Share

5. Belajar bermain

Kurasakan panas menyengat tubuh. Terbakar dari ujung kaki hingga ke kepala lalu menyentak tubuhku seketika. Aku terbangun. Melotot. Mendapati diri tengah terduduk dengan kedua kaki terselonjor. Tegang. Bingung. Namun menghela napas dalam-dalam, kemudian mencoba tenang, aku berpikir bahwa mimpi buruk seharusnya bukan perkara lagi untuk dipusingkan. Aku hanya harus terbiasa.  

Kedua kaki menapak hati-hati di lantai dan berjalan ke jendela. Kusingkap tirai gorden dengan berani dan ternyata mentari sudah terang benderang. Pancaran sinarnya menyororti tempat tidurku dan debu-debu halus terlihat mengudara. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas sementara suhu badan terasa masih malam. Aku menunduk. Menyibak surai.

Melihat kedua kaki yang jari-jemarinya sudah tidak bengkak lagi membuatku sadar kala mengangkat ibu jari di sana untuk menghentak-hentakannya pelan seperti ketukan lagu. Sudah sembuh, ya?

Pertama-tama, yang akan dikatakan semua orang tentang hal baik adalah: Alhamdulillah, bersyukur atas kesehatan dan nikmat hidup yang diberikan Tuhan pagi ini. Tubuh masih utuh tak kurang satu apapun dan ambisi tidak dilahap waktu meski semuanya sudah terlambat untuk dimulai. Tapi tak dapat dipungkiri, keanehan pun menjalar mengitari hal tersebut.

Aneh karena dislokasiku bisa sembuh dalam semalam tanpa ada rasa nyeri sedikitpun. Aneh rasanya karena saat bercermin aku menemukan debu melapisi kulit wajahku. Saat kupastikan langit-langit kamar, sarang debu atau semacam jaring laba-laba tidak ada di sana. Aku jadi curiga saat merasakan perutku tak lama merasakan lapar yang tak tertahankan. Apa, jangan-jangan?

Brrrm,,, mpssss,

Aku berpaling keluar jendela. Melihat pick up memarkir diri di depan kos yang tak lama dua orang di depan keluar untuk menurunkan beberapa barang besar dibungkus kertas krep coklat dibelakangnyaā€”digotong masuk ke dalam kamar tepat di sampingku. Aku menarik tirai untuk mengintip. Melihat Esa yang tengah berdiri di tengah halaman memantau kegiatan tersebut hampir dua puluh menitan sampai semuanya selesai. Setelahnya, supir dari pengendara pick up serta satu orang temannya mengacungkan jempol, kemudian membawa mobilnya keluar dari halaman kos dengan cepat.

Tunggu-tunggu. Bukannya itu tadi manajer sekaligus kasir di Larasa, ya? matanya kan sipit. Aku membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar. Masih dengan surai yang berantakan, kotoran di ujung mata, muka yang sembab, juga baju piyama motif parangritis, dengan gagah berani menatap lawan yang nampak bersinar di bawah pantulan sinar matahari.

Esa sendiri tercenung. Dia terdiam seribu bahasa karena terpaku padaku yang berbentuk setengah rupa. Aku yang sadar diri paling jelek hanya berusaha meluruskan helai rambut dan mengusap wajah pelan. Ia memakai kaus pendek merah bertuliskan ā€œfightā€ dengan gambar kobaran api pada bordernya. Jeans selutut mengekspose warna kakinya yang putih-bersih, berjalan mendekat dengan sesekali mengelus surainya yang terlihat mengkilap. Tapi meski begitu, nuansa tatapannya dalam dan gelap. 

  ā€œKamu kenal manajer di Larasa, ya?ā€ tanyaku.

Tanpa basa-basi aku langsung menuding begitu. Ia me-loading pertanyaan dengan lambat meski jawabannya hanya sekadar anggukan kepala sebelum pandangannya beralih pada tangannya yang memegang kenop pintu dengan tergesa.  

ā€œKok bisa?ā€

Aku menahannya dan ia jadi menjeda pergerakan. Kali ini dengan jelas menatapku tidak suka sambil mengkerutkan alis. Kamar kami bersebelahan dan tembok penghalangnya dibuat seperti perosotan, jadi para tetangga bisa saling menyapa dengan lebih leluasa.

 ā€œMemangnya, anda ada perlu apa, ya?ā€

ā€œEhā€”ā€ dadaku mencelos. Apa yang ia katakan barusan? Anda?

Aku bungkam beberapa detik.

Kau tahu, belakangan ini aku mulai bermain mobile legend hingga larut malam setiap hari sampai mimisan karena kurang tidur dan aku jadi tahu kalau pertanyaan barusan rasanya seperti tertembak stun dari lawan.

ā€œAnda, kenal saya?ā€ tambahnya lagi. Aku jadi tak mengerti.

ā€œKamu nggak ingat, aku siapa? sama sekali?ā€

Ia berpikir cukup lama. Mencari-cari siapa aku di dalam kepalanya sambil beradu tatap tanpa berkedip. Bergeming, menimbulkan inisiatifku untuk memajukan dagu padanya. Ia mencermatiku dalam-dalam, dan kukatakan dengan begitu jelas.

ā€œAku pacarmu, Esa.ā€

Ekspetasiku dengan responnya berbeda. Barusan itu hanya hening, dibarengi dengan tatapan tidak mengerti. Ia jelas tidak semudah itu percaya, tapi responnya begitu biasa. Refleks pandangannya melompat ke arah lain, dengan santai mengabaikanku sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya. Bahkan telingaku mendengar jelas bunyi pintu yang dikunci rapat-rapat. Aku berpikir beberapa detik. Sebegitu alerginya ia dengan manusia? Apa jangan-jangan, karena amnesianya?atau karena aku jelek? Aku memiringkan kepala dan mendesis, tapi kalau lupa sama orang yang baru ditemui satu hari yang lalu, bukannya itu keterlaluan?

Ceklek,

Dia membuka pintu lagi dan muncul dengan sekantong besar paper bag yang isinya bahan masakan. Aku bisa melihat daun sawi dan daun bawang mencuat dari sana membuat mataku terbelalak saat ia menyodorkan semuanya padaku.

 ā€œApa ini?ā€ tanyaku, bingung.

ā€œKatamu, kamu jago masak apa saja selain air dan kamu sudah janji mau masakin aku, kan?ā€

Aku terkejut.

ā€œIya, kamu ingat?ā€

Ia menarik napas sambil memejamkan mata, entah kenapa kelihatannya nyaris menjadi murka.

ā€œYaiyalah, jelas! itu sudah tujuh hari yang lalu, tahu!ā€

ā€œHahh?!!ā€

***

Sekarang pukul setengah dua belas siang. Matahari terik. Suhu aspal menguap. Kumbang-kumbang berdengung bersaing dengan bunyi jarum jam yang berdentang. Angin kering sesekali berhembus membawa debu pasir ke pintu rumah-rumah yang jendelanya terbuka. Aku diam mengamati Esa yang sibuk berbicara dengan seseorang di telfon sementara isi dunia sedang berputar-putar di atas kepalaku. Bingung. Pening. Gelisah, bergabung membentuk pusaran angin tornado yang membentuk gumpalan penyesalan: Apa yang telah kuperbuat pada tujuh hari berhargaku selama ini?   

Hidup ini luar biasa teman-teman. Alurnya tidak bisa ditebak dan akhir kisahnya tidak mampu diprediksi. Semua orang tahu itu, tapi baru kali kini aku menyadari kekuatan sihir dari sebuah teori. Tubuhku membeku di tempat, masih memegang bahan masakan tadi dengan pandangan ke halaman kos yang sudutnya ditanami lidah buaya oleh bu Ros.

Ngomong-ngomong tentang lidah buaya, aku ingat tumbuhan itu dulu hanya bibit mungil seukuran pohon tauge berumur tujuh hari, di dalam sebuah pot kecil dengan tanah kering yang kuprediksi bisa bertahan hidup sekitar nol koma nol satu persen dari sepuluh. Tetapi, setelah dipindah oleh bu Ros ke dalam pot yang lebih besar dengan tanah yang sudah digemburkan serta dicampurkan pupuk, lalu setiap hari disiram dan dipuji dengan rajin, alhasil lidah buayanya lama-kelamaan menjadi bertunas dan beranak-pinak dengan subur sampai sekarang. Percaya tidak percaya, daunnya kini jadi sebesar lengan manusia.  

Aku tidak tahu menahu apa urusan diriku dengan lidah buaya tersebut namun sekilas perubahan yang dialaminya membuatku tersadar betapa mengejutkannya kehidupan. Bu Ros telah merawatnya dengan ketulusan hati meski orang lain memprediksi lidah buaya tidak akan bisa bertahan, namun lidah buaya tidak menggubris sebab ia tahu kasih sayang Bu Ros padanya takkan pernah berubah. Jadi, yang perlu ia lakukan hanya berfokus pada dirinya sendiri dengan berfotosintesis dengan giat dan terus berkembang hingga menjadi lidah buaya yang terbaik.

Aku merasa payah karena cara menjalani hidup lidah buaya lebih baik daripada diriku.  Jika sadar lebih awal, seharusnya aku bisa seperti lidah buaya. Giat berfotosintetis dan terus berkembang kala Tuhan tidak memiliki batasan dalam hal kasih sayang.

ā€œNoumiā€¦?ā€

ā€œEhā€”?ā€ aku jadi lupa sampai dimana tadi. Esa kelihatannya bingung, jadi ia bertanya.

ā€œKamu, sudah sehat?ā€

ā€œApa?ā€

ā€œKakimuā€¦ā€   

ā€œOh.ā€ Aku menunduk. ā€œSudah.ā€

Mengingat tadi aku sempat terkejut sebelum jawabannya terkuak diluar kewajaran. Selanjutnya Esa juga sempat tidak percaya alasan aku mangkrak dari radarnya selama tujuh hari penuh karena itu, tapi kukatakan bahwa ini bahkan sudah terjadi untuk yang kedua kalinya, dan aku beruntung bisa bangun dan bernapas seperti sedia kala.  

