All Chapters of MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU: Chapter 11 - Chapter 20
37 Chapters
Bab 11
“Mas, Akim! Winda tuh seneng banget, akhirnya bisa jadian sama kamu! Makasih sudah bikin aku puas, Mas!”Rekaman mulai kuputar. Wajah Mbak Winda sudah tampak menegang.“Ya, aku itu memang jago bikin wanita puas. Kamu tinggal pijit nomorku saja, bisa melayani kamu kapan saja! Asal timbal baliknya sepadan!”“Tenang, Mas! Ini aku sudah dapat rejeki nomplok. Sebagian sudah aku belikan perhiasan, ini sisanya buat kamu. Nanti kita janjian lagi, ya besok malam! Suamiku itu sibuk terus kerja, sampai lupa ada ladang yang butuh disiram!”“Siap Bebeb!”“Aku pamit dulu, ya! Mau telepon Mbak Wilda buat minta dukungan usir si Mia dari rumah! Makin hari makin nyebelin saja sikapnya! Kamu do'ain aja si Hafid mau sama Mince, biar aku punya pohon uang!"Aku mematikan rekaman yang dikirimkan oleh temanku yang bekerja di sebuah café. Ziza memang pernah sekali bermain ke sini. Dia minta kuajari berjualan property. Akhirnya kami menjadi dekat juga, dan dia tahu seperti apa perlakuan Mbak Winda padaku di ru
Read more
Bab 12
Sudah beberapa minggu Mas Hafid keliling cari pekerjaan, tetapi nasib belum berpihak juga pada kami. Sementara itu, parkiran dia sudah tidak jaga lagi. Setiap hari kuping ini harus ditebalkan karena mendengarkan cemoohan dan hinaan dari Mbak Winda. Sudah beberapa hari ini juga Minarti alias Mince---wanita yang kegatelan itu selalu mengunjungi Ibu Mertuaku. Rupanya dia sudah gak waras lagi, terang-terangan mengibarkan bendera perang di hadapanku. Jika dia datang, tak pernah dia menyapaku. Namun langsung yang dicarinya Ibu. Wanita sepuh yang sudah kelelahan mengurus cucunya itu seolah mendapat angin segar dengan keberadaan Minarti yang katanya kaya raya. Sikapnya yang dulu netral kini semakin condong kepada Mbak Winda dan Minarti. Beberapa kali bahkan mereka pergi bersama menggunakan mobil wanita itu. Berjalan-jalan mengajak Hasan dan Bian juga. Jika pulang, Ibu dibelikannya baju baru dan berbagai makanan. Dijanjikannya akan diberikan rumah tinggal yang nyaman sehingga bisa hidup ter
Read more
Bab 13
Kami pergi meninggalkan rumah yang terasa penuh duri ini. Semoga besok lusa, kehidupan kami lebih menyenangkan dan penuh dengan keberkahan. Biar besok saja kuberi tahu tentang komisi yang akan cair. Malam ini, biarlah Mas Hafid hanya tahu jika kami akan menumpang tidur di rumah Mbak Nindi.Mbak Winda, aku akan membuktikan jika aku yang selalu kau hina akan segera menemui sukses dengan jalanku ini.Menjelang Isya, kami tiba di sebuah perumahan. Ini alamat yang Mbak Nindi berikan waktu itu. Dengan menebalkan muka, akhirnya kuketuk pintu rumah minimalis dua lantai miliknya. “Assalamu’alaikum, Mbak!” Tidak berapa lama terdengar daun pintu yang terbuka. Wanita cantik berkacamata itu menatapku sambil menjawab salam. Dia mengerutkan dahi karena memang inilah pertama kalinya kami bertatap muka. Selama ini kami hanya bersua lewat virtual saja. “Mbak, ini Mia!” Aku tersenyum.“Ya ampuuun! Beda banget kamu Mia. Beda banget kalau pas video meeting. Cantikan aslinya!” kekehnya sambil membukakan
