Semua Bab Kau Peras Peluhku Demi Madu: Bab 81 - Bab 90
168 Bab
81. Berita Datang Sendiri
Pak Amir kulihat menunduk, pria paruh baya itu tidak berani menatapku. Dia tetap diam tanpa banyak kata. Bibirnya bungkam hingga aku ulang pertanyaanku baru lah dia menjawab dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.Aku diam termangu, rupanya wanita itu mengaku bahwa dia bukanlah istri dari Yahya jadi tidak mau membayar pisang yang jelas ada di teras rumahnya itu. Justru dari wanita itulah Pak Amir tahu alamat rumahku. "Jadi wanita itu yang menyuruh Bapak untuk menagih uang pisang sajanjang?" tanyaku untuk lebih yakin lagi."Benar, Bu. Maaf!" balasnya.Aku pun berdiri menuju ke warung untuk mengambil dompetku pribadi. Setelahnya segera kuambil sejumlah uang harga pisang itu dan kuserahkan langsung pada Pak Amir."Terima kasih, Bu. Semoga usaha Ibu lancar, saya permisi!" pamit Pak Amir."Iya, Pak. Sama-sama," jawabku.Pria itu akhirnya meninggakkan warungku, terlihat wajah yang penuh senyum. Aku yang melihat langkahnya penuh semangat menjadi terenyuh. Apakah bapakku juga seperti it
Baca selengkapnya
82. Adam Berangkat
Adam pun melangkah meninggalkan rumah bersama dengan abahnya. Aku hanya menatapnya dengan sendu. Putra sulungku harus menyeberang laut dengan pesawat sendiri guna bertemu calon mertua dan warga sekitarnya.Ada rasa bangga buat Adam, anakku itu sudah bisa memberi tausiah untuk kalangan kecil. Mungkin kelebihan ini yang membuat orang tua Halimah menginginkan menantu yang baik secara akhlak dan rupa. Memang Adam terbilang pemuda yang tampan, aku yang sebagai ibu tirinya saja mengakui jika dia tampan. Selama aku menikah dengan Yahya, kedua anak tiriku selalu mendukungku dalam segala hal. Apalagi jika abahnya sudah berjalan sedikit serong, maka mereka berdualah yang selalu menenangkan kerisauan hatiku. Punggung Adam sudah tidak kulihat lagi, lalu aku pun melanjutkan aktifitas yang lain."Umi, Zahra berangkat diantar siapa?" tanya Zahra."Sudah siapkah? Ayok biar umi yang antar!" ajakku.Kulihat Zahra segera bersiap dengan menggenakan sepatunya, lalu tas dia cangklong pada kedua bahunya. G
Baca selengkapnya
83. Kabar Adam
Aku kembali masuk ke rumah, tapi baru beberapa langkah terdengat suara ponsel berdering. Dan Topan pun meneriaki aku bahwa ada panggilan dari Adam. Gegas aku berbalik badan dan melangkah kembali ke warung."Ini ponselnya, Bu!" kata Topan sambil menyerahkan ponsel itu padaku.Aku menerima ponsel itu, lalu kubawa masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam segera ku dial tombol hijaunya agar tersambung dengan Adam."Hallo, Assalamualaikum, Adam!" kataku mengawali percakapan."Waalaikumsalam, Umi. Adam sudah sampai di bandara, tadi sama abah aku cuma diantar ken terminal bis Madiun lho, Umi. Jadi Abah ndak ikut ke Surabaya." Kalimat itu yang aku dengar langsung dari putraku."Laah, kok sampai jam segini abah kamu belum sampai rumah ya, Dam. Apa yang terjadi?" tanyaku."Nah, Adam gak tanggung jawab lho Umi. Semua sudah Adam kabarkan, semoga si abah tidak lupa jalan pulang lagi!" doa Adam.Aku hanya mengaminkan doa putra tiriku itu. Selanjutnya kami pun saling berbincang hingga pesawat yang aka
Baca selengkapnya
84. Abah Tidak Pulang
