Share

Bab 7

Ken kembali membuang muka. Rasanya dia tidak bisa percaya dengan yang diucapkan ibunya. Saat kecil, ayahnya itu jarang sekali di rumah. Sang kakek justru yang lebih banyak meluangkan waktu untuk dirinya. Apalagi saat Za mulai membantu perusahaannya lagi. Semakin banyak waktu juga uang yang bisa dicurahkan Hendro untuk Ken.

**

Hendro duduk sambil  menatap kosong ke area taman di mana Kinan sedang menyapu daun-daun kering. Ken yang sudah mulai pulih mendekati sang kakek dan duduk di kursi di sebelahnya.

“Selama aku di sini, Kakek sama sekali belum menyapaku.” Ken mendesah.

“Degil!” Hendro melirik sekilas, lalu kembali fokus pada tanaman yang tampak indah. Apalagi setelah ada Kinan, taman itu jauh lebih terawat.

“Kakek!” Ken terdengar merajuk. Lelaki yang biasanya sangar dan banyak ditakuti lawan itu saat ini malah terlihat seperti seorang anak kecil dengan rengekannya.

“Kakek berulang kali berpikir tentang kata-kata ayahmu, Ken.”

“Kata-kata Ayah? Memangnya dia bilang apa?” Ken menoleh dan memperhatikan kakeknya.

“Kamu harus mulai belajar bekerja dan berhenti bergaul di jalanan seperti itu,” ujar Hendro balik menatap sang cucu.

Ken mendengkus pelan dan tersenyum miring. “Tentu saja. Ayah selalu membenciku. Dia tidak suka aku bahagia.”

“Bukan seperti itu, Ken. Ayahmu benar. Sudah waktunya kamu mengubah sikap. Kamu ini sudah hampir 24 dan masih saja tawuran. Mau jadi apa?” cecar Hendro.

“Siapa yang akan meneruskan usaha Kakek sama ayahmu jika kamu terus saja seperti ini?” lanjut lelaki tua itu.

Ken membuang muka. Dia sama sekali tidak suka jika harus terkurung di kantor. Apalagi kalau harus bertani seperti ayahnya.

“Mulai sekarang, kamu harus bekerja kalau mau dapat uang.”

“Kakek!” Ken menoleh dengan tatapan merajuk. Benar-benar tidak sesuai dengan penampilannya yang garang. Di depan kakeknya Ken tetap saja bagaikan seorang bocah ingusan yang minta dibelikan permen.

“Dan satu lagi. Kamu harus segera menikah agar punya rasa tanggung jawab!” bentak Hendro tegas. Namun, langsung membuat pemuda di sampingnya melotot.

“Apa?! Menikah? Oh, come on, Kek. Ini sangat tidak lucu. Aku masih terlalu muda untuk punya komitmen seserius itu.” Ken tampak kesal.

“Muda apanya? Kamu sudah cukup umur untuk menikah!” Hendro membentak sambil menggebrak meja. Ken terlonjak kaget.

“Aku … pacarku mana mau menikah secepat ini. Jangan gila, Kek!” ujar Ken.

“Kakek kasih kamu waktu satu bulan untuk mengajak pacarmu itu menikah. Kalau tidak ….”

“Kalau tidak? Apa, Kek?”

“Kakek yang carikan calon istri buat kamu.”

“Hah? Kakek carikan aku istri? Memangnya Kakek punya calon?” tanya Ken dengan wajah menahan tawa.

“Tentu saja ada. Kau pikir, Kakek ini tidak bisa carikan?”

Ken langsung tergelak. “Siapa? Apa aku mengenalnya?” tanya Ken. Dia langsung mengingat-ngingat gadis-gadis yang mungkin anak dari relasi sang kakek. Tidak akan terlalu buruk pikirnya. Minimal cantik dan dari kalangan berada.

“Tentu saja. Itu orangnya,” tunjuk Hendro pada Kinan yang lewat di depan mereka hendak menyimpan sapu lidi.

Sejenak Ken melongo.

“What? Dia?” tunjuk Ken sambil terbahak. “Becandamu tidak lucu! Benar-benar buruk.” Di menggeleng pelan sambil menahan tawa.

Orang yang sedang dibicarakan langsung menoleh dengan wajah bingung.

“Kenapa tertawa? Dia itu anak yang baik. Rajin dan pekerja keras. Bukan seperti kamu yang cuma bisa habisin duit!” bentak Hendro.

“Ok, fine. Tentu saja dia rajin. Dia pembantu di rumah ini, kan?” cibir Ken masih dengan tawanya. Mendengar itu Kinan melotot pada Ken yang dari awal bertemu sudah terkesan sombong.

“Bukan. Dia itu diselamatkan sama ayahmu. Dia tinggal sementara di sini. Dia orang yang tau terima kasih. Dia mau bantu-bantu,” jawab Hendro.

“Ya, intinya sama saja. Dia itu tukang bantu-bantu. Apa Kakek tega ngasih aku calon istri macam dia? Dia pantasnya jadi keset.”

Mendengar ucapan cucunya Hendro semakin yakin jika apa yang dilakukannya selama ini pada pemuda itu adalah kesalahan besar. Ken tumbuh menjadi orang yang arogan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status