Malam kian larut, acara syukuran dan lamaran sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya tinggal mempersiapkan keseluruhan pernikahan Adira.
Sudah sangat malam, tetapi Saras tidak bisa memejamkan mata. Ia selalu mengubah posisi tidur, mencari posisi yang nyaman dan ia tidak bisa menemukan posisi ternyamannya. Kaki Saras turun dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar.
Udara khas malam sangat dingin menusuk relung tulang. Ditambah dengan kilauan bintang di langit, membuat suasana malam tampak cantik saja. Tangannya terulur memeluk tubuh sendiri, merasakan embusan angin menerpa wajah, entah kenapa memori ingatan pertunangan sekaligus malam pertama dirinya dan Kabir kembali berputar.
Ingatan yang berusaha Saras enyahkan dari pikirannya sendiri. Kini memberontak memenuhi sebagian pikirannya.
Saras menengadah langit, menatap rembulan dan juga bintang di sana. Tanpa diperintah buliran bening jatuh begitu saja mengingat memori masa lalu yang menyesakkan benak.
"Lelucon macam apa ini? Sejahat inikah takdir?" tanya batin Saras.
Ia menyeka buliran bening tersebut, menetralisir perasaan yang berkecamuk dalam hati.
"Kamu harus kuat, Ras." Itulah kalimat yang selalu terlontar dari mulut Saras. Menguatkan diri dan juga batinnya sendiri.
Tidak bisakah Tuhan memberi sedikit kebahagian untuk pernikahannya? Saras selalu berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban dalam pernikahan yang penuh sandiwara ini.
Logikanya sudah merasa lelah menghadapi sikap kejam sang suami. Akan tetapi, sang batin meminta dirinya untuk tetap bertahan. Andai dulu, pernikahan ini terjadi bukan atas dasar menepati janji. Mungkin saja Saras sudah bahagia dengan laki-laki yang dicintainya.
***
Seorang laki-laki tengah duduk di depan meja bar sembari ditemani dengan minuman vodka. Suara musik berdegum memekakan telinga, tampak manusia sedang menggoyakan tubuh dengan vulgar.
Seorang wanita berpakaian seksi berjalan menghampiri laki-laki yang sedang asik minum vodka dengan rakus. Wanita itu berusaha menggoda dan menyentuh secara sensual pada wajah laki-laki itu. Akan tetapi, bukannya tergoda. Justru wanita tersebut malah didorong dengan kasar, lalu mengusirnya pergi.
Menyebalkan! Suasana hatinya sedang kacau, tetapi wanita malam malah menambah beban saja, semakin membuat pikirannya kacau. Tepukan di bahu membuat laki-laki itu terperanjak kaget, ia menoleh ke samping mendapati seorang laki-laki bersurai cepak kehitaman, wajah timur laki-laki itu sangat tak asing di penglihatannya.
"Hei jangan menatapku seperti ingin menerkam! Aku ini bukan gay," seloroh laki-laki bersurai cepak kehitaman itu dengan tawa yang dibuat-buat selucu mungkin.
Tak ada respon sama sekali dari lawan bicaranya. Tampaknya laki-laki yang sedang duduk sambil minum tak ingin diganggu.
"Hidupku selalu banyak masalah, Bung," ucap Kabir terdengar dingin.
"Sudah banyak perubahan darimu, Kab."
"Waktu yang membawaku berubah, Celo."
"Kamu selalu bisa menjawab pertanyaan dariku, Kabir," ujar Celo.
Kabir mengulas senyum kecut menanggapinya. "Jika aku diam saja itu sama sekali tidak ada gunanya, lebih baik aku menjawab semua pertanyaan bodohmu itu."
"Oh ya, aku dengar sekarang kamu sudah menikah. Apa itu benar?" tanya Celo yang merupakan teman kuliah Kabir dulu.
"Untuk apa kamu bertanya itu, hah?" tanya Kabir dengan tatapan sinis.
"Hanya ingin memastikan itu dari kamu langsung. Kenapa kamu tidak mengundangku?"
"Untuk apa mengundang dirimu, hah?"
"Tidak ada gunanya juga dengan pernikahan sial itu," sambung Kabir seraya meneguk vodkanya kembali.
***
Hari menjelang pagi. Kicauan burung terdengar merdu. Udara khas pagi terasa sejuk. Pagi yang cocok untuk memulai selembaran baru.