"Semoga Abah kamu tidak salah jalan lagi, Zahra!" doaku yang di aamiinkan putriku itu.Aku segera menyuruh Zahra untuk naik ke boncengan karena Topan sudah tiba jam pulangnya. Zahra pun kulihat menganggukkan kepala dan dia juga segera naik."Sudah, Umi!" kata Zahra.Setelah yakin bahwa putriku naik dengan benar, maka kulajukan kendaraanku roda dua. Zahra terlihat lelah seharian berada di sekolah. Aku sebenarnya kasian dengan anak sekolah masa sekarang. Dia berangkat jam 6.45 hingga jam 15.15. Waktu yang sangat panjang untuk anak usia sekolah dasar.Namun, semua itu sesuai kurikulum merdeka yang mengharuskan sekolah full day hingga hari jumat. Untuk sabtu sekolah sudah libur. Aku selalu menyiapkan vitamin penambah daya tahan tubuh. Beruntungnya aku, Zahra anak yang penurut dan tidak banyak membantah."Sudah sampai!" kataku agar Zahra segera turun.Putriku itu tidak segera masuk rumah, dia malah duduk di teras rumah sambil melepas sepatunya. Gadis kecil itu mulai berceloteh menceritakan
Baca selengkapnya
85. Luka Lagi
Aku sudah tidak mau memikirkan kemana dan dengan siapa suamiku bermalam. Kini aku hanya bisa mengadu pada Robb-ku. PadaNya aku selalu mengadu dan berharap yang terbaik untuk rumah tanggaku. Meskipun suamiku sering berpoligami, dia tetap imam yang baik secara agama.Entahlah, begitu sulit aku melepasnya meski beberapa luka berhasil dia torehkan dalam hatiku. Hingga terkadang terbersit sebuah kalimat "kau peras peluhku demi madu", mungkin seperti itu nasibku. Aku yang bekerja setiap hari mulai pagi hingga malam, hasilnya sering digunakan untuk mencari istri lagi oleh suamiku itu.Namun, mengapa semua istri siri si Yahya memiliki latar belakang yang buruk ya. Yang pertama bekas istri kedua orang, lalu bekas penjaja tubuh yang sudah sadar, dan yang terakhir istri orang. Aku pun sampai heran, kok bisa dia bernasib seperti itu.Pengen poligami tetapi status dan derajatnya masih dibawahku. Bukan nya aku menyombongkan diri, tetapi inilah kenyataannya. Nafsu mengalahkan logika, bak seekor bina
Baca selengkapnya
86. Informasi Akurat
Aku terdiam akan ucapan pembeli itu. Pikiranku melayang pada kata wanita cantik itu bagaimana? Kuhempas napas panjang dan sedikit kasar. Kupaksakan agar aku bisa tersenyum merespon kalimat si pembeli."Ini pesanannya sudah siap, Bu!" kataku sambil menyerahkan pesanannya."Wah, terima kasih, Bu. Total semua 190k ya?" tanya ibu itu sambil menyodorkan uang pas."Iya, ini sudah pas ya, Bu. Terima kasih atas kepercayaannya pada kami!" kataku.Dan pembeli itu tersenyum lalu berbalik badan meninggalkan warungku. Aku kembali terduduk di bawah meja sambil melamun. Otakku memutar kembali mengingat apaa yang dikatakan oleh ibu tadi. Sungguh semua diluar kehendakku.Disaat harus mulai menabung untuk persiapan pernikahan Adam, abahnya kembali bertingkah. Aku tidak habis pikir, dimana sih otak Yahya itu. Pusing jika kita fokus memikirkan polah suamiku itu. Tiba-tiba kudengar dering telepon, segera kuangkat dengan menatik ikon hijau pada ponsel."Ah, rupanya dari Adam," lirihku. "Assalamualaikum, S
Baca selengkapnya
87. Berusaha Mengelak
Kulihat pandangam suamiku menghindar dari tatapanku. Zahra yang melihat abahnya tidak segera menjawab tanyaku semakin bingung. Gadis kecilku itu kembali menyentuh dahi abahnya."Lho, kok tiba-tiba sudah dingin ya!" kata Zahra heran.Aku juga bingung saat mendengar apa yang dikatakan oleh putriku. Sekali lagi kutatap manik cokelat terang milik Yahya dan lelaki itu kembali menghindar menatap ke arah Zahra. Dia meraih tangan putrinya untuk dicium."Abah tidak apa, Sayang. Sudah sana segera ganti baju lalu mandi sekalian biar badan segar!" ujar Yahya pada Zahra.Memdengar kalimat Yahya untuk Zahra, aku semakin penasaran sebenarnya apa yang disembunyikan oleh suamiku selama ini. Selama dia mulai membuka lapak baru. Mungkinkan lapak tersebut untuk usaha istri mudanya yang lain? Berbagai tanya muncul di otakku.Kulihat Zahra langsung menjalankan apa yang dikatakan oleh abahnya. Gadis kecil itu pun berjalan menuju ka kamar mandi meninggalkan kami berdua. Ini kesempatan bagiku untuk membahas m