Read more
Bab 14
“Mbak Mia? Kamu beneran Mbak Mia ‘kan?” ucap suara yang kudengar berasal dari sebelah kanan.Aku menoleh ke asal suara. Terdiam sejenak sambil mencerna siapa sebenarnya yang menyapa? “Irna?”“Iya inin‘kan Mbak Mia, ya?” Gadis itu mendekat ke arahku. Rupanya dia Irna---anak kedua dari Paman. Waktu aku menikah dulu, dia baru saja mau lulus SMA. Rupanya kini dia sudah memakai seragam kerja. “Mbak Mia sekarang jualan nasi goreng?” tanyanya.“Iya Irna. Kamu sudah kerja?” Aku menatapnya.“Iya, Mbak! Oh iya, kenapa gak pernah maen ke rumah?” tanyanya.“Iya nanti kapan-kapan maen,” jawabku datar.Padahal bukan apa-apa. Di rumah itu yang menganggapku manusia hanya Irna. Selebihnya aku seolah dianggap keset dan benalu yang numpang hidup saja.Paman dan Bibi hanya kerap memeras tenagaku. Sedangkan Saskia---kakaknya Irna malah lebih parah. Aku bahkan seolah menjadi orang yang tidak ada harga di matanya. Usianya yang satu tahun lebih tua dariku menjadikannya semena-mena. “Pesan nasi gorengnya
Read more
Bab 15
“Winda! Apa maksud semuanya ini?” Mas Ardi yang baru saja menerima pesan WA dari Mia gemetar menahan kesal. Jelas sekali dalam rekaman itu Mbak Winda memang terang-terangan menyebutkan jika Mas Akim bisa membuat Mbak Winda puas.“Apa sih, Mas?”Mbak Winda tergagap. Dia sudah lupa perihal rekaman file yang dimiliki Mia. Pikirannya sudah terlalu disibukkan dengan Mince dan uangnya. Beruntung wanita jadi-jadian itu baru saja pergi meninggalkan kediamannya. Jadi tidak sempat menyaksikan keributannya dengan Mas Ardi. “Kamu ada main sama si Akim?” Mas Ardi mencengkeram pipi Mbak Winda kuat-kuat. Wanita mengaduh kesakitan lalu menepis tangan Mas Ardi. “Mas dapet rekaman itu dari mana? Itu fitnah, Mas!” Mbak Winda mencoba menepis tangan Mas Akim. Pipinya terasa sakit karena itu.“Kamu gak perlu tahu aku dapet dari mana? Kamu beneran maen serong di belakangku, Winda?” Mas Akim mendorong tubuh Mbak Winda hingga membentur ujung dipan. Mbak Winda mengaduh sambil mengelus sikunya yang dipakai
Read more
Bab 16
Mbak Winda mendorong tubuh Mas Ardi dan menggiringnya susah payah keluar kedai bakso. Mas Akim bangun dan berjalan ke luar juga mengikuti Mbak Winda. Perasaannya sudah tidak karuan. Akan tetapi semua lambat laun pasti akan diketahui. Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Plak! Satu tamparan dihadiahkan Mas Ardi pada Mbak Winda. Wanita itu terhuyung dan meringis menahan sakit. Air matanya mengalir seketika. Seumur pernikahan baru kali itu Mas Ardi mrnamparnya.“Mas nampar aku?” Mbak Winda meringis sambil mengelus pipinya.Mas Ardi tidak menjawab. Pandangannya beralih pada Mas Akim. Napasnya naik turun karena emosi yang sudah luber. Dia mendekat dan menarik kerah baju Mas Akim. Bugh! Bugh! Bugh!Pukulan dan tendangan didaratkan pada wajah dan perut lelaki sok kalem itu. Mbak Winda menjerit dan berlari memburu Mas Ardi. Mas Akim meringis, tetapi dia belum melawan balik. Tubuhnya terhuyung karena tendangan Mas Ardi mengenai ulu hatinya.“Sudah, Mas!
