All Chapters of ISTRI LUGU MANDOR TAMPAN: Chapter 21 - Chapter 30
277 Chapters
21. Meminta Penjelasan
Aku memilih untuk mengitari sekeliling pantai Saba terlebih dahulu daripada mengikuti tawaran Rina yang lain saat dia berniat untuk mengantarkan aku ke Ubud melihat pentas seni yang kemudian dilanjutkan berbelanja di salah satu pasar rakyat. Aku berjalan sendirian dengan kaki telanjangku langsung menapak di atas pasir Pantai Saba yang berwarna hitam. Vila yang kami tempati sekarang berada dekat dengan wilayah pantai yang pemandangannya terlihat sangat eksotik di mataku. Hembusan angin pantai aku biarkan membelai dengan lugas pada wajah dan hijabku yang sekarang mulai ikut berterbangan mengikuti arah pergerakan angin, seakan mempermainkan seluruh diriku seperti juga hatiku saat ini yang menjadi terombang-ambing dalam segala keadaan yang saat ini masih sulit untuk aku mengerti. Setelah beberapa lama berpikir, aku merasa berhak untuk mengetahui segala hal tentang suamiku, tentang Mas Bara yang ternyata
Read more
22. Harus Selalu Percaya
“Kenapa kamu tak berterus terang sedari awal padaku, Mas?” sergahku yang semakin tak bisa menahan diri lagi. Nyatanya Mas Bara masih bisa begitu tenang saat menghadapi kekesalanku. Wajahnya tetap menampakkan gurat kelembutan yang benar-benar membuat dadaku terasa sangat membuncah. “Katakan padaku siapa kamu sebenarnya Mas?” desakku lagi menjadi kian terbawa emosi bahkan aku mulai memukuli dada bidangnya yang hanya dia biarkan saja tanpa berusaha mencegahku. Mas Bara seakan ingin memberikan aku kesempatan untuk meluapkan segala emosiku. “Kenapa kamu membohongi aku?!” Aku semakin kesal saat Mas Bara masih saja menguarkan ketenangannya. Pukulanku pada dadanya menjadi semakin intens yang membuatnya akhirnya harus menahan kedua tanganku. Aku menjadi memberontak kian keras. Aku semakin tak bisa menahan kegera
Read more
23. Tak Bisa Bersenang-Senang Bersama
Jelas aku mendengar Mas Bara menyebut nama ‘Lina’ sembari terus berlalu pergi hanya demi bisa menerima panggilan itu secara lebih pribadi. Aku yakin aku tidak salah dengar, bukan Rina tapi Lina karena saat ini asisten pribadi yang ditunjuk Mas Bara untuk melayani semua keperluan itu bahkan masih berdiri tak jauh dari meja makan tempat aku menghabiskan sarapanku saat ini. Aku tak bisa menutupi gelisahku, dengan hati memendam rasa ingin tahu tentang siapa wanita bernama Lina itu juga apa hubungan wanita itu dengan suamiku. Tapi sebelum aku terseret kian jauh dengan berbagai prasangka, beberapa jeda berikutnya Mas Bara kembali muncul dengan gurat wajah yang menampakkan kegeraman. Meski hanya sekilas terlihat karena segera berganti dengan senyuman lebar saat memandangku, aku malah semakin tak bisa menghempaskan rasa penasaranku. Ingin aku bertanya, tapi aku menahan diri, karena aku tak mau me
Read more
24. Tak Terbiasa Berfoya-foya
Rina menjadi sangat serba salah saat memandangku. “Aku belum genap 18 tahun Mbak Rina, kemarin pas aku nikah sama Mas Bara aku masih 17 tahun, baru lulus SMA, kedengarannya aku menjadi sangat tua gitu kalau Mbak Rina manggil aku Nyonya Muda. Lagipula aku ini cuma orang desa Mbak Rina, aku bukan orang kaya juga, dan keluargaku juga keturunan ningrat, rasanya semua itu berlebihan Mbak.” Aku mulai mengutarakan semua yang mengganjal di hati pada asisten pribadiku itu. “Tapi Tuan Richard akan menegurku kalau aku memanggil Nyonya Muda dengan sebutan yang lain, maaf aku tidak bisa melakukannya.” “Tapi sekarang kan nggak ada Mas Bara di sini. Cuma ada Mbak Rina sama sopir dan dua orang pengawal saja. Padahal aku pengen kita bisa berteman karena aku di sini nggak punya teman. Mbak Rina mau kan jadi temanku?” Aku mulai menawarkan pada sosok yang selalu t
Read more
25. Bukan Bulan Madu Yang Sebenarnya
Mendengar panggilan Rina yang kembali sangat formal padaku aku menjadi sangat ganjil. Terlebih Rina dan kedua orang pengawalku bergegas menggiringku untuk segera masuk ke dalam mobil yang dengan segera sudah disiapkan di depan pelataran tempat perbelanjaan itu, yang membuat aku menjadi bertanya-tanya. “Kenapa tergesa-gesa seperti ini Mbak Rina?” tanyaku masih saja merasa janggal dengan sikap semua orang sekarang. “Tidak apa-apa Nyonya Muda.” “Kamu kok manggil aku gitu lagi sih Mbak?” “Maaf, karena sebentar lagi kita akan bertemu dengan Tuan Richard jadi aku harus kembali menjaga sikapku, maafkan aku Nyonya Muda.” Aku langsung mendesah kecewa, lalu lebih memilih diam karena nyatanya suasana sekarang menjadi sangat membuatku tak nyaman karena semua tampak tegang seperti sedang ingin menghindari sesuatu yang sama sekali tak aku ketahui