ā€œTapi, tidur selama itu, memangnya tidak lapar?ā€

Iya. Aku baru sadar kalau aku lapar. Tanganku memegang perut, menunjukkan senyum meringis. Ia menatap nanar sebelum mendengus sambil menggeleng.   

ā€œLima belas menit lagi aku bakal kedatangan tamu. Masakin aku lain kali saja, ya.ā€

ā€œTapi, ini?ā€

ā€œBuat kamu masak sendiri. Buat kamu makan sendiri juga,ā€ tukasnya sambil memastikan jam pada layar ponselnya lagi. Aku segera menampik keputusan tersebut.

ā€œEh, nggak lah, nggak mau. Aku masaknya sebentar, kok. Kita makan bareng-bareng saja.ā€

ā€œMakan bareng-bareng? Memangnya bisa?ā€

Aku mengangguk antusias, tapi keningnya mengkerut.

ā€œTapi, tamuku bagaimana?ā€

ā€œMemangnya, tamu kamu ada berapa orang? Biar sekalian aku masakin yang banyak.ā€

ā€œHmā€”ā€ Ia berpikir dengan menggigit bibir bawahnya yang kukira akan memberi solusi diluar pilihan, tapi tak tahunya, ā€œanak-anak kecil, lima orang. Kamu bisa?ā€

***

Aku menguncir surai tinggi-tinggi di depan wastafel sebelum menggunakan celemek. Berpikir mau memasak apa setelah mengintip isi paper bag yang tadi sembari mengeluarkan isinya satu per satu. Ada satu slot telur, wortel, kentang, seledri, bawang putih, cabai, tomat, daging ayam, jamur shitake, sawi putih dan daun bawang.

Jujur, selama hidup dua puluh tahun di dunia ini, aku tidak pernah mau menghabiskan uang hanya untuk belanja bahan masakan di supermarket. Jelas saja hitungannya jadi rugi jika dibandingkan dengan berbelanja langsung di pasar. Kalau dipikir-pikir, Esa cukup berduit juga. Kira-kira, dia kerja apa, ya?

     Aku menggeleng, menghilangkan dengan cepat prasangka negatif yang berkelebat di dalam kepala dengan mengalihkan fokus ke panci yang kutaruh di atas kompor yang akan digunakan untuk merebus ayam. Ketika memasukkan ayamnya setelah kucuci bersih, sekilas aku mengingat pesan Esa yang mengatakan untuk tidak memberi perasa terlalu banyak saat tanganku tengah membuka toples garam. ā€œSebisa mungkin jangan sampai asin,ā€ katanya. Karena takut kelebihan setelah kutengok kanan-kiri, kuambil hanya sejuput lalu kutaburkan di atas airnya.   

Katanya, mengurus anak-anak repotnya sebelas dua belas dengan mengurus bayi. Cuma bedanya, kalau anak-anak kecil biasanya sudah bisa makan sendiri, tapi aku tidak tahu umur berapa anak-anak yang akan datang nanti, jadi takaran komposisinya kubuat senetral mungkin.

Aku membersihkan seluruh bahan untuk kupotong seukuran gigitan. Kentangnya kupotong dadu. Wortelnya kuiris agak tipis supaya matangnya bisa bersamaan dengan kentang. Seledrinya di cincang kecil-kecil, begitu juga dengan daun bawang, jangan lupa dengan tomat. Kalau tomat sengaja kupotong besar-besar seperti ukuran sawi putih karena fungsinya memang sebagai sayur.

Bumbunya ada bawang putih, bawang merah, merica halus, ketumbar, gula dan garam secukupnya. Untuk menghaluskannya, kebetulan aku hanya punya blender jus yang sebenarnya satu paket dengan blender bumbu, tapi karena pisau blendernya tidak tajam dan selalu macet-macetan saat dipakai, alhasil kubuat kegunaan blender jus menjadi duofungsi. Mantap! (Dilarang meniru kebiasaan ini.)

Aku menumis bumbu dengan api sedang. Aroma yang menyengat hidung langsung mengisi ruangan dan membuatku jadi bersin-bersin. Aku memasak dengan pintu kamar yang terbuka dan tak lama bisa kuprediksi suara motor menepi dan anak-anak terdengar bergerumbul di depan kamar Esa. Entah kenapa aku jadi deg-degan. Dengan cepat kumasukan sayur ke dalam wajan sebelum semuanya kutumpah setelah beberapa menit ke dalam panci tempat merebus ayam tadi. Jika lama-kelamaan isi panci tersebut sudah mirip sop ayam, baru kompornya kumatikan. Sepuluh butir telur kukocok cepat dalam mangkuk dan kugoreng perlahan tanpa garam. Beberapa menit setelahnya, telurnya kusajikan pada piring besar sebelum kututup pintunya kembali untuk segera mandi.

***

ā€œHahhhā€¦ā€

Aku menghela napas lega. Shower kuhidupkan. Kubiarkan pucuk kepala hingga ujung kaki terguyur air hingga aroma lemon sabun dan sampo pun memenuhi ruangan.  

  Ternyata, bisa punya pengalaman tidur selama tujuh hari itu cukup menyenangkan. Tidak seburuk yang kuduga. Entah itu baik atau buruk terhadap kondisi kesehatanku secara medis, tapi untuk saat ini aku merasa bugar. Apalagi bisa bertemu air untuk keramas. Ada sebuah kalimat disuatu buku yang pernah kubaca, katanya salah satu cara menghilangkan stress yang paling ampuh adalah dengan terguyur air. Aku percaya hal itu sebab disetiap kali mandi kurasakan seluruh pegal ditubuhku menghilang, seolah Overthinkingku hanyut bersama busa dari sabun yang meleleh.

Setelah selesai mandi. Aku memilih mengenakan kaus pendek biru bertuliskan ā€˜Lets go!ā€™ dengan bawahan celana hitam selutut sementara suraiku yang sebahu kukeringkan dengan hair dryer. Aku mengoleskan body lotion wangi aloevera dikedua tangan, kaki dan leher. Bahkan sudah seperti kencan pertama, aku memoles bibir dengan lip balm.

 Waktunya keluar.

Aku menghirup udara dalam-dalam lalu menghela napas panjang. Ini selalu menjadi bagian tersulit dalam hidup: menampakkan diri dihadapan orang baru. Kau tahu, perasaan ketika kau harus menghadiri acara arisan ibu-ibu tapi kau terlambat datang dan kedatanganmu menjadi pusat atensi semua orang? Itu yang paling kubenci. Dulu Ibuku sering absen dari arisan komplek karena kesibukannya sebagai guru pramuka, sementara yang ditunjuk untuk menggantikan pun bukan penggemar sosialita. Dua tahun yang lalu aku baru tahu kalau penyakit pengecutku ini dinamakan introvert, setelah ratusan kali mencoba bersikap seperti lawannya (ekstrovert,) membuatku sukses menengak obat antidepresan sebab overhang, dan akhirnya aku menyudahi drama untuk fokus menemukan diriku sendiri.   

 Aku banyak membaca artikel tentang introvert dan perlahan mulai menemukan keindahan sebuah pribadi. Aku dianugrahi rasa ingin tahu yang tinggi dan cenderung menghabiskan  waktu sendiri untuk mencari tahu banyak hal tentang dunia. Syukurnya, aku juga dianugrahi otak yang maha luar biasa oleh sang pencipta agar aku bisa membuat dunia seperti yang kuinginkan di masa depan. Walau tak sedikit, introvert selalu punya kelemahan.

Introvert itu kurang mudah tersenyum. Terlalu pemilih, sedikit berbicara, terlalu banyak berpikir, terlalu peka dan sensitif, overthinking, dan sedikit action. Kupikir Esa juga menunjukkan sikap yang serupa. Kuperhatikan ia hanya berbicara pada pokoknya saja dan belum pernah kudapati suka berbasa-basi.

Jadi, dengan melangkahkan satu kaki bersama jantung yang berdebar kencang, aku mulai menengok keadaan kamar Esa tepat di depan pintunya. Sekilas anak-anak yang terlihat berdiri menatap monitor komputer membelakangi arah pintu dibelakang punggung Esa, (dimana posisi Esa tengah duduk persis di depan komputer), seketika menoleh ke arahku karena menemukan bayangan di dinding.

Kami sontak sama-sama terkejut sebelum kututupi dengan senyuman canggung sampai menyentuh pipi sebelum berhasil menyapa mereka dengan ramah.

ā€œOh, haloā€¦!ā€

Mendengar suaraku Esa pun ikut menoleh. Aku yang berpegang kuat pada kusein pintu hanya menyipitkan mataku untuk menyapanya juga.

ā€œOh, halo jugaā€¦ā€ perlahan ia menurunkan satu gadis cilik yang berada dipangkuannya sebelum berkata, ā€œayo, beri salam pada Bu Guru Noumi!ā€

Bu Guru? Belum sempat mencerna situasi, mereka semua langsung berderet memasang postur siap untuk berseru kompak.

 ā€œHalo, Bu Guru Noumi!!!ā€

Aku tergugu di tempat. Baru kali ini dipanggil Bu Guru dan rasanya agak aneh. kuberitahu saja ya tentang kekuranganku yang kedua. Banyak orang yang salah paham dengan umurku. Katanya aku berpenampilan seperti umur tiga puluh tahun didukung dengan pembawaanku yang begitu dewasa. Sepuluh tahun lebih tua dari usia sesungguhnya, bahkan mungkin lebih.

ā€œAh, iya, halo, haiā€¦ā€

Aku berkedip dua kali, tiba-tiba merasa kosong. Kalau sudah menyapa, selanjutnya apa lagi?

ā€œKalian lagi apa, nih?ā€

Aku melihat Esa yang masih dalam mode gembira kedatangan tamu, tapi kondisinya sekarang beberapa pasang mata bulat pemberani tengah menyorotku dengan rasa ingin tahu yang sangat amat tinggi. Aku jadi gugup.