Read more
Bab 17
“Hallo! Hafid! Kamu pulang ke rumah sekarang! Mbak mau bicara!” Mbak Winda akhirnya menelpon Hafid. Dia teringat tadi bertemu di tempat kejadian. Dia mau meminta Hafid membujuk Mas Ardi agar tidak jadi menceraikannya.“Mau bicara apa, Mbak?” Hafid mengkerutkan dahi, sedangkan tangannya tetap sibuk membungkus kerupuk. Dia sedang menyiapkan bungkusan kerupuk untuk jualan nasi gorengnya sore ini.“Kamu ke sini dulu saja, Fid! Bantuin, Mbak! Mas Ardi mau menceraikan Mbak!” Mbak Winda terisak. Hafid beristighfar ketika mendengar kata cerai.“Astagfirulloh! Mbak tenang dulu! Nanti aku coba telepon ke Mas Ardi, tapi sekarang aku gak bisa ke sana! Aku lagi bersiap mau jualan soalnya!” Hafid mencoba menenangkan kakak perempuannya itu.“Kamu itu, ya! Mana bisa Mbak tenang! Mbak mau diceraikan, Fid! Ini semua pasti gara-gara istri kamu tuh! Jadi orang gak tahu diri banget, sih!” Mbak Winda kembali mengeluh dan memaki.Hafid mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa Mbak Winda malah menyalahkan
Read more
Bab 18
“Assalamu’alaikum!” Suara seorang wanita membuyarkan pikirannya. Hafid menoleh pada arah suara. “Wa’alaikumsalam. Eh, Bibi ada apa, ya, Bi?” Hafid menyalami wanita paruh baya yang beberapa hari lalu berkunjung ke tempatnya. “Hafid, Mia ada? Pamannya kritis. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.” Dia memandang Hafid. Tampak ada tersirat raut cemas di wajahnya. “Astagfirulloh!” Hafid beristighfar. “Mia! Dek!” Hafid tergopoh ke dalam. Dijumpainya Mia yang tengah sibuk dengan gawainya.“Ada apa, Mas?” Mia menatap Hafid.“Diluar ada Bi Itin, Dek! Paman kritis katanya!” Hafid menyampaikan pesan wanita paruh baya itu.“Astagfirulloh!” Mia beranjak. Dia keluar menemui wanita yang pernah direpotkannya itu. Ya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Namun tetap saja Bi Itin lah yang dulu berjasa menampungnya di rumah mereka.“Bibi, Paman di rumah sakit mana?” Mia menatap kasihan pada Bi Itin. “Bibi juga belum tanya tadi Saskia bawa ke rumah sakit mana, Mia. Bibi khawatir banget sama keadaann
Read more
Bab 19
Mia sudah sibuk memotong sayuran. Beberapa hari berlalu semenjak kedatangan Mbak Winda. Perempuan itu membuat hari-harinya kembali tidak nyaman. Terlebih urusan Mas Ardi yang juga belum selesai. Beruntung kini dia sudah mulai membuka warteg di depan kontrakan kecilnya, jadi memiliki kesibukan tambahan dan bisa menepis persoalan yang dibawa kakak iparnya itu. Hari itu beruntung Mas Akim lewat membonceng perempuan. Mbak Winda langsung cabut dan mengajak Mbak Wilda mengikutinya. Entah apa yang terjadi di depan sana. Mia tidak ingin meski sekedar bertanya. Hidupnya kini lebih fokus pada apa yang akan diraihnya. Julukan ipar miskin yang kerap kali disematkan Mbak Winda membuat dirinya semakin giat bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Etalase bekas yang dipesannya sudah datang. Meski tidak tampak kembali seperti baru, akan tetapi keapikan tangan Hafid membuat kaca yang kusam itu bening kembali. Beberapa lauk sudah matang. Ada balado ikan, balado telur, telur dadar, gorengan tahu
Read more
Bab 20
Mia tengah berdiri di depan teller. Hafid menemaninya. Hari itu warteg mereka ditunggui oleh Mbak Finah sendirian. Komisi perumahan yang sudah cair lumayan banyak. Jadinya mereka akan mengambil dari teller sebagian. Selain itu, Mia minta dibuatkan buku tabungan sendiri. Peraturan baru menjadi lebih ketat dari marketing agency tempatnya berjualan. Rekening tidak boleh atas nama orang lain.“Habis ini kita jadi survey, Dek?” Hafid menoleh pada Mia yang baru saja duduk. Dia memasukan kartu ATM baru dan buku tabungan atas namanya ke dalam tas. “Iya, Mas. Sekalian saja. Mumpung ini ada launching DP nol rupiah, Mas. Kapan lagi bisa punya rumah dengan DP nol rupiah, Mas.” “Iya, Dek. Moga kuat bayar cicilannya.” Keduanya saling tersenyum. Bayangan memiliki rumah sendiri membuat Mia menjadi lebih bersemangat lagi. Beruntung dia bergabung pada agen marketing property Syariah. Di mana ada banyak program yang meringankan para pembeli seperti dirinya. Jika terlambat cicilan pun tidak ada akad d
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status