Saras melangkah memasuki pekarangan rumah sang ibu mertua. Ia merasa puas menghabiskan waktu dengan Tejana juga Gemintang. Sebelum pulang tadi, ia sengaja mampir di kedai roti bakar untuk Adira ataupun sang ibu mertua.
Pekarangan rumah tampak ramai seiring dekatnya pernikahan Adira. Tenda dan berbagai dekorasi pun sudah terpasang di depan rumah. Saras mengulas senyum tipis saat berpas-pasan dengan tetangga yang dikenalnya.
"Assalamualaikum," ucap Saras ketika memasuki rumah. Matanya menyapu ke dalam, semua orang tampak sibuk hilir-mudik. Namun, bola matanya tak kunjung beranjak malah terpaku pada sosok Kabir yang tengah berdiri di anak tangga sambil bersedekap dada.
"Kakak ipar udah pulang? Kak Kabir nanyain Kakak terus, lho." Saras terkelonjak kaget saat Adira datang dari arah samping, sedangkan gadis itu malah tertawa kecil melihat keterkejutan sang kakak.
"Kamu ini ngagetin mulu. Mama ke mana?" tanya Saras sembari berjalan
Tak bosan-bosannya aku mengingatkan, mohon dukungannya karena dukungan kalian sangat berharga untukku si penulis pemula.
Bukannya menenangkan diri di rumah, justru Kabir malah menemui Fadhilah. Bayangan raut sedih Saras yang biasanya menjadi hasrat hiburan untuk dirinya, kini berubah menjadi empati. Sungguh, Kabir tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri. Belum lagi dengan ucapan Saras serta sang ibu yang kembali terngiang di kepala bagaikan kaset favorit diputar berulang kali. Kabir Berusaha mengenyahkan pikiran dan berbagai ucapan itu. Namun, bukannya menghilang, justru kalimat itu semakin terdengar di telinga. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi aku nanya, kamu malah diam. Kamu lagi ada masalah apa lagi sama keluargamu?" Fadhilah kembali bertanya, merasa kesal dengan sikap Kabir yang sekarang. Kabir mengangkat wajah dengan malas menatap Fadhilah yang tengah berkacak pinggang di hadapannya. Lalu kembali mengisap rokok dalam jemarinya, asap mengepul dari mulut laki-laki itu. "Enggak ada." Kabir membalas dengan acuh tak acuh.
Semua persiapan pernikahan sudah selesai. Undangan pun sudah tersebar, kini hanya tinggal menunggu sang mempelai pria datang. Lia tampak cantik nan anggun dengan kebaya berwarna merah maroon dengan rambut yang disanggul rapi. Begitu juga dengan Saras, yang mengenakan gamis merah muda dengan hijab yang senada. Polesan mekapnya pun begitu tipis mampu membuat kadar kecantikan alaminya terpancar. Suara petasan terdengar membuat Saras yang tengah melamun tersentak kaget. Ia melirik ke samping, di mana Kabir tengah berdiri. Tak lupa juga tangan kekar laki-laki itu memeluk pinggang rampingnya. Saras lupa kapan laki-laki itu berdiri sambil memeluk pinggangnya. "Saya tahu saya tampan. Jangan melihat saya seperti itu," ucap Kabir sadar bahwa Saras tengah menatap dirinya. Saras mengembuskan napas kesal sembari membuang tatapan tertuju pada besan yang tengah disambut oleh ibu dan ayah mertuanya. Jemput besan sudah terlaksana, kini gi
Saras bisa menghirup udara segar. Ia sudah kembali di rumahnya, bukan rumahnya. Melainkan rumah Kabir. Masih baik laki-laki itu buru-buru pergi ke kantor, jadi tak perlu ada perdebatan yang malah berujung rasa sakit hati. Sikap manis dari sandiwara kemarin malah terlintas dalam ingatan Saras. Apalagi ingatan tersebut malah membawanya pada wajah Fadhillah. Pantas saja Kabir cinta mati dengan wanita itu. Toh, wanita itu terlihat cantik juga seksi. "Astagfirullah, kenapa negatif mulu, sih," gumam Saras menyadari lamunannya sendiri. Ia menatap tanaman yang sengaja dirawat di halaman belakang. Bunganya sudah bermekaran, Saras sangat menyukai bunga anggrek. Baru akhir-akhir ini ia merawatnya itu juga guna menghilangkan stres dan sakit hati dengan perlakuan Kabir. Notifikasi dari w******p membuyarkan lamunan Saras yang tengah menatap bunga anggrek. Ia merogoh gawai dalam saku gamisnya. Matanya membulat terkejut mendapati pesan dari Te
