Semua Bab Bimantara Pendekar Kaki Satu: Bab 151 - Bab 160
582 Bab
151. Kembalinya Naga Wali
Mayat hidup Naga Wali turun dari kudanya dengan melompat lalu mendarat di hadapan Bimantara dan yang lainnya.“Ayah!?” Teriak Bimantara padanya.Naga Wali tidak menyahut. Dia malah melotot geram ke arah Bimantara.“Raganya memang raga ayahmu, Bimantara!” teriak Pangeran Dawuh. “Tapi jiwanya sudah bukan jiwa ayahmu!”Bimantara terkejut mendengarnya.“Kita harus membunuhnya, Bimantara,” pinta Kancil.“Tidak!” teriak Bimantara. “Tidak ada yang boleh membunuhnya!”Pangeran Sakai heran. “Jika tidak dibunuh, kita yang akan dibunuhnya!” teriak Pangeran Sakai.Bimantara geram mendengarnya. “Pergilah kalian semuanya dari sini! Biar aku saja yang menghadapinya!” pinta Bimantara.“Aku tak akan pergi dari sini!” teriak Dahayu.Pangeran Sakai menoleh pada Dahayu dengan terkejut.“Aku juga tak akan pergi dari
Baca selengkapnya
152. Pertarungan Ayah dan Anak
Satu tendangan dari Naga Wali berhasil membuat Bimantara terpelanting. Naga Wali maju hendak menyerangnya kembali. Bimantara bangkit sekuat tenaga. Dia kembali bertahan dari serangan demi serangan Naga Wali.Tak lama kemudian Naga Wali menggerak-gerakkan tangannya. Muncullah cahaya di tangannya. Bimantara terbelalak. Cahaya itu adalah energi tenaga dalam ayahnya. Jika dia terkena cahaya itu maka luka dalam akan dialaminya. Isi perutnya bisa hancur seketika. Bimantara pun akhirnya berusaha mengeluarkan cahaya dalamnya. Kaki cahayanya menyala.Saat Naga Wali mengarahkan cahaya itu ke arah Bimantara. Bimantara pun mengeluarkan cahaya tenaga dalamnya hingga kedua cahaya itu beradu di tengah-tengah mereka.Dahayu tampak khawatir melihatnya. Sementara Pangeran Dawuh sudah berhasil mengikat pakaian-pakain mayat prajurit dan menjadikannya satu hingga terbentuk tali panjang.“Serahkan itu ke aku,” pinta Dahayu.Pangeran Dawuh pun menyerahkannya
Baca selengkapnya
153. Iblis Perasuk
Bulan di atas Perguruan Matahari tampak bersinar terang. Di dalam ruangan Tabib Perguruan, Bimantara tampak terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang jerami. Tak lama kemudian arwah Ki Walang datang. Dia memandangi tubuh Bimantara dengan sedih.“Kau sudah melakukan yang terbaik yang kau bisa,” ucap Ki Walang padanya.Ki Walang pun duduk di dekat ranjang lalu menatap wajah Bimantara dengan lekat.“Andai aku bisa menyalurkan tenaga dalamku kepadamu, kau sudah sadar kembali saat ini,” ucap Ki Walang. “Aku percaya Tabib Perguruan. Dia pasti bisa menyembuhkanmu hingga kau kembali sadar seperti sedia kala.”Ki Walang pun menghilang dari sana.***Para prajurit penjaga gerbang pertama istana kerjaan Nusantara Timur tampak terkejut melihat banyak penduduk berlarian ke arah gerbang dan mengetuk-ngetuk pintu gerbang hendak masuk. Mereka melihatnya di atas pagar istana yang sangat tinggi. Tak lama kemudian Panglima
Baca selengkapnya
154. Ritual Pemanggil Leluhur
