Langit terlihat sudah berubah menjadi gelap, senja yang hangat dan tengah menyapa, kini telah pamit. Awan gelap menyambut datang, menggantikan posisi senja.
Seorang gadis masih berdiri di balkon kamar sembari menengadah ke langit, setetes air mata terjatuh tanpa diperintah. Entah apa yang sedang ada dipikirannya sekarang, ia benar-benar terlihat kacau. Sangat enggan menjalani sandiwara di hadapan keluarga bersama sang suami.
"Kapan semua ini akan berakhir, Tuhan?" Saras bertanya pada batinnya seraya masih menengadah langit dengan tatapan hambar. Memejamkan matanya sekilas, sekaligus merasakan angin malam menerpa wajah.
Apakah berawal dari pernikahan ini, ujian hidupnya dimulai? Memiliki suami yang tidak mengharapkan kehadiran dirinya apa ini takdir Tuhan untuknya? Jika iya, kenapa harus dengan cara seperti ini? Ingin sekali ia menentang takdir yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, ia hanya perlu menjalani, bersyukur, dan melalui semua rintangan itu.
Saras sudah siap dengan gamis berwarna blue navy dipadukan dengan hijab yang senada mampu membuat dirinya begitu cocok memakai gamis tersebut. Tidak lupa juga ia mengoleskan sedikit make up agar wajahnya tidak terlihat pucat. Ia menatap lekat bayangan dirinya di pantulan cermin, begitu cantik. Tatapan itu seolah-olah menyiratkan kekosongan. Saras merasa seperti pajangan status sebagai seorang istri.
Tanpa disadari oleh Saras, laki-laki yang tengah dipikirkan, berdiri di belakang Saras menatap dengan sinis. Saras menyadari kehadiran sang suami, susah rasanya sekadar meneguk saliva sendiri demi menghilangkan rasa takut dan berharap tidak akan terjadi apa-apa setelah ini.
"Mama menunggumu di bawah," ucap Kabir acuh tak acuh, lalu pergi begitu saja meninggalkan Saras sendiri.
Saras kembali memejamkan mata sekilas, membuang napas dengan kasar. Selalu saja sikap acuh tak acuh yang didapat dari sang suami. Tidak bisakah laki-laki itu bersikap manis, tanpa dasar sandiwara?
"Sampai kapan Tuhan menguji kehidupanku seperti ini?" batin Saras berharap akan ada keajaiban menghampiri hidupnya.
Banyak tamu yang hadir dalam acara syukuran dalam lamaran Adira dengan Aditya. Ada dari kerabat juga rekan bisnis dari Kabir dan sang ayah mertua.
Saras menuruni anak tangga dengan tatapan kosong, melamun. Saat akan sampai di tangga terakhir, ia hampir saja terjatuh kalau bukan karena tangan kekar seseorang menahan tubuhnya agar tak terjatuh. Banyak pasang mata tertuju pada Saras dan Kabir. Tatapan yang menunjukkan kekaguman dalam keromantisan hubungan Saras dan Kabir.
Berbeda dengan Saras, ia merasa bahwa Kabir tengah menatap dengan tajam seolah-olah memperingatkan agar dirinya selalu hati-hati.
Saras mulai merasa risi dengan posisi mereka yang hampir saja berpelukan. Di mana Kabir tengah memegangi pinggangnya. Dengan sigap, Saras mendorong kasar tubuh Kabir. Lalu menghampiri Lia dan Rohayati.
"Seperti adengan di film," komentar Lia. Saras membalasnya dengan senyum kecil.
"Kamu terlihat sangat cantik malam ini, Sayang," puji Rohayati seraya memegang bahu Saras.
"Jika aku cantik. Ummi juga lebih cantik, atuh," kelakar Saras menatap Rohayati.
Tanpa sengaja bola mata Saras tertuju pada Kabir yang sedang asik mengobrol dengan rekan kerjanya. Sesekali laki-laki itu mengulas senyum kecil mendengar ucapan salah satu rekan bisnis wanitanya, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Saras jadi membayangkan jika ia yang berada di posisi itu tengah tertawa bersama dengan laki-laki yang ia cintai.
Tiba-tiba saja, sebuah lengan kekar melingkar di pinggang Saras. Membuat Saras terkejut, ia menoleh dan mendapati wajah Kabir yang sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan Saras juga bisa merasakan napas berat milik sang suami menerpa wajahnya, membuat degup jantung Saras berdetak sangat cepat. Mati-matian ia menyembunyikan degupan itu.
"Ekhm ...," dehem Lia. Saras sadar bahwa keduanya kini sedang menjadi atensi publik. Segera ia mencoba menepis tangan Kabir dari pinggangnya.
