Kirei bangun bukan pada waktu yang tepat. Di saat-saat genting begini gadis itu malah membuat kekacauan. Begitu terbangun, dia kalap dan berontak turun.
"Kurang ajar!" Kirei menampar muka Jonan. "Sengaja ya cari-cari kesempatan?"
"Kamu tertidur," sahut Jonan menahan kesal. "Terus kamu mesti aku seret?"
"Alasan! Kamu sengaja memisahkan aku sama Nick! Kamu pasti iri sama aku karena bisa bertemu pacarku! Kamu tidak bisa! Pacarmu kabur ke Lombok! Atau kamu suka sama aku?"
"Sejak kapan aku ada selera sama sapu lidi?"
"Brengsek!" maki Kirei geram. "Kamu pikir pacarmu kecakepan banget apa berani menghinaku?"
Jonan seolah sengaja ingin membuat Kirei tambah marah. "Pacarku tidak ada yang secantik kamu. Badannya tidak ada yang setipis kamu. Papan tripleks atau apa? Susah dibedakan mana depan mana belakang."
"Kurang ajar!" sergah Kirei murka. "Kamu sudah memisahkan aku dengan Nick! Sekarang kamu berani menghinaku! Kamu bajingan! Jahanam!"
Inara tertidur di gendongan Raka. Hembusan nafasnya yang lembut terasa hangat di leher. Laki-laki kebanyakan mungkin tidak tahan bersentuhan dengan wajah halus yang terkulai itu. Ada dua perempuan yang pernah berada dalam gendongan sepanjang hidupnya. Mereka sama-sama mempesona. Raka sering menggendong gorila jantan di masa anak-anak saat mendapat pendidikan keras dari ayahnya. Dia berlari keliling perumahan sehingga menjadi tontonan orang yang jalan-jalan sore. Lola adalah perempuan pertama yang pernah merasakan nyamannya berada dalam gendongan Raka, dalam sebuah perjalanan panjang dari puncak Gunung Jayawijaya sampai Posko Tim SAR. Dia memanfaatkan situasi dengan alasan traumatic experience terjebak di ngarai selama sehari semalam. Tubuhnya lemah tidak kuat berjalan. Anak-anak Mapala sampai berpikiran negatif melihat bagaimana dinginnya Raka terhadap perempuan yang begitu menggoda yang tak pernah lep
Raka dan kawan-kawan keluar dari rerumpunan tanaman perdu. Berondongan tembakan para penghadang manusia plasma semakin sengit, bahkan terdengar dentuman bazoka. Peristiwa penghadangan itu secara tidak langsung membantu mereka untuk meloloskan diri dari perburuan manusia plasma. Mereka berkumpul di padang rumput yang sempit. Raka menurunkan Inara dari gendongan. Di hadapan mereka terdapat celah besar di antara dua tebing karang. Bongkahan batu besar dan kecil bergeletakan di celah itu. Daerah ini merupakan kawasan bukit karang. Hanya sedikit pepohonan yang tumbuh. Mendaki bukit berarti memasuki daerah terbuka dan sangat berisiko terhadap ancaman. Raka mesti berani memasuki celah itu untuk perlindungan sementara menunggu situasi aman. Mereka mesti kembali ke hutan untuk melanjutkan perjalanan. "Kita bersembunyi di balik bebatuan itu," kata Raka. "Setelah para penghadang selesai dengan misinya, kita
Ruangan itu cukup terang diselimuti cahaya kemerahan yang entah berasal dari mana. Barangkali menggunakan sumber cahaya abadi, atau sebuah sirkuit yang tersembunyi di atap. Raka masuk ke dalam ruangan. Dia melihat banyak jejak kaki berukuran besar di lantai berdebu. "Injak lantai yang agak bersih. Jangan sampai makhluk itu mengetahui kedatangan kita." Mereka menginjak lantai bekas tapak kaki manusia plasma karena cuma area itu yang kelihatan agak bersih. Pintu berornamen bunga matahari secara otomatis bergeser menutup saat Jonan yang berjalan paling belakang masuk ke dalam ruangan. Di pintu bagian dalam terdapat ornamen dan relief yang sama. Oldi memandang teman-temannya dengan khawatir. "Kita terkurung. Bagaimana kalau pintu itu tidak bisa dibuka?" "Berarti kita tunggu kedatangan makhluk manis itu untuk membuka pintu," sahut Jonan ringan. "Sederhana saja, kan?" Oldi terbelalak. "Menu
Raka dan teman-temannya masuk ke dalam ruangan. Pintu bakung emas secara otomatis menutup kembali. Suasana jadi gelap gulita. Di ruangan itu tidak ada penerangan cahaya. Raka menyorotkan senter. Di pintu bagian dalam ada relief bakung emas berwarna kusam. Kondisi ruangan itu sangat parah. Barang-barang yang terdapat di situ adalah instrumentasi fisika dengan kondisi hancur berkeping-keping, hanya sedikit sekali peralatan yang bisa dikenali, seperti pernah terjadi ledakan dahsyat. "Ruangan ini adalah bekas laboratorium fisika dilihat dari sisa-sisa peralatan yang ada," komentar Raka. "Barangkali ada random error dalam eksperimen fusi sehingga terjadi ledakan yang menghancurkan semua peralatan." "Manusia plasma adalah korban dari ledakan itu," sambung Jonan. "Dugaanku dia lagi meracik formula obat kuat yang unik dengan sistem penyinaran tertentu, lalu terjadi random error dan meledak." Inara menatap keki