ā€œKita lagi belajar aplikasi CorelDraw, bu Guru Noumi,ā€ kata satu anak laki-laki yang pipinya gembil. Ia tersenyum lebar padaku.

ā€œOh, ya? siapa yang ajari?ā€

ā€œKak Dwi.ā€ Dua anak laki-laki yang lain juga menyahut.

ā€œKak Dwi? Siapa?ā€

ā€œKak Dwi, ini!ā€

Mereka berusaha menunjukkan Esa dengan antusiasme tinggi sementara Esa sendiri terlihat biasa saja. Namun cara mereka memangil Esa dengan nama yang lain, juga dengan sebutan ā€˜kak,ā€™ membuatku iri setengah mati. 

ā€œKak Dwi?ā€

ā€œIya Bu Guru Noumi. Kak Dwi ini jago pakai CorelDraw, loh. Photoshop juga bisa.ā€

ā€œOh, begitu.ā€ Aku tersenyum. Mencoba mendekat untuk menyentuh pipi mereka yang dari tadi membuatku gemas. ā€œNama kamu, siapa?ā€ tanyaku pada salah satunya.

ā€œToto.ā€

ā€œTotoā€¦? Toto umurnya berapa tahun?ā€

ā€œ7 tahun.ā€

ā€œWow, keren.ā€ Aku kagum dengan usianya. Seketika teringat Rebung, anakan dari pohon bambu yang entah mengapa bisa dijadikan perbandingan dari umurnya hanya karena rebung dikonsumsi saat tanaman itu baru muncul dari tanah.

ā€œKalau kamu?ā€

ā€œAku juga 7 tahun.ā€

ā€œOh, kamu juga seumuran dengan Toto, ya. Nama kamu siapa?ā€

Ia dengan lekas mengulurkan tangan. Tersenyum cerah padaku. ā€œAku kembarannya Toto, tapi tidak identik. Namaku Tato.ā€

ā€œWah, aku baru pertama kali lihat kembar yang tidak identik, lho. Nama kalian juga unik sekali. Papa kalian jago bikin Tato, ya?ā€

Sejenak, mereka saling pandang sebelum memberi jawaban dengan menggunakan bahasa Sasak.

ā€œNdekā€¦  amak ite kuat nginem1,ā€ sahut Toto dengan enteng.

ā€œKuat nginem?ā€

ā€œNggih, kance main nine,2ā€ balas Tato kali ini.

Kemudian mereka tertawa. Kepalaku terasa dipalu. Keterjutan mendadak akibat serangan realita anak-anak berumur 7 tahun membuat suara itu menggema dalam ruang hampa. Mereka masih kecil tapi sudah tahu kalau papanya main perempuan. Namun, nampaknya itu tidak menjadi beban yang membuat mereka malu. Terlihat bahkan dari cara mereka cengengesan setelah membeberkan perilaku keluarga sendiri.   

ā€œKalau aku, kak? Namaku jago buat bikin apa?ā€

Satu anak lagi yang lupa kutanya namanya menarik-narik ujung bajuku. Aku segera menyadarkan diri. 

ā€œOh, iya. Memangnya, nama kamu siapa?ā€

ā€œRico!ā€

ā€œHmā€¦ kalau nama panjangnya?ā€

ā€œRicolo Sebastian.ā€

ā€œWah, nama yang bagus.ā€

Aku sejenak terpana dengan anak yang satu ini. Ia paling ramah dan bersemangat. Kulitnya bersih, matanya bulat bening, alisnya melengkung sempurna bagai pelangi. Warna dan bentuk bibirnya layaknya buah plum. Alisnya tebal, surainya tebal, pipinya juga tebal. Badannya, gendut menggemaskan pula.

ā€œMasak, sih?ā€

Lah, dia malah tidak percaya.

ā€œIya! nama kamu mirip pelukis, Piccolo. Rico pasti jago melukis, kan?ā€

Tiba-tiba aku melihat Esa menggeleng, menarik garis bibirnya ke bawah.

ā€œPicasso, Nom. Bukan Piccolo.ā€

ā€œOh.ā€

Seharusnya ia tidak mengoreksi kesalahan orang lain di hadapan anak-anak begini, tapi Ricolo sendiri juga ikut menggeleng. Tak lama ia pun menunjuk seorang gadis yang berdiri paling ujung di sebelah kanan dengan bibir mengerucut.

ā€œYang paling jago melukis itu dia ... Pakai kuas lagi.ā€

Setahuku, dimana-mana kalau melukis pasti menggunakan kuas, tapi segera saja kugeser pandanganku ke arah gadis yang ditunjuk untuk mempertemukan radar kami berdua. Aku percaya takdir itu dipertemukan dengan cara yang paling sederhana, meski gadis tersebut tidak ingin tersenyum karena lebih memilih mengangguk untuk mengiyakan perkataan Rico, aku tetap tahu maksudnya itu pasti terbalik. Jika mendengar suaranya sendiri di antara banyak orang akan membuatnya kikuk, maka dari itu kebanyakan introvert selalu terlihat pendiam. Aku menunduk untuk menyapanya.   

ā€œHaiā€¦ nama kamu, siapa?ā€

Tak lama ia memberanikan diri menatapku lagi, dan dengan gagah berani mengulurkan tangan mungilnya.

ā€œYange, Rahajeng Putu Swatara. Umur 8 tahun. Dipanggil Ajeng.ā€

Tuh, kan benar. Dia itu langsung to the point agar tidak ditanya-tanya lagi. Coba saja bertanya basa-basi, pasti jawabannya hanya ā€˜iyaā€™ dan ā€˜tidak.ā€™ Aku mengangguk, membalas dengan menggenggam tangannya.

ā€œSalam kenal juga Ajeng. Aku Noumi. Panggil saja kakak Noumi.ā€

Ajeng mengangguk.

Benar lagi. Kali ini jawabannya hanya mengangguk, dan sengaja kupertegas panggilan ā€˜kakakā€™ agar mereka paham bahwa tulisan dikeningku ini dibaca, ā€˜masih muda.ā€™ Jangan salahkan aku yang terlihat tua, sebab tidak semua orang dilahirkan dengan porsi kolagen yang berlebih. Rico saja terlihat membulatkan mulut, terkena paham.

ā€œNgomong-ngomong, kak Noumi kok, bisa jegeg1 banget, Kenapa?ā€

Wow, apa katanya tadi? Bisa lebih keras? aku tidak percaya yang mengatakan itu Ajeng, dengan muka terheran-heran pula.

ā€œMasak, sih?ā€

ā€œIya, menurutku, kak Noumi ini jegeg banget. Mirip Amanda Manopo.ā€

Aku sekarang sedang membayangkan bagaimana rasanya layang-layang bisa melayang tinggi di angkasa sebelum benang yang lain membuatnya terputus sebab Esa menahan tawa layaknya teman perempuan yang berkawan karib tapi saling menusuk secara perlahan. Iri bilang bos!  

ā€œMungkin itu hanya menurut Ajeng, tapi, makasih banyak sudah puji kak Noumi jegegā€¦ Ajeng juga jegeg banget, kok. Kulitnya kuning langsat pula.ā€

ā€œKulit kuning langsat itu, apa kak?ā€

ā€œKulitnya orang Indonesia.ā€

ā€œMemangnya kulit kak Noumi bukan kuning langsat?ā€

ā€œBukan, kulit kak Noumi agak sawo matang.ā€

ā€œBerarti, kak Noumi bukan orang Indonesia?ā€

ā€œOrang Indonesia, kok.ā€

Ajeng jadi bingung. Aku juga. Tapi tiba-tiba Esa menyahut asal.

ā€œBukan! kak Noumi itu orang Korea.ā€

Seketika membuat Ajeng terkejut bukan kepalang.

ā€œKak Noumi orang Korea?!ā€ tanyanya sambil memasang ekspresi syok, membekap mulut sendiri dengan kedua tangan dan tak disangka malah bersorak, ā€œaku juga suka banget Korea!! Aku suka BTS!!!!ā€

ā€œWahh!ā€ Aku ikut terkejut. ā€œKakak juga suka BTS!!!!ā€

ā€œAaaaakhhh!!!ā€

Jelas saja orang korea berkulit putih, namun kami menjerit seolah bahagia telah turun ke bumi dalam bentuk hujan setelah kemarau melanda selama setahun, kemudian berpelukan erat. Sudah kubilang, ini takdir, sampai Esa dan yang lain saja jadi bingung kami ini kenapa.

Bukan rahasia umum lagi kalau nama BTS telah mendunia. Namun menemukan orang yang sejalan itu akan membuat harimu terasa lebih baik, percaya deh. Kami berpelukan dan Ajeng masih sebegitu senangnya sampai kakinya mengudara demi memeluk leherku. Bayangkan saja, siapa yang bisa membuat dua orang asing jadi seakrab ini dihari pertama bertemu? Aku tak menyangka K-pop bisa melakukan ini. Bukan-bukan, maksudku, aku tak menyangka K-pop bisa menjadi alasan kuat dalam mempersatukan umat di dunia, yang tentu saja itu hanya menurut K-popers. Ajeng melepas pelukan lalu tersenyum lebar padaku. Melihat rautnya, aku jadi tahu seberapa besar rasa cinta yang ia beri pada BTS seperti saat aku awal-awal mengidolakan mereka.

ā€œKak Noumi. Kapan-kapan, ajari aku bahasa Korea, boleh?ā€

Aku balas tersenyum.

ā€œBoleh dong. Kalau hari ini, mau?!ā€

Matanya langsung membulat berlinang. ā€œMau banget!ā€ kaki mungilnya langsung menghentak-hentak kegirangan.

ā€œTapi, eh, pak guru Dwi kasih izin, tidak?ā€

Aku melirik pemilik nama sebelum memaksanya untuk segera mengambil keputusan dengan tatapan yang tajam. Esa menarik napas sambil mengerling malas.

ā€œBoleh... boleh. Apa saja boleh.ā€

ā€œAsyik!ā€

Ajeng kegirangan lagi.

