Share

2

Cuaca malam ini terlihat begitu indah, banyak bintang bertaburan di atas langit, sinar rembulan pun kini mulai ikut bersinar menghiasi. Bagi Saras malam ini sama saja seperti malam sebelumnya, selalu rasa sesak yang menyelimuti.

Saras menumpahkan tangisnya dalam kegelepan malam, mengingat saat ia jatuh cinta pada lelaki itu hanya dengan menatap wajahnya saja. Sementara lelaki itu tidak mau membalas cintanya sama sekali, melainkan membenci kehadiran Saras. Jika saja bukan karena janji dari seseorang, Saras tidak mau menerima pernikahan konyol ini. Saras selalu bermimpi ingin memiliki sosok suami yang mencintai dirinya dengan tulus dan sosok suami yang bisa membahagiakan dirinya. Bukan yang malah menyakiti dan membuat luka di hati Saras.

Rasa lelah menyelimuti. Ingin mengakhiri, tetapi takut kalau ia mengakhiri maka bencana besar akan terjadi. Saras takut itu.

Memori malam pertama dirinya dengan lelaki itu terlintas begitu saja. Malam di mana kehidupannya dimulai, malam di mana ia merasa dibodohi dan merasakan apa itu sakit hati yang sesungguhnya. Awal di mana sang suami membenci dirinya.

"Jangan merasa senang dulu gadis bodoh! Pernikahan ini hanya karena sebuah janji tidak lebih dari itu. Akan saya pastikan kamu tidak akan pernah mendapatkan kebahagian melainkan hanya penderitaan," ucap Kabir terdengar penuh penekanan dan dingin sembari mencekal kasar lengan Saras.

Saras menahan rasa sakit di pergelangan tangannya seraya menatap sendu ke arah lelaki itu.

"Kenapa kamu tidak menolak pernikahan ini, hah? Karena dirimu saya dan kekasih saya hampir saja berpisah! Ingat ini baik-baik, saya tidak akan pernah 'MENCINTAIMU' tetapi saya akan terus 'MEMBENCIMU' hanya itu," lanjutnya tepat di wajah Saras, lalu mendorong tubuh Saras dengan kasar hingga tersungkur mengenai tepi ranjang dan membuat dahinya terluka.

Kabir mengulas senyum penuh kepuasan melihat betapa mirisnya keadaan sang istri. Selanjutnya, lelaki itu memilih meninggalkan kamar, menutup pintu dengan kasar membuat Saras terkelonjak kaget. Buliran bening di pelipuk mata sudah menganak seperti sungai yang siap tumpah. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis.

Merasa sudah lelah menangis karena mengingat peristiwa tersebut. Saras memilih tidur dan melupakan semuanya. Berharap jika semua itu hanyalah cobaan hidup, berharap saat ia terbangun nanti semuanya akan baik-baik saja. Ya, baik-baik saja.

***

Di tempat lain, seorang lelaki berpakaian formal, tetapi sudah urak-urakan tengah meneguk vodkanya. Sudah dua botol ia habiskan. Meminum vodka dalam keadaan yang tak karuan sudah menjadi kebiasaannya saat sedang dilanda masalah. Entah kenapa akhir-akhir ini pikirannya selalu terlintas pada seorang gadis yang sangat ia benci. Bola matanya tertuju menatap langit-langit kantor dengan tatapan hambar.

Rasanya sangat tidak suka jika ada seseorang yang mencampuri hidupnya bahkan memaksanya, ia sangat membenci itu. Jika saja bukan sang nenek yang mencampuri hidupnya, mungkin ia sudah menghabisi orang tersebut.

Sungguh, rasanya ia membenci keluarga sendiri, karena sudah  menghancurkan kehidupan yang tengah dijalani dengan lancar tiba-tiba saja disuruh dan menyetujui pernikahan dengan orang yang tidak bisa ia cintai. Bahkan ia sangat membenci gadis itu, sangat benci. Hidupnya mulai memburuk saat ia menikah dengan gadis itu.

