Share

Gara-gara Istri Muda Anakku Meregang Nyawa
Gara-gara Istri Muda Anakku Meregang Nyawa
Penulis: Auphi

Curiga

Mataku perlahan terbuka, dan langit-langit putih kamar langsung menyerbu netraku.

'Aneh, bukannya tadi aku diseret ke dalam mobil?'

Benakku masih sibuk menerka, ketika sebuah kesadaran menghantam otakku. Ya! Sepertinya aku baru terbangun dari mimpi buruk, dan lucunya mimpi itu terlalu nyata hingga kukira hidupku sudah berakhir di sana.

'Ah, syukurlah.'

Tanpa sadar, aku menghela nafas lega.

Ketika masih berusaha menyesuaikan diri, sesuatu tiba-tiba menyentuh lenganku. Refleks aku menoleh. Rupanya putri kecilku sudah berdiri di sisi ranjang.

Bibir mungilnya yang pucat mengumandangkan tanya, "mama sudah bangun? Mama kenapa? Tadi seperti mengigau."

Aku tersenyum, tak menyangka masih bisa melihatnya di sini. Segera kugenggam tangan mungil itu. Seperti biasa, suhunya lebih dingin dari yang wajar.

"Entahlah, barusan Mama mimpi... tapi kayak nyata."

"Ah, Mama... mimpi, kan cuma bunga-bunga tidur."

Kuharap Ciara benar, namun entah kenapa firasatku bilang, mimpiku tak sesederhana itu. Sampai sekarang, semua kejadian tadi masih jelas terbayang di pikiran. Seolah keberadaanku disinilah yang ilusi.

"Oh iya, Papa mana?" tanyaku waktu melihat kamar VVIP yang sangat lengang ini.

Ciara menarik nafas lalu duduk di sebelahku. Matanya yang indah nampak serius padahal umurnya masih sembilan tahun.

"Kayaknya nanti malam baru mampir, Ma. Kata papa ada klien penting, jadi bakal sibuk sepanjang hari."

"Oh, lantas kakakmu di mana?"

"Kak Cipta masih sibuk dengan tugasnya. Ada kerja kelompok katanya."

Penjelasan Ciara membuatku tercenung. Betapa tega mereka membiarkan anak sekecil ini berjaga sendirian. Apalagi kesehatan putri bungsuku pun tidak bagus.

Walau terlihat normal, Ciara lahir dengan kelainan jantung bawaan yang membuat darahnya tidak bisa mengalir dengan lancar. Masalah ini baru kami ketahui setahun belakangan, setelah dia pingsan usai pelajaran olahraga.

"Sudah berapa lama Mama tertidur?" tanyaku lagi.

"Sudah hampir dua hari, Ma. Kata dokter Mama kena gegar otak ringan gara-gara jatuh dari tangga."

"Lalu, selama Mama tak sadarkan diri, papa pernah kemari?"

Ciara mengangguk lalu mengacungkan jari telunjuknya. "Satu kali." Setelah itu dia juga menjelaskan bila nenek dan kakaknya tidak datang sama sekali.

Beginilah keluarga kami sekarang. Aku tak tahu sejak kapan, perlahan semuanya berubah lebih dingin. Padahal dulu Haris adalah orang yang perhatian padaku dan kedua anak kami.

Kapan semuanya mulai tak sama?

Sejak usaha Haris semakin maju? Sejak aku lebih sibuk berkutat dengan tugas rumah tangga? Atau ... sejak kembalinya Silvy ke rumah kami? Nama ini membuat pupil mataku membesar tiba-tiba.

"Dek, selama Mama di sini bagaimana situasi rumah?"

Ciara menatapku sejenak, seperti mencari hal aneh dari kalimatku. Sejak kecil, putri bungsuku memang lebih perasa dibanding kakaknya.

Dia menyerah waktu melihat mukaku yang tetap tenang, tanpa riak. "Seperti biasa, Ma. Nenek sama Bik Ratih di rumah menjaga kami. Papa berangkat ke kantor sama tante Silvy."

Nyess!

Kesadaranku seperti disiram seember air dingin.

Benar, disini letak ketololanku yang utama. Silvy, sepupu kami yang janda, tiba-tiba bercerai dengan suaminya. Kabarnya pria benalu itu kerap melakukan kekerasan.

Merasa tak punya tujuan, Silvy kembali ke rumah mertua dan minta bekerja di bagian administrasi perusahaan biar ilmunya nggak sia-sia katanya. Aku yang polos ini membiarkan saja, karena kasihan pada situasinya.

Gara-gara mimpi sialan tadi, firasatku soal Silvy jadi tak enak.

