Semua Bab Rumah Ramaria: Bab 31 - Bab 38
38 Bab
Bab 30
Setelah makan siang dan mengajar satu kelas lagi, aku segera berjalan ke mobilku di parkiran dan menyetir ke rumah kami. Maria sedang duduk di tangga depan rumah sebelum akhirnya tersenyum sumringah dan berlari ke arahku.            Dipeluknya aku dan ia berkata lesu, “sayang…”            Kudekapnya erat sambil bertanya, “kenapa, sayang? Kok kamu di luar?”            “Aku nungguin kamu,” Maria cemberut.            “Duh sayangku lagi manja-manjanya ya.” Kucium keningnya.            Maria tersenyum sambil memelukku mesra. Kami berdua masuk ke dalam dan mulai membereskan barang-barang yang belum Maria rapikan. Sepertinya t
Baca selengkapnya
Bab 31
Keesokan harinya, aku menjemput Maria pagi-pagi dan segera kembali ke rumah kami. Semua hal yang perlu dibereskan hari itu kami bersihkan semua sehingga besok kami hanya akan mengurusi taman. Karena hari Minggu, kami akan melangsungkan pertunangan kami di sini, yang akan dihadiri keluarga dan teman-teman dekat, sebelum kami menikah tiga bulan lagi. Untungnya, waktu yang dibutuhkan malah lebih dari cukup karena setelah makan siang, rumah bagian dalam sudah beres semua dan kami memutuskan untuk pergi membeli beberapa tanaman hias untuk ditaruh di taman.Keadaan dari pagi baik-baik saja – kami berdua saling membantu membereskan ini-itu sambil sesekali bercanda dan berciuman ketika aku melihat Maria membelakangiku dan menggoda dengan gerakan tubuhnya – sampai setelah makan siang.            “Sayang, aku boleh beli tanaman anggrek lagi engga?” tanya Maria padaku ketika kami sedang memilih tanama
Baca selengkapnya
Bab 32
Acara pertunangan kami berjalan khidmat dan hangat, dihadiri hanya keluarga dan teman-teman dekat. Aku dan Maria setuju mengadakannya di Rumah Ramaria sekaligus open house setelah rumah selesai kami bereskan. Kursi-kursi di taman belakang ditata sedemikian menghadap ke arah rumah kami, dimana aku dan Maria berdiri di situ, bertukar cincin pertunangan yang akan dipakai lagi nanti waktu pernikahan.            “Rama, Maria, selamat ya..” Mama Fani memelukku dan Maria. Ia salah satu orang yang dengan senang hati membantu semua keperluan acara pertunangan kami di rumah. Dibantu oleh anaknya, Fani, dan beberapa orang lainnya yang tidak kukenal sebelumnya.            “Iya, yang ini ditaruh di sini, yang itu di sana” Mama Fani menunjuk beberapa kursi dan meja yang akan ditaruh di taman. Ia mengkoordinir Fani, Fadhil, Caca, Salsa, Rani
Baca selengkapnya
Bab 33
Pemakaman Papa seminggu yang lalu berlangsung sederhana. Maria masih tidak mau bicara, bahkan denganku. Ia hanya menggenggam tanganku dan melihat dengan tatapan sayu. Aku mengerti bagaimana keadaan hati Maria dan tetap berada di sisinya. Mama berusaha terlihat tegar, dengan memberi senyuman pada beberapa orang teman dekat dan rekan bisnis keluarga mereka. Tapi aku yakin yang paling sakit hatinya adalah Mama.            Kak Joshua dan kak Dimas yang selalu bersamanya, berdiri menopang Mama, jika tiba-tiba lutut Mama tidak mampu menahan beban karena hatinya sedang hancur-hancurnya. Beberapa kali Mama memeluk Maria dan mereka sama-sama menangis.            Setiap pagi jika jadwal kelasku dimulai agak siang, aku pasti menyepatkan diri untuk pergi ke rumah Maria. Lalu kembali ke kampus dan setelah sore ketika kelas usai, pergi lagi berkunjung ke sana. Beberapa kel
Baca selengkapnya
Bab 34
