Saras masih berada di rumah ibu mertuanya, ia terpaksa harus menginap di rumah Lia selama hari pernikahan Adira berlangsung. Otomatis ia harus menjalani sandiwara yang tampak terkesan sangat romantis bersama Kabir di hadapan keluarga mereka. Jika boleh jujur, Saras merasa sangat senang jika Kabir memperlakukannya dengan lembut dan romantis. Walaupun itu hanya sebuah sandiwara.
Sungguh, Saras sangat berharap kalau sandiwara yang tengah dijalani bisa berubah menjadi kenyataan. Ah, rasanya itu tidak mungkin bisa terjadi.
Hari semakin sore, persiapan menyajikan kue dan pembukusan makanan sudah selesai disiapkan. Tinggal menunggu waktu setelah isya maka para tetangga akan datang ke rumah untuk memberi selamat dan membaca surah-surah alquran guna memberkati kedua calon mempelai agar senantiasa selalu bersama dan acara pun tetap berjalan lancar sampai akhir.
Tampaknya Saras tengah menikmati angin sore sambil menatap langit yang sedikit kemerahan. Ia sengaja memilih untuk beristirahat sebentar agar pikirannya terasa tenang.
Saras memejamkan mata perlahan, merasakan hembusan angin menerpa wajah. Sesekali ia menghirup udara sore hari memandang indahnya senja tengah menyapa.
"Senja yang sama, tetap merah, hangat, sendu, dan selalu saja namamu yang dilafal oleh doaku. Ah, lagi-lagi tentang dirimu. Semoga saja Engkau tak pernah bosan mendengarkan doaku Tuhan, aku hanya ingin agar dia sadar akan apa yang dia lakukan, padaku itu salah," ucap Saras terdengar sangat pelan.
Jujur saja ia selalu berdoa agar dirinya bisa mendapatkan cinta dari sang suami. Saras jatuh cinta pada pandangan pertama saat pertama kali mereka bertemu. Jatuh cinta hanya dengan memandang wajah laki-laki itu, tetapi laki-laki itu tidak menyadari akan cintanya. Kabir sulit ditebak, bahkan terlihat datar sekaligus irit bicara kepada Saras. Andai saja pernikahan ini bukan karena perjodohan, mungkin saja ia sudah bahagia dengan pilihan hatinya sendiri. Ah, mungkin saja ini sudah menjadi takdir bagi kehidupan Saras. Tidak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan berjalan, kita sebagai umatnya hanya bisa menjalani dan lalui semua rintangannya.
Saat sedang sibuk dengan beban pikiran sendiri, seorang wanita paruh baya berdiri membelakangi Saras. Wanita itu mengulas senyum kecil saat mendapati anak gadisnya sedang berlamun.
Merasa ada orang tengah berdiri di belakang sana. Saras menoleh dan terkejut melihat sang ibu kandung berdiri di belakang seraya mengulas senyum kecil. Tanpa menunggu apa pun lagi, Saras langsung berlari kecil menghampiri sang ibu sekaligus memeluk wanita itu dengan erat. Tanpa diperintah air mata Saras terjatuh membasahi pipi. Ia menangis dalam dekapan sang ibu.
"Aku merindukanmu, Mi ...," lirih Saras dalam dekapan sang ibu.
Wanita paruh baya itu membalasnya sekilas, melerai pelukan itu. Ia menangkup wajah cantik putrinya dan menghapus buliran air mata yang membasahi pipi.
"Kamu menangis?" tanya wanita itu kepada putrinya.
Saras membalasnya dengan gelengan kecil, "Aku hanya merindukan Ummi."
"Seberat inikah kamu merindukan Ummi, sampai kamu menumpahkan tangismu dalam dekapan Ummi?"
Saras menatap lekat wajah sang ibu, seakan-akan ingin sekali menceritakan semuanya pada Rohayati. Namun, rasanya tidak bisa menceritakan semua apa yang tengah terjadi, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di hati serta di dalam tenggorokannya. Sangat sulit sekadar menceritakan keluh-kesah yang tengah diderita.
Sang ibu menuntun lembut putrinya menuju ranjang, terduduk bersama di sana. Saras merebahkan tubuhnya di pangkuan sang ibu, seulas senyum tercetak di bibir Rohayati seraya mengelus lembut anak puncak rambut putrinya.