"Lantas, apa Papa juga selalu pulang bareng tante Silvy? Jam berapa mereka pulang?"

Masih dengan wajahnya polosnya, Ciara menyahut cepat, "iya Ma, selalu pulang bareng. Biasanya jam sepuluh kadang sampai jam dua belas malam."

Sekujur tubuhku mendadak beku.

Mau mual, mau marah, mau berteriak, semua emosi negatif bercampur jadi satu. Kalau mimpiku benar, Jangan-jangan kegilaan mereka sudah dimulai sejak lama. Cuma aku yang terlalu bodoh, tak bisa menyadarinya.

Hal macam apa yang dikerjakan dua manusia dewasa sampai jam dua belas malam? Orang dungu pun pasti paham masalahnya tak sesederhana itu.

"Ma, muka Mama kok makin pucat? Tidur dulu Ma, kata dokter nggak boleh banyak berpikir, nanti gegar otaknya makin parah.

Ciara yang baik buru-buru membantuku berbaring lagi, namun hatiku yang kacau terlampau buta melihat perhatiannya.

Otakku sepenuhnya tertuju pada hubungan tak lazim yang mungkin saja terjadi diantara suamiku dan sepupunya.

"Apa nenek tak marah kalau mereka pulang malam-malam?"

Kening Ciara agak berkerut sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Nggak Ma. Kata nenek, tante dan papa pulang malam karena lembur."

Sudah kuduga. Perempuan tua yang kupangil mertua itu tak mungkin menegur Silvy walau tindakannya itu kurang pantas.

Meski cuma keponakan tak langsung -- ayah Silvy anak dari pamannya mertua-- ikatan batin tak mungkin hilang begitu saja.

Silvy terpaut usia tiga belas tahun denganku. Jadi waktu Haris memboyongku ke rumah ibunya, Silvy masih bocah sembilan tahun yang rambutnya kerap kukepang dua. Gara-gara ini pula aku tak menaruh curiga waktu dia meminta kerja di perusahaan startup milik kami. Dia sudah seperti adik yang tak pernah kumiliki.

Sekarang, aku mulai berpikir ulang soal anggapan ini.

"Ma, ada lagi yang mama butuhkan? Biar Ciara ambil."

Suara puteriku kembali menyadarkanku dari pikiran yang berkelana.

"Tak usah, Dek. Kamu istirahat saja, pasti sudah capek, kan?"

Ciara pun menurut. Dia kembali berbaring di sofa panjang sambil membaca buku-buku komik kesukaannya.

Sementara putriku sibuk dengan dunianya, aku pun sibuk dengan duniaku. Sambil memandang tembok kamar yang dicat putih, aku berpikir banyak tentang hal yang harus kulakukan selanjutnya bila ternyata mimpiku tadi berubah jadi kenyataan.

Umurku sekarang sudah tiga puluh empat tahun, empat bulan lagi tiga lima. Dulu aku nikah muda, hanya beberapa bulan setelah tamat kuliah. Itu pun tanpa restu ibu karena beliau tak pernah menyukai Haris.

'Terlalu manut sama ibunya juga punya bakat selingkuh.' Begitu ucapan beliau waktu itu.

"Ah, ibu..." Desahku lirih. Tak terasa air mataku menitik mengenang sosok yang tubuhnya sudah terbujur kaku di kedalaman bumi.

Waktu muda dulu, aku menganggap omongan ibu cuma angin lalu. Namun setelah berumah tangga hampir tiga belas tahun dengan Haris, baru kusadari betapa berat punya suami yang terlalu manut sama ibunya. Apa-apa mesti didikte, apalagi kalau tinggal serumah dengan mertua, makin kacau saja.

Kadang-kadang hati mengkel setengah mati tapi tak ada tempat mengadu. Karena sudah pasti suami bakal membela sang ibu atau paling banter memintamu bersabar.

"Ma, kayaknya papa udah datang." Puteriku tiba-tiba menukas seraya bangkit menuju pintu.

Dan benarlah, sejurus kemudian daun pintu langsung terkuak sebelum Ciara sempat menyentuh kenopnya. Bersamaan dengan ini, masuklah sosok manusia yang sudah kuanggap seperti adik selama ini.

Wanita muda itu masih tersenyum manis seperti biasa. Kalau dulu, aku mungkin sudah langsung menyambut hangat, selayaknya seorang kakak pada adiknya. Tapi hari ini, mulutku enggan membuka.

Entah karena pengaruh mimpi tadi, tiba-tiba saja, garis lengkung yang dia tampilkan lebih mirip seringai ejekan di mataku.

"Hai Kak Tiara, bagaimana? Sudah baikan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status