All Chapters of Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku: Chapter 41 - Chapter 50
99 Chapters
Bab 41
Arum dan Kinos menoleh. Wajah wanita yang sangat kucintai itu terkejut. Ah, padahal setiap hari aku melihatnya, namun kenapa aku seperti lama tak melihatnya? Kenapa ia bertambah cantik? "Mas Haris?""Ngapain kamu di sini?" tanya Kinos, sok ikut campur. "Lebih baik kamu diam, karena ini urusanku dengan Arumi." "Tak bisa begitu, lah. Arumi kan-""Calon istrimu?" "Eh?" Aku menoleh pada Arumi yang terlihat terkejut. "Waktu itu, kamu bukannya sudah ke mobil, Mas?" tanya Arum. Aku hanya diam saja. "Jadi kamu mendengar semuanya?" Aku berjalan mendekat padanya, terlihat mata Arumi berkaca-kaca. "Jadi kapan, kamu mau ngasih tahu sama aku kalau kamu hamil? Kalau ada anakku di dalam perutmu?" tanyaku, berusaha menahan tangis. "Rum, sebaiknya kita pulang," ajak Kinos."Sebaiknya kamu pulang, dan kalau kamu tahu diri, sebaiknya kamu pergi. Karena ini tak ada sangkut pautmya denganmu," ucapku. "Iya, Mas, aku hamil anakmu." Air mata itu lolos begitu saja. Bahagia, sedih, dan kecewa, bercam
Read more
Bab 42
Arum hanya diam saja, tapi aku bisa melihat mendung di wajahnya. Ini semua gara-gara Rumi. Aku mendorong kursi rodanya sampai ke teras. Ia terlihat senang, mungkin mengira aku ingin berduaan dengannya. "Kenapa, Mas?" tanyanya dengan senyum lebar. "Kenapa kamu ngomong kaya gitu di depan Arum tadi?" tanyaku pada Rumi. "Memang kenapa, Mas? Aku hanya berusaha mengundangnya ke acara pernikahan kita nanti." "Nggak, ada niat lain pada dirimu. Iya, kan?" Rumi terlihat kegalagapan. Nah, panik kan dia? "Ngga kok, Mas. Kenapa kamu mikirnya jelek gitu ke aku, sih?" "Arum lagi hamil, anakku. Jadi, jangan sampai kamu mempengaruhi kehamilannya, Rum." "Ha-hamil?" tanyanya."Ya," jawabku sambil berlalu meninggalkannya. -Pov Rumi Aku terkejut melihat kedatangan Arum ke sini. Mau apa wanita itu? Kenapa ia bisa datang dengan Mas Haris? Apa mereka datang bersama? Jadi, Mas Haris habis dari rumahnya? Perlakuan Ibu dan adik-adik Mas Haris pada wanita itu sungguh berlebihan. Bahkan Hana, yang pad
Read more
Bab 43
"Apa-apaan ini?" tanya Bunda. Aku gemetar bukan main. Apalagi dihakimi oleh lima orang yang ada di sini. Bagaimana ini? Apa yang harus kulatakan? Ayo, Rumi! Berpikir, laah!"I-itu air biasa kok," ucapku, sambil mengalihkan pandangan. "Air apa, Rum?" tanya Mas Haris. Nada suaranya tegas, tak seperti Mas Haris biasanya. Namun, itu membuatku merinding. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku pun beralasan ingin ke kamar mandi, lalu menutup rapat pintunya. Di dalam kamar mandi, aku berusaha berpikir keras. Alasan apa yang bisa kukeluarkan? Lagi pula, kenapa Hana bisa mendapatkan itu semua? Apa ia merekamku kemarin? Saat aku membuatkan teh manis untuk Mas Haris dan hampir saja dipergokinya? Atau, jangan-jangan dia sudah tahu lebih awal? Dari saat pertama kali dia meminum teh buatanku itu.Setelah mendapatkan jawaban, aku keluar. Kepercayaan diriku yang kubangun di dalam kamar mandi tadi, tiba-tiba menurun begitu saja karena tatapan dari lima orang di hadapanku. Setelah berdehem, aku pun kembali
Read more
Bab 44
