Semua Bab Dating with Celebrity: Bab 51 - Bab 60
175 Bab
Blur [4]
“Kamu kira aku tidak tahu caranya menghargai privasi?” Maxim bersungut-sungut.“Oh ya? Baguslah kalau begitu. Jadi aku tidak merasa bersalah karena sudah menitipkan benda ini padamu. Sebenarnya, aku lebih suka mengantarkan sendiri pada pemiliknya, tapi sebentar lagi aku harus bertemu klien. Jadi, tolong jangan sampai kamu mengkhianati kepercayaanku, ” kata Sean berlebihan seraya menyerahkan sebuah ponsel kepada Maxim. Lelaki itu mendengkus.“Dia memang manusia paling ceroboh yang pernah ada. Aku sudah dua kali mengembalikan ponselnya. Sekali tertinggal di rumah, sekali lagi di kantorku. Sekarang, Kendra malah meninggalkan benda ini di kantormu. Dan anehnya lagi, dia cenderung tak acuh dengan barang-barangnya yang tercecer. Cenderung pasrah. Ini kali terakhir aku harus mengantarkan ponselnya lagi. Kalau sekali lagi tertinggal, mending kubuang saja,” omel Maxim panjang lebar. Sean menatap sepupunya dengan penuh perhatian.&ldquo
Baca selengkapnya
Blur [5]
“Hei, kenapa wajahmu pucat begitu? Siapa yang menelepon?” Sean menyenggol sepupunya. Pintu lift terbuka diikuti suara denting khas. Keduanya melangkah masuk. Namun kemudian Maxim berubah pikiran. Dia kembali keluar dari lift sebelum pintunya tertutup. Sean yang keheranan pun mengekori apa yang dilakukan sang sepupu.“Ada apa, Max?” tanya Sean, kali ini dengan ekspresi dan suara serius. Mereka menepi agar tak menghalangi orang-orang yang ingin keluar atau masuk ke dalam lift.“Ini ... aku tidak tahu apakah aku harus menerima panggilan ini atau tidak,” Maxim tampak bimbang dan serbasalah. Dia memindahkan berat badannya dari kaki yang satu ke kaki yang lain sembari memandang sepupunya. “Kalau tidak kujawab, takutnya ada masalah penting. tapi, kalau kujawab, rasanya kurang sopan.” Maxim mendengkus. “Kenapa sih Kendra harus meninggalkan ponsel di mana-mana? Kecerobohannya benar-benar mengerikan.”“Mema
Baca selengkapnya
Blur [6]
“Kamu membutuhkan otak cemerlangku, Tha?” Kendra bercanda setelah berada di  sebelah Pritha. Dia agak membungkukkan tubuh.“Ya. Aku sedang memilih beberapa alternatif lokasi syuting. Sejak tadi mataku sudah terlalu banyak melihat gambar. Sepertinya, aku sudah hampir juling,” keluh Pritha. “Aku sampai merasa pusing dan mungkin akan segera muntah kalau kamu tidak membantuku.” Pritha menegakkan tubuh. Tangan kanannya menyerahkan tablet kepada Kendra. “Yang lain sudah melakukan kewajibannya, ikut tersiksa bersamaku. Sekarang giliranmu, Ken.”Kendra terkekeh. Dia mulai menggulir tablet di tangannya dengan hati-hati. “Aku akan menyelamatkan hidupmu, Tha. Tenang saja,” sesumbar gadis itu.“Aku kesulitan membandingkan gambar yang satu dengan yang lain. Entah kenapa Mbak Rossa memintaku melakukan ini,” Pritha setengah menggerutu. Joshua melintas di dekat mereka dan Pritha buru-buru menyebut nama
Baca selengkapnya
Berkabung Bersamamu [1]