ā€œTapi, eh. Bagaimana kalau sebelum belajar, kita semua makan dulu?ā€

Rico seketika jadi bersemangat dan Esa menjawab lagi dengan kalimat yang sama.

ā€œBolehā€¦ boleh. Apa saja boleh.ā€

***

Setelah memutuskan untuk makan di ruang tengah kamar Esa, aku meminta tolong kepada Ajeng, Rico, Tato dan Toto, untuk membawa perlengkapan makan dari tempatku. Mereka beriring-iringan dengan bawaan mereka sesuai kemampuan. Tato dan Toto membawa Botol besar air minum, gelas, piring, dan sendok. Kemudian Rico dan Ajeng membawa telur dadar dan nasi dalam bakul plastik. Sisanya, aku membawa sop ayam semangkuk besar.

Mereka langsung meletakkan semuanya di lantai yang baru saja selesai disapu oleh pemiliknya dan diizinkan begitu saja. Aku sedikit terkejut.  

ā€œEhā€¦ memangnya nggak ada alas, ya? kayak tikar begitu?ā€ tanyaku masih belum mau mendaratkan sop ayam langsung di atas keramik putih tersebut. Esa terlihat bingung.

ā€œKenapa memangnya? Lantainya kan sudah bersih.ā€

ā€œKan kotor kalau nggak pakai alas.ā€

Esa sejenak melirik anak-anak yang mendongak menonton kami sebelum kembali menatapku datar.

ā€œKamu nggak tahu anak-anak kalau makan selalu berceceran? dipakaikan alas itu hanya menambah pekerjaan, Nom. Siapkan saja lantai supaya mereka bebas berkarya. Nanti selesainya tinggal di pel. Mudah, bukan?ā€

ā€œBukan.ā€

Aku secara sukarela mengalah karena jawaban darinya sangat masuk akal. Kita harus memberi setidaknya kebebasan anak-anak dalam menentukan cara mereka menyantap makanan. Banyak peraturan hanya akan membuat mereka tidak nyaman. Kalau tidak nyaman, mereka tidak mau makan. Kalau tidak makan, daya imun mereka mengurang, dimana hal tersebut dapat menyebabkan mereka rentan terserang penyakit. Kalau sudah terserang penyakit, mereka bisa-bisa berurusan dengan rumah sakit, selang infus, dan obat-obatan. Kan kasihan kalau tidak bisa bermain lagi. Terlebih sekarang pandemi masih berlangsung cukup lama.

ā€œAku suka makan sayur! kak Noumi, ambilkan Rico wortelnya yang banyaak!ā€

Rico berseru ketika Esa baru saja duduk bergabung setelah aku selesai menyendokan satu setengah centong nasi untuk piring Ajeng. Aku terkekeh ketika Esa menjawil pipi anak tersebut dengan gaya kejut sebelum menyampaikan pesan dengan nada lembut.

ā€œRicolo Sebastian. Lain kali kalau mau meminta sesuatu kepada siapapun itu, biasakan diawali dengan kata, ā€˜tolong,ā€™ atau ā€˜minta tolong, ya.ā€™ā€

Terpikirkan dalam benakku beberapa detik yang lalu namun entah mengapa aku tidak mengatakannya. Syukur saja Esa peka.

ā€œMemangnya kenapa? Kenapa harus begitu?ā€

Esa menarik napas dan berkedip sedikit lama. ā€œKarena itu dinamakan tata krama.ā€

Rico tidak berkedip, juga tidak mengangguk. Ia hanya ingin tahu lebih banyak dengan binar-binar dimatanya.

ā€œOrang Indonesia punya tata krama untuk saling menghargai satu sama lain. Meminta itu bahasanya lebih sopan dibandingkan kata ā€˜ambilkanā€™. Karena Rico meminta pertolongan kepada orang lain, jadi kalimat yang harus diucapkan pertama kali adalahā€¦?ā€

ā€œMinta tolongā€¦ā€

ā€œSeratus!ā€ Esa mengacungkan jempol padanya. Semangat bocah tersebut jadi bertambah dua kali lipat.

Kuperhatikan ada satu gadis paling cilik diantara semua lamat-lamat meminta duduk dipangkuan Esa. Dari tadi aku tidak sempat menyapanya karena ia kelihatannya sangat pemalu. Selalu bersembunyi jika ditanya. Wajahnya sangat murung dan ia sangat mudah menangis. Aku takut kalau seandainya terlalu memperlihatkan perhatian, ia akan jadi benci padaku.

ā€œNamanya siapa, Sa?ā€ tanyaku pelan dengan gerakan bibir lebar-lebar kepada Esa. Esa mencoba membalas dengan cara yang sama.

ā€œNana.ā€

ā€œSiapa?ā€

ā€œNaā€¦! naā€¦!ā€

ā€œOhā€¦ā€ Aku mengangguk paham. Nana tidak mengetahuinya sebab ia menunduk, sedangkan aku mulai menyendokkan nasi untuknya.

ā€œNanaā€¦ suka telur?ā€

Ia melihatku sebentar, kemudian meringis. Menggeliat risih. Esa berbisik ditelinganya dan ia hanya mengangguk. Masih meringis.

ā€œIya, katanya.ā€

Karena Nana suka telur dan aku juga suka Nana, jadi jatah telurku, kutaruh semua dipiringnya. Anak-anak mulai makan dengan lahap kecuali Nana. Ia tidak mau makan sendiri dan itu harus membuat Esa turun tangan untuk menyuapinya dengan kesabaran tingkat tinggi. Aku jadi prihatin. Dulu aku juga begitu. Terlalu alergi dengan orang baru. Kedatangan orang baru membuatku kurang nyaman karena aku jadi tidak leluasa melakukan apa yang kumau. Apa lebih baik, aku pergi saja?

ā€œKenapaā€¦?ā€

Esa bertanya semudah itu hanya karena pandangan kami bertemu. Padahal aku tidak melakukan apapun.

 ā€œKenapa, apanya?ā€

Ia melihat satu piring kosong tidak terisi apapun, seperti mencari-cari alasan dari pertanyaannya sendiri.

ā€œKenapa nggak makan?ā€ tanyanya heran.

ā€œAku sudah makan.ā€

ā€œKapan?ā€

ā€œTadi, waktu selesai masak.ā€ Tiba-tiba saja perutku terasa mual. ā€œEh, aku ke kamar dulu, ya. Nanti kalau sudah selesai, aku bakal balik lagi ke sini.ā€

Buru-buru kuangkat bokong dan ingin segera melarikan diri. Tapi, ā€œhei.ā€

Esa meletakkan telur dadar miliknya ke atas piring kosong tersebut sebelum menyodorkannya padaku. Tatapanku serupa dengan piring itu sebelum terisi telur dadar.

ā€œApa?ā€ tanyaku tak mengerti namun ia langsung menjawab seolah menutupi rasa prihatinnya.

ā€œBawa ini, aku nggak makan telur.ā€

***

Sekarang pukul dua lebih lima belas menit. Aku tengah berdiri menopang tubuh di depan wastafel yang krannya sengaja kuhidupkan. Menunduk memperhatikan sepotong telur dadar yang terasa menyedihkan. Dulu untuk makan telur itu bagiku adalah sesuatu yang spesial. Tapi sekarang ketika melihatnya di depan mata juga karena ingatan bagaimana caranya ia dipindah dari piring seseorang ke piring ini, membuatku berpikir bahwa telur sebenarnya tidak spesial. Ia digampangkan oleh sebagian orang karena cara mendapatkannya cukup mudah. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku menangis. Ini benar-benar sulit dimengerti. Orang lain memberimu makanan secara sukarela, kau bukannya bersyukur tapi malah menangis? yang benar saja.

Beginilah cara penyakitku kambuh dalam suatu kondisi. Jika berkumpul dengan orang lain, pikiran jelekku terus mengkerukut tanpa kendali sampai aku sendiri sakit kepala. Itu yang membuatku harus menarik diri dari kerumunan agar aku bisa merasakan ketenangan. Jika sendirian, aku tidak lagi melihat orang lain, tidak lagi berpikir jelek tentang mereka, tidak memperhatikan gerakan apapun dari yang mereka lakukan, dan setidaknya, tidak menyiksa diriku sendiri. 

Aku terduduk merosot menyandarkan punggung di sana, menekuk lutut untuk menopang tangan kananku yang menyeka air mata. Lagi-lagi masa lalu sialan. Kuharap aku tidak punya masa lalu kalau tahu ia akan membentukku menjadi tidak waras begini. Meski berkawan karib sudah lama, hidup susah tetap tidak bisa kutunjukkan kepada orang-orang dengan rasa bangga seperti orang tua yang pamer prestasi anaknya.

Yah, meski aku enjoy dengan diriku yang sekarang, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau kemiskinan telah mengajariku banyak hal tentang kesabaran. Itu bullshit! Omong kosong! Tidak ada namanya kesabaran dalam hidup jika kau tidak menghasilkan uang. Dan sekarang aku pengangguran. Tidak berniat mencari pekerjaan sedikitpun karena tak tahunya memasak makanan untuk anak-anak kecil yang entah berasal dari mana, datang ke rumah Esa untuk apa, dan mengapa satu diantaranya tidak menerima kehadiranku, sungguh mudah membuatku mengalami mental breakdown sekarang.

Esa tentu saja orang asing. Ia baru kutemui tujuh hari yang lalu namun anehnya kami bersikap seolah sudah kenal lama. Biasanya kepercayaan yang seperti itu akan menghasilkan kekecewaan yang mendalam, sebab diam-diam, aku ingin mengandalkan dia lebih banyak untuk perlahan mengambil kontrol atas semuanya. Ingin menjadikannya seperti yang kumau dan bisa ditebak esok tanpa diduga ia akan menghilang secara mendadak karena tidak tahan dengan keegoisanku. Bukannya manusia memang seperti itu? tentu saja aku egois karena aku juga manusia, maka dari itu aku harus membatasi interaksi dengan orang yang berkaitan agar rencana jahat tadi tidak terjadi.