“Tolong adakan upacara untuk meminta permohonan leluhur agar kita semua yang berada di sini bisa diizinkan pergi ke pulau seberang untuk memerangi perguruan tengkorak! Karena dengan memerangi mereka lah kita dapat menghentikan aksi Gajendra untuk membangkitkan mayat-mayat hidup,” pinta Pendekar Pedang Emas.Kepala perguruan tampak berpikir. Tak lama kemudian dia menatap wajah Pendekar Pedang Emas. “Kalau seandainya kita sudah tahu di mana tempat persembunyian perguruan tengkorak. Ini mungkin akan lebih mudah.”“Saya tahu di mana mereka bersembunyi, Tuan Guru Besar,” ucap Pendekar Pedang Emas kemudian.Kepala Perguruan terbelalak mendengarnya.“Di mana mereka bersembunyi?”“Di sebuah bukit arah utara di pulau seberang,” jawab Pendekar Pedang Emas.“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Pendekar Tangan Besi dengan heran.“Gajendra adalah kakak kandungku,” jawa
Baca selengkapnya
155. Pendekar Pilihan Leluhur
Semua penduduk perguruan tampak berkumpul di sebuah ruangan ritual yang luas itu. Lentera-lentera menyala tergantung di langit-langit ruangan itu. Obor-obor menyala terang di setiap sudut ruangan. Di tengah-tengah ruangan ritual itu terdapat sebuah peti perak yang berkilau. Kepala Perguruan duduk bersila menghadap peti tembaga itu. Di belakangnya para guru utama sudah duduk rapih bersama para guru pembantu. Jauh di belakangnya lagi semua murid perguruan sudah duduk bersila dengan barisan yang rapih.Dahayu berbisik pada Kancil yang duduk di sebelahnya.“Apa yang akan Tuan Guru Besar lakukan?” tanya Dahayu heran.“Ini ritual untuk berbicara dengan para leluhur,” jawab Kancil.“Para leluhur akan datang mewujud arwah ke ruangan ini?” tanya Dahayu tak percaya. “Seperti para arwah yang berdatangan ketika dibangktikan dengan ajian pembangkit kematian?”“Tidak. Para arwah akan menjawab pertanyaan Kepal
Baca selengkapnya
156. Cahaya Biru
“Iya, hanya para peri itulah yang memiliki kekuatan untuk memulihkan luka-luka dengan cepat,” jawab Tabib Perguruan. “Untuk itulah Kepala Perguruan sangat terobsesi untuk mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah agar bisa menikahi ratu peri dan memiliki pengikut para peri yang sewaktu-waktu bisa meyembuhkannya para pendekar yang dipimpinnya disaat mereka terluka atau cedera parah dari pertarungan!”“Apakah keturuan dari peri yang menikah dengan manusia bisa melakukannya?” tanya arwah Ki Walang penasaran.Tabib Perguruan menatap arwah Ki Walang dengan heran. “Apakah engkau mengenalnya?”Ki Walang mengangguk. “Aku mengenalnya,” jawab Ki Walang.“Mungkin bisa kita coba dan meminta dia untuk mengalirkan tenaga dalamnya kepada Bimantara,” jawab Tabib Perguruan.“Siapa dia, Ki Walang?” tanya Kepala Perguruan dengan penasaran.“Dia adalah Dahayu,” jawab Ki
Baca selengkapnya
157. Sebuah Pengorbanan
Dahayu semakin lemah. Tangan Bimantara bergerak-gerak. Ki Walang datang dengan heran melihat tubuh Dahayu mulai berubah menjadi cahaya.“Dahayu?! Hentikan!” teriak Ki Walang.Dahayu tidak menggubris teriakan Ki Walang. Dia terus saja mengalirkan cahaya biru ke tubuh Bimantara.“Dahayu, kau bisa celaka! Jika aku tahu kau akan begini, aku tidak akan memberitahu mereka kalau kau keturunan para peri,” ucap Ki Walang dengan khawatir.Dahayu masih tidak menggubris teriakan Ki Walang.“Dahayu, hentikaaan!”Saat Ki Walang melihat Dahayu tidak menggubris panggilannya, dia mencoba mendorong tubuh Dahayu. Namun tubuhnya tidak bisa menyentuh Dahayu. Tak lama kemudian, Ki Walang mencoba mendorong tubuh Dahayu lagi, namun kali ini dia terpental jauh hingga arwahnya keluar menembus dinding bambu.Sementara itu Kepala Perguruan tampak cemas di hadapan pintu masuk tempat Bimantara dirawat. Pendekar Pedang Emas dan T
