatangan tamu—Dilla tiba-tiba sekali ingin main ke rumah barunya. Hanya saja sudah pergi pulang setengah jam yang lalu.Teringat Ares, Lisa yang sedang rebahan di ranjangnya langsung menutup wajah dengan bantal. Kejadian saat istirahat tadi pagi berputar kembali di otaknya.Serius, Lisa benci dirinya yang tidak bisa mengendalikan diri.Tadi pagi itu... Ia tidak tahu mengapa ia bisa dengan beraninya mengecup pipi Ares. Imbasnya sekarang, ia malu setengah mati meskipun kejadian itu sudah berlalu beberapa jam yang lalu
Read more
66. The Problem Is Not Over
"Res, lo ngerasa ada sesuatu yang mencurigakan nggak sih?" Arvin yang sedang bermain handphone di ruang keluarga tiba-tiba berucap. Ares terdiam mendengar perkataan kakak iparnya. Ia melepas satu earphone wireless yang terpasang di telinganya, menyahut, "Mencurigakan gimana?""Tentang Pak Hendra."Ares tambah terdiam mendengar nama itu. Pak Hendra adalah pelaku yang telah membunuh Ayah, Bunda, Pak Udin, juga istrinya. Tapi, apa yang mencurigakan tentang Pak Hendra? Bukannya semua telah usai? Pria itu sudah mengaku, begitu juga dengan bawahannya."Gue kemaren nggak sengaja liat data diri Pak Hendra di kantor polisi. Gue inget-inget alamatnya terus kemaren gue datengin rumahnya."Ares kali ini sempurna melepas kedua earphone wireless di telinganya. Ia menatap Arvin tak percaya. "Lo dateng ke rumah Pak Hendra, Vin?""Hm. Gue sempet ketemu dan ngobrol sama istrinya. Istrinya bilan
Read more
67. Recklessness
Matahari hampir tergelincir ke barat di luar sana. Lisa yang sedang duduk di ruang keluarga menatap beberapa kali IPhone Ares yang sedang di-charger, berpikir keras. IPhone pemuda itu dalam kondisi non-aktiv, membuat Lisa belum sempat membaca pesan antara Ares dengan Arvin jikalau menemukan petunjuk.Ada yang aneh dari gelagat Ares. Terlebih pemuda itu bertanya di mana Arvin sebelum pergi. Lisa tahu sesuatu sedang terjadi. Tapi ia tidak mengerti mengapa Ares harus pergi diam-diam dan tidak memberi tahu apa pun padanya. Apa karena tidak ingin ia khawatir? Sayangnya, hal itu malah membuat Lisa tambah cemas dengan kondisi Ares dan kakaknya sekarang.Baru ingin bangkit untuk menghidupkan IPhone Ares, Mama tiba-tiba muncul dari dapur. Wanita paruh baya kemudian bertanya, "Ares pergi ke mana, Sa? Sampai titip pesen ke Mama nggak bolehin kamu keluar?"Lisa mengernyitkan dahi. Ares sungguhan tidak membolehkannya keluar rumah? Padahal ia ber
Read more
68. Full of Pain
Beberapa menit sebelumnya. Ares berjalan cepat mengikuti dua pria yang membawa Arvin masuk ke dalam bangunan dengan beton-beton tinggi. Meskipun tampak seperti bangunan belum selesai, ada beberapa ruangan tertutup di dalamnya. Arvin di bawa masuk ke sebuah ruangan, diikat di sana. Ia masih sadar. Tapi mulutnya tertutup lakban beberapa lapis sehingga tidak bisa bersuara. Ares mengintip agak jauh, lalu berjalan mendekat penuh dengan waspada. Dari jumlah mereka yang hanya berdua, Ares tidak terlalu khawatir ke depannya. Yang ia pikirkan hanya satu; mereka membawa senjata atau tidak?Beberapa meter dari ruangan itu, suara perbincangan dua pria itu terdengar. Meskipun sedikit samar karena jarak."Kita bunuh sekarang?"Ares melotot kaget di tempat. Begitu juga dengan Arvin yang kembali berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Mereka berdua sungguhan berencana me
Read more
69. I'm Fine
Lisa tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam sehari ini. Yang pasti, hatinya tetap sakit melihat Arvin tergeletak lemah di ranjang rumah sakit, belum sadarkan diri. Kakaknya itu baru saja dioperasi satu jam yang lalu. Tentu saja untuk mengambil peluru yang bersarang di perutnya. Lisa sungguh bersyukur Tuhan masih memberi kakaknya nyawa. Peluru itu tidak mengenai organ penting, hanya hampir. Kata dokter, sedikit saja peluru itu bergeser, nyawa Arvin bisa saja tidak tertolong. Dan sekarang di sinilah Lisa, duduk di sebelah ranjang Arvin, mengenggam tangan kakaknya berharap agar ia cepat bangun. Arvin itu satu-satunya keluarga sedarah yang Lisa punya. Lisa tidak tahu bagaimana jadinya jika Arvin ikut pergi menyusul Ayah dan Bunda.Ia bahkan terisak kencang ketika Arvin mengatakan hal mengerikan beberapa saat sebelum ia tak sadarkan diri."Kalau aku nggak ada, kamu harus kuat, ya, Sa. Jangan patah sem
Read more
70. Past Stories
"Kamu mau tahu apa yang Ayah ceritain ke aku tiga tahun yang lalu?"Lisa menatap Arvin. Apa itu rahasia yang sama yang Arvin tidak ingin ceritakan di kantor polisi saat itu? "Apa?"Arvin bangkit duduk, lalu mendesis sakit detik selanjutnya. Lisa berdecak. "Nggak usah duduk dulu. Kamu bisa cerita sambil tiduran.""Paling males rebahan lama-lama.""Anak jaman sekarang yang nggak suka rebahan kayaknya kamu, Vin.""Emang kamu suka rebahan?"Lisa menggeleng. "Maksudnya mukamu keliatan kayak anak malesan," ujarnya, terdiam sejenak ketika mengingat sesuatu. "Aduh lupa kalau Arvin dah rajin. Sejak kapan Arvin malesan?""Jadi mau denger nggak?"Lisa mengangguk, menghapus sisa air mata di pelupuk matanya. Melihat Arvin tampak baik-baik saja meskipun terluka efektif sekali menyumbat air matanya. "Kamu percaya nggak
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status