Tampak seorang gadis tengah merias diri sendiri, agar nanti ia bisa membantu sang ibu mertua membereskan barang-barang yang berantakan di bawah sana. Ia menatap lekat wajahnya sendiri di pantulan cermin, terlihat kantung mata hitam seperti panda.
Mencoba mengulas senyum paksa, agar wajahnya tidak terlihat lesu. Semalam Saras tidak bisa tidur, karena sengaja menunggu kepulangan Kabir. Namun, yang ditunggu oleh Saras tidak kunjung pulang.
Oh ya, Saras melupakan sesuatu, mana mungkin sang suami akan merasa bahagia ditunggu di rumah oleh dirinya. Saras selalu tersenyum getir untuk hal itu. Rasa cinta yang kian membelenggu membuat Saras terpaksa menunggu kepulangan Kabir.
"Di mana Kabir?" tanya Lia, menyadari kehadiran Saras di ruang tengah. "Apa dia belum pulang dari semalam?"
"Hmm ... mungkin dia lagi lembur, Ma. Mama, 'kan tahu, kalau Mas Kabir selalu sibuk dengan pekerjaan kantor."
"Tapi seharusnya dia mengambil cuti beberapa hari, agar bisa membantu persiapan pernikahan Adira," ujar Lia.
"Mama kayak yang enggak tahu saja gimana pekerjaan dari seorang owner di perusahaan Yasauno? Sekaligus pewaris keluarga Yaeauno, dia akan selalu sibuk," papar Saras seraya mengulas senyum menyakinkan.
"Beruntung Kabir memiliki istri sepertimu yang selalu mengerti keadaan dirinya yang selalu sibuk," ucap Lia seraya mengusap pelan bahu Saras. Meski Saras merasa ada yang perih di ulu hati.
Saras terdiam sejenak, menahan diri agar tidak menangis. "Dan bagaimana dengan diriku? Apakah aku bisa dikatakan beruntung memiliki suami yang tidak mengharapkan kehadiranku?" Saras membatin.
Tanpa mereka sadari, seorang laki-laki berpakaian formal tengah menguping dan menyimak pembicaraan antara menantu dan juga mertua. Seulas senyum kecut tercetak di bibir laki-laki itu. Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar untuk bersiap-siap.
Semua sudah beres, bahkan makanan di dapur dan makanan kecil untuk tamu sudah siap. Kini hanya tinggal diskusi mengenai tanggal pernikahan Adira. Juga penyewaan gedung dan Wedding Organizer.
Lia berserta Doni---papa mertua Saras---tampak tengah berdiskusi bersama kedua orang tua dari pihak mempelai. Sesekali diskusi tersebut diselipkan tawa dan canda.
Berbeda dengan Saras, ia lebih memilih menepi di dapur. Mencicipi aneka puding yang dibuat sendiri. Ataupun membuat minuman es segar untuk kerabat yang masih ada.
Namun, ditengah sedang asik dengan kegiatannya, sebuah tangan kekar melingkar di pinggang Saras, hingga membuat Saras terkelonjak kaget. Seseorang memeluk Saras dari belakang, segera Saras meronta meminta pelukan itu terlepas. Akan tetapi, rontaan itu terhenti tatkala indra pendengarnya menangkap suara dingin dari sang suami.
"Jangan meronta! Aku juga tidak sudi melakukan hal ini. Lihatlah ke arah depanmu, seluruh keluarga bertanya-tanya dengan hubungan kita," ucap Kabir dengan apatis. Saras terdiam, sorot matanya tertuju ke arah objek yang dituju oleh Kabir.
Kabir berkata benar, tampak di depan sana ada Yuyun, Lia, dan Maya tengah menatap ke arah mereka. Tak hanya ketiga wanita setengah baya itu, Adira pun turut menatap kemesraan palsu yang dilakukan oleh Kabir.
"T--tolong, l--lepas." Saras melirih, kembali meronta sampai pelukan itu terlepas.
Kabir menatap dingin ke arah Saras. Berani sekali gadis itu memberontak. Jika tidak sedang di rumah sang ibu, mungkin sekarang Kabir sudah menyiksa Saras demi bisa melampiaskan rasa marahnya.
"Kali ini kamu selamat dari amarah saya, gadi sialan!" umpat Kabir. Memilih berlalu meninggalkan dapur.