Read more
26. Kembali Meminta Percaya
“Apa telah terjadi sesuatu Mas?”        Aku semakin tak bisa menutupi kegusaranku terlebih saat aku melihat ekspresi wajah Mas Bara yang semakin serius. “Kamu harus ke Surabaya hari ini,” tegas Mas Bara sembari memberi aku isyarat untuk duduk di sisinya dengan tepukan pelan pada sisi sofa yang masih lapang. Meski aku terperangah kaget tapi menuruti saja apa yang dikehendaki suamiku untuk duduk di sisinya. “Apa Mas juga akan pergi sama aku?” Aku tak bisa lagi menahan rasa ingin tahuku. “Tidak, tapi Rina, Damian dan Dony yang akan mendampingi kamu. Hamdan juga sudah mengatur segala urusan kamu di Surabaya.” Aku langsung mengernyit jengah ketika mendengar ucapan Mas Bara. “Jadi aku akan pergi sendiri?” &ldq
Read more
27. Di Luar Ekspektasi
Aku memandang nanar pada awan yang berarak yang tampak sangat jelas terlihat dari balik jendela pesawat yang aku tumpangi. Ini adalah pengalaman keduaku menaiki burung besi yang sekarang sedang membelah langit Bali. Berbeda dengan kemarin saat aku menaikinya bersama Mas Bara, hari ini hatiku dipenuhi dengan kegusaran juga kesedihan yang tak bisa aku tampik. Tak ada bahagia yang meraja karena saat ini kami bahkan terpisah jarak dan waktu. Mas Bara dengan begitu lugas meminta aku untuk pergi, tanpa dirinya. Tapi selalu saja aku tak memiliki daya untuk bisa tetap tinggal bersamanya. Belum lagi dengan segala misteri Mas Bara yang semakin membekapku dengan banyak tanya. Semakin aku tahu semakin aku tak bisa memahami. Bahkan fakta tentang suamiku yang ternyata seorang Tuan Muda dari keluarga Taipan kaya raya, benar-benar tak bisa aku telaah dengan nalar. Semua keistime
Read more
28. Terlalu Berlebihan
Seorang wanita yang aku taksir usianya sebaya dengan Rina, langsung menyambutku ketika kami mulai memasuki ke dalam rumah besar itu, bersama dengan sekumpulan pelayan yang semua memberikan penghormatan padaku dengan sangat keterlaluan. Jelas aku merasa semua ini begitu berlebihan. Bahkan sampai sekarang aku merasa tetap seorang gadis desa dengan pengetahuan yang serba terbatas. Kehidupan seperti ini terlalu jauh dari ekspektasi yang malah membawaku ke dalam kebingungan yang akut. “Selamat datang Nyonya Muda,” ucap wanita itu. Aku membalasnya dengan segaris senyuman canggung. Tapi sikapnya selalu terlihat formal yang membuatku malah tak nyaman. “Mari aku tunjukkan kamar utamanya,” ucap wanita itu lagi mulai menawarkan bantuan padaku. Aku menoleh sejenak pada Rina tapi wanita berpenampilan modis itu malah menganggukkan kepalanya.
Read more
29. Pemandangan Indah
“Lain kali hati-hati Mbak.” Suara seorang pria langsung menyadarkan aku yang tengah fokus memungut berkas-berkasku yang tercecer. Aku mulai melirik kepada lelaki berkaca mata di dekatku yang ternyata juga sedang melakukan hal yang sama. Pria berpenampilan rapi itu pada akhirnya menyerahkan kertas-kertas itu padaku. Sejenak aku merasa dia memindaiku sembari menyunggingkan senyumnya. “Terima kasih,” ucapku sembari menerima berkas-berkas itu dengan cepat. Aku hanya sekilas memandangnya tapi kemudian memilih segera pergi karena merasa Rina dan lainnya sudah menungguku terlalu lama, terlebih gawai di dalam tasku sudah mulai berdering. Aku harus mempercepat langkahku mengabaikan tatapan pria berpenampilan rapi itu yang sekarang bahkan aku rasa seakan sedang mengikutiku dengan tatapannya. Sesampainya
Read more
30. Gelang Berharga
Kini aku baru paham ketika Dania menyebut tentang pemandangan paling indah. Ternyata dia adalah dosen pria berkaca mata yang memiliki garis wajah yang menegaskan sebuah ketampanan khas juga kesan intelek yang lugas karena kacamata yang dipakainya. Aku menelisik sosok yang sudah mulai menghadapkan seluruh dirinya ke arah kami para mahasiswanya yang sudah mulai mengambil tempat duduk masing-masing. Sejenak aku merasa tidak asing dengan sosok itu, meski aku tak bisa mengingat dengan pasti siapa sosok yang sekarang aku rasa seperti sedang memindai ke arahku yang membuatku sedikit gugup dan langsung memalingkan muka. “Selamat pagi semua, perkenalkan aku Ragil Mahesa aku dosen untuk mata kuliah Psikologi Pendidikan, aku harap kita bisa selalu melakukan timbal balik yang baik selama proses pembelajaran di kelas. Jadi aku tidak suka dengan mahasiswa yang tidak memberikan atensi ....” Pria berkuli
Read more
PREV
123456
...
28
DMCA.com Protection Status