Kau bisa, aku juga! 1
"... Rita harus operasi sesar, Her! Bayinya sungsang dengan lilitan tali pusar, kita harus ada dana minimal sepuluh juta lah. Adikmu nggak punya BPJS. Lagian, Ibu lebih mantep jalur umum, daripada jalur BPJS. Kita harus nyiapin duit itu, mumpung kehamilan adikmu masih delapan bulan."Terdengar obrolan Ibu mertua dan suamiku di ruang keluarga, aku sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Rutinitas pagiku sebelum berangkat kerja."Hmmm, nanti Heru obrolin sama Hani dulu, Bu. Biar gimanapun juga, sepuluh juta bukan uang kecil. Heru harus diskusi dulu dengan Hani." Samar kudengar Mas Heru memberikan alasan kepada Ibunya.Uang yang mana yang mau dia berikan pada Ibunya? Bukankah semua gajinya hampir diberikan kepada Ibunya? Bahkan aku cuma dijatah lima ratus ribu, itupun selalu terpakai untuk kebutuhan dapur juga."Kamu itu laki-laki! Tak seharusnya minta persetujuan istri! Dia cuma perempuan yang wajib nurut kemauan suaminya!" Ibu terdengar mendoktrin suamiku.Oh, benar-benar jahat mulut wanita itu. Andai saja anak perempuan kesayangannya merasakan hal yang sama denganku begini, apa yang akan dia lakukan.Hahaha, do'aku selama ini di dengar Allah rupanya. Tak salah kalimat do'a orang teraniaya itu diijabah Allah.Aku masih ingat peristiwa satu tahun yang lalu saat dokter memvonisku untuk melahirkan secara operasi Caesar sebab bayiku sungsang, terdapat lilitan tali pusat serta pengapuran plasenta, ditambah tensiku sewaktu hamil tua selalu tinggi.Ibu mertua menentang keras tindakan operasi Caesar, dan b0d0hnya lagi, suamiku mengamini penolakan Ibunya hingga membuatku tersiksa menahan kontraksi selama dua hari dua malam. Aku dilarang menghubungi keluargaku, Ibu mertua hanya menungguiku di rumah bidan praktek saja. Tak tahan, akhirnya aku mencuri waktu menelpon keluargaku serta bekerja sama dengan Bidan untuk ke rumah sakit.Tetapi, Allah lebih sayang almarhum putraku. Dia berpulang setelah berjuang selama dua hari di NICU akibat infeksi saluran pernapasan yang berat. Andai saja Ibu dan Mas Heru bisa bergerak cepat waktu itu, aku pasti sekarang sudah menjadi seorang Ibu.Hebatnya lagi, Ibu mertua sanggup berkata takdir atas meninggalnya putraku, kepada Ibu dan Bapak. Sedikitpun tiada raut penyesalan di wajahnya. Sejak saat itu, aku berdo'a kepada Allah agar membalaskan rasa sakit yang kualami kepadanya maupun putrinya, dia juga punya anak perempuan. Biarlah, aku mendoakan keburukan untuk anak perempuannya, antara do'a dan dosa hanya Allah yang tahu.Ku percepat persiapan bekal sarapan ini, mendengar pembicaraan mereka, aku jadi malas sarapan bersama. Lebih baik aku segera berangkat ke restoran saja. Meskipun mereka tahunya aku sebagai pelayan, tak masalah bagiku. Mereka belum saatnya tahu, siapa jati diriku sesungguhnya."Bu, Mas! Sarapannya udah siap! Maaf aku berangkat duluan. Hari ini ada acara ulang tahun ditempatku bekerja."Bu Lasmi mencebik bibirnya saat aku memberitahukan sarapan sudah siap. Dua porsi nasi goreng untuk mereka sudah siap santap diatas meja. Ini tanggal tua, aku harus pandai memutar otak.Bekalku juga nasi goreng, namun khusus nasi goreng dalam kotak makanku tentu berbeda dengan milik mereka. Aku sengaja melakukan semua itu sebab Bu Lasmi juga pelit terhadapku. Dia bisa, aku juga bisa!Semua persiapan kerjaku sudah beres. Aku pamit tanpa banyak basa-basi lagi dengan Mas Heru. Pasca meninggalnya putraku, rasanya rumah tangga ini menjadi hambar. Apalagi Mas Heru selalu saja di setir oleh Ibunya. Aku bagaikan menikah hanya status saja. Ingin berpisah, tetapi aku belum menemukan alasan dan bukti yang kuat untuk menggugat cerai suamiku.Pasalnya, Mas Heru tipe suami pendiam, sebenarnya dia sayang padaku. Hanya saja, doktrin