Baca selengkapnya
158. Naga dan Langit Malam
Pendekar Pedang Emas menarik napas berat. Pangeran Sakai menatap Pendekar Pedang Emas dengan sorot mata penasarannya.“Ada apa dengan Dahayu, Tuan Guru Besar?” tanya Pangeran Sakai.“Tidak ada apa-apa,” jawab Pendekar Pedang Emas berbohong padanya.“Jangan bohong padaku! Aku sudah mendengar ucapan Kepala Perguruan kepada Tuan Guru,” ujar Pangeran Sakai mati penasaran.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. Dia malah geram. “Tidak pantas kau menguping pembicaraan gurumu!”“Aku tidak berniat untuk menguping. Aku tidak sengaja berada di sini dan Tuan Guru bersama Kepala Perguruan lewat jalan ini!” jawab Pangeran Sakai membela diri.Pendekar Pedang Emas kemudian kembali berjalan. Pangeran Sakai mengejarnya dengan mati penasaran.“Tuan Guru Besar, tolong katakan padaku ada apa dengan Dahayu?”Langkah Pendekar Pedang Emas terhenti. Dia menoleh pada Pangeran
Baca selengkapnya
159. Menjemput Dahayu
Naga itu terus saja terbang membawa Bimantara kian ke atas. Awan-awan terlihat indah karena sinar rembulan begitu terang dan langit dipenuhi bintang-bintang. Air mata Bimantara terus saja mengucur.“Kau sedang bahagia?” tanya Bimantara pada Dahayu di pinggir pantai kala itu.Dahayu mengangguk.“Apa yang membuat kamu bahagia?” tanya Bimantara heran.“Berada di dekat kamu,” jawab Dahayu.Bimantara tersenyum malu mendengarnya. Dahayu pun berpindah duduk tepat di sebelah Bimantara. Dia menempelkan kepalanya di bahu Bimantara. Bimantara tampak tersenyum sambil memandangi wajah Dahayu yang tersipu memerah.“Andai sejak dahulu kita sudah begini,” ucap Bimantara.“Kita pasti tidak akan menjadi murid di perguruan matahari,” sahut Dahayu.“Iya, kita pasti sudah menikah,” ucap Bimantara.“Terlalu muda untuk menikah,” sahut Dahayu.“Buka
Baca selengkapnya
160. Menunggu Dahayu
Hari hampir siang. Bimantara masih teduduk lesu di hadapan mata air abadi itu. Sang Naga bersuara. Bimantara menoleh padanya.“Kembali lah ke lautan! Aku akan tetap di sini sampai Dahayu datang,” ucap Bimantara.Sang Naga itu diam saja.“Pergilah! Jangan tunggu aku! Aku tak akan pergi dari sini!” teriak Bimantara.Naga itu akhirnya mengeluarkan suaranya. Lalu sesaat kemudian dia terbang menuju langit. Bimantara kembali menatap mata air abadi.“Dahayu! Keluar lah!” teriak Bimantara.Dahayu tidak menyahut juga. Bimantara terduduk lesu di sana. Air matanya kembali mengalir. Dia kembali mengingat kenangan bersama Dahayu."Dahayu!" panggil Bimantara.Langkah Dahayu terhenti lalu menatap Bimantara dengan heran dan bingung."Kenapa?"Bimantara mendekat padanya dengan tongkatnya."Kamu tidak percaya kalau aku bisa diterima menjadi murid di perguruan Matahari?" tanya Bimantara saat sudah dekat dengan gadis itu."Aku percaya," jawab Dahayu."Kenapa waktu itu diam saja, tidak membelaku?"Dahayu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1415161718
...
59
DMCA.com Protection Status