Share

3

Saras masih berada di rumah ibu mertuanya, ia terpaksa harus menginap di rumah Lia selama hari pernikahan Adira berlangsung. Otomatis ia harus menjalani sandiwara yang tampak terkesan sangat romantis bersama Kabir di hadapan keluarga mereka. Jika boleh jujur, Saras merasa sangat senang jika Kabir memperlakukannya dengan lembut dan romantis. Walaupun itu hanya sebuah sandiwara.

Sungguh, Saras sangat berharap kalau sandiwara yang tengah dijalani bisa berubah menjadi kenyataan. Ah, rasanya itu tidak mungkin bisa terjadi.

Hari semakin sore, persiapan menyajikan kue dan pembukusan makanan sudah selesai disiapkan. Tinggal menunggu waktu setelah isya maka para tetangga akan datang ke rumah untuk memberi selamat dan membaca surah-surah alquran guna memberkati kedua calon mempelai agar senantiasa selalu bersama dan acara pun tetap berjalan lancar sampai akhir.

Tampaknya Saras tengah menikmati angin sore sambil menatap langit yang sedikit kemerahan. Ia sengaja memilih untuk beristirahat sebentar agar pikirannya terasa tenang.

Saras memejamkan mata perlahan, merasakan hembusan angin menerpa wajah. Sesekali ia menghirup udara sore hari memandang indahnya senja tengah menyapa.

"Senja yang sama, tetap merah, hangat, sendu, dan selalu saja namamu yang dilafal oleh doaku. Ah, lagi-lagi tentang dirimu. Semoga saja Engkau tak pernah bosan mendengarkan doaku Tuhan, aku hanya ingin agar dia sadar akan apa yang dia lakukan, padaku itu salah," ucap Saras terdengar sangat pelan.

Jujur saja ia selalu berdoa agar dirinya bisa mendapatkan cinta dari sang suami. Saras jatuh cinta pada pandangan pertama saat pertama kali mereka bertemu. Jatuh cinta hanya dengan memandang wajah laki-laki itu, tetapi laki-laki itu tidak menyadari akan cintanya. Kabir sulit ditebak, bahkan terlihat datar sekaligus irit bicara kepada Saras. Andai saja pernikahan ini bukan karena perjodohan, mungkin saja ia sudah bahagia dengan pilihan hatinya sendiri. Ah, mungkin saja ini sudah menjadi takdir bagi kehidupan Saras. Tidak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan berjalan, kita sebagai umatnya hanya bisa menjalani dan lalui semua rintangannya.

Saat sedang sibuk dengan beban pikiran sendiri, seorang wanita paruh baya berdiri membelakangi Saras. Wanita itu mengulas senyum kecil saat mendapati anak gadisnya sedang berlamun.

Merasa ada orang tengah berdiri di belakang sana. Saras menoleh dan terkejut melihat sang ibu kandung berdiri di belakang seraya mengulas senyum kecil. Tanpa menunggu apa pun lagi, Saras langsung berlari kecil menghampiri sang ibu sekaligus memeluk wanita itu dengan erat. Tanpa diperintah air mata Saras terjatuh membasahi pipi. Ia menangis dalam dekapan sang ibu.

"Aku merindukanmu, Mi ...," lirih Saras dalam dekapan sang ibu.

Wanita paruh baya itu membalasnya sekilas, melerai pelukan itu. Ia menangkup wajah cantik putrinya dan menghapus buliran air mata yang membasahi pipi.

"Kamu menangis?" tanya wanita itu kepada putrinya.

Saras membalasnya dengan gelengan kecil, "Aku hanya merindukan Ummi."

"Seberat inikah kamu merindukan Ummi, sampai kamu menumpahkan tangismu dalam dekapan Ummi?"

Saras menatap lekat wajah sang ibu, seakan-akan ingin sekali menceritakan semuanya pada Rohayati. Namun, rasanya tidak bisa menceritakan semua apa yang tengah terjadi, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di hati serta di dalam tenggorokannya. Sangat sulit sekadar menceritakan keluh-kesah yang tengah diderita.

Sang ibu menuntun lembut putrinya menuju ranjang, terduduk bersama di sana. Saras merebahkan tubuhnya di pangkuan sang ibu, seulas senyum tercetak di bibir Rohayati seraya mengelus lembut anak puncak rambut putrinya.