"Katakan, Nak? Kamu ingin berbagi ceritamu dengan Ummi atau tidak?" Rohayati mengelus rambut Saras dengan pelan.
"Tidak ada, aku hanya ingin Ummi ada di sisiku. Hanya itu," balas Saras menatap lurus ke depan dengan hambar.
"Kamu sudah memiliki suami, Sayang. Seharusnya suamimu yang selalu berada di sampingmu."
Saras terdiam, ia tidak tahu mesti menjawab apa. Tatapannya kini nanar, tumpahlah lagi air mata. Dengan cepat Saras menyeka buliran bening itu.
"Dia sibuk, Mi. Aku memahami kesibukan suamiku," balas Saras dengan nada menahan tangisnya.
"Bagaimana dia selalu ada di sampingku, Mi? Sedangkan dirinya sangat membenci Saras," batin Saras, buliran bening yang tadi tertahan kembali terjatuh.
Elusan lembut yang dirasakan di kepala Saras berhenti. Perlahan tidak lagi dirasakan oleh Saras. Ia menelan salivanya sendiri dan meremas lutut sekaligus pakaian sya'ri sang ibu. Ia takut jika sang ibu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ikatan batin seorang ibu dan anak begitu kuat, 'kan?
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari Ummi, Sayang," kata Rohayati ada yang janggal dengan sang anak.
Lagi-lagi Saras hanya diam dan diam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa? Ia belum siap menceritakan semuanya pada sang ibu.
"Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" tanya lagi Rohayati, tanpa diperintah buliran bening menetes dari pelupuk mata Saras saat mendengar pertanyaan itu. Begitu juga dengan Rohayati, melihat bagaimana rapuhnya Saras.
Saras menggeleng, "Tidak, aku b--bahagia."
"Lalu kenapa kamu mena---"
"Mungkin dia merindukan diriku, Mi," lanjut seorang laki-laki tengah berdiri di ambang pintu kamar dan memotong ucapan Maya. Saras kenal betul suara siapa itu, sontak saja ia langsung bangun dan menoleh ke arah sumber suara itu.
Laki-laki itu berjalan menghampiri, sedangkan Maya berdiri tegap menghadap ke arah sang menantu. Kabir meraih tangan Maya, mencium telapak tangan tersebut dengan takzim.
"Kapan Ummi datang?" tanya Kabir berbasa-basi.
"Mungkin satu jam yang lalu, Nak," balas Rohayati. Saras yang tadinya terduduk, kini ikut berdiri di belakang punggung sang ibu.
"Sepertinya ISTRIKU sedang bermanja dengan ibunya," sindir Kabir dengan menekan kata 'istriku'.
Maya menoleh kepada Saras dan mengulas senyum singkat, lalu tatapannya beralih ke arah Kabir, "Bukankah kamu yang selalu memanjakan istrimu?"
"Ya, aku selalu memanjakan dirinya," papar Kabir menatap tajam Saras, seolah-olah ingin menerkam gadis itu.
Kabir berjalan melewati Rohayati dan menarik tangan Saras dengan lembut. Kabir mencium kening Saras dengan lama di depan sang ibu mertua.
"Dia begitu manja, Mi. Dan terlihat dia sangat menggemaskan," kata Kabir dengan ucapan manisnya. Saras menatap mata Kabir dengan hambar, beringsut dari tempat Kabir berdiri.
"Semoga pernikahan kalian selalu diberi kebahagiaan. Jika ada masalah, maka selesaikanlah dengan baik-baik." Rohayati pamit keluar untuk bergabung bersama Lia dan yang lain di luar sana.
Sepeninggalan Maya, Kabir menarik pinggang Saras dengan kasar ke dalam dekapannya, sedangkan Saras menjaga jarak dengan menaruh lengannya di dada bidang milik Kabir.
"Tidak sudi aku bermanis-manis denganmu, gadis bodoh!" sentak Kabir tepat di wajah Saras. Lalu mendorong tubuh sang istri dengan kasar, hampir saja Saras tersungkur jatuh ke lantai.
"Bersiaplah! untuk memainkan sandiwara ini," desis Kabir terdengar dingin. Saras melangkah memasuki kamar mandi meninggalkan Saras yang terduduk di lantai.
Saras menatap hambar punggung milik Kabir yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Matanya memanas, buliran bening terjatuh menetes.
"Sandiwara? Miris sekali," batin Saras.