dari Ibunya membuat laki-laki itu tak berkutik. Ditambah posisi nya sebagai anak laki-laki tertua dalam keluarga ini, dia punya tugas mengurus ibunya yang janda."Mas, sampai kapan kau akan menuruti kemauan ibumu?! Lihatlah, akibat keegoisan kalian, anakku tak tertolong!" Amarahku tak terbendung satu Minggu pasca pulang dari rumah sakit. Saat itu, Bu Lasmi sedang pergi arisan. Keluargaku juga sudah pulang ke kampung halaman."Kau jangan sepenuhnya menyalahkan aku dan ibu, Han! Ini sudah takdir!" Mas Heru seolah cuci tangan."Oooh, takdir katamu?!" Aku berbicara sambil menahan sakit bekas jahitan luka Caesar, ditambah sakitnya hati ini. "Andai saja kalian tidak egois, tentu anakku masih hidup!"Pertengkaran pasca operasi Caesar setahun yang lalu terbayang dalam benakku. Membuat air mata ini hampir menetes."Dek, kau udah mau berangkat? Bisa tunggu Mas dulu? Motorku mogok minta diservis, kita berangkat bareng, ya! Nanti motormu kubawa, dan kujemput pas nanti pulang." Mas Heru menghampiriku yang sedang memakai sepatu di teras rumah.Dih, enak aja! Kemarin-kemarin aku nebeng aja nggak mau, alasanya harus mutar balik sebab arah tempat kerja kami berbeda, giliran susah, minta bareng, ogah banget!Aku pura-pura menatap jam tangan ini. "Maaf, Mas. Aku udah hampir telat! Manajer meminta kami berangkat lebih pagi, resto lagi ada acara, Mas. Tolong ngerti, ya! Jaman sekarang cari kerja susah!" sahutku menolak halus permintaannya."Ya ampun, Haniiiiii! Sarapan model apa ini? Nasi goreng pucet begini kau suruh aku makan?!" pekik Bu Lasmi dia kini sewot mengetahui apa yang ku masak buat sarapan mereka. Rasain!Aku mendesah penuh beban. "Bilang sama ibumu, uang belanja tambahin kalo mau makan enak. Atau bisa juga dengan menyetok bahan masakan sesuai keinginannya. Aku nggak ada uang lagi untuk belanja. Jadi kuolah bahan seadanya saja," terangku sengaja menyindir Mas Heru.Uang lima ratus ribu, sebulan sampai mana? Biar saja dia mikir."Kamu belum gajian, Dek?" Mas Heru malah menanyakan uang gajiku.Aku mendelik dong. "Kenapa nanyain gajiku? Katanya gajiku buat mencukupi kebutuhanku aja, gimana, sih? Lagian tau sendiri gajiku kecil tiap bulanya, Mas! Jangan jadi suami dholim. Udah nggak terbuka sama istri, masih aja ngerecokin uang hasil keringatku!" Aku sewot sebab Mas Heru menyebalkan.Dia mendesah. "Mas juga nggak punya uang, Dek. Mana kasbon di kantor belum kubayar juga," lirihnya duduk di kursi yang ada di teras.Apa kasbon? Aku menoleh dia tak percaya. "Kasbon? Untuk apa Mas kasbon?!" aku menuntut penjelasan."Ibu yang nyuruh, Dek. Untuk biaya baby shower tujuh bulanan Rita kemarin," lirihnya. Wajah suamiku di tekuk.Aku kesal sekali mendengarnya, bahkan suamiku nekat kasbon demi keluarganya, sedangkan untuk aku? Aah, benar-benar laki-laki yang menyebalkan sekali Mas Heru ini."Hmmmm, untuk biaya tuju bulanan Rita, to! Ya udah, ku kira buat yang lain. Beli sesuatu kejutan untukku misalnya," sindirku terang-terangan.Dia menatapku dalam, "Kau nggak pengen tau jumlah hutangku berapa?" Matanya nampak sendu."Enggak, ah! Lagian uangnya juga bukan dipake untuk keperluan ku, kok. Mas pikirin sendirilah!" tegasku sengaja."Lho, kok gitu?" Matanya menyipit. "Bukankah kita suami istri?"kau bisa, aku juga! 2 Aku tersenyum miring sambil menggenggam kontak motor matic yang ku beli sekend gara-gara selalu ribut masalah kendaraan saat bekerja. Motor ini kubeli secara kontan namun, kubilang pada suami dan ibu mertuaku, belinya kredit. Berbohong? Tentu saja! Aku memang harus berakting menjadi orang tak punya didepan mereka. Enam bulan pasca operasi Caesar, aku kembali lagi bekerja setelah sebelumnya mengambil cuti layaknya karyawan biasa. "Hmmmm, alhamdulillah sampai detik ini aku masih ingat kok kalau kamu suamiku. Cuma, entah di kamu gimana. Soalnya aku ngerasa kau ingat aku ini istrimu kalau ada maunya doang. Udah dapet, amnesia lagi!" Aku tersenyum sengaja menyindir laki-laki berkemeja abu-abu itu. "Untuk masalah hutangmu, aku nggak ikutan, deh! Masa iya, nggak nikmatin uangnya, tapi ikutan mumet bayarnya, nggak etis dong!" Rasain Lo!Mau marah, terserah! Bahkan aku senang jika dia marah apalagi sampai bertindak kasar, oooooohhh ... bisa mempermulus jalanku menggugat