"Ada apa? Kenapa kamu merasa risi jika aku dekat denganmu," ucap Kabir dengan nada dibuat selembut mungkin.
Saras hanya diam sambil menatap mata hitam pekat milik Kabir. Mata yang sudah mampu membuat hati Saras bertekuk.
"Hei, ingat tempat bila ingin berduaan," ujar Rohayati melihat kedekatan Saras dan Kabir.
Keduanya tersentak, mulai beringsut menjauh. Salah tingkah sendiri. Membuat dua orang tua di depan mereka mengulum senyum penuh arti.
"Ayo, bantu yang lain menyajikan kue. Dan kamu Kabir, bantu ayahmu jaga tamu di luar. Sebentar lagi besan akan datang," tutur Lia.
Kabir mengangguk mengiakan, melangkah menjauh ke arah luar di mana sang ayah tengah mengobrol bersama kerabatnya sendiri. Sementata Saras, membantu para wanita menyiapkan makanan.
Sesudah pengajian dan menukar cincin satu sama lain. Kini hanya tinggal beberapa kerabat yang masih bergabung, sedangkan para tetangga yang ikut ngaji sudah pada pulang. Mereka nersorak-sorai kala Jevita sepupu dari Adira mengusulkan mereka untuk bermain musik dan bernyanyi. Mereka tampak berbahagia, sesekali tertawa kecil.
Akan tetapi, tidak dengan Saras. Gadis itu memilih duduk bersama Adira dan juga kerabat dari pihak sang ibu mertua. Mereka saling bercengkerama ataupun bercerita. Tampaknya Saras tidak terlalu mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh mereka, ia hanya diam membisu sambil berlamun.
"Kakak," panggil Adira sembari memegang bahu Saras hingga membuatnya terkejut.
"Ada apa?"
"Kakak kenapa? Sedang ada yang dipikirkan?" tanya Adira memicingkan matanya, merasa khawatir.
"Mungkin Kakak Iparmu sedang memikirkan kapan dia akan memiliki seorang anak," ujar Yuyun kakak dari Lia seraya menggoda saudarinya itu.
Saras tersenyum kecut mendengarnya. Tidak, bukan itu yang sedang ada dipikirkan Saras.
"Benarkah?"
"Kamu ini Adira kayak yang enggak tahu aja sama pasangan pengantin. Mereka itu pasangan romantis, wajarlah sedang menunggu buah cinta mereka," sahut Rumini adik dari sang ayah mertua.
Romantis? Itu hanya terlihat di sebuah foto saja. Bukan nyata, kalian tidak tahu bagaimana nasib yang dirasakan oleh Saras, menjalani pernikahan tanpa ada rasa cinta sama sekali hanya ada kesedihan dan penderitaan di balik sebuah foto pernikahan yang terkesan romantis nan elegan tatkala itu. Bukan foto romantis yang diinginkan Saras, melainkan cinta. Berharap Kabir akan mencintainya, bukan malah dibenci, diperbudak, dan dijadikan bahan pelampiasan.
"Kamu benar, mereka pasangan yang sangat romantis. Semoga pernikahan kalian tidak pernah putus dan segera diberi anugrah dari Tuhan," ucap Adira membetulkan ucapan dari dua bibinya.
Lagi-lagi Saras tersenyum kecut. Oh ayolah, jangan membicarakan dirinya dan juga laki-laki kejam itu. Membicarakannya saja sudah membuat Saras merasakan luka, mengingat kekejaman laki-laki itu. Percayalah, sebuah foto hanyalah pajangan sama halnya dengan pernikahan Saras yang hanya pajangan semata bagi orang lain.
Mungkin saja mereka di luar sana melihat pernikahan Saras terkesan sangat romantis seperti pasangan yang bahagia, tetapi nyatanya semua itu palsu tidak seperti yang kalian lihat di foto tersebut.
"Sungguh, kami iri melihat kedekatan dan keromantisan kalian."
"Jangan, kalian tidak perlu mempunyai hubungan sepertiku, itu hanya bisa memguras batin saja," batin Saras.
Saras membalasnya dengan senyum kecil, walaupun rasanya berat untuk tersenyum. "Sudah jangan bicarakan hubungan Saras atuh, Uwa."
"Hahaha ... Sepertinya kamu malu, Ras," timpal Yuyun.
Senyum palsu tercetak di bibir Saras. Senyum yang sangat dibenci oleh Saras sendiri. Ia berharap tidak ada perempuan yang memiliki hubungan pernikahan yang sama seperti dirinya di luar sana. Cukup ia saja yang menjalani hubungan kejam ini.
