Share

Bangkitnya Istri Yang Kau Hina
Bangkitnya Istri Yang Kau Hina
Penulis: humaidah4455

Harus Operasi

Kau bisa, aku juga! 1

"... Rita harus operasi sesar, Her! Bayinya sungsang dengan lilitan tali pusar, kita harus ada dana minimal sepuluh juta lah. Adikmu nggak punya BPJS. Lagian, Ibu lebih mantep jalur umum, daripada jalur BPJS. Kita harus nyiapin duit itu, mumpung kehamilan adikmu masih delapan bulan."

Terdengar obrolan Ibu mertua dan suamiku di ruang keluarga, aku sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Rutinitas pagiku sebelum berangkat kerja.

"Hmmm, nanti Heru obrolin sama Hani dulu, Bu. Biar gimanapun juga, sepuluh juta bukan uang kecil. Heru harus diskusi dulu dengan Hani." Samar kudengar Mas Heru memberikan alasan kepada Ibunya.

Uang yang mana yang mau dia berikan pada Ibunya? Bukankah semua gajinya hampir diberikan kepada Ibunya? Bahkan aku cuma dijatah lima ratus ribu, itupun selalu terpakai untuk kebutuhan dapur juga.

"Kamu itu laki-laki! Tak seharusnya minta persetujuan istri! Dia cuma perempuan yang wajib nurut kemauan suaminya!" Ibu terdengar mendoktrin suamiku.

Oh, benar-benar jahat mulut wanita itu. Andai saja anak perempuan kesayangannya merasakan hal yang sama denganku begini, apa yang akan dia lakukan.

Hahaha, do'aku selama ini di dengar Allah rupanya. Tak salah kalimat do'a orang teraniaya itu diijabah Allah.

Aku masih ingat peristiwa satu tahun yang lalu saat dokter memvonisku untuk melahirkan secara operasi Caesar sebab bayiku sungsang, terdapat lilitan tali pusat serta pengapuran plasenta, ditambah tensiku sewaktu hamil tua selalu tinggi.

Ibu mertua menentang keras tindakan operasi Caesar, dan b0d0hnya lagi, suamiku mengamini penolakan Ibunya hingga membuatku tersiksa menahan kontraksi selama dua hari dua malam. Aku dilarang menghubungi keluargaku, Ibu mertua hanya menungguiku di rumah bidan praktek saja. Tak tahan, akhirnya aku mencuri waktu menelpon keluargaku serta bekerja sama dengan Bidan untuk ke rumah sakit.

Tetapi, Allah lebih sayang almarhum putraku. Dia berpulang setelah berjuang selama dua hari di NICU akibat infeksi saluran pernapasan yang berat. Andai saja Ibu dan Mas Heru bisa bergerak cepat waktu itu, aku pasti sekarang sudah menjadi seorang Ibu.

Hebatnya lagi, Ibu mertua sanggup berkata takdir atas meninggalnya putraku, kepada Ibu dan Bapak. Sedikitpun tiada raut penyesalan di wajahnya. Sejak saat itu, aku berdo'a kepada Allah agar membalaskan rasa sakit yang kualami kepadanya maupun putrinya, dia juga punya anak perempuan. Biarlah, aku mendoakan keburukan untuk anak perempuannya, antara do'a dan dosa hanya Allah yang tahu.

Ku percepat persiapan bekal sarapan ini, mendengar pembicaraan mereka, aku jadi malas sarapan bersama. Lebih baik aku segera berangkat ke restoran saja. Meskipun mereka tahunya aku sebagai pelayan, tak masalah bagiku. Mereka belum saatnya tahu, siapa jati diriku sesungguhnya.

"Bu, Mas! Sarapannya udah siap! Maaf aku berangkat duluan. Hari ini ada acara ulang tahun ditempatku bekerja."

Bu Lasmi mencebik bibirnya saat aku memberitahukan sarapan sudah siap. Dua porsi nasi goreng untuk mereka sudah siap santap diatas meja. Ini tanggal tua, aku harus pandai memutar otak.

Bekalku juga nasi goreng, namun khusus nasi goreng dalam kotak makanku tentu berbeda dengan milik mereka. Aku sengaja melakukan semua itu sebab Bu Lasmi juga pelit terhadapku. Dia bisa, aku juga bisa!

Semua persiapan kerjaku sudah beres. Aku pamit tanpa banyak basa-basi lagi dengan Mas Heru. Pasca meninggalnya putraku, rasanya rumah tangga ini menjadi hambar. Apalagi Mas Heru selalu saja di setir oleh Ibunya. Aku bagaikan menikah hanya status saja. Ingin berpisah, tetapi aku belum menemukan alasan dan bukti yang kuat untuk menggugat cerai suamiku.

