Semua Bab AKU TANPAMU: Bab 31 - Bab 40
152 Bab
31
Seminggu setelah pulang dari Bandung, Mas Fahry masih diberi waktu untuk beristirahat di rumah, meski ia sering sekali menerima telepon dari bawahannya bahkan beberapa kali rekan kerjanya datang ke rumah kami untuk membahas masalah pekerjaan. Sesekali dalam percakapan mereka aku mendengar nama Nasya disebut. Aku tau, Nasya merupakan salah salah satu arsitek yang menjadi bawahan Mas Fahry, maka aku menganggap wajar namanya disebut-sebut dalam percakapan mereka. Meski Mas Fahry sesekali melirik padaku saat nama Nasya disebut.Hingga aku mendengar salah satu percakapan Mas Fahry dengan rekannya saat aku hendak mengantarkan minuman pada tamu Mas Fahry.“Lu beneran kecelakaan bareng Nasya di Bandung kemarin, Bro?”“Ssstt. Jangan nyaring-nyaring, aku enggak enak kalau istriku dengar.”“Yeile, jadi beneran. Lu belum bisa move on dari Nasya? Terus istri lu belum tau kalau lu ke Bandung bareng Nasya?”“Bukan gitu, Roy. Gue kemarin cuma niat mau ngantarin dia ke Bandung, enggak taunya malah ke
Baca selengkapnya
32
Berada di rumah orang tuaku membuatku sedikit melupakan masalahku. Keceriaan Khanza saat bercanda dengan ayah dan ibuku membuatku tersenyum. Sedangkan Nilam sedari tadi kulihat hanya beberapa kali keluar dari kamarnya lalu kemudian masuk kembali dan menutup rapat kamarnya. Padahal biasanya jika ada Khanza, adikku yang masih kuliah di semester 5 itu akan mengajak Khanza keliling-keliling dengan motor maticnya.Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor Mas Fahry serta beberapa pesan yang belum terbaca juga dari nomornya ketika aku meraih ponselku yang sedari tadi hanya kuletakkan di atas meja di dalam kamarku.[Tania kamu kemana? Kok enggak pamit?][Khanza ikut kamu, kan?][Kata Ibu kamu izin mau nginap di rumah ayah? Kenapa enggak bilang sama aku?][Tania, kamu baik-baik saja, kan? Kenapa tiba-tiba pergi? Apa aku ada salah?]Ada jeda sekitar 30 menit dari pesan terakhirnya saat Mas Fahry kembali mengirimkan pesan.[Tania, kamu mendengar obrolanku dengan temanku tadi?][Ya Allah! J
Baca selengkapnya
33
“Astaghfirullah! Pantas saja dia mengajakmu ke hal-hal yang buruk, Dek. Bersyukurlah sekarang kamu bisa lepas darinya. Apalagi jika ia masih terikat pernikahan dengan istrinya.”“Tapi ... tapi hati Nilam sakit, Mbak.”Kuacak-acak rambut gadis yang sedang beranjak dewasa itu.“Nanti juga sakit hatinya sembuh sendiri oleh waktu, Dek.” Aku berusaha menghiburnya namun gadis itu justru semakin terisak-isak. Kubiarkan Nilam mengeluarkan emosinya, kupikir itu lebih baik dari pada ia kembali pada laki-laki yang sudah beristri itu.Aku memutuskan akan kembali ke rumah ibu mertuaku hari ini, meski sebenarnya aku masih sangat malas untuk bertemu Mas Fahry dan kembali terlibat perdebatan dengannya. Namun, aku juga tak ingin menambah beban pikiran ayah dan ibuku jika aku berlama-lama di sini, apalagi sudah ada masalah Nilam yang juga membebani pikiran ibu.Pagi-pagi sekali aku meminjam motor Nilam, aku ingin mengunjungi makam Mas Farhan dulu sebelum pulang ke rumah. Kutitipkan Khanza pada Nilam ke
Baca selengkapnya
34