Malam telah tiba, kerlap-kerlip bintang mempercantik indahnya suasana malam. Terlebih lagi di rumah Lia sedang diadakan pesta setelah lamaran. Banyak tatamu yang hadir dari kalangan atas, rekan kerja, pemilik butik, sampai dokter yang merupakan teman dari sang calon mempelai pria.Saras memandang ke halaman belakang rumah yang luas, di mana pesta digelar. Tidak hanya di halaman, dalam ruang tamu juga bergelar. Begitu meriah, Saras memaklumi bahwa keluarga Kabir merupakan keluarga kaya dan Kabir merupakan anak konglomerat dari pasangan Lia dan Doni Maulana Yasauno.Embusan napas panjang terdengar, Saras hanya mampu menatap sekitar tanpa ada niat untuk bergabung. Mengambil minuman yang tersedia di prasmanan, meneguknya agar menghilangkan rasa kering di tenggorokan.Saras terkejut saat menoleh ke samping, mendapati seorang laki-laki berambut ikal dengan gaya berpakaian casual dipadukan oleh jaket kulit berwarna hitam. Lebih terkejutnya lagi, saat laki-laki itu meny
Pagi-pagi sekali, Saras sudah bangun. Sedari malam ia tidak bisa tidur, berbagai pikiran buruk selalu menghantuinya. Terlebih saat melihat betapa marahnya wajah Kabir. Sungguh, batinnya berkata lelah. Namun, logikanya mengatakan jangan menyerah.Saras benar-benar dilema. Sorot matanya tertuju pada tumpukan piring bersih. Mengalihkan pikiran dengan berbagai mengerjakan pekerjaan rumah tangga rasanya hanya sia-sia saja. "Ya Allah, kenapa pikiran buruk selalu menghantui isi kepalaku?" Saras menengadah menatap langit-langit dapur. Air mata menetes saat mengingat perlakuan Kabir selama lima bulan terakhir. Seulas senyum kecut terbingkai, Saras sangat menantikan berakhirnya sandiwara antara ia dan Kabir. Berharap kalau laki-laki itu akan segera berubah secepatnya agar Saras bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai. Lelah rasanya bila harus mencintai orang lain terlebih dulu, tanpa dicintai balik. Rasanya benar-benar menyesakkan.
Setelah mengantarkan sang ibu mertua sampai ke butik. Saras berjalan keluar menuju kafe yang berada tak jauh dari butik tersebut. Tanpa sengaja langkahnya memelan kala sorot matanya tak sengaja menangkap sosok Kabir tengah bergandengan tangan dengan wanita lain, bahkan mereka begitu mesra. Perasaan sebelum ia pergi dengan Lia, Kabir tengah sibuk diskusi dengan ayah mertua di ruang kerja. Namun, mengapa laki-laki itu ada di sini bersama wanita lain?Rasa nyeri menjalar dari dada hingga sampai di ulu hati. Mereka tampak mesra sembari saling menyuapi roti satu sama lain. Andaikan saja Saras diperlakukan seperti itu, mungkin Saras akan menjadi perempuan yang paling bahagia. Tak ingin menambah beban pikiran lagi. Saras buru-buru melanjutkan langkahnya menuju Kafe Mentari di mana ia akan bertemu dengan sahabat semasa putih abunya dulu. Sudah dua tahun mereka berpisah tanpa kabar. Terakhir kali Saras dengar, Tejana sedang melanjutkan studi di Amerika. Selebihnya
Saras merasa canggung sekaligus merasa tak nyaman. Terlebih lagi wajah sang mantan masih tetap sama, begitu manis dipandang mata. Ingatan memori semasa putih abu terlintas begitu saja. "Sudah lama tidak bertemu, Sar," ucap Gemintang dengan lembut. Suara bass itu menyapa telinga Saras. Dulu, Saras sangat menyukai suara Gemintang, tetapi sekarang tidak lagi. Dengan susah payah, Saras mengulas senyum kecil menatap Gemintang. "Iya. Kamu makin tampan saja." Jujur saja kalimat itu hanya sebagai candaan. Mencoba mencairkan suasana di antara mereka. "Iya, Ras. Gemintang, 'kan abis pulang dari Italia. Makanya jadi ganteng gini," sahut Tejana sambil menepuk punggung Gemintang dengan keras. Memahami bagaimana atmosfer di meja mereka. "Jana, Jana. Kamu juga makin hari makin cantik," timpal Gemintang menoleh menatap Tejana dengan seulas senyum kecil di wajah. "Aku sadar kok cantik, emang dari lahir udah cantik." Dengan perca
