Ambar dan Alif sudah siap di atas motor, bocah yang masih belajar di Pendidikan Usia Dini itu duduk di depan ibunya, keduanya terlihat ceria seperti hari-hari sebelumnya. Sesekali membalas sapaan tentangga yang kebetulan lewat. Ambar sudah bisa tersenyum, mata yang beberapa hari terakhir tampak redup kini kembali berbinar. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu sudah memutuskan untuk melepaskan. "Aku berhak bahagia, dan bahagiaku tak selalu dengan Rudi" Itu yang selalu dibisikkan pada dirinya sendiri. "Aku kuat, aku bisa!" Kalimat sederhana yang mampu merubah jalan pikirannya."Alif udah siap?" tanya Ambar setelah memasangkan helm bergambar Bobo boy pada putranya itu."Udah," sahut bocah sambil mengangguk penuh semangat. "Baca doa dulu yuk," ajak Ambar, keduanya pun membaca doa naik kendaraan seperti yang dipelajari Alif di sekolahnya. Di sepanjang jalan Alif bercerita banyak hal, termasuk pertemuannya dengan Santi yang katanya menyeramkan. "Bunda ndak tahu sih, dia benar-benar menyeram
Rudi masih terlihat putus asa karena belum menemukan keberadaan ibunya. Berkali-kali dia menyusuri koridor rumah sakit karena tak percaya dengan informasi yang diberikan oleh petugas. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, Rudi kelimpungan mencari Rahayu, karena selama ini dia tak pernah diabaikan oleh wanita yang telah melahirkannya itu. Berkali-kali Rudi ingin menghubungi Ambar, tetapi diurungkan. Egonya sangat tinggi sebagai seorang lelaki, apalagi jika mengingat sikap Ambar yang belakangan ini menurutnya sudah kurang ajar menjadi seorang istri. Bahkan sampai detik itu, Rudi belum menyadari kesalahannya. Masih saja menganggap Ambar lah yang harus disalahkan.Untuk kesekian kalinya Rudi bertanya pada petugas resepsionis. Lelaki bermata elang itu bahkan terkesan mengancam pihak rumah sakit jika sampai ketahuan menyembunyikan keberadaan ibunya. Tak ayal ulahnya itu menimbulkan keributan, sampai-sampai harus ditangani petugas keamanan. Rudi melangkah dengan gontai menuju mobilny
"Bu ...." Ambar menjeda kalimatnya untuk meredam rasa gelisah karena hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan merubah segalanya. "Aku ingin berpisah dengan Mas Rudi. Rasanya aku tak kan bisa melanjutkan rumah tangga dengannya. Maaf," lanjut Ambar pelan tapi pasti. "Mungkin, aku ini egois, tapi raga dan batinku seolah menolak Mas Rudi jika teringat apa yang sudah dilakukannya." Lagi Ambar mengatakan apa yang dirasakannya, menumpahkan sedikit yang dia rasakan pada sang mertua."Ndak perlu minta maaf, Mbar. Aku bisa mengerti, aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika berada di posisimu, Mbar. Aku hanya ingin kamu melakukan permintaan terakhirku sebagai mertuamu," pinta Rahayu pada wanita yang telah memberinya seorang cucu itu.Ambar tak membantah lagi, wanita yatim piatu itu memilih diam, bukan karena takut atau sedih. Namun, demi menjaga kewarasannya dia memilih berpikir positif. Mungkin, ibu mertuanya itu mau memberi pelajaran untuk anaknya. Semoga saja."Mbar, jika kamu benar-
Sebelum Santi menyimpan ponselnya dalam tas, sebuah notifikasi terdengar dari benda canggih miliknya itu. [Kirim foto dan alamat lengkapnya, kebetulan saat ini aku ada keperluan di kota itu] bunyi pesan dari Riswan. Tanpa menunggu lebih lama Santi langsung membalasnya. [Hanya ini, selebihnya kamu sendiri yang mencari tahu semuanya tentang dia] balas Santi, terkirim dan terbaca. Sebuah emot jempol kembali terkirim ke ponsel Santi sebagai tandan 'ok'. Santi hanya membukanya, setelah itu dia kembali konsentrasi ke pekerjaannya.**"Fit, ibu mana?" tanya Ambar ketika hanya mendapati perempuan berambut sebahu itu di ruang keluarga."Ada di kamar, Mbak. Mungkin sudah tidur," sahut Fitri tanpa menoleh pada Ambar, pandangannya fokus pada layar televisi."Ya udah, aku mau jemput Alif dulu," pamit Ambar, setelah itu wanita pemilik hidung mungil itu mengayunkan langkahnya menuju luar. Saat ini dia merasa sedikit tenang karena masalah dengan Rudi akan segera terselesaikan. "Mbak Ambar!" seru F