Maxim tersiksa melihat kesedihan yang mengaduk-aduk Kendra, lahir dan batin. Awalnya gadis itu tidak menangis sama sekali. Dia masih bisa berpamitan pada beberapa teman sekantor meski suaranya agak terbata-bata. Maxim yang kemudian menjelaskan apa yang terjadi secara singkat. Andai para pegawai The Matchmaker merasa heran karena hal itu, tak ada yang menunjukkannya dengan jelas. Semua orang berlomba mengucapkan belasungkawa.Jangankan Kendra, Maxim saja pun nyaris tak tahan berada di ruangan itu lebih lama lagi. Karenanya, Maxim buru-buru menarik tangan Kendra untuk meninggalkan tempat itu setelah meja gadis itu rapi.“Jangan pusing memikirkan soal pekerjaan ya, Ken. Nanti kami yang akan membereskan,” cetus Neala.Entah Kendra mendengar kata-kata temannya itu atau tidak. Gadis itu tak bereaksi. Maxim memegang tangan kiri Kendra, membawa gadis itu keluar dari gedung yang ditempati biro jodoh terkenal itu.Maxim pun sempat bicara pada Kendra saa
Baca selengkapnya
Berkabung Bersamamu [2]
“Maaf ya Ken, aku agak tertahan karena mengobrol sebentar dengan Mama.” Maxim menyalakan mesin mobil. “Kamu mau makan roti? Itu aku bawa banyak roti, semuanya baru diantar. Ada air mineral juga. Kalau kamu pengin yang lain, tolong beri tahu aku. Oke?”Kendra menoleh ke kanan, memandang Maxim dengan tatapan sendu. “Terima kasih, Max. Kamu tidak perlu repot-repot me....”“Aku tidak merasa repot sama sekali. Tenang saja,” tukas Maxim. Mobil yang dikemudikan lelaki itu mulai bergerak meninggalkan halaman rumah Maxim. “Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk memberitahuku,” ulangnya.Maxim baru melihat sendiri Kendra mengeluarkan air mata setelah mereka berada di perjalanan. Gadis itu sengaja menghadap ke kiri, berpura-pura sedang menikmati pemandangan. Namun telinga bisa Maxim menangkap isakan halus yang coba disembunyikan.Maxim tidak pernah merasa menjadi orang yang tak berguna seperti saat itu.
Baca selengkapnya
Berkabung Bersamamu [3]
“Kalau kamu betul-betul berterima kasih padaku, cobalah makan roti yang tadi kubawa. Minimal, perutmu harus terisi supaya tidak masuk angin. Aku tidak mau kamu sampai sakit, Ken. Atau, kamu mau makan yang lain?” respons Maxim.Kendra memandang lelaki itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara agak serak, “Aku mau makan roti saja.”Maxim benar-benar lega saat Kendra akhirnya menyantap sebuah roti isi abon. Sementara dirinya sendiri memilih roti kismis dan roti kelapa. Setelah itu, mereka pun melanjutkan perjalanan.“Kamu tidur saja, Ken. Nanti kalau sudah sampai, akan kubangunkan,” saran Maxim.“Mana mungkin aku bisa tidur saat ini?” desah Kendra.Maxim akhirnya tak berkomentar. Sepanjang perjalanan, mereka nyaris berdiam diri. Keduanya cuma sesekali bertukar kata. Meski ingin menghibur Kendra, Maxim tak tahu caranya. Saat itu, dia begitu iri pada kedua saudara lelakinya yang jauh
Baca selengkapnya
Berkabung Bersamamu [4]
Entah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Namun  Maxim yakin, masalahnya tidak sederhana. Dia cukup mengenal Kendra dan tahu bahwa gadis itu adalah orang yang penyayang. Pasti ada alasan kuat hingga Kendra terkesan tak menyukai kehadiran Djody. Kendra ternyata menanggung banyak beban, jauh lebih besar dibanding dugaan Maxim semula.Betapa ingin Maxim mengajukan pertanyaan tentang ayah Kendra. Namun dia tahu bahwa gadis itu takkan sudi memuaskan rasa penasarannya. Karena itu, Maxim pun menahan diri mati-matian.“Max, kalau kamu pengin kembali ke Jakarta, silakan saja. Aku nanti bisa pulang sendiri,” ucap Kendra sebelum ibunya dikebumikan. “Aku takutnya kamu merasa tidak nyaman karena kondisi keluargaku.”Entah apa maksud kalimat terakhir Kendra itu. Yang jelas, Maxim menolak mentah-mentah. “Aku tidak akan ke mana-mana. Aku cuma akan pulang ke Jakarta bersama kamu. Dan kamu tak perlu mencemaskan ini-itu. Aku baik-baik saja. Nya