Manusia plasma berdiri di belakang pintu bunga matahari dengan tarikan nafas ganjil yang lambat sehingga terdengar lebih menyeramkan. Matanya menyisir ruangan. Tempat tidur berkelambu penuh sawang dan sarang laba-laba, lemari pakaian kusam berdebu, kamar mandi berdinding kaca sangat kotor, meja rias dengan cermin berantakan.... Semua terlihat seperti biasa, tidak ada bekas sentuhan manusia. Berarti kawanan penghadang itu tidak berhasil masuk ke kamar tidur. Mereka pergi tanpa hasil. Hanya pujangga cinta yang bisa lolos dari pemindaian. Anak muda penipu itu bersembunyi di mana? Dia tidak menemukan mereka di sekitar hutan. Tidak mungkin kabur jauh. Mereka pasti berada di sekitar bukit karang. Dia ingin menunda perburuan sampai esok hari. Mata manusia plasma tertuju pada relief bakung emas. Dia seakan mencurigai sesuatu. Kakinya berjalan menghampiri secara perlahan. Sampai di depan bakung emas, matanya menyisir lambat-lambat sulur bunga yang melengkung.
Api dari bahan karet masih menyala-nyala menerangi ruangan. Raka melihat jam handphone. Sudah lewat tengah malam. Saatnya mereka berangkat. Raka sebenarnya tidak tega membangunkan gadis-gadis metropolis itu untuk menempuh perjalanan di malam hari. Keluar masuk hutan dalam keadaan gelap sangat berat bagi mereka. Mereka biasa kelayapan malam-malam dalam gelimang cahaya lampu kota, dan tidak berjalan kaki. Raka menyentuh bahu Inara yang tidur terkulai di dadanya. "Bangun." "Hm," sahut Inara dengan mata terpejam. "Malam sudah menjelang dini hari," kata Raka. "Kita lanjutkan perjalanan." Tidak ada jawaban. Raka menengok. Tiba-tiba Inara mengecup bibirnya. Pemuda itu tidak sempat mengelak. Inara kembali berebahan di dadanya. "Terima kasih sudah membangunkan aku. Aku ngantuk berat, tunggu sebentar lagi." "Apa ucapan terima kasihmu begitu kepada setiap lelaki?" tanya Raka. "Pengen tahu aja," jawab Inara. Gadis itu tidur lagi.
Pintu bakung emas terbuka lebar secara perlahan. Jonan keluar dengan senapan submesin siap tembak. Dia mengamati sekitar beberapa saat. Kemudian memberi isyarat agar teman-temannya keluar dari ruangan bekas laboratorium fisika. Dia berdiri dengan waspada di dekat peti besi tempat manusia plasma beristirahat. Raka keluar paling akhir sambil memegang pistol. Mereka langsung menuju ke pintu bunga matahari. Telinga Raka yang peka mendengar ada gerakan halus di belakang. Serentak dia membalikkan badan dengan pistol siap tembak ke arah peti besi. Oldi dan ketiga gadis metropolis itu menunggu dengan tegang. Mereka berlindung di belakang Raka dan Jonan. Gerendel peti besi secara perlahan bergerak membuka satu per satu seolah manusia plasma hendak keluar secara sembunyi-sembunyi. Kemudian tutup peti terangkat lambat-lambat. Mereka semakin tegang menunggu. Mata Raka tak berkedip memandang pergerakan tutup peti d
Lima orang bertampang sangar berjalan pelan-pelan di lekukan bekas aliran air. Semua berwajah lokal. Masing-masing memegang senapan serbu. Mereka memperhatikan sekitar dengan waspada. “Aku merasa jadi budak di negeri sendiri,” kata Limo, yang berperawakan paling kekar. “Anggota lokal cuma kita berlima. Bisa apa kita?” Binu, lelaki berkumis tebal, berkomentar. "Mental kita adalah mental terjajah. Terima saja nasib jadi pangkat rendahan." "Kita rubah mindset itu. Kita harus jadi tuan di negeri sendiri." "Tampang kau tidak cocok jadi big boss. Jangan mimpi." "Bukan jadi big boss." "Lalu?" “Limo maunya komisi yang wajarlah,” sahut Zaki, lelaki berambut gondrong. “Peran kita dalam pemasaran di negeri ini cukup signifikan.” "Yang wajar itu yang bagaimana?" "Yang proporsional." "Yang proporsional itu yang bagaimana?" "Yang sesuai dengan beban tanggung jawab kita." "Iya, yang bagaimana itu? Janga