Aku segera menggeleng. "Nggak, aku gak pernah melakukan itu. Kamu jangan menuduhku sembarangan, Han." "Ya siapa tahu, kan? Mbak Rumi saja tega kok melakukan hal keji seperti memasukan air pelet dalam minuman Mas Haris. Itu sebabnya, tempo hari aku meminum teh yang dibuatnya untukmu, Mas. Karena menurut laki-laki itu, jika air itu diminum selain oleh Mas Haris, maka akan mental dan berbalik menjadi kebencian untuknya," jawab Hana. Mati sudah aku! "Itu sebabnya, makin hari aku makin enggan melihatmu, Rum." Semua orang meninggalkanku di meja makan. Apalagi Bapak, lelaki itu menatapku penuh dengan sorot kebencian. Tuhan, semoga saja mereka tak mengusirku. Aku mengetuk kamar Mas Haris. Memanggilmya sampai tengah malam, namun tak ada tanda-tandanya ia akan keluar dan menemuiku. "Maafkan aku, Mas. Aku janji, nggak akan melakukan hal begitu lagi. Di dunia ini, aku cuma punya kalian, Mas. Cuma kamu dan keluargamu yang mengerti aku. Tolong, Mas. Maafkan aku." Aku akhirnya masuk ke dalam k
Read more
Bab 45
Kurasakan tubuhku terantuk ke dashboard mobil. Aku meringis, terasa ada yang mengalir di dahi, saat melihat darah, aku sungguh terkejut. Kucoba menoleh pada Mas Haris, namun sulit. Kenapa dengan leherku? Ya Tuhan! Jangan sampai Kau tambah penderitaanku. Apa tak cukup dengan kehilangan tangan dan kaki?Kepalaku berdenyut, hingga terasa seperti otot ditarik lalu semuanya, gelap. --Pov Arum.Aku akhirnya memutuskan untuk jujur pada Mas Haris, bahwa aku memang hamil anaknya. Toh sampai kapan aku akan menyembunyikan semua ini darinya? Ibu dan adik-adik iparku pun pada senang, kalau Bapak belum tahu karena kemarin memang tak ada di rumah. Aku menghela napas, mengingat raut wajah Rumi yang sama sekali tak menyiratkan kesenangan. Tentu, siapa yang bakal senang dengan kabar kehamilan dari mantan istri calon suaminya? Seandainya bisa, mungkin ia akan mengatakan itu di hadapan Mas Haris atau Ibu. "Keputusan Arum sudah benar kan ya, Bun?" tanyaku pada Bunda saat tengah minum teh bersama di
Read more
Bab 46
Malam hari. Aku mengerutkan kening karena mendapati pesan dari Rumi. Kupikir, wanita itu sudah mengganti nomor ponselnya karena tak pernah terlihat status yang ia buat. Apa aku disembunyikan? Yah, gak rugi juga, sih. Aku pun segera membukanya, namun semenit kemudian aku menyesal karena telah membuka pesan itu. Isinya berupa sumpah serapah. Bahkan yang membuatku terkejut, ia menyumpahi anakku! Sengaja tak kubalas pesannya, malah kuteruskan pesan itu pada Mas Helmi, supaya ia bisa membacanya. Selama ini aku diamkan, kupikir ia akan bertambah dewasa. Nyatanya, ia malah semakin seperti anak kecil dan kini malah keterlaluan. [Ajari calon istri tersayangmu itu. Jika memang dia takut kamu aku rebut, maka aku tak akan pernah mengganggumu lagi, Mas. Anggap tadi pertemuan kita yang terakhir!] Setelahnya kumatikan ponsel, lalu mencoba untuk memejamkan mata meski terasa susah. --Esok hari. Aku dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tua Kinos. Kami sudah lama tak bertemu, dan kini terasa
Read more
Bab 47
"Mas!" Aku bernapas lega saat melihatnya tengah makan jeruk. Astaghfirullah, Mas Haris! Ibu, di sebelahnya hanya senyam-senyum menatap kami. "Ibu, bikin kaget saja," ucapku sambil meletakkan tas di sofa. "Hehehe, Ibu cuma ngetest aja, ternyata kamu masih peduli dengan mantan suamimu," ucap Ibu dengan tatapan yang membuatku salah tingkah. Bunda datang terakhir karena tadi sempat ke toilet dulu. Beliau menghampiri Mas Haris dan memukul lengannya. Yang dipukul malah terkekeh. "Kok bisa kecelakaan, sih?" tanyaku. "Rumi bikin ulah." Ngomong-ngomong rumi, ke mana dia? Kok gak kelihatan? Ingin bertanya, tapi ragu. "Ruminya gimana?" tanya Bunda. "Ada luka di kepalanya, tapi ga parah. Ada di ruangan sebelah. Tadinya minta disatukan aja ruangannya. Gimana pun, Ibu juga khawatir kalau dia sendirian. Tapi gak lama kemian, keuarga datang dan bilang mau di ruangan sebelah aja. Jadi ya udah." Aku hanya manggut-manggut saja. Mas Haris terus memperhatikanku hingga membuatku salah tingkah. "