Baca selengkapnya
Berkabung Bersamamu [5]
Kendra terbangun dengan kepala pusing dan mata nyeri. Dia memang terlalu banyak menangis tadi malam. Setelah Maxim mengantarnya pulang, tetangganya mulai berdatangan. Untungnya mereka tidak berlama-lama mengucapkan belasungkawa. Sehingga Kendra punya waktu untuk  sendiri. Kendra hanya ingin menangis dan berduka karena tidak punya keleluasaan untuk melakukan itu sebelumnya. Ada banyak orang yang mengawasinya saat berada di Bandung, terutama Maxim.“Kenapa kamu mau bersusah payah mengantarku ke Bandung, Max? Kamu bahkan menungguiku di sini. Padahal, seharusnya itu sama sekali tak perlu,” komentar Kendra saat mereka baru saja berkendara menuju Jakarta.“Aku tidak bersusah payah, kok!” respons Maxim. “Dan aku merasa memang perlu melakukan ini. Bukan karena sok mau menjadi pahlawan atau apalah. Aku cuma merasa ini langkah yang tepat.” Lelaki itu melirik Kendra sekilas. “Tolong jangan mengajukan pertanyaan senada lagi. Karena ja
Baca selengkapnya
Berkabung Bersamamu [6]
Kendra menatap Maxim, ingin mengucapkan sesuatu. Namun kemudian gadis itu merasa akan lebih bijak jika dia mengurungkan niatnya. “Aku tidak akan bersikap plin-plan.”Ya, dia memang tidak berniat mengusir Maxim. Setelah melihat upaya pria itu pagi ini, mana mungkin Kendra memintanya pergi? Lagi pula, Kendra baru saja menyadari bahwa dia membutuhkan teman. Saat ini, Kendra tak mau sendiri di rumahnya.“Kamu menangis semalaman, ya? Matamu masih bengkak.” Maxim bersuara lagi.Tahu tidak ada gunanya berbohong, Kendra mengangguk. “Setelah kamu pulang, banyak tetangga yang datang. Dan ... aku jadi banyak mengeluarkan air mata. Semoga tubuhku tidak kekurangan cairan.” Kendra berlama-lama menatap Maxim.“Hei, kenapa memandangku seperti itu? Aku adalah orang yang selalu memegang janji. Aku tidak merasa kasihan padamu.” Maxim menautkan alisnya.Gadis itu tergelak melihat ekspresi Maxim. “Aku tidak bilang a
Baca selengkapnya
Sehari Bersamamu [1]
Kendra menduga, kematian ibunya sudah membuat sel-sel otaknya menjadi abnormal. Mungkin tidak semua, melainkan hanya sebagian kecil. Akan tetapi, malah memberi impak yang tidak simpel bagi gadis itu. Parahnya lagi, hal itu terkait dengan Maxim, orang terakhir yang semestinya menjadi teman Kendra berbagi rahasia.Bukti yang tak terbantahkan terkait sel otaknya yang tak bekerja seperti biasa adalah Kendra kehilangan kontrol diri. Gadis itu membuka banyak cerita masa lalu kepada Maxim tanpa berpikir panjang. Padahal selama bertahun-tahun, Kendra lebih suka menyimpan semuanya sendiri. Namun, berhadapan dengan Maxim yang bicara sangat panjang, ternyata membuatnya tak berdaya.“Ayah dan ibuku bercerai saat aku masih SMP. Aku bahkan yakin kalau ibuku tidak benar-benar menyadari apa yang terjadi. Hal itu yang membuatku sangat marah pada Ayah. Ketika mereka berpisah, Ayah memintaku untuk tinggal bersamanya. Tapi, mana aku bisa meninggalkan Ibu? Aku makin marah saat menden
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
18
DMCA.com Protection Status