Share

Awal Kedekatan

"Ghin, aku boleh minta nomormu?"

Ghina mendadak merasakan panas dingin di tubuhnya. Suara Reza yang sedikit parau membuat hatinya ingin melonjak. Namun, bagaimana pun pula, Ghina tidak mau merasa salah tingkah. Bukankah hal yang wajar ketika teman sekelas meminta nomor?

"Oke, aku tulis di kertas, ya!"

"Iya."

Ghina mulai menuliskan angka-angka di kertas. Begitu selesai, ia menyerahkan kepada Reza kertas tersebut dengan senyum yang mengembang. Hanya saja Reza lebih memilih menunduk, ia melewatkan begitu saja dan membuat Ghina sedikit kecewa.

"Nanti malam kalau aku nggak lupa, pasti aku kirim pesan," ucap Reza.

"Oke, Za. Mau balik ke kelas?"

"Iya, aku duluan, ya."

Belum sempat Ghina menjawabnya, lelaki tersebut sudah berlalu terlebih dahulu. Apakah sulit bagi Reza sekadar berbasa-basi menawarkan untuk kembali ke kelas bersama? Ah, nyatanya memang Reza tampak tak peduli dengan Ghina. Ada rasa kesal yang didapatkan Ghina, kenapa Reza selalu memberikan kejutan kepadanya. Terkadang terlihat begitu manis, terkadang begitu menyebalkan dan cuek.

Mood yang sudah buruk membuat Ghina tak lagi bersemangat dengan buku di genggaman. Ia kemudian beranjak dan mengembalikan buku tersebut ke tempatnya. Sekarang, tujuannya adalah mengembalikan buku yang sudah dipinjamnya beberapa hari.

"Nggak pinjam lagi, Mbak? Tumben nggak bawa," ucap penjaga perpustakaan yang sangat hafal dengan kebiasaan Ghina.

"Lagi nggak mood, Bu. Ini aja mau pulangin buku ini."

"Oh, oke, Mbak. Ini silahkan kembalikan pada rak sesuai kode yang ada pada buku."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Ghina kembali ke kelas. Sebentar lagi waktu istirahat akan berakhir. Di kelasnya belum banyak siswa karena masih berada di kantin atau luar ruangan. Andi dan Bela pun juga tidak menampakkan diri, mungkin sibuk berduaan di suatu tempat di sana.

"Lho, kok, udah balik, Ghin? Katanya mau baca buku dulu," ucap Reza yang baru kembali dari kantin. Dia membawa dua botol minuman teh dan juga camilan.

"Iya, soalnya mau masuk, kan?"

"Tumben, biasanya udah bel masuk malah belum balik." Wah, ternyata Reza menyadari hal itu.

"Iya, lagi nggak mood, Za."

"Oh, gitu. Nih, buat kamu!" Reza meletakkan salah satu minuman dan camilannya di atas meja Ghina.

"Makasih, Za."

"Sama-sama."

Waktu istirahat sudah berakhir, Ghina segera menyimpan pemberian Reza. Bela dan Andi belum juga kembali, padahal sebentar lagi waktunya pelajaran kesenian. Pelajaran tersebut begitu santai dan gurunya pun sering datang terlambat. Mungkin karena alasan tersebut, banyak siswa yang belum kembali ke kelas.

"Makan dulu aja kali, ya," lirih Ghina seolah sedang mempertimbangkan. Dia kemudian mengambil makanan ringan dari Reza tadi.

Bahkan hampir lima belas menit tidak kunjung juga gurunya datang. Apa mungkin jam kosong? Bagus kalau begitu, Ghina jadi bisa merasa sedikit bersantai.

"Makan apa, tuh. Bagi, dong!" Bela yang baru datang langsung mengacaukan suasana hati Ghina karena mengambil paksa makanan ringan di tangannya.

"Enak, makasih, Ghin!" ucap Bela sambil menyesap bumbu-bumbu makanan ringan yang tertinggal di jarinya.

"Kebiasaan! Selalu suka ngambil punya orang tanpa izin," celetuk Ghina.

"Aku udah izin," elak Bela.

"Aku belum kasih izin. Jangan dijadiin kebiasaan, Bel. Itu nggak bagus."

"Iya, Ghin. Maaf."

"Kayaknya tadi Pak Deni nggak ada di kantor. Apa hari ini kita jam kosong lagi?" ucap Bela.

"Mungkin, paling juga sebentar lagi ada tugas menggambar. Gitu terus," seloroh Ghina.

"Ya, kayak nggak tahu Pak Deni aja, Ghin. Eh, tumben kamu beli minuman teh." Ternyata Bela selalu mengendus semua yang bukan menjadi kebiasaan sahabatnya. Padahal minuman teh tersebut sudah dirasa aman dari jangkauan Bela.

"Dikasih Reza, Bel."

"Serius?" tanya Bela begitu histeris.

"Iya, biasa aja."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status