Share

Betrayal Of Love
Betrayal Of Love
Penulis: Imouni29

1. Awal mula

Satu hal yang paling memuakkan bagi Saraswati ialah pertengkaran dalam rumah tangganya. Ia sangat muak jika harus bertengkar dengan sang suami pada malam hari. Rasa tegar dan juga sabar selalu ia selipkan dalam hati agar bisa mempertahankan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.

Pernikahan keduanya bukan karena dua insan yang mempersatukan. Melainkan sebuah perjodohan antara keluarga. Saraswati dan Kabir menikah atas dasar sebuah keinginan terakhir dari mendiang sang nenek---Juju---pernah berjanji akan menikahkan cucunya dengan cucu sahabatnya---Hadian---janji yang tidak bisa diingkari dan janji yang harus ditepati.

Pernikahan Saras sudah berjalan hampir lima bulan setengah, masih terbilang sebentar. Akan tetapi, bagi Saras itu sudah cukup lama dan paling menyesakkan dalam hidup.

Saras memiliki status sebagai seorang istri, tetapi ia merasa bukan seperti seorang istri sungguhan. Ia merasa sebagai diri sendiri tanpa memiliki status yang sesungguhnya dalam hubungan tersebut.

Hubungan ikatan janji suci, janji-janji yang diucapkan dengan Kabir hanyalah sebuah kebohongan dan juga kepalsuan. Saras bersungguh-sungguh mengucapkan janji suci tersebut. Namun, berbeda dengan sang suami yang malas mengucapkannya. Duduk di pelaminan untuk bersanding dengan Saras saja laki-laki itu berat hati, apalagi mengucapkan sebuah janji suci pernikahan.

Jika dilihat-lihat, Saras merupakan gadis cantik, baik, dan juga penyanyang. Hanya saja Kabir tidak bisa membuka mata, kalau wanita yang sedang berperan sebagai istrinya ialah sosok wanita yang diimpikan banyak kaum adam.

Jika saja bukan atas sebuah keinginan seseorang, mungkin Saras sudah menolak menikah.

Siapa sangka dibalik pernikahan mewah yang terkesan romantis dan juga megah kala itu, sebenarnya badai pemula yang datang pada kehidupan baru Saras.

Tinggal satu atap dengan suaminya, rasanya seperti tinggal di rumah sendiri-sendiri. Keduanya berpisah kamar itupun berjarakan cukup jauh.

Saras dan Kabir tinggal di rumah mewah yang terletak di kota Jakarta, Indonesia. Rumah yang dijadikan tempat pelampiasan dan terbongkarnya topeng Kabir di hadapan Saras. Berbohong ingin hidup mandiri kepada sang ibu, justru Kabir malah menjadikan Saras sebagai tempat kekesalan dan lampiasan amarah di kala sedang memendam rasa kebencian.

Rumah mewah yang ditinggali sangat terasa sepi bagi Saras. Tidak ada rasa bahagia yang didapat, melainkan selalu luka dan luka.

Saras selalu ditinggal pergi oleh Kabir dan benar-benar terabaikan. Mendengar kalimat panjang, senyuman serta lirikan mata dari sang suami rasanya sangat langka didapatkan. Apalagi mendapatkan sebuah 'cinta' untuk dirinya. Sang suami hanya mengeluarkan suara singkat, dingin, dan juga bersikap tak peduli. Senyum sinis, lirikan mata tajam yang begitu menusuk membuat hati Saras bagaikan tertusuk oleh ribuan jarum yang tajam.

Walaupun terabaikan dan mustahil dicintai. Saras selalu menguatkan hati agar tetap tegar dan sabar menghadapi sikap sang suami. Percaya bahwa laki-laki itu akan berubah suatu saat nanti.

Terkadang Saras juga sering melamun sekaligus bertanya-tanya dalam hati. Mengapa pada saat itu ia bisa langsung jatuh cinta cuma dengan menatap wajah laki-laki itu, bahkan rasa cinta semakin berbunga seiring berjalannya waktu. Ah, rasa cinta tak seharusnya disalahkan, karena cinta bisa datang secara tiba-tiba.

"Hei, kamu sedang melamumkan apa?" Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan Saras.

Saras mengerjap, menoleh ke arah sumber suara itu. Seulas senyum hangat terbingkai di bibir melihat siapa yang datang. Ia beranjak dari sofa ruang tamu, menghampiri sang ibu mertua yang datang mampir. Menyalimi tangan Lia dengan takzim.

Pelukan hangat didapatkan oleh Saras dari sang ibu mertua.  

"Mama, kenapa enggak mengabari kalau ingin mampir? Biar Saras menyiapkan kue kecil untuk Mama."  Saras mengajak Lia untuk duduk berdua di sofa ruang tamu. Mengobrol sekaligus saling melepas rindu.

"Mama sengaja enggak ngabarin. Enggak usah repot-repot, Ras. Mama ke sini, karena Mama kangen sama kalian." Lia menenangkan sang menantu. Beruntung memiliki menantu seperti Saras, sudah cantik, gesit, dan pintar memasak. Ia selalu ketagihan dengan masakan buatan Saras.

