Share

Bab 7

Sosok bayi itu tiba-tiba saja tergantung di antara pintu kamar Alina yang terbuka. Wajah bayi itu lalu menoleh ke arah gadis itu dan kedua matanya mendadak terbuka. Terdengar tawa yang mengerikan dari balita berusia satu tahun itu.

Sosok bayi tersebut bahkan tertawa lalu menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi dengan suara mengerikan yang langsung membuat bulu kuduk si pendengarnya meremang.

Alina langsung menutup daun pintu itu dengan keras. Ia segera menuju ke atas ranjang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Pikirannya benar-benar kacau. Dia merasa sangat ketakutan. Akan tetapi, ia tak mungkin berlari ke kamar Tante Maya dan menceritakan hal tersebut.

Gadis itu yakin kalau Tante Maya tak akan percaya dengan cerita hantu. Wanita itu malah akan menganggapnya gila. Tubuh gemetar itu masih meringkuk di balik selimut. Ia coba pejamkan kedua mata lentiknya itu tanpa berdoa.

"Kumohon, tolong jangan ganggu aku," lirih Alina. Bibirnya gemetar dengan wajah pucat pasi sebelum akhirnya ia paksakan kembali kedua matanya terpejam. Ia mengubah posisinya menjadi telentang. Sampai akhirnya ia tertidur.

Keheningan malam tercipta, hanya suara detak jam dinding yang terdengar kala itu. Sesekali suara binatang malam terdengar mewarnai sunyinya malam kala itu.

Pukul satu dini hari, perlahan-lahan selimut yang gadis itu gunakan untuk menutupi dirinya bergerak turun. Seperti ada sesuatu yang menarik selimut gadis itu agar terlepas dari tubuhnya. Hawa dingin ruangan yang menggunakan air conditioner itu makin terasa dingin.

"Kok, dingin banget ya?" Alina sampai tersadar dari tidurnya seraya mengusap kedua bahunya. Ia merasa tubuh rampingnya makin menggigil. Ia meraba tubuhnya sendiri dan mendapati tak ada selimut yang menutupi tubuhnya.

Alina mencoba memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Ia menarik selimut bermotif bunga matahari dengan dasar warna hijau itu. Namun, keanehan langsung terasa. Selimut itu perlahan bergerak seolah ada yang menarik dan bersembunyi di sisi ranjang.

Gadis itu buru-buru menyalakan lampu kamar di atas meja kecil yang terletak di samping kasurnya. Tak ada apapun di sana. Iris cokelat miliknya memberanikan diri berkeliling mengamati ruangan kamar itu.

Alina kembali menarik selimutnya. Tangan kanannya mengarah mematikan lampu tidur di sisi ranjangnya. Tiba-tiba, wajah pucat Kaila hadir di hadapan wajahnya. Rambut hantu adiknya sampai jatuh mengenai wajah gadis itu.

"Kak Alina…."

Suara parau nan berat menyeramkan terdengar memanggil nama Alina. Tubuh gadis itu seolah kaku terpaku tak dapat bergerak kala mendengar hantu Kaila menyebut namanya dengan suara pasti menyeramkan. Ia juga ingin berteriak tetapi lidahnya kelu.

"Aaaaaaaa.…!"

Hantu Kaila berteriak di hadapan wajah Alina. Tetesan darah dari kepala Kaila sampai masuk ke dalam mulut sang kakak dan membuatnya langsung mual. Alina memuntahkan seluruh isi perutnya ke sisi kasur.

Setelah mencoba lepas dari rasa kaku di tubuhnya, akhirnya ia dapat mengucapkan sesuatu dari bibirnya.

"Pergi! Pergi dariku!"

Alina akhirnya bisa berteriak walaupun ia sangat merasa ketakutan.

"PERGI!"

Alina terus berteriak sampai Tante Maya dan Mbok Nah mendengar teriakan gadis itu. Kedua wanita itu mengetuk pintu kamar Alina.

"Ndak dikunci, Nyonya," ucap Mbok Nah yang berhasil membuka pintu kamar Alina.

Tante Maya menekan tombol sakelar lampu yang langsung menerangi kamar sang keponakan.

"Ya ampun, Lin… kamu kenapa sampai muntah gitu?"

Tante Maya langsung menghampiri Alina dan meraih tisu.

"Tadi aku, tadi aku, hiks hiks hiks."

Gadis itu menangis sesenggukan dengan tubuh gemetar saat mencoba menjelaskan..

"Mbok, tolong ambil pel sama air teh manis hangat buat Alina. Saya takut dia masuk angin," ucap Tante Maya memberi titah pada sang asisten rumah tangga itu.

"Baik, Nyonya."

Tanpa menunggu sedetik pun, wanita paruh baya yang mengenakan daster batik itu segera bergegas menjalankan perintah majikannya.

"Tante bantu bersihkan mulut kamu ini, ya," ucapnya seraya menyeka bekas sisa muntahan yang ada di sudut bibir Alina.

"Aku jijik, Tante soalnya ada darahnya huhuhu…" Alina masih saja menangis menjelaskan.

"Darah apa sih? Emangnya kamu berdarah di sebelah mana? Enggak ada darahnya, kok."

Tante Maya mencoba mengamati wajah Alina dengan saksama. Tak ada luka dan noda darah yang ia temukan kala itu.

"Tadi ada darahnya, Tante, gara-gara darah itu aku muntah," sahut Alina.

Tak lama kemudian, Mbok Nah datang dengan membawa teh hangat.

"Ini, diminum dulu tehnya, Non."

Mbok Nah menyerahkan mug warna biru berisi air teh manis hangat untuk Alina. Gadis itu segera menyeruput perlahan minuman hangat yang sudah dibuatkan untuknya.

"Darah apa sih, Lin? Tante nggak ngerti deh kamu ngomongin darah apa," ucap Maya.

Mbok Nah yang sedang membersihkan bekas muntah Alina sampai menoleh.

"Darah apa, Nyonya?" tanya Mbok Nah.

"Tau nih, katanya si Alina dia kena darah di mulutnya makanya sampai muntah," jawab Maya.

"Tadi aku lihat hantunya Kaila, dia ada di atas muka aku terus darahnya netes ke mulut aku," ucap Alina mengadu dengan nada masih terdengar ketakutan.

"Hantu lagi? Hantu Kaila pula? Kamu pasti mimpi buruk, Lin," ucap Tante Maya.

"Aku enggak mimpi buruk, itu nyata Tante!"

*******

To be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status