Langit terlihat sudah berubah menjadi gelap, senja yang hangat dan tengah menyapa, kini telah pamit. Awan gelap menyambut datang, menggantikan posisi senja. Seorang gadis masih berdiri di balkon kamar sembari menengadah ke langit, setetes air mata terjatuh tanpa diperintah. Entah apa yang sedang ada dipikirannya sekarang, ia benar-benar terlihat kacau. Sangat enggan menjalani sandiwara di hadapan keluarga bersama sang suami. "Kapan semua ini akan berakhir, Tuhan?" Saras bertanya pada batinnya seraya masih menengadah langit dengan tatapan hambar. Memejamkan matanya sekilas, sekaligus merasakan angin malam menerpa wajah. Apakah berawal dari pernikahan ini, ujian hidupnya dimulai? Memilik
Malam kian larut, acara syukuran dan lamaran sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya tinggal mempersiapkan keseluruhan pernikahan Adira.Sudah sangat malam, tetapi Saras tidak bisa memejamkan mata. Ia selalu mengubah posisi tidur, mencari posisi yang nyaman dan ia tidak bisa menemukan posisi ternyamannya. Kaki Saras turun dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar.Udara khas malam sangat dingin menusuk relung tulang. Ditambah dengan kilauan bintang di langit, membuat suasana malam tampak cantik saja. Tangannya terulur memeluk tubuh sendiri, merasakan embusan angin menerpa wajah, entah kenapa memori ingatan pertunangan sekaligus malam pertama dirinya dan Kabir kembali berputar.Ingatan yang berusaha Saras enyahkan dari pikirannya sendiri. Kini memberontak memenuhi sebagian pikirannya.Saras menengadah langit, menatap rembulan dan juga bintang di sana. Tanpa diperintah buliran bening jatuh begitu saja mengingat memori masa lalu yang menyesakkan benak.
Malam telah tiba, kerlap-kerlip bintang mempercantik indahnya suasana malam. Terlebih lagi di rumah Lia sedang diadakan pesta setelah lamaran. Banyak tatamu yang hadir dari kalangan atas, rekan kerja, pemilik butik, sampai dokter yang merupakan teman dari sang calon mempelai pria.Saras memandang ke halaman belakang rumah yang luas, di mana pesta digelar. Tidak hanya di halaman, dalam ruang tamu juga bergelar. Begitu meriah, Saras memaklumi bahwa keluarga Kabir merupakan keluarga kaya dan Kabir merupakan anak konglomerat dari pasangan Lia dan Doni Maulana Yasauno.Embusan napas panjang terdengar, Saras hanya mampu menatap sekitar tanpa ada niat untuk bergabung. Mengambil minuman yang tersedia di prasmanan, meneguknya agar menghilangkan rasa kering di tenggorokan.Saras terkejut saat menoleh ke samping, mendapati seorang laki-laki berambut ikal dengan gaya berpakaian casual dipadukan oleh jaket kulit berwarna hitam. Lebih terkejutnya lagi, saat laki-laki itu meny
Pagi-pagi sekali, Saras sudah bangun. Sedari malam ia tidak bisa tidur, berbagai pikiran buruk selalu menghantuinya. Terlebih saat melihat betapa marahnya wajah Kabir. Sungguh, batinnya berkata lelah. Namun, logikanya mengatakan jangan menyerah.Saras benar-benar dilema. Sorot matanya tertuju pada tumpukan piring bersih. Mengalihkan pikiran dengan berbagai mengerjakan pekerjaan rumah tangga rasanya hanya sia-sia saja. "Ya Allah, kenapa pikiran buruk selalu menghantui isi kepalaku?" Saras menengadah menatap langit-langit dapur. Air mata menetes saat mengingat perlakuan Kabir selama lima bulan terakhir. Seulas senyum kecut terbingkai, Saras sangat menantikan berakhirnya sandiwara antara ia dan Kabir. Berharap kalau laki-laki itu akan segera berubah secepatnya agar Saras bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai. Lelah rasanya bila harus mencintai orang lain terlebih dulu, tanpa dicintai balik. Rasanya benar-benar menyesakkan.
