All Chapters of Istri Keempat: Chapter 21 - Chapter 30
100 Chapters
21. Acara Pernikahan Yang Asing
Matahari sudah semakin naik di timur, rumah mulai terdengar lebih hidup dengan pergerakan-pergerakan yang ada di dalamnya.Airin selesai memasak sayur sup dan menaruhnya ke mangkuk. Dia sangat suka sarapan dengan sayur sup begini, sayuran memberinya energi lebih untuk bekerja di ladang. Airin pun meletakkan mangkuk itu di antara menu sarapan yang lain.Suara langkah kaki terdengar di belakang, Airin menoleh lalu tersenyum menyapa Ria yang baru masuk ruangan."Lho, Ririn? Kamu sudah bangun?" tanyanya, tampak terkejut.Airin menahan diri untuk tidak mengeluarkan ekspresi penuh tanya.llplpp"Iya, Kak," sahutnya. "Mari, makan. Yang lain mana?"Ria berjalan mendekat. "Paling bentar lagi jiga dateng.""Hm." Airin mengambilkan Ria piring lalu mengisi nasinya."Kamu nggak sama Mas?" tanya Ria heran.Airin menggeleng. "Nggak," jawabnya. Lalu setelah itu dia mendengar suara kekehan Ria. Airin ikut tersenyum walau dia tahu tidak ada yang lucu. "Kena
Read more
22. Karena Nyamuk Jadi Ngamuk
"Selamat pagi, Mas," sapa Ria dengan senyum cerah, begitupun dengan Tia dan Nia, yang langsung berdiri seolah yang disambut adalah raja.Hanya Airin yang terdiam di kursinya, bersikap seolah hanya penonton, dan hal itu mengundang perhatian Sakha.Airin memicingkan mata, melihat pakaian rapi yang Sakha kenakan. Penampilannya sudah jauh berbeda dari kesan mesum tadi pagi, kini pria itu tampak berwibawa seperti biasa.Saat Sakha berjalan masuk dan duduk di kursinya di kepala meja, Airin tetep bergeming. Henia menyenggol sikunya pelan. "Ririn, kalau Mas dateng itu ya disapa dong, Rin."Airin pura-pura gelagapan. "Ah iya, maaf. Selamat pagi, Mas."Sakha membalasnya dengan tatapan datar. "Pagi.""Ririn itu lho, Mas, katanya masih canggung banget ketemu sama Mas," kata Tia."Ya wajar lah namanya juga pengantin baru." Ria menyahut.Mendengar itu, Sakha langsung menoleh pada Airin. "Kamu? Canggung ketemu saya?"Tersenyum malu-malu, Airin men
Read more
23. Setengah Sadar
Setelah Sakha berangkat kerja, tinggal Airin dan ketiga istri Sakha di sana, yang tengah menatap Airin dengan tajam.    Sementara Airin menunduk, sedikit pun tidak menyesali perbuatannya yang tadi, tapi bersikap seolah dia telah melakukan kesalahan besar.    “Maafin Ririn, Kak,” lirihnya.    Tia melangkah mendekat dan berkacak pinggang. “Gara-gara kamu Mas jadi ngebentak aku! Lain kali, kamu harus jaga sikap kamu di hadapan Mas. Jangan sembrono seperti tadi.”    Airin mengangguk. “Aku ngerti, Kak.”    Ria maju dan menyentuh bahu Tia, menenangkannya. “Sudah, Tia. Mas nggak bermaksud ngebentak kamu kok tadi. Dia pasti hanya terkejut karena sikap kurang ajar Ririn padanya.” Lalu Ria beralih menatap Airin. “Kamu dengar kan tadi kata Tia? Jangan bersikap sembrono lagi. Mas itu paling gak suka kalau disentuh tanpa seizinnya."   