Baca selengkapnya
88. Hati Ingin Sembuh
"Kok sudah tutup lho, Umi?" Kudengar suara Yahya yang sudah berdiri di belakanku." Aku sudah capek dan lelah, Bi," jawabku."Iya sudah, tutup saja!" respon Yahya.Aku pun segera membersihkan semua barang yang berserakan. Setelah semua terlihat bersih dan rapi, aku pun masuk ke rumah. Setelah di dalam segera ku ambil wudlu dan salat mahgrib berjamaah dengan Zahra. Sedangkah suamiku dia pergi ke masjid."Umi, Zahra langsung tidur ya, rasanya lelah sekali!" pinta Zahra.Aku menyarankan agar dia membongkar tasnya untuk diisi dengan jadwal esok hari. Zahra pun mengangguk menyetujui sasanku. Setelah melepas mukena dan meletakkan kembali sesuai tempatnya, Zahra langsung menuju meha belajarnya. Aku melipat kembali mukena dan meletakkan pada tempatnya. Setelah melakukan salat kulihat Yahya sudah duduk di kursi malasnya. Aku melewatinya begitu saja tanpa berkata sedikitpun ingin menguji sejauh mana empati yang dia miliki atas tubuh ini.Meski lelah dan ingin segera memejamkan mata, aku tidak
Baca selengkapnya
89. Belajar Iklas
Akhirnya aku melangkah meninggalkan suamiku dengan kesakitan di hati. Begitu sakitnya melihat suami yang masih tidak memedulikan semua kebutuhan keluarga, yang dia pedulikan hanya kemalasan saja. Sering dia mengeluh badannya sakit semua, iya mana tidak sakit jika badan itu dia biarkan terus tanpa berniat untuk melatihnya bergerak. Bahkan sejak warung ayam bakar mulai memiliki omset yang lumayan lelakiku itu semakin malas buat menjalankan dakwah. Biasanya meski dia tidak berdakwah selalu ada saja yang menyuruhnya untuk menjadi imam di masjid tertentu. Namun, sejak peristiwa dilabrak oleh saudara sepupuku itu lah kariernya sebagai seorang ustad tercemar. Dalam kegundahan hati, kurebahkan tubuhku yang lelah di sebelah Zahra."Sayangnya umi, mimpi indah ya. Semoga bahagia selalu menyertaimu!" Kupanjatkan doa terbaik untuk Zahra.Sungguh semangatku hanya Zahra, karena hanya dia yang aku punya selain saudaraku yang lain. Semoga semua menjadi baik dam sesuai dengan ridho-Nya. Lama kelamaa
Baca selengkapnya
90. Lelahku Semoga Menjadi Lillah
Semakin hari penjualan ayam bakar makin bertambah. Apalagi hari pernikahan Adam semakin dekat. Aku bersyukur Allah memberikan jalan yang terbaik atas masalahku meski aku harus bersusah lebih dulu. Semua berusaha kujalani dengan iklas tanpa mengeluh.Sesuai pesananku, ayam mentah pun dikirim oleh Pak Roni sebanyak 25 ekor. Samuel dan Topan menjadi saling pandang dengan jumlah ayam mentah yang aku pesan. Aku hanya tersenyum melihat tatapan kedua karyawanku itu."Sudah jangan saling pandang seperti itu, segera kerjakan saja. Semoga jualan kita semakin ramai!" kataku."Aamiin," jawab mereka berdua.Selanjutnya mereka berdua terlihat kompak dalam melakukan pekerjaan tanpa ada saling salah. Aku tersenyum bahagia dengan melihat keakraban dan kerukunan kedua keryawanku itu. Bahkan mereka berdua saling kerja sama tanpa adanya perbedaan.Mereka berdua mempersiapkan ayam rebus dan aku mulai membungkusi sambal dan lalapan. Topan sesekali melempar guyonan ala pelawak Precil yang lumayan diminati p
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
17
DMCA.com Protection Status