Share

5

Malam kian larut, acara syukuran dan lamaran sudah selesai dua jam yang lalu. Hanya tinggal mempersiapkan keseluruhan pernikahan Adira.

Sudah sangat malam, tetapi Saras tidak bisa memejamkan mata. Ia selalu mengubah posisi tidur, mencari posisi yang nyaman dan ia tidak bisa menemukan posisi ternyamannya. Kaki Saras turun dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar.

Udara khas malam sangat dingin menusuk relung tulang. Ditambah dengan kilauan bintang di langit, membuat suasana malam tampak cantik saja. Tangannya terulur memeluk tubuh sendiri, merasakan embusan angin menerpa wajah, entah kenapa memori ingatan pertunangan sekaligus malam pertama dirinya dan Kabir kembali berputar.

Ingatan yang berusaha Saras enyahkan dari pikirannya sendiri. Kini memberontak memenuhi sebagian pikirannya.

Saras menengadah langit, menatap rembulan dan juga bintang di sana. Tanpa diperintah buliran bening jatuh begitu saja mengingat memori masa lalu yang menyesakkan benak.

"Lelucon macam apa ini? Sejahat inikah takdir?" tanya batin Saras.

Ia menyeka buliran bening tersebut, menetralisir perasaan yang berkecamuk dalam hati.

"Kamu harus kuat, Ras."  Itulah kalimat yang selalu terlontar dari mulut Saras. Menguatkan diri dan juga batinnya sendiri.

Tidak bisakah Tuhan memberi sedikit kebahagian untuk pernikahannya? Saras selalu berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban dalam pernikahan yang penuh sandiwara ini.

Logikanya sudah merasa lelah menghadapi sikap kejam sang suami. Akan tetapi, sang batin meminta dirinya untuk tetap bertahan. Andai dulu, pernikahan ini terjadi bukan atas dasar menepati janji. Mungkin saja Saras sudah bahagia dengan laki-laki yang dicintainya.

***

Seorang laki-laki tengah duduk di depan meja bar sembari ditemani dengan minuman vodka. Suara musik berdegum memekakan telinga, tampak manusia sedang menggoyakan tubuh dengan vulgar.

Seorang wanita berpakaian seksi berjalan menghampiri laki-laki yang sedang asik minum vodka dengan rakus. Wanita itu berusaha menggoda dan menyentuh secara sensual pada wajah laki-laki itu. Akan tetapi, bukannya tergoda. Justru wanita tersebut malah didorong dengan kasar, lalu mengusirnya pergi.

Menyebalkan! Suasana hatinya sedang kacau, tetapi wanita malam malah menambah beban saja, semakin membuat pikirannya kacau. Tepukan di bahu membuat laki-laki itu terperanjak kaget, ia menoleh ke samping mendapati seorang laki-laki bersurai cepak kehitaman, wajah timur laki-laki itu sangat tak asing di penglihatannya.

"Hei jangan menatapku seperti ingin menerkam! Aku ini bukan gay," seloroh laki-laki bersurai cepak kehitaman itu dengan tawa yang dibuat-buat selucu mungkin.

Tak ada respon sama sekali dari lawan bicaranya. Tampaknya laki-laki yang sedang duduk sambil minum tak ingin diganggu. 

"Hidupku selalu banyak masalah, Bung," ucap Kabir terdengar dingin.

"Sudah banyak perubahan darimu, Kab."

"Waktu yang membawaku berubah, Celo."

"Kamu selalu bisa menjawab pertanyaan dariku, Kabir," ujar Celo.

Kabir mengulas senyum kecut menanggapinya. "Jika aku diam saja itu sama sekali tidak ada gunanya, lebih baik aku menjawab semua pertanyaan bodohmu itu."

"Oh ya, aku dengar sekarang kamu sudah menikah. Apa itu benar?" tanya Celo yang merupakan teman kuliah Kabir dulu.

"Untuk apa kamu bertanya itu, hah?" tanya Kabir dengan tatapan sinis.

"Hanya ingin memastikan itu dari kamu langsung. Kenapa kamu tidak mengundangku?"

"Untuk apa mengundang dirimu, hah?"

"Tidak ada gunanya juga dengan pernikahan sial itu," sambung Kabir seraya meneguk vodkanya kembali.

***

Hari menjelang pagi. Kicauan burung terdengar merdu. Udara khas pagi terasa sejuk. Pagi yang cocok untuk memulai selembaran baru. 