“Ayah!!" Khanza berseru girang saat melihat Mas Fahry turun dari mobilnya.Aku sendiri tak menanyakan sejak kapan ia membawa mobil dengan logo perusahaannya itu. Mungkin karena mobilnya masih di Bandung setelah kecelakaannya kemarin jadi Mas Fahry menggunakan fasilitas kantornya. Yang kudengar dari pembicaraannya dengan Gibran waktu itu, mobilnya masih berada di bengkel di bandung, dan Gibran lah yang mengurus semuanya.“Halo anak Ayah, sini peluk dulu.” Mas Fahry menyambut tubuh mungil Khanza yang berlari menghampirinya. Lalu seperti biasa, mereka saling melakukan gerakan toss yang hanya mereka berdua yang hafal gerakannya.“Khanza kok ninggalin ayah, sih. Ayah kesepian tauk sendirian di rumah.” Masih kudengar Mas Fahry mengajak putriku ngobrol.Sejujurnya aku selalu merasa bahagia melihat kedekatan mereka berdua. Khanza tak pernah kehilangan kasih sayang seorang ayah, meski Mas Farhan, ayah kandungnya, sudah meninggalkannya bahkan sebelum ia lahir. Kasih sayang Mas Fahry untuk Khanz
Baca selengkapnya
35
“Bagaimana kalau ke Bandung?” Entah kenapa aku tertantang untuk kembali memancingnya.Kulihat Mas Fahry mencengkeram setir mobilnya, buku-buku tangannya terlihat memutih akibat cengkraman kuatnya pada setir. Kurasa ia sedang menahan emosinya.“Harus bagaimana lagi aku meminta maaf padamu, Tania? Apa kesalahanku kemarin benar-benar tak bisa untuk dimaafkan lagi?”“Bagaiamana aku bisa memaafkanmu jika kenyataannya semakin ke sini semakin banyak bukti kebersamaanmu dengannya yang membuat hatiku sakit, Mas? Bagaimana aku bisa mengabaikan percakapanmu dengan rekanmu waktu itu yang mengatakan Nasya punya bukti foto-foto saat kalian bersama di puncak? Lalu saat kamu dengan penuh perhatian menanyakan kabarnya lewat telepon tadi? Yang mana yang harus kupercaya, Mas?”Lelaki itu menelan salivanya beberapa kali. Jakunnya terlihat bergerak naik turun. Aku melirik sekilas padanya, kulihat rambut-rambut halus mulai tumbuh tak beraturan di sepanjang rahangnya. Biasanya akulah yang rajin membersihkan
Baca selengkapnya
36
“Gimana kabar orang tuamu, Nak?” tanya ibu ketika aku membantunya di dapur.“Ayah dan ibuku baik, Bu.”“Tania, kalau suamimu manja harap dimaklumi, ya. Cara pikirnya memang tak sematang almarhum Farhan, mungkin karena Fahry anak terakhir dan selalu dituruti Farhan kemauannya.”Aku menautkan alis mencari apa maksud di balik kalimat ibu.“Kenapa bilang gitu, Bu?”“Kemarin saat kamu dan Khanza nginap di rumah ibumu, Fahry malah masuk ke kamar ibu dan minta ditemanin. Katanya ia kesepian karena kalian enggak ada. Saat Ibu suruh menyusul, suamimu malah menangis, Nak. Malah ngomong yang enggak-enggak katanya takut kehilangan Tania. Mungkin kamu perlu menghubungi Nak Gibran lagi, tanyakan apa ada yang salah setelah Fahry kecelakaan. Ibu heran bisa-bisanya ia menangis pada ibu merasa takut kehilangan istri dan anaknya hanya karena kamu dan Khanza nginap di rumah ayahmu.”Aku terdiam. Ibu memang belum tau apapun mengenai keberadaan Nasya di mobil Mas Fahry saat kecelakaan. Maka, aku berusaha u
Baca selengkapnya
37
“Tania ....” Ia menarik tanganku. Posisinya yang saat ini sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamar kami membuat tubuhku langsung masuk ke dalam perangkapnya.Mas Fahry melingkarkan tangannya mengelilingi pinggangku.“Aku rindu Tania yang ceria, bukan yang diam seperti ini.”“Mandi dulu, Mas!”“Mandiin.”“Enggak!”“Kalau gitu bantu rapiin wajahku, ya. Tadi anak-anak di kantor pada negur penampilanku, kata mereka aku seperti baru keluar dari hutan.”Kutatap wajahnya yang dipenuhi rambut-rambut halus.“Baiklah, hanya membersihkan wajahmu.”Ia mengangguk tersenyum.Mata Mas Fahri tak lepas menatapku saat aku sedang berkonsentrasi memegang silet cukur untuk merapikan wajahnya.“I love you, Tania,” bisiknya.“Jangan ngomong, ntar kena silet,” protesku.Lelaki itu memelukku sambil terus menatap wajahku.“Habis ini mandi bareng, ya.”“Aku udah mandi,” jawabku datar.Namun, bukan Mas Fahry namanya jika tak mencari cara untuk menjebakku. Ia sengaja meraih gagang shower dan menyalakannya, se