Kau bisa, aku juga 3 Kutahu aku tak sempurna, bukan berarti aku tak berhak bahagia dan kau perlakukan semena-mena. Aku juga bisa berbuat seperti yang kumau. Aku berbalik menghadap cermin lagi meneruskan sisiran. Aneh deh, masa motorku yang mau dijual? "Dek, aku kakaknya Rita, jelas dia tanggung jawabku dong!" Kuletakkan sisir pada tempatnya lalu, ku tuangkan lotion yang botolnya sengaja kujungkir balik, sambil menunggu adzan Isya, aku sudah berwudhu. "Lho, kalo Rita masih tanggung jawabmu, apa gunanya dia menikah? Suaminya kemana? Sok sok an mau nanggung jawab Rita. Liat nih, lotion ku habis aja apa kau peduli?!" sindirku spontan. "Apa maksudmu aku nggak peduli? Kau kuberi uang lima ratus ribu sebulan, Hani!" Walah dia malah nge gas! Aku santuy mengoleskan lotion ini ke tangan dan kakiku agar tidak kering. "Ck, ck, ck! Lima ratus ribu sebulan bangga! Art aja gajinya sejuta lebih sebulan, Mas! Kerja cuma beberes rumah doang. Nah aku istrimu, nih! Istri! Catet tuh biar nggak lupa
Kau bisa, Aku juga 4 Aku merasa bebas merdeka hari libur begini sok iyes masuk kerja. Ah, begini lebih baik dari pada jadi kacvng seharian dirumah mertua. Mengendarai hond4 b3at street sekend kesayanganku ini, kutelusuri jalanan weekend yang lumayan lengang. Para karyawan banyak yang libur, hanya beberapa sepeda motor serta kendaraan melintasi jalanan hitam jalur lintas menuju restoran. Entahlah, caraku ini akan berhasil untuk melakukan perlawanan kepada suami dan mertuaku atau tidak. Yang jelas, aku ingin berubah, tak mengalah terus. Aku juga punya harga diri. Aku tahu, berdosa membangkang pada suami. Eits, tunggu dulu! Suami yang seperti apa dulu dong? Jika harus menuruti semua keinginan suami modelan Mas Heru, bisa ambruk cagakku nuruti angen-angenmu (rubuh tiangku menuruti kemauanmu). Selama ini, aku sudah berusaha menjadi istri sekaligus menantu yang Soleha, nurut, dan berbakti kepada suami dan mertuaku. Tetapi, kenyataan hal itu malah membuat mereka layaknya tua-tua keladi s
Kau Bisa, aku juga 5 Jangan remehkan seseorang yang sudah kenyang makan kecewa. Dia bisa melakukan apapun diluar dugaan."Hani! Kelewatan kamu, ya!" Bu Lasmi malah meninggikan suaranya. Iiieeuuuh! Kelewatan dia bilang? Aku mengerling malas. Kemudian kubuka tudung saji dimana ada mangkuk berisi sisa kuah tongseng kambing."Aku kelewatan? Terus ini apa?! Kalian makan tongseng kambing cuma nyisain kuahnya doang 'kan? Masa aku nggak boleh menikmati makanan hasil keringet ku sendiri?" Mulut ku sambil menikmati cumi cabe ijo yang mantap ini. "Kalo kalian mau, biar impas ... ku sisain kuahnya aja, ya!" Mataku mengerling sengaja ngejek kedua orang dihadapan ku ini. Bu Lasmi nampak merah padam wajahnya mata ibu mertuaku melotot tangannya juga mengepal. Ah, bodo amat. Mau marah, mau enggak terserah. Capek ngalah terus. Brak Meja makan di gebrak membuat sendok di piringku melompat ke lantai. "Keterlaluan kamu, Han! Rita ini hamil, kalo anaknya ileran gimana? Nggak peka banget sih sama oran