Tampak seorang gadis tengah merias diri sendiri, agar nanti ia bisa membantu sang ibu mertua membereskan barang-barang yang berantakan di bawah sana. Ia menatap lekat wajahnya sendiri di pantulan cermin, terlihat kantung mata hitam seperti panda.

Mencoba mengulas senyum paksa, agar wajahnya tidak terlihat lesu. Semalam Saras tidak bisa tidur, karena sengaja menunggu kepulangan Kabir. Namun, yang ditunggu oleh Saras tidak kunjung pulang.

Oh ya, Saras melupakan sesuatu, mana mungkin sang suami akan merasa bahagia ditunggu di rumah oleh dirinya. Saras selalu tersenyum getir untuk hal itu. Rasa cinta yang kian membelenggu membuat Saras terpaksa menunggu kepulangan Kabir.  

"Di mana Kabir?" tanya Lia, menyadari kehadiran Saras di ruang tengah. "Apa dia belum pulang dari semalam?"

"Hmm ... mungkin dia lagi lembur, Ma. Mama, 'kan tahu, kalau Mas Kabir selalu sibuk dengan pekerjaan kantor."

"Tapi seharusnya dia mengambil cuti beberapa hari, agar bisa membantu persiapan pernikahan Adira," ujar Lia. 

"Mama kayak yang enggak tahu saja gimana pekerjaan dari seorang owner di perusahaan Yasauno? Sekaligus pewaris keluarga Yaeauno, dia akan selalu sibuk," papar Saras seraya mengulas senyum menyakinkan.

"Beruntung Kabir memiliki istri sepertimu yang selalu mengerti keadaan dirinya yang selalu sibuk," ucap Lia seraya mengusap pelan bahu Saras. Meski Saras merasa ada yang perih di ulu hati.

Saras terdiam sejenak, menahan diri agar tidak menangis. "Dan bagaimana dengan diriku? Apakah aku bisa dikatakan beruntung memiliki suami yang tidak mengharapkan kehadiranku?" Saras membatin.

Tanpa mereka sadari, seorang laki-laki berpakaian formal tengah menguping dan menyimak pembicaraan antara menantu dan juga mertua. Seulas senyum kecut tercetak di bibir laki-laki itu. Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar untuk bersiap-siap.

Semua sudah beres, bahkan makanan di dapur dan makanan kecil untuk tamu sudah siap. Kini hanya tinggal diskusi mengenai tanggal pernikahan Adira. Juga penyewaan gedung dan Wedding Organizer.

Lia berserta Doni---papa mertua Saras---tampak tengah berdiskusi bersama kedua orang tua dari pihak mempelai. Sesekali diskusi tersebut diselipkan tawa dan canda.

Berbeda dengan Saras, ia lebih memilih menepi di dapur. Mencicipi aneka puding yang dibuat sendiri. Ataupun membuat minuman es segar untuk kerabat yang masih ada.

Namun, ditengah sedang asik dengan kegiatannya, sebuah tangan kekar melingkar di pinggang Saras, hingga membuat Saras terkelonjak kaget. Seseorang memeluk Saras dari belakang, segera Saras meronta meminta pelukan itu terlepas. Akan tetapi, rontaan itu terhenti tatkala indra pendengarnya menangkap suara dingin dari sang suami.

"Jangan meronta! Aku juga tidak sudi melakukan hal ini. Lihatlah ke arah depanmu, seluruh keluarga bertanya-tanya dengan hubungan kita," ucap Kabir dengan apatis. Saras terdiam, sorot matanya tertuju ke arah objek yang dituju oleh Kabir.

Kabir berkata benar, tampak di depan sana ada Yuyun, Lia, dan Maya tengah menatap ke arah mereka. Tak hanya ketiga wanita setengah baya itu, Adira pun turut menatap kemesraan palsu yang dilakukan oleh Kabir.

"T--tolong, l--lepas." Saras melirih, kembali meronta sampai pelukan itu terlepas.

Kabir menatap dingin ke arah Saras. Berani sekali gadis itu memberontak. Jika tidak sedang di rumah sang ibu, mungkin sekarang Kabir sudah menyiksa Saras demi bisa melampiaskan rasa marahnya.

"Kali ini kamu selamat dari amarah saya, gadi sialan!" umpat Kabir. Memilih berlalu meninggalkan dapur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status