Saras terdiam, pandangannya begitu lekat menatap manik mata Gemintang. Ulu hati terasa sesak, ia penasaran dengan alasan apa yang Gemintang sembunyikan sampai memilih pergi meninggalkan tanpa sebuah pesan. Namun, rasa sakit ditinggalkan, juga patah hati berbulan-bulan, membuat ia enggan mendengarkan. Akan tetapi, kala melihat binar sendu dan penuh harap dari laki-laki itu, membuat hati Saras goyah. "Aku sudah memaafkanmu, tetapi aku tidak bisa memberimu kesempatan untuk mengisi ruang di hatiku. Dulu, aku sudah memberimu kesempatan itu, tetapi kamu malah pergi meninggalkan begitu saja. Jujur Gem, aku enggak mau sakit hati untuk kedua kalinya," ucap Saras menarik sudut bibir dengan tipis, ia tidak yakin jikalau itu sebuah senyuman. Gemintang mengerti, ia terlalu pengecut untuk sekadar menyapa kembali. Atau bahkan mengirimi Saras pesan sebelum pergi. Ia hanya tak mau, Saras mengetahui bagaimana latar belakang keluarganya. Apalagi Saras merupakan anak yang bahagia memiliki keluarga utuh.
Saras tersenyum miris melihat berbagai foto mesra dan penuh kemewahan dari akun media sosial Fadhilah. Ada sedikit rasa cemburu di hati melihat keduanya kini telah resmi bersanding sebagai suami-istri. Saras bukannya tidak bisa mengiklaskan laki-laki itu, hanya saja ia tak suka melihat orang yang sudah membuatnya terluka berbahagia di sana. Tangan mengelus perut yang sebentar lagi akan terlihat membuncit. Bibir tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Tak terasa ia melalui hari-hari sendirian, tidak terlalu sendirian. Dibantu oleh kedua orang tua, yang nekat keduanya ingin menetap di Jakarta. Saras senang, di sini merasa dimanjakan. Tidak hanya sang mama kandung, mama mertuanya juga sering datang menjenguk sambil membawakan berbagai jenis makanan. Katanya, untuk anak Saras. "Ras, kamu yakin mau lanjut kerja?" tanya Lia yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah. Saras yang sedang asik menyantap rujak buatan sang mama mertua ralat mantan mertua, berhenti sejenak. Setelah dipikir-pik
"Rasanya sepi, Ras. Enggak ada kamu di kantor." Saras tersenyum kecil mendengar kelakar dari Marcello. Kepala tertunduk menghirup bau Caramel Latte pesanannya. Lalu menyeruput dengan pelan. Niat hati ingin menghilangkan beban pikiran, malah bertemu dengan Marcello yang sehabis meeting dengan klien. "Masih ada pegawai yang kompeten kali di sana. Lagian ya kalo dipaksain, nanti malah rentan keguguran. Sayang banget soalnya," ucap Saras sembari mengelus perutnya yang sebentar lagi akan buncit. Marcello menanggapi dengan tawa kecil. Seharusnya Kabir kala itu bersyukur memiliki Saras. Ah, sudah pada dasarnya skenario Tuhan, tidak ada yang tahu akan seperti apa ke depannya. "Ras ...." Marcello memanggil, ragu ingin bertanya kepada wanita itu. Dipendam, rasanya akan penasaran. Bertanya, takut membuat Saras tersinggung. Sebab, pertanyaan yang akan diajukan bersifat pribadi dan terkesan sudah berada di jalur masing-masing. "Kenapa?" Saras bertanya, menatap Marcello sekilas. Lalu mengedark
Satu hal yang paling memuakkan bagi Saraswati ialah pertengkaran dalam rumah tangganya. Ia sangat muak jika harus bertengkar dengan sang suami pada malam hari. Rasa tegar dan juga sabar selalu ia selipkan dalam hati agar bisa mempertahankan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Pernikahan keduanya bukan karena dua insan yang mempersatukan. Melainkan sebuah perjodohan antara keluarga. Saraswati dan Kabir menikah atas dasar sebuah keinginan terakhir dari mendiang sang nenek---Juju---pernah berjanji akan menikahkan cucunya dengan cucu sahabatnya---Hadian---janji yang tidak bisa diingkari dan janji yang harus ditepati. Pernikahan Saras sudah berjalan hampir lima bulan setengah, masih terbilang sebentar. Akan tetapi, bagi Saras itu sudah cukup lama dan paling menyesakkan dalam hidup. Saras memiliki status sebagai seorang istri, tetapi ia merasa bukan seperti seorang istri sungguhan. Ia merasa sebagai diri sendiri tanpa memiliki status yang sesungguhnya dalam hubun