Memandang jarum jam yang terus berdetak tanpa henti membuatku gugup. Dari pada berdiam diri tidak menghasilkan uang begini, aku memilih untuk mengecek info loker di i*******m. Tetapi sudah sekian menit melihat-lihat, tidak ada satupun yang dapat membuatku berangkat ke TKP pada detik itu juga. Aku berpikir sekilas untuk menghasilkan uang dari rumah atau sekadar searching di g****e dengan keyword: cara cepat dapat duit tanpa kerja lewat internet. Dan itu tidak benar-benar memberi solusi karena pengerjaannya masih memerlukan effort dimana ekspetasi sebelumnya adalah ā€˜tidurpun menghasilkan uang.ā€™

 Sepuluh menit terpakai untuk melihat info loker namun tiga puluh menit terbuang sia-sia karena ketagihan menonton Suga yang selalu muncul di beranda.

Kalau dipikir-pikir, apa penghasilan Esa didapat dari mengajar anak-anak tadi? Kalau benar, berapa uang yang ia dapatkan dari satu anak? Ia bisa mengajarkan anak-anak apa saja? memangnya ia tidak butuh guru tambahan lagi? tapi, tadi ia memperkenalkanku sebagai Ibu Guru kepada anak-anak, apa itu tandanya aku bisa mengajar juga di sana? Apa ia akan membayarku kalau aku melamar kerja sebagai guru padanya? Aku bisa apa saja, ya? bahasa Korea juga masih belajar.

Tok, tokā€¦!

Beberapa manusia dengan tangan mungilnya terdengar mengetuk pintuku sebelum disusul dengan seruan, ā€œBu Guru Noumiā€¦!ā€ membuatku terkekeh geli karena merasakan tekad yang tidak biasa untuk menjadi Guru. Aku berjalan membuka pintu kemudian melihat mereka tersenyum lebar dengan memegang piring masing-masing yang isinya telah habis tak tersisa.

ā€œHaiā€¦ kalian sudah selesai makan, ya? wah, piringnya langsung bersih!ā€

Kutemukan Nana juga ikut berdiri diantara mereka. Aku memberikannya senyuman paling hangat namun tetap tidak menunjukkan perhatian berlebih, karena segala sesuatu yang berlebihan akan mengurangi bagian yang lain.  

ā€œKalau sudah selesai, kalian bisa tidak, mencuci piring kalian masing-masing?ā€

ā€œBisa!ā€

Hanya Ajeng yang menyanggupi sebab ia paling dewasa dari yang lain.

ā€œOke, ikuti Bu Guru, ya, karena semua harus bisa mencuci piring sendiri.ā€

Tato dan Toto hanya mengikuti perintah sedangkan Rico, sambil berjalan masuk, ia mencebik.

ā€œTapi aku nggak bisa cuci piring sendiri, Bu Guru!ā€

Aku menyiapkan dingklik di depan wastafel dan meminta Ajeng yang pertama kali menaikinya kemudian menoleh ke arah Rico. Anak-anak yang lain dengan rapi menaruh piring mereka di sebelah wastafel untuk menunggu giliran mencuci.

 ā€œKenapa?ā€

Ia menggeleng, memasang ekspresi tidak mengerti tentang mengapa dirinya begitu sementara yang lain kini kuamati mulai memanjat kasur untuk bermain dengan telapak kaki yang kotor. Aku menghela napas.

 ā€œYa sudahā€¦ kalau Rico nggak bisa, mulai dari sekarang Bu Guru akan ajarkan caranya mencuci piring dengan baik dan benar, oke?!ā€

 ā€œYah..ā€

Aku tahu ia terkejut luar biasa karena alasan malasnya jadi tidak mempan. Mau tidak mau ia harus melaksanakan perintah. Jadi aku tersenyum puas.  

ā€œBegini kan caranya, Bu Guru?ā€

Ajeng memberikan sabun cair hijau beraroma lemon ke spon cucinya, lalu ia basahi sedikit sebelum digosok pada permukaan piring. Aku mengangguk dan memberikannya dua jempol sembari memegang punggungnya untuk menjaga keseimbangan sebab dingklik yang ia pijaki agak bergoyang.

ā€œNgomong-ngomong, Ajeng sudah berapa lama nih, belajar sama Pak Guru Dwi?ā€

 Aku iseng-iseng bertanya, beruntungnya Ajeng dengan sukarela menjawab.

ā€œHm, sudah lama, sih. Kayaknya.ā€

ā€œOh, ya? memang sudah lamanya, berapa lama?ā€

ā€œMinggu kemarin, kalau nggak salah.ā€

Aku ingin tertawa tapi kutahan. Jika benar begitu, aku dan dia sama-sama baru seminggu mengenal Esa. Aku baru ingat ia masih kecil, jadi kemampuan mengiranya tidak tepat. Dulu aku juga begitu. Dari senin ke minggu itu rasanya seperti sebulan.

ā€œDiajari apa saja biasanya?ā€

ā€œHmā€¦ apa ya? apa saja, sih.ā€ Mirip seperti yang tadi, lagi-lagi aku harus belajar bersabar menghadapinya.

ā€œOh, ya? memang apa sajanya itu, apa saja?ā€

ā€œHm, apa yaā€¦?ā€ Ajeng mulai berpikir, membiarkan air kran mengalir ditangannya.

ā€œBermainā€¦?ā€

ā€œBermain?!ā€

ā€œIya!ā€

Aku jadi tidak mengerti.

ā€œJadi selama ini kalian nggak belajar, tapi malahā€¦ bermain?ā€ tanyaku sambil mengerutkan alis. Ajeng meniru itu. 

ā€œKami belajar, kok. Belajar caranya bermain.ā€

Hening.

Aku berkedip dua kali. Berpikir. Bagaimana caranya anak sekecil ini dapat memiliki kemampuan komunikasi sebaik itu? belajar caranya bermain katanya? Aku sama sekali tidak meremehkan, ini justru kagum dan tercengang dalam waktu bersamaan. Yang lebih membuatku tercengang lagi adalah otak dibalik ide tersebut. Aku sering memikirkan hal ini berulang kali. Anak-anak meski dimasa mereka waktunya bermain, namun cara bermain yang tidak baik cenderung membawa pengaruh pada kesehatan mental mereka dikemudian hari, bukan? Jika orang dewasa mengerti caranya menghabiskan waktu untuk bermain, dalam artian memuaskan keinginan atau membahagiakan diri sendiri, tentunya mereka akan memperhatikan kondisi mental anak-anak mereka dengan sangat baik. Pendidikan formal memang perlu, namun pendidikan karakter tetap nomor satu. Bukankah cikal bakal terbentuknya karakter yang baik tergantung dari cara mereka mengajarkan anak-anak mereka bermain? Aku jadi penasaran dengan ceritanya lebih lanjut.

ā€œMemang, caranya bermain, bagaimana?ā€

***

Krskk!!!! Bssssā€¦

Kertas layang berwarna putih dikibas lalu dibentangkan di atas lantai. Ruang tengah yang sekaligus menjadi kamar bagiku, itu hanya menjadi ruang kosong untuk Esa. Tidak ada kasur, TV, bahkan alas. Sekilas yang kuamati hanya lantai putih dan seperangkat komputer yang diletakkan di sudut dekat jendela bersama gudged lainnya. Kurasa Esa sangat paham mengenai teknologi. Dibanding melengkapi kebutuhan primer atau sekunder, ia lebih memilih memenuhi kebutuhan tersier seperti memasang wifi, membeli printer, harddisk, laptop, hanphone, tab, camera DSLR, dan mainan serba miniatur yang ia posisikan pada wadah gabus yang diberi pencahayaan. Dapurnya sekilas hanya diisi kompor, peralatan makan yang minim, juga mesin cuci.

ā€œBuat apa ini?ā€ tanyaku setelah terkena kibasan kertasnya, sementara ia tengah sibuk mencari peralatan kuas di dalam sebuah ransel untuk ia berikan pada Ajeng.

ā€œUntuk dia melukis.ā€

Ajeng menerima dengan senang hati, sedangkan Esa tak lama tertangkap basah memperhatikanku saat mulutku tengah menganga.

ā€œKamu sudah makan?ā€ tanyanya cepat. Aku langsung menggeleng. Salah, seharusnya aku mengangguk.

ā€œSudah, kok. Anak-anak juga sudah kuajari cara mencuci piring sendiri, dan aku sudah cucikan piringmu juga.ā€

ā€œAh, iya. Terima kasih.ā€

Ia jadi menggaruk tengkuk karena merasa tidak enak, sementara aku jadi malu lantaran tidak tahu harus berkata apa sampai perihal mencuci piring pun kusebut-sebut.

ā€œAku boleh ikut melukis kan?ā€

ā€œBoleh dong. Tapi, sorry, aku nggak punya kuas lebih.ā€

ā€œAku punya sendiri, kok. Aku ambil dulu ya di kamar.ā€

Ia mengangguk membolehkan dan aku pun memacu kakiku secepat mungkin untuk mengambil barang itu dengan suka cita. Kembalinya aku langsung menumpahkan semua peralatannya di lantai. Memilih mana yang harus dipakai.

ā€œWah, Bu Guru juga punya cat acrylic, ya?ā€ tanya Ajeng dengan mata yang berbinar sembari memegangnya, terkagum-kagum.

ā€œIya. sudah lama Bu Guru nggak pakai karena nggak tahu mau melukis apa.ā€

Tato dan Toto mulai mendekat namun mereka tidak berminat melukis sama sekali. Mereka punya passion yang berbeda.

ā€œKita mau main game saja!ā€ seru mereka yang langsung beralih pada komputer. Esa menyalakan komputer kembali lalu menonton mereka bermain sambil memperhatikan kondisi sekitar.

ā€œRico mau ikut melukis?ā€ tanyaku. Ia hanya menggeleng.

ā€œAku lebih suka memotret orang melukis.ā€

ā€œWowā€¦ā€

Tiba-tiba saja ia jadi terlihat keren karena perkataannya barusan. Keimutannya sementara disimpan dulu.