Setelah mengantarkan sang ibu mertua sampai ke butik. Saras berjalan keluar menuju kafe yang berada tak jauh dari butik tersebut. Tanpa sengaja langkahnya memelan kala sorot matanya tak sengaja menangkap sosok Kabir tengah bergandengan tangan dengan wanita lain, bahkan mereka begitu mesra. Perasaan sebelum ia pergi dengan Lia, Kabir tengah sibuk diskusi dengan ayah mertua di ruang kerja. Namun, mengapa laki-laki itu ada di sini bersama wanita lain?Rasa nyeri menjalar dari dada hingga sampai di ulu hati. Mereka tampak mesra sembari saling menyuapi roti satu sama lain. Andaikan saja Saras diperlakukan seperti itu, mungkin Saras akan menjadi perempuan yang paling bahagia. Tak ingin menambah beban pikiran lagi. Saras buru-buru melanjutkan langkahnya menuju Kafe Mentari di mana ia akan bertemu dengan sahabat semasa putih abunya dulu. Sudah dua tahun mereka berpisah tanpa kabar. Terakhir kali Saras dengar, Tejana sedang melanjutkan studi di Amerika. Selebihnya
Saras merasa canggung sekaligus merasa tak nyaman. Terlebih lagi wajah sang mantan masih tetap sama, begitu manis dipandang mata. Ingatan memori semasa putih abu terlintas begitu saja. "Sudah lama tidak bertemu, Sar," ucap Gemintang dengan lembut. Suara bass itu menyapa telinga Saras. Dulu, Saras sangat menyukai suara Gemintang, tetapi sekarang tidak lagi. Dengan susah payah, Saras mengulas senyum kecil menatap Gemintang. "Iya. Kamu makin tampan saja." Jujur saja kalimat itu hanya sebagai candaan. Mencoba mencairkan suasana di antara mereka. "Iya, Ras. Gemintang, 'kan abis pulang dari Italia. Makanya jadi ganteng gini," sahut Tejana sambil menepuk punggung Gemintang dengan keras. Memahami bagaimana atmosfer di meja mereka. "Jana, Jana. Kamu juga makin hari makin cantik," timpal Gemintang menoleh menatap Tejana dengan seulas senyum kecil di wajah. "Aku sadar kok cantik, emang dari lahir udah cantik." Dengan perca
Saras melangkah memasuki pekarangan rumah sang ibu mertua. Ia merasa puas menghabiskan waktu dengan Tejana juga Gemintang. Sebelum pulang tadi, ia sengaja mampir di kedai roti bakar untuk Adira ataupun sang ibu mertua. Pekarangan rumah tampak ramai seiring dekatnya pernikahan Adira. Tenda dan berbagai dekorasi pun sudah terpasang di depan rumah. Saras mengulas senyum tipis saat berpas-pasan dengan tetangga yang dikenalnya. "Assalamualaikum," ucap Saras ketika memasuki rumah. Matanya menyapu ke dalam, semua orang tampak sibuk hilir-mudik. Namun, bola matanya tak kunjung beranjak malah terpaku pada sosok Kabir yang tengah berdiri di anak tangga sambil bersedekap dada. "Kakak ipar udah pulang? Kak Kabir nanyain Kakak terus, lho." Saras terkelonjak kaget saat Adira datang dari arah samping, sedangkan gadis itu malah tertawa kecil melihat keterkejutan sang kakak. "Kamu ini ngagetin mulu. Mama ke mana?" tanya Saras sembari berjalan
Bukannya menenangkan diri di rumah, justru Kabir malah menemui Fadhilah. Bayangan raut sedih Saras yang biasanya menjadi hasrat hiburan untuk dirinya, kini berubah menjadi empati. Sungguh, Kabir tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri. Belum lagi dengan ucapan Saras serta sang ibu yang kembali terngiang di kepala bagaikan kaset favorit diputar berulang kali. Kabir Berusaha mengenyahkan pikiran dan berbagai ucapan itu. Namun, bukannya menghilang, justru kalimat itu semakin terdengar di telinga. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi aku nanya, kamu malah diam. Kamu lagi ada masalah apa lagi sama keluargamu?" Fadhilah kembali bertanya, merasa kesal dengan sikap Kabir yang sekarang. Kabir mengangkat wajah dengan malas menatap Fadhilah yang tengah berkacak pinggang di hadapannya. Lalu kembali mengisap rokok dalam jemarinya, asap mengepul dari mulut laki-laki itu. "Enggak ada." Kabir membalas dengan acuh tak acuh.