Read more
24. Jatuh
Sakha mengeluarkan suara tawa lelah yang lebih terdengar seperti erangan kepuasan, atau itulah tepatnya yang dia lakukan.    Mata Airin masih membelalak lebar, menatap Sakha seolah pria yang menyandang status sebagai suaminya itu adalah makhluk halus, setan sungguhan, iblis jahann—    "Terima kasih, aku sudah menahannya sejak tamparan yang kamu berikan pagi tadi."    Pikiran Airin terpotong oleh kalimat tidak terduga itu.    Sakha mendesah pelan, sebelum menutup mata dan mengabai
Read more
25. Teman Airin
Sakha keluar dari paviliun, mengambil payung yang tadi dibawanya ke sini. Dia tentu saja sudah mengenakan pakaiannya kembali, kemudian pergi membelah rinai hujan ke rumah utama untuk mengambil obat.    Sakha mengingatkan kepada dirinya sendiri untuk menyiapkan kotak obat komplit dengan isinya di kamar Airin nanti. Mengingat seberapa cerobohnya gadis itu, tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan terluka lagi karena kecerobohannya sendiri.    Saat Sakha tiba di dalam rumah, tempat itu sepi dan hanya ada dirinya seorang di sana. Istri-istrinya yang lain masih di kota, berbelanja sepuas mereka dengan uang yang telah Sakha berikan. Galih dia tugaskan untuk menemani mereka. Sementara para pembantu
Read more
26. Di Atas Kursi
Airin nyaris tidak bernapas setelah ciuman panjang yang Sakha berikan. Dia menatap pria itu dengan matanya yang layu tertutup kabut gairah, kemudian bertanya-tanya apakah dia bisa mati karena sebuah ciuman? Kalau itu sampai terjadi, Airin bersumpah akan menghantui Sakha seumur hidupnya.    Tapi tentu saja tidak. Airin sepenuhnya mengerti bahwa napasnya yang kini terengah adalah bukti dari seberapa hebatnya ciuman pria itu, sampai-sampai Airin menolak untuk berhenti atau menjauh sedikit pun.    Setelah semalam, kini rasanya sulit untuk mengabaikan kebenaran bahwa gairahnya itu ada, di tubuhnya, seperti api besar yang terus bergejolak. Airin tidak mungkin bisa menang melawannya.
Read more
27. Mimpi Yang Tertunda
Sakha memeluk erat tubuh lemas Airin yang berbaring pasrah di atasnya.    Sejak pelepasan terakhir mereka tadi, Airin tidak mengatakan apapun, bibirnya yang biasanya suka menyeletuk atau menyuruh Sakha pergi seperti kemarin tidak bersuara sedikit pun. Itu membuktikan seberapa lelah dan kewalahannya dia.    Sakha pun tidak mengerti mengapa dia seperti ini. Dia seharusnya berhenti saat mendapatkan satu pelepasannya di awal tadi. Terlalu serakah serta berserah diri pada nafsu adalah sesuatu yang tidak benar. Dan hal itu juga tidak baik kalau dilakukan terlalu sering. Biasanya dia hanya melakukan hubungan intim dua sampai tiga kali seminggu dengan siapa pun istri yang mendapat gilirannya di ming
Read more
28. Pengaruh
  Airin masuk ke dalam kamarnya dan melangkah langsung menuju ranjang tanpa menghiraukan Sakha yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu menatap Airin penasaran.    "Ada apa, Airin?" tanyanya sembari melangkah mendekat, pada Airin yang langsung membanting tubuhnya ke atas ranjang.    Mendengar suara suaminya itu, sejenak Airin berpikir, apakah seharusnya dia berterima kasih pada Sakha atau justru mengutuknya?    Opsi kedua selalu jadi opsi yang bagus. Tapi kalau bukan karena pernikahan ini, Airin tidak akan bisa mendapatkan harapannya lagi seperti tadi, tentang mimpi dan keing
Read more
29. Kekesalan Mas
  Beberapa saat kemudian, Airin dan Sakha keluar berbarengan dari paviliun menuju rumah utama.    "Saya tidak perlu dipaksa untuk sarapan seperti anak kecil saja!" ucap Airin mengomel di belakang Sakha.    Sakha, dengan bahu lebar tegaknya terus melangkah tanpa menghiraukan gerutuan Airin, pura-pura tidak mendengar ucapan gadis itu.    Saat mendekati rumah utama, Airin menatap pada tangannya yang digenggam Sakha. Seketika dia tersadar dan langsung menghempaskan tangan mereka.    S
Read more
30. Kecupan
Ria tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Mas keknya udah mau berangkat," katanya, kemudian Tia dan Nia pun ikut berdiri. Ria menoleh pada Airin. "Nanti kalau kamu sudah selesai piring kotornya dibawa ke dapur ya, Rin, bantu bibik lah sesekali."Airin mengangguk kepalanya tanpa membantah. "Iya, Kak," ucapnya. Mereka bertiga pun serentak pergi dari ruang makan, meninggalkan Airin seorang diri, yang tidak merasa perlu untuk ikut melepas kepergian Sakha.Airin terkekeh dengan pikirannya sendiri. Kata melepaskan, seolah Sakha hendak pergi ke medan perang saja. "Hahahah!" tawanya lagi, yang terdengar menggema di ruang makan luas dan sepi itu.
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status