ā€œCoba foto kak Noumi sama Ajeng, Rik, nanti aku upload di shutterstock.ā€ Esa menyahut dari tempatnya dengan muka enteng. Rico sendiri seperti tidak terlalu memperdulikan hal tersebut, sementara aku sekilas seperti pernah mendengar istilah yang Esa ucapkan tadi.

ā€œItu website tempat menjual foto kan? Shutterstock?ā€

ā€œIya.ā€

ā€œMemangnya Rico pernah berhasil jual foto di sana?ā€

ā€œBelum terjual, sih, tapi berhasil diaprrove satu dari dua puluh foto.ā€

ā€œOh, ya?! Pakai kamera apa?ā€

ā€œPakai kamera handphoneku.ā€

ā€œKenapa nggak pakai kamera DSLR itu? punyamu kan?ā€

Ia menengok benda yang kutunjuk dengan mengerucutkan bibir ke arah meja kerjanya, namun ia berpaling sambil menggaruk alis.

ā€œIya, sih, tapi itu cara settingnya sulit, Rico belum paham. Jadi sambil belajar, dia coba dulu lewat kamera ini. Lagi pula, zaman sekarang kualitas gambar yang dihasilkan handphone lumayan bagus. Bukan lumayan, sih. Bagus banget malah.ā€

ā€œMasak, sih?ā€

ā€œKamu nggak percaya? Mau kukasih lihat hasil jepretan Rico?ā€

ā€œMau.ā€

Esa langsung membuka galeri untuk menunjukkan hasil jepretan Rico dengan senyum sumringah padaku. Mencoba menjelaskan detail dari makna yang terkandung dalam satu frame itu.  

ā€œIni kupu-kupu kecil yang suka hinggap di bunga ā€¦. Itu kan sulit kalau difoto, tapi coba kamu perhatikan lebih jauh, kepakan sayapnya seolah hidup, bukan?ā€

ā€”Bukan, (jawaban hati.)

Aku belum bisa sepenuhnya menilai, sebab itu hanya kupu-kupu di atas bungaā€¦ tidak terlihat hidup ataupun sayapnya terlihat nyata. Biasa saja, tapi jika reaksiku biasa-biasa saja atau malah mengkritik hal yang tidak kumengerti, itu jelas akan menorehkan luka di hati kecil Rico. Jika hati kecilnya terluka, maka seterusnya hati itu tidak akan bertumbuh besar. Tugas orang dewasa untuk membesarkannya, jadi, sambil menatap matanya yang berharap-harap cemas, aku mendaratkan dua jempol dikedua pipinya untuk berseru, ā€œkeren, Gila!ā€ membuat mereka semua tertawa, termasuk Rico, meski ketawanya tidak terlalu membahana atau sedikit dari pecah, namun gerakan bahu mereka yang luwes karena tergelitik candaan membuat kehadiranku merasa diterima. Hawa dingin yang tadinya menyelubungi kami, perlahan menghangat. Baguslah, lagipula musim hujan sebentar lagi akan datang.  

ā€œTapi, keren, gila? Maksudnya apa?ā€

Yang benar saja. Anak-anak ternyata hobi bertanya juga, ya. Aku baru tahu.  

ā€œOhā€¦ orang Jakarta kalau ngomong suka bilang begitu: Keren, gila artinya keren banget. Kerennya di luar kendali. Mangkanya jadi keren gila.ā€

ā€œKenapa tiba-tiba jadi orang Jakarta?ā€

ā€œMemang kamu tahu Jakarta di mana?ā€

ā€œTahu, di pulau Jawa, kan? Ibukota Indonesia.ā€

ā€œWah, hebat! Tahu darimana?ā€

ā€œDari berita-berita di TV.ā€

ā€œOh, jadi, kamu suka nonton berita, ya?ā€

ā€œNggak, papaku yang suka. Disetel setiap pagi sebelum pergi ke sekolah, isinya tentang Ibukota melulu.ā€

ā€œOh, begitu.ā€

ā€œTapi, kenapa?ā€

ā€œKenapa apanya?ā€

ā€œItu, ngomong kayak orang Jakarta?ā€

ā€œHmā€”ā€

Lumayan sulit juga ya berbicara dengan anak kecil. Esa sampai jadi malu sendiri karena melihatku kebingungan seolah menganggap ini situasi yang genting.

ā€œBiasanya kita cenderung akan meniru hal-hal yang sering kita dengar, baca, tonton, atau rasakan. Nah, karena Bu Guru sering nonton channel kuliner orang Jakarta di youtube, mangkanya Bu Guru tanpa sadar ikut-ikutan cara ngomong mereka.ā€

 ā€œAku juga suka nonton drakor, mangkanya aku ikut-ikutan ngomong pakai bahasa Korea. Anyeonghaseyo, begitu,ā€ kata Ajeng mengutarakan pendapat serupa. Ia sudah menuangkan minyak ke dalam palet dan menyilangkan beberapa warna primer. Posisi tubuh tengkurap, selagi nyaman, tangan gemuknya dengan lihai mengoles cat ke permukaan kertas dengan seluwes-luwesnya. Rico sendiri mengangguk. Entahlah, ia sudah dalam mode paham atau tidak, aku tidak tahu, sebab kekosongan matanya terlihat masih lapar mencari-cari jawaban yang lebih dari kiranya.

ā€œSpontanitas, Rik.ā€ Esa mendesis. Ia mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Rico sambil sesekali melirik khawatir kepada Nana yang tengah mengeruk-ngeruk lantai dengan oil pastel.

 ā€œReaksi kak Ajeng tadi itu namanya spontanitas, dimana hal itu dilakukan secara tiba-tiba ā€¦ mendadak, atau tanpa rencana, sedangkan ā€˜keren-gilaā€™ itu adalah perilaku meniru. Kebiasaan suka menonton orang Jakarta diyoutube, drama korea, india, anime, membuat kita cenderung mengikuti apa yang kita tonton. Jadi, reaksi tadi namanya spontanitas, dan ā€˜keren-gilaā€™ itu, namanya meniru.ā€

ā€œKenapa kita harus meniru?ā€

ā€œKita tidak harus meniru, tapi secara umumā€”ā€

ā€œUmum itu apa?ā€

Mata anak itu tidak berkedip sama sekali sampai-sampai Esa nyaris tersedak liur sendiri.     

  ā€œEkhem,ā€ dehamnya sedikit untuk pemanasan sebelum melanjutkan penjelasan. ā€œUmum itu adalah orang banyak, secara menyeluruh, atau contohnya nih, kebanyakan orang biasanya melakukan hal yang sama, itu disebut ā€˜umum.ā€™

Mata anak itu kali ini mengerjap, aku jadi ikut khawatir kalau seandainya ia akan mengambil ancang-ancang lagi untuk bertanya.

ā€œSampai situ paham?ā€ Esa bertanya lembut. Rico mengangguk.

ā€œNah, karena secara umum manusia melakukan apa yang orang lain lakukan, tanpa disadari sekalipun, maka muncul lah kebiasaan meniru kayak yang dilakukan kak Noumi barusan.ā€

ā€œOh, tapi-tapiā€”

Nah, kan!

ā€œKata Bu Guru disekolah, kita dilarang meniru jawaban orang lain.ā€

ā€œItu bukan meniru, Ibu Gurunya mungkin salah ngomong. Itu namanya menjiplak.ā€

ā€œMenjiplak itu apa? tahu dari mana kalau Ibu Guruku salah ngomong?ā€

ā€œMenjiplak itu adalah tindakan menyalin atau mengcopy secara persis seratus persen hasil karya orang lain, atau sering disebut dengan plagiarisme. Kenapa Kak Esa bisa tahu? karenaā€¦ hm, yah, tebak-tebakan aja. Kan, mungkin... mungkin saja bu Guru Rico salah ngomong.ā€

ā€œTapi, tebak-tebakan itu, beda bukan, sama teka-teki silang?ā€

Ya ampun, nyambungnya dimana, hei?

ā€œBeda dongā€¦ā€

ā€œBedanya apa?ā€

 ā€œBedanya ituā€”ā€

Duh, aku jadi pusing sendiri mendengar percakapan mereka. Jika diteruskan begini bisa-bisa berlanjut sampai malam karena tanpa dinyana Esa sanggup menjawab hal-hal konyol yang Rico pertanyakan sampai satu jam setengah tanpa rasa jengkel sedikitpun. Bisa dipastikan bila itu aku, mungkin melempar tutup panci sampai melesat ke keluar rumah bisa dijadikan pengganti jawabannya.

Ajeng masih asyik dengan lukisannya sedangkan Nana sudah beralih membuat sebuah maha karya ditembok. Parahnya lagi, Tato dan Toto sama sekali tidak berkutik dari tempat duduk mereka di depan komputer. Kedua bola mata mereka fokus bermain game sampai level ke-semiliar mungkin. Luar biasa sekali orang-orang ini, tapi sebenarnya yang lebih luar biasanya lagi aku, duduk lalu berbaring di tempat untuk memperhatikan mereka semua yang melakukan sesuatu yang mereka sukai. Kurang kerjaan apa lagi aku ini?   

ā€œAjeng kalau besar nanti, mau jadi pelukis, ya?ā€ Posisiku kini sudah menyamping gaya mermaid, sambil menopang kepala, mulai menatap Ajeng dengan seksama.

ā€œNggak tahu.ā€

Berbeda dengan Rico, Ajeng lebih pemalas untuk mengutarakan maksudnya.

ā€œKenapa?ā€

ā€œNggak tahu aja. Misalnya kalau aku bilang mau jadi pelukis sekarang, pas besar nanti tahu-tahunya jadi penyanyi, gimana?ā€

Seketika aku terjeduk paham. Mataku berbinar-binar. Benar juga, tidak ada hal yang benar-benar terjadi sesuai ekspetasi di muka bumi ini. Aku berpikir demikian karena yang kurasakan hanya itu selama dua puluh tahun terakhir hidup. Dan kalau coba diingat lagi, perutku jadi bergolak saking mualnya.