Saras melangkah memasuki pekarangan rumah sang ibu mertua. Ia merasa puas menghabiskan waktu dengan Tejana juga Gemintang. Sebelum pulang tadi, ia sengaja mampir di kedai roti bakar untuk Adira ataupun sang ibu mertua. Pekarangan rumah tampak ramai seiring dekatnya pernikahan Adira. Tenda dan berbagai dekorasi pun sudah terpasang di depan rumah. Saras mengulas senyum tipis saat berpas-pasan dengan tetangga yang dikenalnya. "Assalamualaikum," ucap Saras ketika memasuki rumah. Matanya menyapu ke dalam, semua orang tampak sibuk hilir-mudik. Namun, bola matanya tak kunjung beranjak malah terpaku pada sosok Kabir yang tengah berdiri di anak tangga sambil bersedekap dada. "Kakak ipar udah pulang? Kak Kabir nanyain Kakak terus, lho." Saras terkelonjak kaget saat Adira datang dari arah samping, sedangkan gadis itu malah tertawa kecil melihat keterkejutan sang kakak. "Kamu ini ngagetin mulu. Mama ke mana?" tanya Saras sembari berjalan
Bukannya menenangkan diri di rumah, justru Kabir malah menemui Fadhilah. Bayangan raut sedih Saras yang biasanya menjadi hasrat hiburan untuk dirinya, kini berubah menjadi empati. Sungguh, Kabir tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri. Belum lagi dengan ucapan Saras serta sang ibu yang kembali terngiang di kepala bagaikan kaset favorit diputar berulang kali. Kabir Berusaha mengenyahkan pikiran dan berbagai ucapan itu. Namun, bukannya menghilang, justru kalimat itu semakin terdengar di telinga. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi aku nanya, kamu malah diam. Kamu lagi ada masalah apa lagi sama keluargamu?" Fadhilah kembali bertanya, merasa kesal dengan sikap Kabir yang sekarang. Kabir mengangkat wajah dengan malas menatap Fadhilah yang tengah berkacak pinggang di hadapannya. Lalu kembali mengisap rokok dalam jemarinya, asap mengepul dari mulut laki-laki itu. "Enggak ada." Kabir membalas dengan acuh tak acuh.
Semua persiapan pernikahan sudah selesai. Undangan pun sudah tersebar, kini hanya tinggal menunggu sang mempelai pria datang. Lia tampak cantik nan anggun dengan kebaya berwarna merah maroon dengan rambut yang disanggul rapi. Begitu juga dengan Saras, yang mengenakan gamis merah muda dengan hijab yang senada. Polesan mekapnya pun begitu tipis mampu membuat kadar kecantikan alaminya terpancar. Suara petasan terdengar membuat Saras yang tengah melamun tersentak kaget. Ia melirik ke samping, di mana Kabir tengah berdiri. Tak lupa juga tangan kekar laki-laki itu memeluk pinggang rampingnya. Saras lupa kapan laki-laki itu berdiri sambil memeluk pinggangnya. "Saya tahu saya tampan. Jangan melihat saya seperti itu," ucap Kabir sadar bahwa Saras tengah menatap dirinya. Saras mengembuskan napas kesal sembari membuang tatapan tertuju pada besan yang tengah disambut oleh ibu dan ayah mertuanya. Jemput besan sudah terlaksana, kini gi
Saras bisa menghirup udara segar. Ia sudah kembali di rumahnya, bukan rumahnya. Melainkan rumah Kabir. Masih baik laki-laki itu buru-buru pergi ke kantor, jadi tak perlu ada perdebatan yang malah berujung rasa sakit hati. Sikap manis dari sandiwara kemarin malah terlintas dalam ingatan Saras. Apalagi ingatan tersebut malah membawanya pada wajah Fadhillah. Pantas saja Kabir cinta mati dengan wanita itu. Toh, wanita itu terlihat cantik juga seksi. "Astagfirullah, kenapa negatif mulu, sih," gumam Saras menyadari lamunannya sendiri. Ia menatap tanaman yang sengaja dirawat di halaman belakang. Bunganya sudah bermekaran, Saras sangat menyukai bunga anggrek. Baru akhir-akhir ini ia merawatnya itu juga guna menghilangkan stres dan sakit hati dengan perlakuan Kabir. Notifikasi dari w******p membuyarkan lamunan Saras yang tengah menatap bunga anggrek. Ia merogoh gawai dalam saku gamisnya. Matanya membulat terkejut mendapati pesan dari Te