Baca selengkapnya
38
“Dulu gue dan Nasya pisah bukan karena keinginan kami, Gib. Tapi karena tak mendapat restu orang tuanya. Saat kami kembali bertemu, gue enggak bisa memungkiri rasa yang udah gue kubur dalam-dalam kembali naik ke permukaan. Apalagi Nasya sekarang lebih agresif, tapi gue sadar gue udah punya Tania dan gue cinta banget sama istri gue.”“Terus?”“Lo tau Nasya kan, Gib? Bagaimana kerasnya dia. Dia enggak percaya kalo gue secepat itu jatuh cinta ama Tania. Dia pikir gue hanya kasihan padanya dan Khanza karena ditinggal Mas Farhan. Nasya enggak percaya kalau posisinya di hati gue bisa segampang itu tergantikan oleh Tania. Jadi ... jadi dia terus saja mepetin gue. Lo bayangin enggak sih, cewek yang dulu pernah dekat ama lo, pernah ada di hati lo, pernah punya hubungan yang sangat dekat dengan lo, tiba-tiba kembali ke hadapan lo, menggoda lo dan menawarkan dirinya secara terang-terangan. Secinta-cintanya gue ama Tania, gue masih lelaki yang sangat normal.”“Asem! Jadi lo ama Nasya ....”“Engg
Baca selengkapnya
39
Ponsel Mas Fahry masih berada dalam genggamanku ketika mereka berdua menghampiri kursi di mana aku sedang duduk.“Khanza haus, Bunda,” ucap putriku, kusodorkan sebotol minuman padanya.Kulihat Mas Fahry melirik sekilas ke arah ponselnya. Bisa saja aku menghapus pesan-pesan Nasya tadi dan pura-pura tak membuka ponselnya, karena selama ini aku memang tak pernah ikut campur apalagi membuka-buka ponsel Mas Fahry. Hanya saja kali ini aku harus berterus terang padanya, aku ingin melihat sejauh mana reaksinya. Maka aku bisa menyimpulkan sejauh mana keseriusannya menyelesaikan masalah ini.“Maaf, Mas. Tadi Nasya mengirim pesan dan aku membukanya karena penasaran. Mas Fahry boleh memarahiku untuk itu,” ucapku padanya saat Khanza tengah menghampiri badut yang berada beberapa meter dari kami.Ia diam. Hanya kembali melirik ponselnya.“Ini. Sekali lagi maaf sudah membaca pesannya. Jika Mas Farhry keberatan ....”“Nggak, Tania! Aku nggak keberatan. Kamu mau balas pesannya juga aku enggak akan kebe
Baca selengkapnya
40
Hubunganku dan Mas Fahry mulai kembali perlahan-lahan menghangat sepulangnya kami bertiga dari Bandung. Aku sudah mulai menanggapi jika lelaki itu mengajakku bercanda atau tertawa saat ia dan Khanza menggodaku dengan menggelitik pinggangku. Kami pun sudah mulai mengobrol hangat seperti biasa sebelum beranjak tidur, atau bergantian emmbacakan dongeng untuk Khanza saat putri kecilku itu meminta tidur di kamar kami. Khanza memang sering seperti itu, gadis kecil itu memilih bergabung ke kamar kami dan terlelap di sana setelah mendengarkan aku atau ayahnya membacakan dongeng. Kemudian Mas Fahry akan menggendong tubuh mungilnya yang sudah terlelap ke kamar ibu, karena Khanza memang tidur bersama ibu.Itu pula yang terjadi malam ini. Khanza sudah terlelap ditengah-tengah kami setelah ayahnya emmbacakan dongeng. Mas Fahry menatap gadis kecil itu lekat-lekat, kemudian menciumi wajahnya hingga Khanza kembali bergerak-gerak.“Anak lagi tidur kok diganggu sih, Mas,” protesku.“Dia menggemaskan se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status