Semua Bab Sepucuk Surat Cinta: Bab 1 - Bab 6
6 Bab
Bab 1
Suara keyword laptop mengganggu gendang telinganya. Tanpa sebab, hatinya kacau. Pikirannya kalut. Suasana kelas yang hangat tak bisa ia rasakan. Tugas yang seharusnya segera dikerjakan terbengkalai, karena sang empu hanya menatap kosong layar dihadapannya. Berbeda dengan teman-temannya.Tak biasanya seorang Almahyra Batari tidak fokus saat mengerjakan tugas. Membuat beberapa dari mereka yang menyadari perubahan yang dialami perempuan berparas ayu itu sedikit bertanya-tanya. “Kenapa?”Gadis itu hanya mendengus kesal, tak ada niatan menjawab pertanyaan laki-laki dihadapannya.“Ra ... Hyra!” Dari luar dua temannya itu tampak heboh memanggilnya. “Ra, kamu dipanggil tuh ... suruh ke lobi, kamu habis buat masalah?”Si pemilik nama mengernyitkan dahinya. “Kalian nggak salah denger? Nggak, aku nggak ada buat masalah ko.”“Ya tadinya sih kita dengernya Haidar, eh pas di ulang ternyata Almahy
Baca selengkapnya
Bab 2
“Aku yakin 3 bulan juga bakal selesai, Bu.” Jelas  seorang gadis yang berusaha meyakinkan bidadarinya. “Kamu yakin?” “Insyallah.” Dia berusaha untuk menjadi sosok yang tegar, agar bisa memberi semangat bagi kaluarganya yang sedang jatuh. “Aku ke kamar dulu ya, Bu?” Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban dengan air mata yang masih bercucuran di pipinya. Hyra tak kuasa menahan tangis, kamar adalah tempat mencurahkan segala hatinya. Menangis dalam kebisuan, itulah yang selalu ia lakukan ketika merasakan kekecewaan. Ditatapnya sosok yang persis seperti dirinya. “Kamu kuat Ra, Kamu hebat! Makanya Tuhan memberi surat cinta kepadamu, karena Dia yakin kamu mampu melewatinya.”  Ya. Hyra biasa melakukan ini, berdialog dengan bayangannya pada sebuah cermin membuat dirinya bisa lebih tenang. Karena yang ia butuh sekarang adalah didengar tanpa dicelah atau bahkan dinasehati. Dan cermin inilah solusinya.
Baca selengkapnya
Bab 3
Matahari telah menggulung tikarnya sedari tadi untuk menyambut malam gulita. Akan tetapi, tetap saja gemintang selalu hadir menemani, menyibak pekatnya malam. Memberi pendar bagi hati yang mulai gelisah akan sebuah takdir yang merombak-rombak air mata. Apa sebab itu terjadi? Mungkinkah karena selama ini lalai akan ke hadiran-Nya? Gadis remaja putri menengadahkan kedua tangannya, duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, ia merintih kesakitan. Air mata tak henti-henti membanjiri pipi tirusnya. Bibirnya kelu, ia tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut asma-Nya. “Allah ... Allah ... Allah,” lirihnya. Begitu banyak dosa yang diperbuat, lalu kini ketika segunduk bahkan lebih masalah datang menghampiri, tanpa rasa malu meronta-ronta memohon untuk diringankan, lalu selama ini kemana, apa harus ada cobaan dulu, sehingga datang memohon serta mendekat? Hati perempuan yang masih bersimpuh tersebut terhenyak, ketika mengingat begitu banyaknya dosa yang ia perbua
Baca selengkapnya
Bab 4
Suara telpon malam tadi, membuat Hyra bimbang dengan perasaannya. Haruskah ia menceritakan pada ibunya tentang keadaan orang yang telah membuat kehancuran beberapa hari terakhir, atau bahkan sampai beberapa waktu kedepan yang Hyra sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.“Bu, Hyra mau bicara,” ungkapnya pada Indah yang sedang menjahit baju.“Boleh, emang mau bicara apa?” tanyanya dan menyimpan kegiatan jahit-menjahitnya.“Tadi malam ....” Belum sempat Hyra menjelaskan apa yang ia dengar semalam, handphone digenggamannya berbunyi. “Sebentar, Bu.”“Halo, Assalamualaikum. Kenapa Nis?”“Ra, sini main kerumah. Ada putri juga.”“Sekarang?”“Ya iya sekarang, masa besok.” Kekeh dua orang disebrang sana.“Oke! Siap meluncurrrr.”Belum sempat mengucapkan salam, sambungan telponnya sudah dimatikan sepihak.“Dasar ng
Baca selengkapnya
Bab 5
Matanya menyapu seisi rumah. Menelisik keadaan sang penjaga dimana dan sedang apa. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kini ia akan menjadi jembatan demi keutuhan kelurganya.“Bu, bisa kita ngobrol di kamar Hyra?” Ketika tatapannya menemukan keberadaan sang ibu di dapur.Indah yang sedang memasak segera mematikan kompor. Melihat Hyra menatap penuh keseriusan, ia langsung mengangguk. Lalu, berjalan lebih dulu ke kamar dan Hyra mengekor di belakangnya.“Ada apa?” tanyanya. Sesampai di kamar Hyra menutup pintu kamarnya, setelah dirasa cukup aman ia duduk berhadapan dengan ibunya di tepi ranjang.“Tadi malam ... bapak telpon aku, Bu,” jelasnya.Ditatapnya Hyra dengan raut datar. “Terus dia dimana?”“Jakarta.”“Apa kamu bisa bilangin bapakmu, supaya pulang dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat?”Hyra menggelengkan kepala dan digenggamnya tangan I
Baca selengkapnya
Bab 6
Hari ini dan yang akan datang, perjalanan ke sekolah akan sama, naik angkot. Hyra selalu berusaha mati-matian untuk mengikhlaskan segalanya. Ia mencoba tersenyum menghadapi kenyataan pahit dan tidak ingin menyeret terlalu banyak orang untuk masuk ke permasalahan yang sedang dihadapinya. Ketika menaiki angkot, matanya berfokus menatap jendela, menikmati setiap jalan yang ditelusurinya. Seketika ia terenyuh, merasa menjadi orang yang tidak pandai bersyukur. Lihatlah, dijalanan sana masih ada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Di luaran sana, masih ada banyak anak yang harus merelakan mimpinya, memutus urat malunya demi bertahan hidup. Membuat ia bertanya-tanya, kenapa harus merasa paling menderita? Padahal diluaran sana masih ada yang lebih menderita. Kenapa merasa dunia ini tidak adil? Bukankah, setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing? Hyra cukup tertampar dengan pemandangan pagi ini, melihat anak yang mungkin seusianya sedang mengorek-ngorek sampah ditemani -y
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status