Napasnya memburu, ada emosi yang tertahan di balik mata teduh milik lelaki itu. Ia melempar botol vodka yang sudah habis ke lantai, membuat suara pecahan kaca terdengar di ruangan tersebut. Matanya sudah memerah akibat terlalu banyak minum.

"Aku benci kepada hidupku sendiri," gumamnya terdengar sangat dingin sedingin es.

***

Hari menjelang pagi, Saras sudah terbangun sejak subuh tadi. Ia juga sudah menyiapkan sarapan dan menyajikannya dengan rapi di atas meja makan. Tinggal menunggu sang suami untuk mencicipi masakannya dan mensatap sarapan bersama-sama.

Lelaki berpakaian formal berjalan melewati ruang makan, siapa lagi jika bukan suaminya a.k.a Kabir Mohammed Yasauno. Seperti hari biasanya, Kabir tidak pernah menoleh ke arah Saras ataupun menghampiri meja makan untuk sekedar mencicipi masakan Saras.

Padahal Saras memasaknya dengan penuh rasa cinta. Hanya saja lelaki itu tidak bisa melihat dan merasakan akan perasaan Saras.

Saras mengembuskan napas kasar dan memilih mensatap sarapannya sendiri, walaupun rasanya sangat hambar. Baru dapat dua suapan, tiba-tiba saja dering ponsel Saras berbunyi. Ia melihat ID si pemanggil tertera nama Adira Melani adik dari Kabir, melainkan adik iparnya. Mereka begitu dekat, layaknya seperti adik-kakak kandung. Saras menekan tombol hijau, lalu mendekatkan benda pipih tersebut dekat telinganya.

"Halo?" sapa Saras.

"Halo, Kak Saras. Kakak bisa datang hari ini ke rumah ibu enggak?" Adira berucap dari seberang telepon sana.

"Hari ini? Memangnya ada acara apa?"

"Iya, Kakak hari ini. Eum ... ibu tidak memberitahumu kemarin? Hari ini ada acara syukur untuk lamaranku sekaligus mencoba baju untuk pagar ayu."

"Oh ya? Eum ... bagaimana, ya?" Saras bimbang, haruskah ia menuruti apa kemauan sang adik atau tidak.

"Ayolah, Kak. Dira pengen ditemani sama Kak Saras, ya, ya ya," paksa Adira di seberang telepon sana.

"Iya, baiklah, Dira. Aku akan datang. Kamu puas sekarang?"

"Aku belum puas sebelum kakak ada di sini," kata Adira di seberang telepon sana.

"Baiklah, sampai bertemu di rumah." Saras mengakhiri panggilan tersebut. Segera membereskan piring bekas sarapan, setelah itu bersiap-siap pergi menemui adik iparnya di rumah ibu mertua. Sudah lama ia tidak menginjakan kaki di sana.

Adira sengaja mengundang Saras untuk membantu menyiapkan pernikahannya. Mengingat sebentar lagi Adira akan segera menikah, sesuai keinginan Adira sendiri yang memilih menikah setelah lulus dari kuliah di luar negeri, menikah dengan seorang laki-laki yang sangat mencintainya. Tidak seperti nasib pernikahan Saras.

***

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di kediaman Lia. Saras sudah sampai di depan rumah ibu mertuanya, di sana sudah banyak kerabat yang datang untuk membantu menyiapkan pernikahan putri dari Liana dan Sobri Yasauno.

Sebelum memasuki rumah tersebut, Saras menarik napas perlahan, membuangnya dengan perlahan. Ia berjalan menelusuri setiap koridor pintu utama, lalu melangkahkan kakinya memasuki rumah besar tersebut. Saras bisa melihat sosok dua wanita paruh baya yang sedang hilir-mudik membawa baskom serta nampan berisi makanan untuk acara lamaran nanti.

"Kakak Saras!" Adira berteriam seraya  memeluk tubuh Saras dengan erat.

Saras melerai pelukan itu dan menangkup wajah cantik milik Adira, jujur saja Adira begitu anggun nan cantik. Tidak hanya cantik, gadis itu juga begitu lembut dan baik hati. Beruntung sekali lelaki yang mendapatkan cinta Adira dan mencintai sang adik.