Saras mengulas senyum kecil, merasa beruntung memiliki mertua yang baik dan mau mengerti dirinya. Entah mengapa air mata pelupuk matanya sudah menganak bagaikan sungai. 

Lia merasa heran melihat Saras meneteskan air mata. Dengan sayang, ia menangkup wajah cantik milik Saras dan berkata, "Kamu menangis. Apa Kabir menyakiti kamu?" Raut khawatir terpatri dalam manik mata sang ibu.

Saras menggeleng kecil, berusaha tersenyum agar Lia tidak mengkhawatirkan dirinya. "Saras enggak apa-apa, Ma. Saras cuma rindu sama ummi Saras."

Saras berbohong. Ia menangis bukan rindu dengan sang ibu kandung, melainkan rasa sesak di dada semakin menyeruak dalam benak. Jujur saja, ingin rasanya ia menumpahkan semua keluh-kesah pada Lia yang selalu memberikan ia petuah seperti sang ummi. Juga berbaik hati dan selalu perhatian. Sifat lembut sang ibu mertua jauh berbeda dengan sifat suaminya.

Luka yang selama ini ditahan, semakin hari semakin menganga dengan lebar. Kabir tak mempunyai hati, selalu acuh tak acuh, dan membentak kala sedang marah tanpa meminta maaf.

Saras menghela napas pelan sembari tersenyum tipis. Menghapus sisa air mata oleh ibu jarinya sendiri.

"Jangan berbohong, Sayang. Kalau kamu memiliki masalah dalam rumah tanggamu, kamu bisa berbagi sama Mama. Mama siap mendengarkan, karena sekarang ... kamu adalah tanggung jawab, Mama. Bahkan Mama sudah menganggap kamu seperti anak perempuan Mama sendiri," ucap lembut Lia sembari mengelus puncak rambut Saras.

Saras menggeleng kecil, enggan berbagi cerita. Ia juga bingung, tak tahu harus berkata apa. Entah dorongan darimana, ia memeluk tubuh ibu mertuanya dengan erat. Tumpahlah sudah air mata yang ditahan dalam pelukan sang ibu mertua. Saras menangis terisak-isak, siapapun yang mendengar tangisan tersebut akan merasakan pilu.

Isakan tangis Saras mampu membuat Lia ikut merasakan sakit hati tanpa sebab. Ia tak kuasa menahan air mata mendengar suara tangisan sang menantu. Seolah-olah ada ikatan batin seperti seorang ibu dan anak.

Saras sadar, bahwa pelukan tersebut bisa saja membawa dirinya pada masalah. Takut kalau Lia memaksanya bercerita. Dengan terpaksa, ia melesai pelukan itu.

Lia mencoba tersenyum menguatkan sang menantu kesanyangan agar tak terlalu larut dalam kesedihan. Memahami bagaimana lika-liku hubungan rumah tangga atas kehendak perjodohan.

"Mama ... A--aku ... A--aku ...."

"Ssstt ...," potong Lia menyentuh bibir Saras dengan jari telunjuknya.

"Jangan berbicara di saat kamu ingin menangis. Hal itu akan membuatmu semakin merasa sesak dan sakit hati. Menangislah, puaskan tangisanmu jika itu bisa membuatmu merasa lebih tenang setelahnya," ujar Lia seraya menyeka air mata di pipinya sendiri.

Tangisan yang tadinya memelan, kini malah menjadi histeris. Lantas Lia segera menarik menantunya ke dalam pelukan, membiarkan Saras menumpahkan tangisnya.

Tidak hanya menangis dalam pelukan sang ibu mertua. Saras selalu menangis dalam diam atau menangis di tengah-tengah kegelapan malam tanpa suara.

Dalam lima bulan, dalam masa pernikahannya sangat menguras batin Saras. Bayangkan saja jika kalian berada di posisi Saras, memiliki suami yang tidak pernah memedulikan dirinya bahkan tidak memiliki rasa cinta sedikitpun.  

"Katakan, Sayang. Apa Kabir membuatmu terluka? Mama tahu kalah pernikahan kalian terjadi karena sebuah janji bukan dua insan saling mencintai," kata Lia, seakan-akan tahu apa yang tengah dihadapi oleh Saras. Tangan yang sedikit keriput itu mengelus puncak kepala Saras dengan sayang.

Saras melerai pelukan itu, menghapus sisa air matanya. Ia perlu memperbaiki dugaan negatif dari sang ibu mertuanya.

"Enggak, Ma. Kabir enggak bikin Saras terluka. Jika Tuhan sudah berkehendak, suatu saat nanti kami pasti akan saling mencintai. Saras menangis, karena Saras rindu sama ummi dan abbi di kampung," alibi Saras yang tidak ingin membuat ibu mertuanya khawatir dan tahu titik permasalahan rumah tangannya.

Lia mengulas senyum tipis, tak ingin memaksa. "Baiklah, di mana Kabir?"

"Dia pergi bekerja, Ma," balas Saras. Lia mengangguk mengiakan sebagai jawabannya.