Cuaca malam ini terlihat begitu indah, banyak bintang bertaburan di atas langit, sinar rembulan pun kini mulai ikut bersinar menghiasi. Bagi Saras malam ini sama saja seperti malam sebelumnya, selalu rasa sesak yang menyelimuti. Saras menumpahkan tangisnya dalam kegelepan malam, mengingat saat ia jatuh cinta pada lelaki itu hanya dengan menatap wajahnya saja. Sementara lelaki itu tidak mau membalas cintanya sama sekali, melainkan membenci kehadiran Saras. Jika saja bukan karena janji dari seseorang, Saras tidak mau menerima pernikahan konyol ini. Saras selalu bermimpi ingin memiliki sosok suami yang mencintai dirinya dengan tulus dan sosok suami yang bisa membahagiakan dirinya. Bukan yang malah menyakiti dan membuat luka di hati Saras. Rasa lelah menyelimuti. Ingin mengakhiri, tetapi takut kalau ia mengakhiri maka bencana besar akan terjadi. Saras takut itu. Me
Saras masih berada di rumah ibu mertuanya, ia terpaksa harus menginap di rumah Lia selama hari pernikahan Adira berlangsung. Otomatis ia harus menjalani sandiwara yang tampak terkesan sangat romantis bersama Kabir di hadapan keluarga mereka. Jika boleh jujur, Saras merasa sangat senang jika Kabir memperlakukannya dengan lembut dan romantis. Walaupun itu hanya sebuah sandiwara. Sungguh, Saras sangat berharap kalau sandiwara yang tengah dijalani bisa berubah menjadi kenyataan. Ah, rasanya itu tidak mungkin bisa terjadi. Hari semakin sore, persiapan menyajikan kue dan pembukusan makanan sudah selesai disiapkan. Tinggal menunggu waktu setelah isya maka para tetangga akan datang ke rumah untuk memberi selamat dan membaca surah-surah alquran guna memberkati kedua calon mempelai agar senantiasa selalu bersama dan acara pun tetap berjalan lancar sampai akhir. Tampaknya Saras tengah menikmati angin sore sambil menatap langit yang sedikit kemerahan. Ia sengaja memilih
Langit terlihat sudah berubah menjadi gelap, senja yang hangat dan tengah menyapa, kini telah pamit. Awan gelap menyambut datang, menggantikan posisi senja. Seorang gadis masih berdiri di balkon kamar sembari menengadah ke langit, setetes air mata terjatuh tanpa diperintah. Entah apa yang sedang ada dipikirannya sekarang, ia benar-benar terlihat kacau. Sangat enggan menjalani sandiwara di hadapan keluarga bersama sang suami. "Kapan semua ini akan berakhir, Tuhan?" Saras bertanya pada batinnya seraya masih menengadah langit dengan tatapan hambar. Memejamkan matanya sekilas, sekaligus merasakan angin malam menerpa wajah. Apakah berawal dari pernikahan ini, ujian hidupnya dimulai? Memilik
Malam kian larut, acara syukuran dan lamaran sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya tinggal mempersiapkan keseluruhan pernikahan Adira.Sudah sangat malam, tetapi Saras tidak bisa memejamkan mata. Ia selalu mengubah posisi tidur, mencari posisi yang nyaman dan ia tidak bisa menemukan posisi ternyamannya. Kaki Saras turun dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar.Udara khas malam sangat dingin menusuk relung tulang. Ditambah dengan kilauan bintang di langit, membuat suasana malam tampak cantik saja. Tangannya terulur memeluk tubuh sendiri, merasakan embusan angin menerpa wajah, entah kenapa memori ingatan pertunangan sekaligus malam pertama dirinya dan Kabir kembali berputar.Ingatan yang berusaha Saras enyahkan dari pikirannya sendiri. Kini memberontak memenuhi sebagian pikirannya.Saras menengadah langit, menatap rembulan dan juga bintang di sana. Tanpa diperintah buliran bening jatuh begitu saja mengingat memori masa lalu yang menyesakkan benak.