"Kamu, 'kan akan segera menikah, seharusnya kamu bertingkah seperti orang dewasa bukan seperti anak kecil yang manja lagi," balas Saraa sembari mencubit gemas pipi Adira. Adira terkekeh geli mendapatkan cubitan itu.

"Ayo, Kak. Bantu aku memilihkan Kakak pakaian dan membantu ibu juga, haha." Adira menarik lengan Swara menuju ibu Lia dan bibi Kokom. 

"Assalamualaikum, Bi," ucap Saras mengulas senyum pada Kokom seraya menyalimi dua orang dewasa itu dengan takzim.

"Kebetulan kamu datang, Ibu baru saja ingin meneleponmu. Kamu tahu? Ibu lupa memberitahu kemarin saat mampir ke rumah Saras," papar Lia.

"Ibuku ini memang pelupa. Pantas saja aku merasa heran saat Ibu pulang dengan alis berkerut seperti memiliki beban," balas Adira menggoda ibunya. Saras tertawa kecil, begitu juga dengan Kokom.

"Tetapi ingatanku akan kelakuanmu sejak kecil. Aku ingat betul, Sayang," sambung Lia menepuk pelan pipi Adira.

"Baiklah, Nak. Tolong bantu adikmu yang manja ini memilih pakaian untuk lamaran dan bantu dia berdandan." Lia menatap Saras sekilas. Adira tak menerima dipanggil manja oleh sang ibu.

"Ibu aku tidak manja ...," rengek Adira.

"Ya, terserah kamu saja. Kom, ayo kita mesti persiapkan besek buat bapak-bapak." Lia mengajak Kokom kembali ke dapur atau lebih tepatnya di halaman belakang di mana tempat memasak dilakukan. 

Kini Saras menemani Adira memilih baju. Entah kenapa bayangan di mana pertama kalinya ia bertemu dengan Kabir di hari lamaran. Saras melamun memikirkan bagaimana bisa ia jatuh cinta saat acara lamaran tersebut.

Jujur saja Saras tak mendengarkan celotehan Adira yang sedari tadi berbicara terus-menerus. Adira merasa tak ada balasan dari sang kakak. Ia menoleh memperhatikan Saras tengah melamun dan membuyarkan lamunan Saras. 

"Apa yang Kak Saras pikirkan? Oh, atau mungkin Kakak memikirkan lamaran kakak waktu dulu?" tanya Adira menebak apa isi kepala Saras, Saras hanya menggeleng kecil membalas hal itu.

"Maaf jika waktu itu aku enggak datang, karena aku ada ujian," sesal Adira, ia sungguh menyesal karena tidak bisa melihat sang kakak melamar seorang perempuan cantik ssperti Saras..

Saras mengulas senyum kecil menatap Adira. "Enggak apa-apa."

"Benarkah, lalu bagaimana acara lamaran itu? Apa kak Kabir terlihat keren? Lalu perasaan Kak Saras bagaimana?" tanya Adira yang tampak begitu antusias.

"Dan apa kalian saling mencintai satu sama lain? Dan bagaimana malam pertama kalian?" Adira tak henti-hentinya melontarkan banyak pertanyaan. Untuk kalimat terakhir ia sengaja berbisik sambil menyenggol bahu Saras. 

Saras menelan saliva sendiri dengan susah payah. Bayangan memori malam pertama kembali terlintas begitu saja di saat Saras mati-matian ingin melupakan peristiwa tersebut.

"Baik, dan sangat indah," ucap Saras bergetar dan terasa tercekat.

Adira tidak tahu apa yang sedang dialami di rumah tangga kakaknya sendiri.

Adira hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum simpul. Gadis itu kembali menyibukan diri memilih pakaian mana yang cocok untuk lamaran nanti malam.

"Malam pertama? Tidak ada kata malam pertama di dalam hidupku. Hanya ada malam yang begitu menyesakkan dan awal di mana kehidupanku dan penderitaanku dimulai. Semoga kamu tidak mengalaminya, Adira," batin Saras mencoba tetap terlihat tegar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status