Kemarin mendung. Hari ini pun mendung. Sudah tiga hari ini mendung. Kabar awan disetiap pagi adalah mendung. Hujan menangis tidak seperti biasanya. Aku jadi menggigil dan mual. Angin di luar masuk melalui celah jendela yang minta ditutup dengan hati-hati sebelum kemudian aku duduk menepi di kasur untuk menutupi tubuh Meli yang tengah tertidur dengan selimut.
Ia mendengkur pulas setelah tadi sempat berkelahi dengan adiknya saat mereka bertemu di dapur. Meli melayangkan kata-kata kasar dan menyayangkan kepergian sang ayah yang seharusnya bisa digantikan oleh adiknya itu. Baru kali ini kulihat ia berteriak marah dan mengaum bagai singa kelaparan, sebelum akhirnya jatuh terlarut dalam mimpi-mimpi indah yang katanya tidak pernah ia dapatkan selama ayahnya masih hidup. Imsomnianya mendadak berhenti total. Bahkan dipagi hari pun sanggup ia habiskan untuk tertidur. Aku jadi bingung harus bersikap bagaimana.
Diluar kamar, para tetangga selalu meramaikan rumahny
hai-hai semua! gimana? kalian pada penasaran nggak dengan rahasia Esa? atau kalian percaya nggak kalau Esa itu orang yang berbahaya? aku juga penasaran, sih. Jadi, karena kita sama-sama penasaran, nantikan ceritaku di part selanjutnya ya! bye bye!^^
Tepat sesaat setelah menutup pintu rumah Bu Ros, dalam lingkaran tempat kos sepuluh meter dari tempatku berpijak, aku melihat Esa yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kamarnya sambil menatapku dari kejauhan. Ia tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia hanya diam seperti tengah menunggu. Siapa yang ia tunggu? Aku? Tatapannya jelas hanya tertuju padaku. Oh, apa karena rumor tentang hamil itu? Aku disangka ada âmainâ dengannya dan berusaha menyembunyikan perut ini sehingga tidak kembali selama tiga hari. Padahal aku tengah berduka atas kepergian ayahnya Meli yang begitu mendadak. Kondisi Meli pun saat ini masih belum baik-baik saja. Malah aku berniat untuk rutin menginap di rumahnya agar ia tidak kesepian. Dan, hah! Baru tiga hari, loh! Tiga hari! kabar hamil pun sudah ditelan bulat-bulat bagai tahu bulat di masyarakat. Macam artis beken saja aku. âHai,â sapanya dengan muka polos. Aku langsung membungkuk seperti di drama-drama Korea untuk menun
âBeberapa hari yang lalu aku bertemu Rici.â âRichie?â âHm. Dia ada di cafĂ© master pedas. Jadi kasir,â kataku sambil membantu Ajeng membuat pesawat dan burung-burungan dari kertas origami. Esa sedang mengerjakan sesuatu di garasi, sementara aku menemani anak-anak melukis di atas kertas layang. (Project Ajeng yang minggu lalu sempat dimulai bersamaku.) âKamu say hai?â Esa melirikku sejenak yang duduk di ambang pintu. Sedangkan ia tengah sibuk membelah batang bambu menjadi tipis-tipis untuk dipakai membuat layang-layang di garasi. âIya lah. Dia kan teman dekatmu.â âKata siapa?â âKatanya.â Ia mendengus lirih. Menanggapiku sekenanya. âTemanmu itu sebenarnya kerja apa, sih?â âKan katamu tadi kasir.â âBukan⊠aduh, salahku. Maksudku, dia itu sebenarnya siapa? Katanya kemarin ia pemilik cafĂ© larasa di dekat pom bensin itu, terus sekarang tempat makan. Dia pengusaha?â âMana ku
âNom.â âHm?â Entah sejak kapan Esa sudah berpeluh keringat. Ia memintaku membukakan pengait gendongan di punggungnya. âKamu tolong jagain anak-anak sebentar, ya. Aku mau beli minum,â ucapnya sambil menyodorkan Nana padaku. Aku gerogi. Takut ia menangis. âNggak perlu,â sergahku cepat saat Esa akan memasangkan gendongan itu kepadaku. Aku tahu Nana pasti bakal jenuh kalau sampai kepanasan karena tidak nyaman mendekap dalam pelukan orang asing sepertiku. Bisa kupastikan ia hanya akan menangis sepanjang waktu untuk menunggu Esa kembali. Aku tidak mau stress sendiri. âDia bisa bermain-main sendiri nanti. Aku akan awasi.â Esa terdiam sejenak karena mendengar alasanku. Tak lama ia mengangguk pelan, ragu-ragu. âKarena kamu sendiri yang pilih aku buat jadi guru mereka, kamu pasti percaya juga dong kalau aku bisa jagain mereka,â ujarku dengan nada mendikte. Esa pun langsung mengangguk panjang. Bertatapan sebentar dengan Nana y
âYatim piatu?â Esa mengangguk. Membukakan aku botol air yang berisi cairan penambah ion. Aku masih menopang kepala anak-anak di pahaku sembari memperhatikan Ajeng yang masih tertidur pulas dengan seksama. Pipinya kuelus-elus. Ia menghadap ke perutku seolah untuk mencari kehangatan. âIbunya meninggal karena penyakit kanker payudara. Kemudian sebulan setelahnya ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal tengah malam. Diduga karena sedang mabuk, tapi ibunya bilang anaknya nggak pernah mabuk-mabukan.â âAjeng punya nenek?â âIya. Nenek dan kakek yang masih segar bugar. Mereka bahkan menjual berkilo-kilo semangka di pasar. Kalau dilihat sekilas, mungkin nggak ada yang tahu kalau Ajeng itu cucu mereka karena terlihat seperti orang tua dan anak pada umumnya.â âOh, ya? Kamu pernah bertemu mereka?â âSetiap hari,â katanya menselonjorkan kaki. Kemudian ia menyentuh pipi gembil Rico. âBapaknya anak ini, memintaku untuk mencarikan distributor buah-b
Aku yakin mungkin ada sedikitnya kebohongan yang ia katakan tadi sebab aku tak percaya. Jangan mudah dibohongi begitu Noumi. Jangan mudah berempati hanya karena ia mampu menggendong empat orang bocah dalam satu pelukan. Ia orang aneh, tapi tidak dapat dipungkiri aku terkagum juga saat melihat pundak lebarnya berjalan di depanku dengan dua anak menopang kepala di pundak sementara yang dua lagi di dadanya. Anak-anak punya firasat yang kuat jika berada dalam tangan penjahat. Bisa jadi Esa memang bukan orang jahat. âNoumi,â panggilnya saat berdiri di depan mobil yang tadi kupesan lewat grab. Ia berusaha menengok dengan kuwalahan sementara aku bergegas membuka pintu mobil. âKamu masuk dulu,â katanya supaya bisa mengoper anak-anak kepangkuanku lagi. Nana sendiri dipelukanku sudah terbangun dari tidurnya dan mulai merasakan senja yang terlarut dalam gelap. Suhu AC mobil menyadarkannya. âHai, sayang,â sapaku sambil mengusap kepalanya dengan lembut kemudian m
âEsaâŠ!â panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap. âApa?â âKamu mau taruh anak-anak di mana?â âDi kamarku.â âKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?â Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama. âHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?â Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. âAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?â âKasurku tidak muat buat lima anak.â âYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.â âKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah cafĂ©. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. âHai, Noumi.â âHai,â jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. âKapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?â tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. âKamu sama temanmu waktu itu, bukan?â Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. âTeman?â lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. âI
Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. âIni hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a