Setelah makan malam bersama Kabir tanpa ada obrolan. Saras lebih memilih mencuci piring terlebih dulu, daripada menunggu besok yang pastinya akan menumpuk nanti. Sementara Kabir, laki-laki itu pergi ke kamar untuk membersihkan tubuh. Pikiran Saras berkecamuk, bingung harus meminta izin bagaimana. Terlebih lagi, Kabir sangat tak menyukai Marcello. Wajah marah laki-laki itu masih terbayang dalam ingatan ketika tak sengaja melihat ia mengobrol dengan Marcello. "Hei, gadis bodoh! Tolong buatkan saya kopi," ucap Kabir dengan nada membentak. Saras hanya mengembuskan napas kasar. Memahami bahwa sang suami tidak bisa berkata manis, itupun kalau sedang membutuhkan pertolongan orang lain. "Ck, hari ini banyak sekali pekerjaan kantor yang menumpuk. Sial!" Saras mendengar keluhan dari Kabir. Laki-laki itu tampak berjalan menuju ruang tamu. Mengerjakan berbagai laporan penting bermap. Saras memandang kasihan sekaligus benci, f
"Bagaimana rasanya bekerja, Ras?" Tejana berbinar kala bertemu Saras di jam istirahat. Apalagi kantor yang ditempati oleh Saras merupakan kantor sahabatnya juga. Saras mengulas senyum tipis, beban di pikiran berkurang sedikit saat melihat wajah penuh binar dari Tejana. "Rasanya?" Saras mengernyitkan dahi seakan-akan berpikir. Membuat Tejana mendengkus kesal saja. "Menyenangkan. Apa lagi aku sudah lama tidak membaca cerita dari orang lain dan mengeditnya. Membuat artikel, seakan-akan kembali ke masa putih abu dulu." Percakapan mereka mendadak terjeda saat seorang waitress mengantarkan pesanan keduanya. Setelah mengucapkan terima kasih, keduanya mulai mencicipi pesanan masing-masing. "Oh ya, foto yang aku kirim tentang suamimu itu benar apa bukan?" tanya Tejana sambil mengunyah seblak yang dipesan. Tatapannya tak lepas dari Saras. Saras tersedak oleh kuah soto mi, menyeruput jus jeruk hingga setengah. Lalu membalas
Aneh! Satu kata itu menyelimuti benak Kabir selama satu minggu. Ia merasa aneh dengan sikap Saras, selalu menghindar, dan acuh tak acuh. Walaupun Saras masih melakukan tugasnya sebagai istri, seperti memasak, mencuci piring, atau bebersih rumah. Namun, sikap dingin dan acuh tak acuhnya membuat Kabir tak tahan. Bahkan selama satu minggu ini, ia mengawasi Saras. Mencari tahu apa yang dikerjakan perempuan itu. Tentu saja dirinya terkejut mengetahui bahwa Saras bekerja di kantor Marcello. Tidak hanya itu saja, kedekatan Saras dan Marcello entah mengapa membuat Kabir tak suka. Seperti ada gejolak aneh menyelimuti benak kala mendapat foto kebersamaan mereka dari anak buahnya. Semakin ia berusaha mengenyahkan rasa itu, maka rasa itu malah makin bersemayam di ulu hatinya. "Pak, bagaimana dengan keputusan Bapak mengenai proyek perumahan Karandince di kota Cikampek?" Pertanyaan Aldi membuyarkan lamunan Kabir. Ia mendongak menatap Aldi y
Langkah Saras terhenti di depan parkiran depan kantor. Terkejut dengan kedatangan Kabir, laki-laki itu tampak bersandar di mobilnya sambil bersedekap dada. Saras tidak salah lihat? Kalau Kabir datang menjemput? Bukannya menghampiri, justru Saras malah berjalan melewati. Membuat Kabir dengan cepat meraih tangan Saras. Laki-laki itu menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung, menatap lekat pada Saras. "Kamu kenapa sih menghindar terus?" tanya Kabir dengan nada sedikit membentak. Saras tak menjawab. Ia sibuk memperhatikan sekitar, yang kini menjadi atensi anak-anak kantor. Dengan cepat, Saras menarik tangan Kabir ke arah mobil yang terparkir. Kemudian, masuk tanpa diperintah oleh laki-laki itu. "Ah, diamnya seorang perempuan ternyata menakutkan," gumam Kabir, berjalan memutari mobil ke arah kemudi. Menyalakan mesin, mengijak pedal gas, dan melaju membelah jalanan kota. Dalam perjalanan, keduanya tampak salin
Atmosfer di dalam mobil mendadak senyap. Kabir memandang wajah Saras dengan lekat. Kalimat yang dilontarkan oleh Saras seakan terngiang kembali di telinga. Iya, ia mengaku salah. Akan tetapi, hatinya belum bisa mengakui bahwa Saras itu istri sah terlebih menerima pernikahan tersebut. Walaupun ia mampu menerima, itupun dengan cara terpaksa. "Enggak ada gunanya juga aku mengatakan semua itu," ucap Saras sembari menyeka air mata di pipi. Tawa sumbangnya terdengar begitu menyayat hati. Kabir mengeratkan kepalan tangan di setir mobil. Menahan gejolak amarah dalam diri. Ia juga tidak bisa melarang Saras untuk jatuh cinta pada dirinya. Namun, rasa kasihan dan iba menyelimuti kala mendengar penuturan Saras tentang penyesalan menerima pernikahan ini. "Saya minta maaf. Saya harus apa agar kamu mau memaafkan saya?" Suara Kabir memecahkan kejedaan yang sempat tercipta selama sepuluh detik. Ia menatap Saras dengan tatapan datar, seakan tidak memiliki ra