Jika kalian bertanya mengapa Saras tidak bercerai saja dengan Kabir atau menyudahi pernikahan drama tersebut. Asalkan kalian tahu saja penceraian itu tak semudah mengangkat berbagai helaian kertas. Apalagi menyobeknya.

Bila Saras mengambil keputusan untuk berpisah, maka hal buruk akan terjadi. Pasti akan ada satu orang yang terluka di alam baka sana, juga di sini.

Satu-satunya keputusan Saras; tetap bertahan meski tak dihargai. Rasanya pun sangat memuakkan. Apa pun risikonya nanti, ia akan tetap mencoba dan menerima keadaan rumah tangganya sendiri.

Ketika Saras sedang sibuk berlamun. Lia memilih pamit pulang, ingin memberikan ruang untuk sang menantu. Ia mengerti bahwa Saras tengah di landa masalah. 

"Mama pulang dulu, ya. Bilang pada Kabir agar segera menghubingi Mama," ucap Lia, yang kini sudah berdiri dari duduk dan melangkah menuju pintu keluar diikuti oleh Saras dari belakang.

Saras mengangguk kecil. "Iya, Ma. Saras bakalan kasih tahu ke Mas Kabir.. Dan hati-hati di jalan, Ma."

Lia mengangguk sebagai balasan, mengelus puncak rambut Saras sekilas dan mencium kening sang menantu cukup lama.

"Jaga dirimu," ujar Lia. Saras membalas dengan anggukan kecil.

Kini Saras kembali dengan pikirannya sendiri. Duduk di sofa sambil menonton TV. Namun, ia tidak menonton tanyangan TV tersebut. Melainkan sibuk berlamun memikirkan nasib hidupnya akan seperti apa nanti.

Suara pintu terbuka dengan keras membuat Saras terkejut sekaligus menoleh pada arah pintu masuk.

"Sepertinya kamu mencari masalah pada saya, Nyonya Besar!" Suara dingin milik Kabir mampu membuat bulu kuduk Saras berdiri. Kini ia beringsut bangun dari duduk, menatap takut pada Kabir.

"M--mas ...," gagap Saras merasa takut. 

Kabir tak memedulikan penjelasan dari Saras. Laki-laki itu menarik lengan Saras mencengkeram dengan kasar. Mampu membuat Saras meringis kesakitan.

"Ahh ... L--lepaskan ... S--asakit ...." Saras memohon dengan lirih.

Sungguh, laki-laki itu sama sekali tidak memiliki hati nurani, bukannya melepas. Justru malah menarik paksa Saras menuju kamar. Menyeret hingga sampai di dalam kamar.

Laki-laki itu menghempaskan tubuh Saras dengan kasar ke lantai hingga tersungkur hampir mengenai ujung ranjang.

Tak hanya itu saja. Kabir menarik dagu Saras dengan kasar. Tatapan mata laki-laki itu begitu mengintimidasi, sangat tajam dan penuh dengan kilatan kemarahan.

"Kamu bilang apa pada mama saya, huh?" desis Kabir penuh penekanan.

"A--apa ma--maksudmu, Mas?" tanya Saras dengan gagap akibat pasokan oksigen yang menipis.

"Jangan bersandiwara lagi di hadapan saya, bicth! Saya tidak sengaja bertemu dengan mama saya di jalan sampai dia memarahi saya karena membuatmu menangis. Jangan sampai kamu mengadu padanya, sialan!" bentak Kabir, kilatan amarah terpatri di manik matanya.

Saras hanya bisa diam tak melawan. Buliran bening jatuh menetes dengan deras. Percuma melawan, yang ada akan memperburuk keadaan saja. 

Kabir mengulas senyum picik merasa senang melihat sang istri bonekanya menangis. Bagi Kabir menyakiti Saras itu sebuah hiburan seperti menuntaskan hasrat ingin menyakiti. 

"Jawab saya gadis bodoh!" teriak Kabir. Saras terkejut mendengar teriakan tersebut.

Tak ada jawaban yang Saras keluarkan dari mulut. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Kabir di dagu agar bisa terlepas.

"Saya peringatkan sama kamu. Jangan pernah mengatakan semua tentang masalah rumah tangga kita pada orang lain, terutama mama saya sendiri! Karena saya tidak ingin melihat dia jatuh sakit," hardik Kabir dengan nada bicara terkesan dingin.

Kabir beranjak pergi meninggalkan Saras sendiri di dalam kamar. Pintu tertutup dengan keras, membuat ia terkelonjak kaget mendengar bantingan pintu tersebut.

Merasa sudah sendirian, ia menumpahkan seluruh air mata yang ditahan dengan sepuas hati. Jika saja kalian bisa mendengar suara tangisan pilu itu mungkin kalian juga akan ikut menangis bersama Saras.

"Ujian macam apa ini, Ya Tuhan?"

[WARNING: CERITA INI PERNAH SAYA SHARE DI apk oren DI AKUN IMOUNI DENGAN LATAR INDIA. KALAU INI VERSI INDONESIA.]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status