"Katakan, Nak? Kamu ingin berbagi ceritamu dengan Ummi atau tidak?" Rohayati mengelus rambut Saras dengan pelan.

"Tidak ada, aku hanya ingin Ummi ada di sisiku. Hanya itu," balas Saras menatap lurus ke depan dengan hambar.

"Kamu sudah memiliki suami, Sayang. Seharusnya suamimu yang selalu berada di sampingmu."

Saras terdiam, ia tidak tahu mesti menjawab apa. Tatapannya kini nanar, tumpahlah lagi air mata. Dengan cepat Saras menyeka buliran bening itu.

"Dia sibuk, Mi. Aku memahami kesibukan suamiku," balas Saras dengan nada menahan tangisnya.

"Bagaimana dia selalu ada di sampingku, Mi? Sedangkan dirinya sangat membenci Saras," batin Saras, buliran bening yang tadi tertahan kembali terjatuh.

Elusan lembut yang dirasakan di kepala Saras berhenti. Perlahan tidak lagi dirasakan oleh Saras. Ia menelan salivanya sendiri dan meremas lutut sekaligus pakaian sya'ri sang ibu. Ia takut jika sang ibu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ikatan batin seorang ibu dan anak begitu kuat, 'kan?

"Kamu menyembunyikan sesuatu dari Ummi, Sayang," kata Rohayati ada yang janggal dengan sang anak.

Lagi-lagi Saras hanya diam dan diam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa? Ia belum siap menceritakan semuanya pada sang ibu.

"Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" tanya lagi Rohayati, tanpa diperintah buliran bening menetes dari pelupuk mata Saras saat mendengar pertanyaan itu. Begitu juga dengan Rohayati, melihat bagaimana rapuhnya Saras.

Saras menggeleng, "Tidak, aku b--bahagia."

"Lalu kenapa kamu mena---"

"Mungkin dia merindukan diriku, Mi," lanjut seorang laki-laki tengah berdiri di ambang pintu kamar dan memotong ucapan Maya. Saras kenal betul suara siapa itu, sontak saja ia langsung bangun dan menoleh ke arah sumber suara itu.

Laki-laki itu berjalan menghampiri, sedangkan Maya berdiri tegap menghadap ke arah sang menantu. Kabir meraih tangan Maya, mencium telapak tangan tersebut dengan takzim.

"Kapan Ummi datang?" tanya Kabir berbasa-basi.

"Mungkin satu jam yang lalu, Nak," balas Rohayati. Saras yang tadinya terduduk, kini ikut berdiri di belakang punggung sang ibu.

"Sepertinya ISTRIKU sedang bermanja dengan ibunya," sindir Kabir dengan menekan kata 'istriku'.

Maya menoleh kepada Saras dan mengulas senyum singkat, lalu tatapannya beralih ke arah Kabir, "Bukankah kamu yang selalu memanjakan istrimu?"

"Ya, aku selalu memanjakan dirinya," papar Kabir menatap tajam Saras, seolah-olah ingin menerkam gadis itu.

Kabir berjalan melewati Rohayati dan menarik tangan Saras dengan lembut. Kabir mencium kening Saras dengan lama di depan sang ibu mertua.

"Dia begitu manja, Mi. Dan terlihat dia sangat menggemaskan," kata Kabir dengan ucapan manisnya. Saras menatap mata Kabir dengan hambar, beringsut dari tempat Kabir berdiri.

"Semoga pernikahan kalian selalu diberi kebahagiaan. Jika ada masalah, maka selesaikanlah dengan baik-baik." Rohayati pamit keluar untuk bergabung bersama Lia dan yang lain di luar sana.

Sepeninggalan Maya, Kabir menarik pinggang Saras dengan kasar ke dalam dekapannya, sedangkan Saras menjaga jarak dengan menaruh lengannya di dada bidang milik Kabir.

"Tidak sudi aku bermanis-manis denganmu, gadis bodoh!" sentak Kabir tepat di wajah Saras. Lalu mendorong tubuh sang istri dengan kasar, hampir saja Saras tersungkur jatuh ke lantai.

"Bersiaplah! untuk memainkan sandiwara ini," desis Kabir terdengar dingin. Saras melangkah memasuki kamar mandi meninggalkan Saras yang terduduk di lantai.

Saras menatap hambar punggung milik Kabir yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Matanya memanas, buliran bening terjatuh menetes.

"Sandiwara? Miris sekali," batin Saras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status