"Kalian hanya bisa melihatnya dengan penuh rasa cinta, tetapi aku menjalaninya dengan penuh derita bukan cinta. Jujur saja, yang kalian lihat bukanlah hal yang sebenarnya terjadi. Itu hanya sebuah lelucon pernikahan yang dimainkan oleh kami. Tidak ada yang tahu bagaimana dibalik hubungan pernikahan kami. Hanya aku dan juga Tuhan yang tahu derita yang dirasakan. Cukup aku saja yang memiliki kisah menyedihkan ini, jangan kalian," batin Saras.
Malam kian larut, acara syukuran dan lamaran sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya tinggal mempersiapkan keseluruhan pernikahan Adira.Sudah sangat malam, tetapi Saras tidak bisa memejamkan mata. Ia selalu mengubah posisi tidur, mencari posisi yang nyaman dan ia tidak bisa menemukan posisi ternyamannya. Kaki Saras turun dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar.Udara khas malam sangat dingin menusuk relung tulang. Ditambah dengan kilauan bintang di langit, membuat suasana malam tampak cantik saja. Tangannya terulur memeluk tubuh sendiri, merasakan embusan angin menerpa wajah, entah kenapa memori ingatan pertunangan sekaligus malam pertama dirinya dan Kabir kembali berputar.Ingatan yang berusaha Saras enyahkan dari pikirannya sendiri. Kini memberontak memenuhi sebagian pikirannya.Saras menengadah langit, menatap rembulan dan juga bintang di sana. Tanpa diperintah buliran bening jatuh begitu saja mengingat memori masa lalu yang menyesakkan benak.
Malam telah tiba, kerlap-kerlip bintang mempercantik indahnya suasana malam. Terlebih lagi di rumah Lia sedang diadakan pesta setelah lamaran. Banyak tatamu yang hadir dari kalangan atas, rekan kerja, pemilik butik, sampai dokter yang merupakan teman dari sang calon mempelai pria.Saras memandang ke halaman belakang rumah yang luas, di mana pesta digelar. Tidak hanya di halaman, dalam ruang tamu juga bergelar. Begitu meriah, Saras memaklumi bahwa keluarga Kabir merupakan keluarga kaya dan Kabir merupakan anak konglomerat dari pasangan Lia dan Doni Maulana Yasauno.Embusan napas panjang terdengar, Saras hanya mampu menatap sekitar tanpa ada niat untuk bergabung. Mengambil minuman yang tersedia di prasmanan, meneguknya agar menghilangkan rasa kering di tenggorokan.Saras terkejut saat menoleh ke samping, mendapati seorang laki-laki berambut ikal dengan gaya berpakaian casual dipadukan oleh jaket kulit berwarna hitam. Lebih terkejutnya lagi, saat laki-laki itu meny
Pagi-pagi sekali, Saras sudah bangun. Sedari malam ia tidak bisa tidur, berbagai pikiran buruk selalu menghantuinya. Terlebih saat melihat betapa marahnya wajah Kabir. Sungguh, batinnya berkata lelah. Namun, logikanya mengatakan jangan menyerah.Saras benar-benar dilema. Sorot matanya tertuju pada tumpukan piring bersih. Mengalihkan pikiran dengan berbagai mengerjakan pekerjaan rumah tangga rasanya hanya sia-sia saja. "Ya Allah, kenapa pikiran buruk selalu menghantui isi kepalaku?" Saras menengadah menatap langit-langit dapur. Air mata menetes saat mengingat perlakuan Kabir selama lima bulan terakhir. Seulas senyum kecut terbingkai, Saras sangat menantikan berakhirnya sandiwara antara ia dan Kabir. Berharap kalau laki-laki itu akan segera berubah secepatnya agar Saras bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai. Lelah rasanya bila harus mencintai orang lain terlebih dulu, tanpa dicintai balik. Rasanya benar-benar menyesakkan.