ā€œKalau Bu Guru, dulu cita-citanya jadi guru, ya? mangkanya sekarang jadi Ibu Guru.ā€

Aku ingin terbahak namun miris pun datang bersamaan. Cita-cita, ya? itu hampir setiap detik mampir dikepalaku dan mengacaukan kedamaiannya. Cita-citaku tidak bisa dihitung dengan jari. Bahkan aku sendiri sudah lupa apa sebenarnya cita-citaku sebagai anak kecil dulu. Beranjak dewasa, aku lebih senang menyebutnya dengan sebutan mimpi, karena cita-cita itu berhubungan dengan segala keindahan yang kita bayangkan senyaman saat tengah tertidur. Aku pernah mendengar dari seseorang kalau dunia itu sebenarnya ada dua. Dimana yang pertama, ia terletak dalam fantasi, dan yang kedua adalah kenyataan yang sedang kita jalani. Kupikir selama ini aku terlalu dominan dengan fantasi, jadi sulit bagiku untuk menerima kenyataan. Jadi saat menginjak usia dua puluh tahun pertamaku sekaligus yang terakhir sebagai Noumi Roula, entah dikehidupan selanjutnya aku akan dilahirkan sebagai manusia lagi atau debu, aku tidak tahu, tapi aku tetap tidak ingin punya mimpi. Aku sadar kalau rasa sakitku kini disebabkan oleh fantasi yang kubangun dengan menguras pikiran. Pola makanku terganggu dan insomniaku semakin menggila.

Aku dibuat anemia sehingga mudah lelah dalam mengerjakan apapun. Menurutku, semua menjadi kacau semenjak kita menciptakan mimpi. Kuharap Ajeng tidak melakukan hal yang sama.     

ā€œApa bu Guru nggak punya mimpi?ā€

Alisku menukik terkejut. Terheran-heran dengan mahluk mungil yang satu ini. Apa mudah baginya membaca pikiran orang lain yang sedang melamun?

ā€œKenapa tiba-tiba Ajeng tanyanya begitu?ā€

ā€œHm, nggak tahu,ā€ jawabnya handal. Tangannya masih sibuk mewarnai kertas minyak dengan cat. ā€œAjeng Cuma penasaran aja apa mimpi bu Guru saat kecil dulu sampai bisa jadi Guru sekarang.ā€

Ada satu Dream cather yang kubeli di toko klontong ketika mengunjungi pantai Aan saat kelulusan SD delapan tahun lalu. Beberapa tahun kemudian aku tanpa sengaja menonton sebuah drama remaja, The Hers, yang diperankan Park Shin hye sebagai Cha eun sang kala itu. Pada episode awal, aku baru tahu barang yang kubeli beberapa tahun lalu namanya Dream Cather karena pada drama tersebut, Dream cather diartikan sebagai penangkap mimpi indah dikala mimpi buruk menyerang. Dan aku jadi berinisiatif untuk menggantungnya di depan kamar waktu itu, berharap benda tersebut dapat menangkap segala sesuatu yang baik, bahkan mungkin mendatangkan uang yang berlimpah untuk memperbaiki nasib sialku.

Sayangnya, persepsi hanyalah persepsi, sebelas dua belas dengan mengharapkan hujan uang. Dream Cather atau benda apapun itu tidak akan pernah bisa menangkap mimpi yang bermain bersama angin dikala malam mencekam, karena mungkin saja, mimpi indahlah yang seharusnya menangkap diriku.

 ā€œbu Guru nggak punya mimpi. Dan bu Guru bukan seorang guru.ā€

Ajeng mencelupkan kuas ke dalam cat warna merah dan ia terkejut. ā€œLho, kok gitu?ā€ aku hanya menjawab dengan mengendikkan alis.

 ā€œTerus, bu Guru jadi apa dong sekarang kalau nggak jadi guru? Kan bu Guru jadi guru kami.ā€

Kuperhatikan Esa memperhatikan kami meski ia mencoba fokus mengajar Rico memotret miniatur orang di dalam mangkuk yang diisi air, (mungkin konsepnya kolam renang,) dan proses pengajarannya dalam mode serius tingkat tinggi, tapi aku masih melanjutkan perbincangan kembali dengan Ajeng sambil ikut membantunya melukis. 

ā€œBu Guru hanya dipanggil ā€œbu Guruā€ sama kalian, tapi bu Guru nggak semudah itu bisa jadi guru, karena seorang guru itu harus punya pengetahuan yang luas tentang dunia. Hanya karena Pak guru Dwi memperkenalkan bu Guru dengan sebutan bu Guru, jadi sekarang bu Guru jadi guru kalian, deh.ā€

Baru kali ini aku didengar oleh mata seorang anak yang berbinar terang. Seluruh panca indranya hanya dipasang untuk mendengarkanku lalu ditaruhkan empati yang semurni air telaga. Begitu polos dan bening. Aku melanjutkan.

ā€œTapi walaupun bu Guru bukan seorang guru beneran, bu Guru bisa mengajarkan pelajaran pakai gaya bu Guru sendiri, kok.ā€

Dua buah bola mata berkedip tanda memahami maksud sebelum menggeleng lembut untuk berkata dengan kesungguhan hatinya.

ā€œAjeng nggak peduli bu guru beneran itu harus bagaimana, tapi Ajeng suka bu Guru.ā€

Jika saja angin mendadak berhembus kencang sekarang, maka akan kujadikan alasan kuat tentang mataku yang berkaca-kaca. Terharu aku dibuatnya, ditambah lagi caranya mengungkapkan pernyataan itu sungguh menggemaskan. 

ā€œAjeng suka sama bu Guru?ā€

ā€œIya.ā€

ā€œKenapa?ā€

Ia sudah tak canggung lagi untuk bertatap muka denganku, bahkan lebih dekat.

ā€œKarena bu Guru mirip sama Ibuku.ā€

Oh, ya ampun. Kujadikan itu pujian yang lebih dari layak. Dimiripkan dengan pahlawan tanpa tanda jasa baginya, itu sangat sesuatu. Aku mendaratkan jemari di pucuk kepalanya, lalu mengusap surainya dengan lembut.

ā€œKalau bu Guru mirip sama Ibunya Ajeng, berarti Ibunya Ajeng mirip seperti malaikat, dong.ā€

ā€œKok bisa?ā€

ā€œBisa lah. Kan kamu mirip malaikat juga. Kamu nggak sadar, ya, mirip malaikat?ā€

ā€œMalaikat apa dulu? soalnya kalau dipelajaran agama Islam, malaikat itu artinya Jibril.ā€

ā€œHah?ā€ Oh, astaga. Aku tertawa. Geli menggelitik perut.

ā€œKok, Jibril?ā€

ā€œIya, kan itu nama malaikat.ā€

Aku mengusap air di sudut mata lalu menghela napas.

 ā€œMaksud bu guru bukan begitu, tapi sini, deh, tak kasih tahu. Malaikat itu ada 10 dalam ajaran Islam.ā€ Ajeng memperhatikan dengan seksama saat aku meregangkan jari jemari untuk mulai berhitung. ā€œPertama Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atit, Malik, dan Ridwan.ā€

ā€œKok banyak banget?ā€

ā€œSebenarnya nama Malaikat masih lebih banyak lagi dari itu, tapi hanya 10 diantaranya yang diketahui. Sebagai perwakilan.ā€

ā€œKenapa?ā€

ā€œKarena nggak ada yang benar-benar tahu, berapa pastinya Tuhan memiliki malaikat. Mungkin saja seratus, dua ratus? Atau malah satu juta malaikat? Nggak ada yang pernah tahu pastinya berapa. Jadi sebagai perwakilannya, muncul lah 10 nama malaikat tersebut.ā€

 ā€œOh, begitu. Cara munculnya bagaimana?ā€

ā€œHmā€¦ itu sudah ada di dalam Al-Quran, kok.ā€

ā€œAl-Quran itu, apa?ā€

ā€œAl-Quran itu adalah kitab suci umat Islam.ā€

ā€œKenapa dibilang kitab suci?ā€

ā€œKarena isinya petunjuk untuk berbuat kebaikan.ā€

ā€œOh, jadi kalau berbuat baik itu tandanya kita sudah suci, ya?ā€

Pintar juga caranya mengambil kesimpulan. Aku jadi tidak bisa untuk tidak berkata, ā€œiya,ā€ sambil mengangguk mantap.

ā€œKalau dalam agama Hindu, bagaimana?ā€ tanyaku balik, mungkin ia tahu banyak tentang agamanya sendiri.

ā€œHm, kami nggak punya malaikat, sih, bu Guru, tapi kami punya banyak dewa.ā€

ā€œOh, ya? dewa apa saja? Kalau makna dari gelang yang kamu pakai ini, apa? kenapa warnanya belang tiga? Merah, putih, hitam?ā€

ā€œIni namanya gelang Tridatu. Artinya apa, ya? oh! ini hanya sebagai tanda kalau kami orang Hindu. Kalau maknanya aku nggak tahu. Pokoknya ini aku dapat kalau ada upacara sembayangan di Pura.ā€

ā€œOh, begitu.ā€

ā€œIya. Kak Noumi mau pakai gelang ini?ā€

ā€œEhā€”ā€

Barusan ia memanggilku kak? Bukan bu guru lagi?

ā€œNggakā€¦ emangnya bu Guru boleh pakai gelang Tridatu walau nggak ikut sembahyangan di Pura?ā€

ā€œBoleh aja, kok, kan banyak gelang yang kayak begini dijual di toko-toko aksesoris.ā€

ā€œOh, bu Guru baru tahu.ā€

ā€œKalau mau, besok Ajeng bawain, ya.ā€

ā€œBoleh. Makasih, yaā€¦ā€

ā€œKalau bahasa Koreanya, ā€˜sama-sama,ā€™ apa?ā€

ā€œCheonmanneyoā€

ā€œOh, cheongmaneyo.ā€

ā€œBukan cheongmaneyo, tapi cheon-man-ne-yo.ā€

ā€œOh, Cheon-man-ne-yo, begitu?ā€

Aku mengangguk.