Dua bulan telah berlalu semenjak kepergian Papa. Maria terlihat lebih bisa menerima hilangnya Papa di hidupnya. Kini senyumnya sudah penuh kembali padaku. Walaupun kadang katanya ia beberapa kali menangis di tempat-tempat yang tidak tentu karena tiba-tiba memikirkan Papa. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas juga sama seperti Maria. Sudah lebih tenang karena hampir setiap hari rumah mereka penuh dengan kunjungan kerabat dan teman. Hal ini mengurangi kesedihan di hati mereka.            Januari juga sempat menginap di sana, menemani Maria. Januari, yang kini berpacaran dengan Surya karena kukenalkan, kini bekerja di salah satu perusahaan di bidang pendidikan. Ia sering mampir ke rumah Maria belakangan dan kami bertegur sapa, menanyai kabarnya dan kabar Surya. Mereka baik-baik saja, san sepertinya Surya dibuat mabuk kepayang oleh Januari karena aku melihat foto profil media sosial Surya ia taruh foto Januari yang sedang mencium
Baca selengkapnya
Bab 35
Satu minggu berlalu dengan kebahagiaan ketika aku tinggal di rumah Maria. Mama, kak Joshua, dan kak Dimas bercanda menahanku dan Maria ketika kami akan tinggal di rumahku seminggu berikutnya.            “Jangan pergi…” kata kak Joshua, dramatis.            Kak Dimas ikutan memegang tanganku dan Maria, sementara Mama tertawa.            Akhirnya setelah dengan sangat mudah melepaskan tangan kami berdua, aku dan Maria berjalan ke mobil dan melambaikan tangan tanda perpisahan pada mereka. Kak Joshua masih bercanda, merogoh saku bajunya dan mengambil sapu tangan tidak nyata dan seperti mengelap air matanya yang kering. Aku dan Maria tertawa.            Di dalam mobil kami berpegangan tangan sambil mendengarkan lagu di ra
Baca selengkapnya
Bab 36
            Maria sedang mandi dan aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Di dalam kegugupanku yang luar biasa mengenai malam pertama yang sebentar lagi kami akan lewati bersama, pikiranku dibawa ke acara pernikahan kami tadi siang.            Ruangan di gedung yang kami sewa tidak terlalu besar, hanya cukup diisi keluarga dan teman-teman dekat dari kedua belah pihak keluarga. Aku dan Maria sudah sepakat untuk membuat acara yang sederhana namun khidmat. Aku melihat Ibu, Rania, dan Salsa menangis haru ketika tadi selesai acara, aku dan Maria naik ke mobil kami dan menuju ke Rumah Ramaria. Aku juga lihat Mama, kak Joshua, dan kak Dimas menangis terharu memeluk Maria sebelum ia meninggalkan mereka. Fadhil dan Caca menangis luar biasa di pelukan kami berdua. Ada Januari dan Surya juga. Surya membawakan kado dari Irene, Bondi, dan Vino karena mereka tidak dapat hadir.
Baca selengkapnya
Bab 37
Ponselku berdering sudah dari tadi, namun tidak kuangkat karena kelelahan. Aku menyesal tidak mematikannya semalam karena sekarang Maria menggerakkan tubuhnya, mengulet, dan sepertinya terbangun juga. Kami kelelahan luar biasa karena semalaman memadu kasih untuk pertama kali. Ranjang kami berdua sudah basah karena cairan dan keringat kami.            Maria membuka matanya dan melihatku, tersenyum manis. Aku membalasnya dan menghecup keningnya. Ia mengulet sekali lagi.“Pagi, sayang,” kataku.Ia tersenyum sekali lagi dan membalas, “hai… Pagi, sayang…”Kepalanya kini disenderkan di pelukanku. Ia memegang dadaku sambil mencoba tidur lagi setelah menciumnya. Aku mengelus rambutnya perlahan.Ponsel yang kini berdering lagi akhirnya kuambil supaya tidak mengganggu Maria.Tulisan pesan dari Fadhil dan Caca.“GIMANA MALAM PERTAMANYA????”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status