"Selamat malam, Bu," ucap Rudi penuh percaya diri sambil menggandeng Santi. Lelaki tiga puluh delapan tahun meraih tangan ibunya lalu menciumnya dengan takzim. Rahayu masih bungkam, dia juga menyambut uluran tangan Santi, tetapi Rahayu segera menarik tangannya ketika hendak dicium oleh Santi."Tadi pagi aku ke rumah sakit, kenapa ibu harus meminta pulang paksa, seharusnya ibu di rumah sakit dulu sampai benar-benar sembuh." Panjang lebar Rudi mengutarakan isi hatinya."Aku sudah sehat, Rud. Jadi buat apa lama-lama di rumah sakit. Di sini kondisiku akan lebih cepat pulih karena ada Alif dan Ambar yang akan merawat dan menjagaku dengan baik," sahut Rahayu dengan tatapan lurus pada manik mata putranya.Di tatap sedemikan rupa oleh sang ibu, Rudi tak lagi bisa berkata, lidahnya seolah keluh. Baginya amarah Rahayu amatlah menakutkan, karena dia sangat menghormati wanita yang telah melahirkannya itu. Rudi menoleh pada Santi ketika perempuan itu menyenggolnya. Seolah paham, Rudi langsung memp
"Mas!" Santi tersentak mendengar dirinya disebut sebagai wanita tak bermartabat, harga dirinya sungguh dipermainkan."Bu, tak perlu memujiku seperti itu. Semuanya tak ada artinya jika memang kita tak berjodoh. Aku bersedih, tentu. Sepuluh tahun bersama bukalah waktu yang singkat. Sayang, hubungan ini harus berakhir karena penghianatan. Mungkin, ini jalan Tuhan agar aku tidak terlalu menangisi perpisahan ini, Tuhan ingin menunjukkan bahwa dia bukanlah imam yang baik untukku.""Jaga bicaramu, Mbar! Tak pantas mulutmu berkata seperti itu. Kamu pikir dirimu itu wanita suci?""Aku tak pernah mengatakan diriku ini suci. Setidaknya aku tidak menghianati janji yang telah terucap di hadapan Allah.""Kamu jangan diam saja. Mereka telah menghinaku, Mas!" seru Santi sambil terisak dalam pelukan Rudi. "Mereka keterlaluan, Mas. Ibumu keterlaluan, salahku apa, Mas? Mengapa cinta kita harus seperti ini?" imbuhnya sambil menangis meraung.Mendengar ucapan kekasihnya, Rudi pun ikut emosi. Lelaki itu ba
"Aku keluar dulu, Mbak," ucap Fitri setelah mendapati Ambar berdiri ditengah pintu yang tertutup. Bundanya Alif itu membuka matanya, kemudian tersenyum pada wanita yang baru beberapa waktu dikenalnya, namun sudah banyak membantu itu."Terima kasih ya, Fit," ucap Ambar tulus, tatapan mereka beradu kemudian keduanya mengulas senyum."Sama-sama, Mbak. jangan segan-segan bercerita padaku, Mbak," balas perempuan itu sambil menepuk pundak Ambar sebagai tanda semua akan baik-baik saja.Setelah Fitri keluar, Ambar melangkah mendekati Alif yang tengah terlelap, ditatapnya bocah empat tahun itu lekat-lekat. Setetes bening itu meluncur membasahi pipinya yang mulus. Namun, setelah itu sebuah senyuman terbit di bibir tipisnya."Kita bisa ya, Kak. Alif dan Bunda pasti bisa melewati semuanya bersama," ucap Ambar yang direspon sebuah senyuman dari bibir mungil Alif. Melihat itu membuat air mata Ambar semakin deras.Di luar ruangan Rahayu masih duduk termenung di tempatnya semula, wanita senja itu nam
"Mbak, aku disuruh Ibu nemeni Mbak Ambar," ucap Fitri setelah masuk ke kamar Ambar. Bundanya Alif itu memang belum mengunci pintu kamarnya, karena dia belum bersiap untuk tidur. Sementara wanita yang diajak bicara itu tak menyahut, Ambar terlihat tengah mencari sesuatu dalam lemarinya."Cari apa sih, Mbak? Serius amat?" tanya Fitri setelah mendekat."Fit, semua surat penting ndak ada di tempatnya," sahut Ambar terlihat panik."Loh? Kok bisa?" tanya Fitri ikut panik. "Coba cari yang betul-betul, Mbak. Barangkali nyelip di bawah," ujarnya.Ambar menatap perempuan yang hobi memasak itu. "Ndak mungkin nyelip, Fit. Apa mungkin tadi pas kita ke salon, Mas Rudi datang?" tanya sekaligus tebakannya."Dia punya kuncinya?" Fitri balik bertanya. Ambar mengangguk sebagai jawaban iya."Memang untuk apa Mas Rudi melakukannya ya, Mbak?""Rekaman video itu, iya ... pasti dia ingin menukar surat-surat penting dengan rekaman videonya," tebak Ambar. "Laporkan saja ke kantor polisi, Mbak," usul Fitri."