Read more
Bab 48
"Ya seperti ucapanku tempo hari. Aku mendengar semuanya, Rum." "Iya, tapi kamu nggak mendengar semuanya." "Kamu bilang iya, kok." "Iya, aku minta maaf, tapi aku butuh waktu untuk berpikir," jawabku. "Kamu jawab begitu?" tanyanya. Aku mengangguk, ya memang begifu. Memangnya apa lagi? "Jadi, masih ada kesempatan buat aku?" Aku terdiam. Kesempatan? Menurutku, setelah kami bercerai, kesempatan itu tidak ada. Entah, aku tak berpikir untuk menjalin hubungan dengan seseorang akhir-akhir ini. "Aku mau fokus lahirin anak dan membesarkannya, Mas. Kalau untuk menjalin hubungan lagi, kayaknya aku belum siap." "Meski sama aku?""Di samping aku masih dalam masa iddah, aku juga masih kepikiran dengan pernikahan kita yang lalu." "Kamu belum memaafkanku?" "Bukan begitu. Aku sudah memaafkanmu dari jauh hari.""Apa aku sudah tidak ada di hatimu?" Aku menggeleng. Bukan, bukan itu. Ada alasan yang susah untuk aku jelaskan. "Kenapa kamu tidak bisa memberi kesempatan buat aku, Rum? Untuk menebu
Read more
Bab 49
"Papa!" teriakku. Aku menoleh pada orang yang telah menyelamatkanku. "A-Arum?" Aku terkejut saat ia malah membuat Papa tergeletak di bawah. "Rum, gimana ini? Aku cuma mau membantumu saja. Aku cuma menggeser badannya, tapi kenapa papamu malah begini?"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku. "Itu bukan pertanyaan yang tepat untuk sekarang. Ini bagaimana?" tanya Arum. Aku hanya mengedikkan bahu. Aku sungguh tak peduli pada lelaki yang tengah pingsan itu. Bagus kalau dia mati sekalian. Tapi mana ada orang yang langsung mati dengan sekali dorong? "Aku cari bantuan dulu," ucap Arum. Aku hanya diam saja. Memandanginya yang keluar untuk mencari pertolongan, lalu kembali lagi beberapa saat kemudian. Aku sendiri hanya melihatnya tanpa mau membantu. Beberapa perawat lelaki masuk dan menggotong Papa serta meletakkannya di ranjang sebelahku. Tak lama kemudian, Dokter datang dan memeriksanya. Saat kuperhatikan, raut wajah lelaki itu justru sedikit terkejut. Mama kembali setelah membeli sesutu di l
Read more
Bab 50
Sampai di kamar, ternyata sudah ada Arum. Wanita itu, sejak aku masuk ke rumah sakit, tak pernah absen mendatangi kamarku. Meski sudah kularang untuk datang. "Sini, Rum. Kita makan bareng." "Nggak usah sok baik," ujarku sambil melengos, lalu memutar roda ke dekat ranjang, dan berusahan keras untuk pindah karena ranjang tinggi, sehingga menyusahknku untuk naik. "Siapa yang sok baik, sih? Aku cuma mau nemenin kamu makan siang. Tadi suster sudah datang bawakan makan siangmu. Aku juga sudah beli di bawah. Ayo, makan bareng," ucapnya. "Rum, ini aku Rumi, loh.""Loh, yang bilang kamu Rumono itu siapa? Sudah, ayo makan." Aku menerima sendok pemberiannya, sambil terus menatapinya. Ia tulus, atau ada niatan yang terselubung?"Enak juga makanan di kantin." "Rum," ucapku setelah menelan nasi. "Hem?" "Kamu, kenapa baik sama aku?" tanyaku."Maksudnya?""Aku ini sudah jahat sama kamu, loh. Kenapa kamu baik? Apa kamu punya niat terselubung sama aku?" tanyaku yang membuat Arum mendelik. "Aku
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status