ā€œAku bisa bilang Anyeonghaseyo dan anyeonghigeseyo.ā€

ā€œArtinya apa?ā€

ā€œbu Guru nggak tahu? artinya kan ā€˜haloā€™ dan ā€˜selamat tinggal.ā€™ā€

ā€œOh, iya, terus-terus, apa lagi?ā€

ā€œHmā€¦ aku juga bisa bilang Arigato gozaimasu... koniciwaā€¦ spasibaā€¦ bonjourā€¦ xie xieā€¦ nihoumaā€”ā€ 

ā€œWow!ā€

ā€œSaranghaeā€¦ mianhaeā€¦ grazieā€¦ obrigadoā€¦ swadikapā€¦ kopunkhapā€¦ dankeā€¦ danjeā€¦ merciā€¦ syukronā€¦ hvalaā€¦ thank ye, thenk ye, multumesc, shur-nur-ah-gah-lem, dan tujechhe.ā€

Aku dan Esa bertukar pandang sejenak, kemudian bertepuk tangan secara meriah.

ā€œWow, Kerenā€¦!ā€ Senyum Esa mengembang dengan mata yang berbinar. Ia masih bertepuk tangan sambil menganggukkan kepala. Aku tidak tahu pasti apakah yang Ajeng sebut barusan itu adalah bahasa asal-asalan atau benar dari berbagai Negara, tapi aku sudah terlanjur gemas.

ā€œKok kamu bisa hebat banget, sih? Sini cium dulu!ā€

Anak itu tidak menolak saat kudekap kuat untuk kucium kedua pipinya. Ia malah memejamkan matanya erat dan tertawa seperti tengah digelitik.

ā€œSaranghaeā€¦ā€ aku membuat bentuk hati di atas kepala dengan kedua tanganku, lalu Ajeng membalas, ā€œnado saranghaeā€¦ā€ dengan gaya paling imutnya. Seperti bahasa Inggris, saranghae atau I love u tidak hanya ditujukan kepada pasangan, tapi kita boleh mengatakannya kepada siapapun atau orang terkasih sebagai tanda kasih sayang.

Kebanyakan orang Indonesia, biasanya mempopulerkan ā€˜saranghaeā€™ sebagai bahan candaan atau sapaan saat bertemu orang yang terlihat seperti orang Korea. Dulu pernah waktu di suatu Mall, aku, tiga orang temanku, dan satu orang tak dikenal lainnya, berada dalam satu lift dengan orang Korea. Karena penasaran ingin memastikan, teman-temanku bertanya, Where are you from? Dan saat mereka menjawab from Korea, sontak bapak-bapak dibelakangku langsung berkata saranghae dibanding mengatakan anyeonghaseyo lebih dulu, (padahal orang Koreanya itu laki-laki semua,) membuat kami tertawa terbahak-bahak, tanpa kecuali orang Korea itu sendiri, meski mereka membalas ungkapan tersebut dengan nada yang sama, namun moment itu sukses menjadi legend dalam hidupku.   

ā€œBilang saranghae juga dong ke pak Guru,ā€ pintaku. Ajeng langsung memancarkan pesonanya.

ā€œpak Guru, saranghaeā€¦ā€

Esa tahu banget gaya menangkap nyamuk di udara dengan kedua tangan lalu menelannya sebelum tersenyum lebar dengan memiringkan kepala.

ā€œSaranghae juga, Ajengā€¦ā€

Rico merasa iri karena kulihat ia cemberut. Kedua pipi bakpaonya nyaris bergelinding di lantai karena merosot.

ā€œTuh, bilang saranghae juga ke Rico,ā€ pintaku gesit. Kemudian lagi-lagi Ajeng memberikan ekspresi lembut nan ceria kepada anak laki-laki tersebut.

ā€œSaranghaeyo, Ricoā€¦ā€

Rico tak membalas senyum. Ia hanya berdeham, ā€œhm,ā€ dengan malasnya. Aku terkikik.

ā€œLha, kok jawabnya begitu?ā€ Esa menjawil pipinya sambil menatap jenaka secara lekat. Yang ditatap mencoba membuang muka.

ā€œMau dicium juga, hm? Kayak kak Ajeng tadi? Hm, hm?ā€

Tawaran Cuma-Cuma tanpa kesepakatan bersama itu pun langsung dilaksanakan sepihak oleh Esa. Pipi Rico yang pulen dicap dengan stempel bibir secara brutal sampai anak itu menjerit tidak terima lalu Esa membuatnya berguling-guling dilantai. Aku dan Ajeng dibuat tertawa-tawa melihat mereka berdua bagai kutu yang bertumpukan bila diadu, bahkan keseruan mereka mengundang atensi dua anak kembar yang dari tadi bermain game zuma di depan komputer. Tato dan Toto yang kesannya tak peduli perlahan mulai memberi minat untuk bergabung bersama kami. Nana yang tadinya sibuk mengecat tembok sendiri, kini terdiam bingung menatap tak mengerti atas kemenangan apa yang telah terjadi hingga mereka berdua rela membuat selebrasi sekonyol itu. Rico sendiri pun setelahnya dibuat bagai orang babak belur. Terduduk lemas dengan muka lesu karena tidak sanggup adu kekuatan dengan Esa, membuat yang menjahilinya tertawa puas karena melihat sang korban menderita.

ā€œHohohohoā€¦ā€

Aku menggeleng, mencoba merapikan surainya yang jigrak. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berkeringat dan mengusap wajahnya sebelum memberi kecupan singkat dikening serta berakhir dengan menyembunyikannya ke dalam pelukan.

Kasihan. Meski kami semua tertawa melihat fisiknya yang lucu, namun ia terlihat sama sekali tidak senang, malah cenderung sedih. Dan benar saja, tak lama setelah itu, mendadak ia jadi menangis kencang dipelukanku.

ā€œAkkhhhhh!!!ā€

Suaranya membahana membuat kami semua terkejut, termasuk Esa. Ia kebingungan setengah mati setelah aku menatapnya dengan mata membulat karena telah membuat anak ini menangis. Karena aku tak bisa berkata kasar kepada Esa sekarang sebab anak-anak menatap kami dengan muka serius, Esa pun mencoba menaikan alisnya seolah bertanya padaku.

ā€œKenapa?ā€

Alisku menukik.

ā€œKau apakan dia?!ā€

ā€œAku hanya main-mainā€¦!ā€

ā€œMain-main bukan begitu caranya!ā€

Ia segera menciut dengan menurunkan pandangan, menunjukkan gestur bersalah. ā€œMaaf. Aku nggak tahu kalau jadinya bakal begini.ā€

Itu membuatku jengah. Kurotasi bola mataku dengan sengaja seolah tengah melimpahkan kekesalan padanya untuk membuat Rico merasa baikan, sementara dalam posisi kepompong, kutepuk-tepuk punggung dan bokong anak ini karena ia terus cegukan.

ā€œUuuā€¦ nggak apa-apa, kenapa menangis? Siapa yang nakal, pak guru Dwi, ya? Oh, iyaā€¦ sudah bu guru pukul, kok. Cup, cup, cup, ya?ā€

Esa mengusap hidung. Menatap anak-anak yang lain, lalu tersenyum canggung. Meyakinkan kepada mereka bahwa ini hanya masalah sepele yang tak perlu bantuan polisi sama sekali kalau hanya untuk sekadar membantu muka mereka kembali tenang.  

ā€œMaafin bu guru juga, ya. Kami nggak ada maksud apapun apalagi sampai bikin Rico menangis, kok. Pak guru Dwi juga niatnya hanya bercanda sama Rico, iya kan pak guru Dwi?ā€

ā€œIya, maafin pak Guru, Rik.ā€

Aku menarik diri namun ia tak mau lepas, terus mendesak wajahnya di bawah dadaku sementara aku khawatir ia tidak bisa bernapas. Kuputar melalui tengkuknya ke arah berlawanan dengan Esa untuk mengusap air matanya yang membanjiri pipi. Hanya sedikit saja dan itu langsung membuatnya lega bukan main. Kudapati keringatnya banyak bercucuran. Kelopak matanya sudah bengkak seperti tersengat lebah dan hidungnya tak berhenti mengeluarkan ingus sehingga mau tak mau harus kuseka dengan tanganku sendiri. Saat Esa dan yang lain mulai berisik, aku berbicara dengan nada berbisik.   

ā€œRico kesal karena bu Guru nggak bilang Saranghae ke Rico, ya? atau karena Rico nggak suka dicium pak Guru Dwi?ā€

Ia tak menjawab sedangkan aku sibuk mengusap keringatnya dengan tangan. Entah itu benar atau salah namun yang pasti tak ada salahnya menanyakan penyebab utama dari akar permasalahannya agar hatinya tidak selalu digunakan untuk menyimpan amarah. 

ā€œKenapa Rico nangis? Rico marah sama siapa, hm?ā€

Kulihat bibirnya semakin memerah saat ia basahi dengan air liur. Saat kugenggam tangannya, ia tetap tak bergeming. Kubawa ia berayun-ayun pelan dan bersenandung untuk sesekali kutengok, ia sedang melamun. Ia sebenarnya menangis karena apa, sih? Membuatku penasaran. Tapi setelah berlama-lama ketika Esa mulai berisik dengan yang lain, lalu aku mulai berbicara dengan nada berbisik lagi, Rico mengatakan yang sebenarnya.

ā€œAku sebenarnya sedih karena bu Guru peluk aku.ā€  

***

SunšŸŒ…

HALO SEMUA! SENENG BANGET BISA BERTEMU KALIAN DI BAB INI. AKU JUGA INGIN TAHU BAGAIMANA PERASAAN KALIAN SAAT MEMBACA DREAM FIRST CLASS. JADI, PASTI AKAN LEBIH SERU KALAU KITA BISA SALING TERHUBUNG MELALUI KOLOM KOMENTAR. KALIAN BOLEH CERITA APAPUN YANG KALIAN MAU, KOK. AKU BAKAL SELALU MENUNGGU KALIAN! SEE YOU THE NEXT PART!

| 2

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status