Pasalnya, Mas Heru tipe suami pendiam, sebenarnya dia sayang padaku. Hanya saja, doktrin dari Ibunya membuat laki-laki itu tak berkutik. Ditambah posisi nya sebagai anak laki-laki tertua dalam keluarga ini, dia punya tugas mengurus ibunya yang janda.

"Mas, sampai kapan kau akan menuruti kemauan ibumu?! Lihatlah, akibat keegoisan kalian, anakku tak tertolong!" Amarahku tak terbendung satu Minggu pasca pulang dari rumah sakit. Saat itu, Bu Lasmi sedang pergi arisan. Keluargaku juga sudah pulang ke kampung halaman.

"Kau jangan sepenuhnya menyalahkan aku dan ibu, Han! Ini sudah takdir!" Mas Heru seolah cuci tangan.

"Oooh, takdir katamu?!" Aku berbicara sambil menahan sakit bekas jahitan luka Caesar, ditambah sakitnya hati ini. "Andai saja kalian tidak egois, tentu anakku masih hidup!"

Pertengkaran pasca operasi Caesar setahun yang lalu terbayang dalam benakku. Membuat air mata ini hampir menetes.

"Dek, kau udah mau berangkat? Bisa tunggu Mas dulu? Motorku mogok minta diservis, kita berangkat bareng, ya! Nanti motormu kubawa, dan kujemput pas nanti pulang." Mas Heru menghampiriku yang sedang memakai sepatu di teras rumah.

Dih, enak aja! Kemarin-kemarin aku nebeng aja nggak mau, alasanya harus mutar balik sebab arah tempat kerja kami berbeda, giliran susah, minta bareng, ogah banget!

Aku pura-pura menatap jam tangan ini. "Maaf, Mas. Aku udah hampir telat! Manajer meminta kami berangkat lebih pagi, resto lagi ada acara, Mas. Tolong ngerti, ya! Jaman sekarang cari kerja susah!" sahutku menolak halus permintaannya.

"Ya ampun, Haniiiiii! Sarapan model apa ini? Nasi goreng pucet begini kau suruh aku makan?!" pekik Bu Lasmi dia kini sewot mengetahui apa yang ku masak buat sarapan mereka. Rasain!

Aku mendesah penuh beban. "Bilang sama ibumu, uang belanja tambahin kalo mau makan enak. Atau bisa juga dengan menyetok bahan masakan sesuai keinginannya. Aku nggak ada uang lagi untuk belanja. Jadi kuolah bahan seadanya saja," terangku sengaja menyindir Mas Heru.

Uang lima ratus ribu, sebulan sampai mana? Biar saja dia mikir.

"Kamu belum gajian, Dek?" Mas Heru malah menanyakan uang gajiku.

Aku mendelik dong. "Kenapa nanyain gajiku? Katanya gajiku buat mencukupi kebutuhanku aja, gimana, sih? Lagian tau sendiri gajiku kecil tiap bulanya, Mas! Jangan jadi suami dholim. Udah nggak terbuka sama istri, masih aja ngerecokin uang hasil keringatku!" Aku sewot sebab Mas Heru menyebalkan.

Dia mendesah. "Mas juga nggak punya uang, Dek. Mana kasbon di kantor belum kubayar juga," lirihnya duduk di kursi yang ada di teras.

Apa kasbon? Aku menoleh dia tak percaya. "Kasbon? Untuk apa Mas kasbon?!" aku menuntut penjelasan.

"Ibu yang nyuruh, Dek. Untuk biaya baby shower tujuh bulanan Rita kemarin," lirihnya. Wajah suamiku di tekuk.

Aku kesal sekali mendengarnya, bahkan suamiku nekat kasbon demi keluarganya, sedangkan untuk aku? Aah, benar-benar laki-laki yang menyebalkan sekali Mas Heru ini.

"Hmmmm, untuk biaya tuju bulanan Rita, to! Ya udah, ku kira buat yang lain. Beli sesuatu kejutan untukku misalnya," sindirku terang-terangan.

Dia menatapku dalam, "Kau nggak pengen tau jumlah hutangku berapa?" Matanya nampak sendu.

"Enggak, ah! Lagian uangnya juga bukan dipake untuk keperluan ku, kok. Mas pikirin sendirilah!" tegasku sengaja.

"Lho, kok gitu?" Matanya menyipit. "Bukankah kita suami istri?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status