Setelah mengantarkan sang ibu mertua sampai ke butik. Saras berjalan keluar menuju kafe yang berada tak jauh dari butik tersebut. Tanpa sengaja langkahnya memelan kala sorot matanya tak sengaja menangkap sosok Kabir tengah bergandengan tangan dengan wanita lain, bahkan mereka begitu mesra. Perasaan sebelum ia pergi dengan Lia, Kabir tengah sibuk diskusi dengan ayah mertua di ruang kerja. Namun, mengapa laki-laki itu ada di sini bersama wanita lain?Rasa nyeri menjalar dari dada hingga sampai di ulu hati. Mereka tampak mesra sembari saling menyuapi roti satu sama lain. Andaikan saja Saras diperlakukan seperti itu, mungkin Saras akan menjadi perempuan yang paling bahagia. Tak ingin menambah beban pikiran lagi. Saras buru-buru melanjutkan langkahnya menuju Kafe Mentari di mana ia akan bertemu dengan sahabat semasa putih abunya dulu. Sudah dua tahun mereka berpisah tanpa kabar. Terakhir kali Saras dengar, Tejana sedang melanjutkan studi di Amerika. Selebihnya
Saras merasa canggung sekaligus merasa tak nyaman. Terlebih lagi wajah sang mantan masih tetap sama, begitu manis dipandang mata. Ingatan memori semasa putih abu terlintas begitu saja. "Sudah lama tidak bertemu, Sar," ucap Gemintang dengan lembut. Suara bass itu menyapa telinga Saras. Dulu, Saras sangat menyukai suara Gemintang, tetapi sekarang tidak lagi. Dengan susah payah, Saras mengulas senyum kecil menatap Gemintang. "Iya. Kamu makin tampan saja." Jujur saja kalimat itu hanya sebagai candaan. Mencoba mencairkan suasana di antara mereka. "Iya, Ras. Gemintang, 'kan abis pulang dari Italia. Makanya jadi ganteng gini," sahut Tejana sambil menepuk punggung Gemintang dengan keras. Memahami bagaimana atmosfer di meja mereka. "Jana, Jana. Kamu juga makin hari makin cantik," timpal Gemintang menoleh menatap Tejana dengan seulas senyum kecil di wajah. "Aku sadar kok cantik, emang dari lahir udah cantik." Dengan perca
Saras melangkah memasuki pekarangan rumah sang ibu mertua. Ia merasa puas menghabiskan waktu dengan Tejana juga Gemintang. Sebelum pulang tadi, ia sengaja mampir di kedai roti bakar untuk Adira ataupun sang ibu mertua. Pekarangan rumah tampak ramai seiring dekatnya pernikahan Adira. Tenda dan berbagai dekorasi pun sudah terpasang di depan rumah. Saras mengulas senyum tipis saat berpas-pasan dengan tetangga yang dikenalnya. "Assalamualaikum," ucap Saras ketika memasuki rumah. Matanya menyapu ke dalam, semua orang tampak sibuk hilir-mudik. Namun, bola matanya tak kunjung beranjak malah terpaku pada sosok Kabir yang tengah berdiri di anak tangga sambil bersedekap dada. "Kakak ipar udah pulang? Kak Kabir nanyain Kakak terus, lho." Saras terkelonjak kaget saat Adira datang dari arah samping, sedangkan gadis itu malah tertawa kecil melihat keterkejutan sang kakak. "Kamu ini ngagetin mulu. Mama ke mana?" tanya Saras sembari berjalan
Bukannya menenangkan diri di rumah, justru Kabir malah menemui Fadhilah. Bayangan raut sedih Saras yang biasanya menjadi hasrat hiburan untuk dirinya, kini berubah menjadi empati. Sungguh, Kabir tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri. Belum lagi dengan ucapan Saras serta sang ibu yang kembali terngiang di kepala bagaikan kaset favorit diputar berulang kali. Kabir Berusaha mengenyahkan pikiran dan berbagai ucapan itu. Namun, bukannya menghilang, justru kalimat itu semakin terdengar di telinga. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi aku nanya, kamu malah diam. Kamu lagi ada masalah apa lagi sama keluargamu?" Fadhilah kembali bertanya, merasa kesal dengan sikap Kabir yang sekarang. Kabir mengangkat wajah dengan malas menatap Fadhilah yang tengah berkacak pinggang di hadapannya. Lalu kembali mengisap rokok dalam jemarinya, asap mengepul dari mulut laki-laki itu. "Enggak ada." Kabir membalas dengan acuh tak acuh.
Semua persiapan pernikahan sudah selesai. Undangan pun sudah tersebar, kini hanya tinggal menunggu sang mempelai pria datang. Lia tampak cantik nan anggun dengan kebaya berwarna merah maroon dengan rambut yang disanggul rapi. Begitu juga dengan Saras, yang mengenakan gamis merah muda dengan hijab yang senada. Polesan mekapnya pun begitu tipis mampu membuat kadar kecantikan alaminya terpancar. Suara petasan terdengar membuat Saras yang tengah melamun tersentak kaget. Ia melirik ke samping, di mana Kabir tengah berdiri. Tak lupa juga tangan kekar laki-laki itu memeluk pinggang rampingnya. Saras lupa kapan laki-laki itu berdiri sambil memeluk pinggangnya. "Saya tahu saya tampan. Jangan melihat saya seperti itu," ucap Kabir sadar bahwa Saras tengah menatap dirinya. Saras mengembuskan napas kesal sembari membuang tatapan tertuju pada besan yang tengah disambut oleh ibu dan ayah mertuanya. Jemput besan sudah terlaksana, kini gi