Semua Bab Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci: Bab 11 - Bab 19
19 Bab
Bab 11
Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk
Baca selengkapnya
Bab 12
Aku bergegas naik ke lantai dua indekos, sepulang dari membeli sarapan di warung nasi uduk di ujung gang yang masuk ke jalan raya. Hal utama yang memenuhi pikiranku saat ini adalah balasan pesan dari Nathan. Berharap, laki-laki itu sudah merespons pesanku setelah ponsel kutinggal di kamar kos sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu, agar aktivitasku membeli nasi uduk tidak terganggu dengan terus menekan tombol power di ponsel setiap waktu. Rasanya aneh dan menggelikan, hanya demi mengecek pesan dari Nathan, rela menyibukkan diri dengan hal yang di luar kebiasaan itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah sedikit pun. Saat kaki sudah beberapa langkah sampai di lantai dua, terdengar panggilan yang tidak asing di telingaku. Aku hanya meminggirkan tubuh sedikit mepet ke besi pegangan teras, sambil menunggu Nanda karena terus memanggilku beberapa kali. Gadis itu nampak tergopoh-gopoh menaiki tangga demi secepatnya sampai ke hadapanku. “Ranum, kok, kam
Baca selengkapnya
Bab 13
Perbincanganku dengan tante Sintia yang berlangsung hampir setengah jam itu kututup dengan salam setelah ibu dari Nathan itu pamit lebih dulu. Aku kembali meletakan ponsel ke tempat semula, di atas kasur busa berlapis seprei bermotif Hello Kitty berwarna hijau daun. “Terancam gagal, deh, rencanaku,” gumamku kesal usai satu kali helaan napas kasar kuhempaskan. Kutinggalkan sejenak nasi uduk yang masih bersemayam di dalam kantong keresek berwarna hitam beserta kerupuk udang di sana. Rasa heran bercampur kesal membuat kemalasan menghampiri yang semakin mendukung tubuh ini untuk kembali merebah di sebelah ponsel. Bantal guling dalam pelukan yang tak mengerti apa-apa ini pun ikut menjadi korban atas luapan kegemasanku pada laki-laki bernama Nathan itu. Selain kuremas-remas kasar, kepalan tanganku juga beberapa kali mendarat pada benda itu, hingga berakhir dengan terlempar jauh setelah kutendang. Tak tertinggal pula dengan beberapa kata menjengkelkan yang selalu kulontarkan setiap kali
Baca selengkapnya
Bab 14
“Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k
Baca selengkapnya
Bab 15
“Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama
Baca selengkapnya
Bab 16
Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser
Baca selengkapnya
Bab 17
Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri
Baca selengkapnya
Bab 18
“Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku
Baca selengkapnya
Bab 19
“Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status