Kau bisa, Aku juga 6 Melangkah menenteng ember cucian aku masuk ke rumah. "Dari mana kamu, Han?!" sentak Bu Lasmi. Busyet ini, nanya apa ngajakin perang sih? Galak banget jadi mertua. Ooh, mungkin dulunya dia di galakin juga kali sama mertuanya, sekarang balas dendam ke akuh. Duh, ngenes! "Dari mana, kamu?! Jawab! Malah diem aja! Jam segini cucian piring masih numpuk, teh, ataupun kopi belum ada! Ngapain aja sih kamu?!" Bu Lasmi sudah seperti satpol PP sedang sidak. "Dari nyari pahala, Bu. Ampun, dah! Baru pada melek udah teriak-teriak! Ati-ati pita suara putus. Atau tensinya naik, lho!" Kuletakkan ember di kamar mandi. Tumpukan baju kotor Bu Lasmi dan Rita masih utuh disana. Ogah yaaa kalau disuruh nyuci lagi. "Nyari pahala, nyari pahala, pala Lo peang!" umpat Rita. "Cuciin gelas! Bikinin aku teh, cepetan!" Gantian Rita kini memerintah. Aku berdiri, meraih teko berisi air lalu ku tenggak isinya, gelas habis di rak piring, semua kotor teronggok di wastafel. "Punya kaki, punya
Pagi ini, aku berangkat kerja sambil membawa luka. Air mataku perlahan meleleh mengingat kejadian saat aku akan melahirkan Zidan. Sakit, payah, penuh derita serta tekanan dari suami dan mertua yang kurasakan. Berbeda sekali dengan Rita. Semoga dia merasakan apa yang dulu ku rasakan. Entahlah aku seperti sudah tak bisa lagi membedakan antara do'a dan dosa. Sebab hatiku ingin sekali melihat Rita dan Bu Lasmi merasakan apa yang dulu ku rasa. Ya Allah, tolong ampuni aku. Rasa sakit ini teramat sangat. Ampuni atas semua kesalahanku telah membangkang pada suami, dan mertua, aku lelah ya Allah, aku lelah. ***** POV Heru Mataku menatap tanpa kedip kepergian Hani, wanita yang dua tahun ini menjadi istriku. Entah mengapa kini dia berubah. Tak seperti kemarin-kemarin. Dia jadi lebih berani serta cenderung membangkang. Terlebih setelah dia tahu aku kasbon untuk adikku Rita. Sebagai istri, dia sungguh tak tahu diri. Dijatah lima ratus ribu sebulan masih kurang aja. Mentang-mentang sudah bis
POV HaniAku sampai di restoran, hari ini nggak ada alasan untuk menangis. Aku harus menunjukkan kepada mereka para orang-orang pelit itu bahwa aku bisa. Biar saja mereka sekarang kelabakan dirumah, mereka pikir aku akan selamanya jadi pesuruh mereka, sorry laa yau! Masuk ke restoran mengisi absensi lalu mulai bekerja. Tip lemburan kemarin membuatku ketagihan. "Eh, Lo ngapain hari Minggu masuk?" Sherin salah satu karyawati resto yang selalu rese padaku heran aku masuk kerja di hari libur. "Suka-suka gue, dong! Emang ada larangan karyawan lembur enggak 'kan?" sahutku malas. "Oooh, gue tau! Jangan-jangan Lo lembur gara-gara nggak dinafkahin sama laki Lo, ya? Hahaha, ngenes amat!" Aku yang hendak menuju ke ruangan khusus karyawan berhenti melangkah lalu berbalik menatap tajam Sherin. "Elo nggak berhak ngurusin hidup gue! Mau lembur atau enggak bukan urusan Elo, tau!" "Stop! Stop! Udah jangan brantem! Elu juga Sher, jangan gangguin Hani!" Lukas memisahkan kami. "Han, kamu dipanggil
POV Hani Ya Allah, suamiku ini memang ma-ti rasa padaku atau apa sih? Yang dia pikirin hanya uang, uang, dan uang saja. Boro-boro bertanya bagaimana keadaanku sekarang. Rita juga, mulutnya minta di tamplok pakai ulekan sambel, ya Allah ... kuatkan hamba-Mu ini untuk menghadapi orang-orang model pohon pisang ini, mereka punya jantung, tetapi tidak punya hati. "Begini, Pak. Masalah biaya perawatan, akan ditanggung oleh restoran, sebab Hani kecelakaan saat mengantarkan pesanan makanan ke konsumen." Aryan mencoba menjelaskan. "Eh, Mbak! Lo itu jo-ngos, apa kurir sih? Kerjaan kok nggak jelas banget!" sewot Rita dia mengibaskan rambutnya yang tergerai sebahu. "Begini, Mbak ... kebetulan restoran kami sedang banjir pesanan delivery order, dan karyawan juga sibuk melayani pelanggan yang datang, kebetulan Hani bertugas mengantarkan pesanan gitu, Mbak. Tolong jangan salahkan Hani, ini kecelakaan." Aryan menjelaskan lagi. "Jangan salahkan Hani, jangan salahkan Hani, Bapak nggak tau, dia cel