"Kalau kamu sayang sama Ibu, ceraikan Zainab dan menikahlah dengan Maira!"
Ucapan Ibu membuatku menjadi harus memilih antara menjadi seorang suami dan seorang anak. Aku tidak ingin menyakiti hati Ibu, tapi juga tidak ingin menjadi suami yang gagal. Meskipun aku tahu jika ada satu wanita lagi yang tersakiti di sudut bumi yang lain. Maafkan aku, Maira. Cinta ini masih sama, tapi kita tidak bisa bersama. "Aku gak bisa, Bu. Aku bukan laki-laki yang suka mengingkari janji," bantahku. "Apa kamu gak sadar, Nak? Saat ini pun kamu sudah mengingkari janji pada ayahmu dan Maira. Kamu janji pada almarhum ayahmu untuk selalu mematuhi Ibu dan kamu janji akan menikahi Maira setelah mampu membeli rumah dengan keringatmu sendiri."Boom! Jawaban Ibu begitu menohok hatiku. Benar sekali jika saat ini aku sudah mengingkari janji. Namun, aku juga tidak ingin menambah derita untuk Zainab. "Lalu, apa yang Ibu mau? Ibu mau aku menjadi laki-laki tidak bertanggung jawab karena menceraikan istri yang tengah mengandung anakku?"Kutarik napas panjang. Aku terpaksa berbohong untuk meluluhkan hati Ibu. Padahal, kenyataannya aku belum menyentuh Zainab. "Gak mungkin, Dan. Kamu pasti bohong." Ibu masih tidak percaya. "Aku laki-laki normal, Bu. Apa lagi, Zainab sudah sah menjadi istriku. Sangat wajar kalau dia hamil, 'kan? Dan apa Ibu tahu kenapa Zainab mencoba bunuh diri? Itu karena dia mendengar perdebatan kita pagi itu. Dia tertekan karena Ibu mengatakannya gila dan memintaku menceraikannya saat dia sedang mengandung anakku."Astagfirullah ... maafkan Zaidan, Bu. Zaidan sudah membohongi Ibu. Ibu terdiam, kemudian meluruhkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Aku layaknya anak durhaka pada Ibu. Beliau terlihat sangat terpukul atas jawaban yang keluar dari mulutku."Ibu tidak akan memaksa kamu menceraikan Zainab, tapi kamu harus tetap menikahi Maira. Dan hanya Maira menantu Ibu.""Bu!" ucapku terkejut. "Hanya itu permintaan terakhir Ibu. Ibu tidak pernah meminta apa pun darimu, 'kan?" ***Rencana untuk mengambil pakaianku dan Zainab akhirnya gagal karena sambutan Ibu yang tidak menyenangkan. Bahkan, sebuah permintaan yang dilayangkan untukku. Permintaan yang akan menjadikanku salah satu laki-laki tidak setia. Kutepikan mobil di tengah perjalanan menuju rumah sakit kembali. Tangan ini memukul-mukul setir kemudian dengan kasar. Pilihan macam apa ini? Aku tidak siap untuk berpoligami. Meskipun aku masih sangat mencintai Maira, tapi bukan seperti ini jalannya. Aku kembali terbayang wajah Zainab yang penuh tekanan. Dia gadis lugu yang hidupnya hancur karenaku. Mana mungkin aku meninggalkannya ataupun menduakannya. Aku sudah berprinsip jika hanya menikah satu kali seumur hidup. "Argh! Kenapa Ibu memberikanku pilihan sesulit ini?" Kuremas rambut ini dengan kasar. Di tengah kalutnya pikiran ini, bunyi ponsel menyadarkanku. Hanya nomor tanpa nama. "Dengan Bapak Zaidan Alhakim?" tanya seorang perempuan dari seberang telepon. "Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?" "Saya dari Rumah Sakit Sehat ingin memberitahukan jika pasien bernama Zainab kabur. Dan kami kehilangan jejak.""Apa? Zainab kabur? Bukannya saya sudah minta satu suster untuk menjaga di kamarnya? " tanyaku panik. "Maaf, Pak. Itu--.""Ah, sudahlah! Saya ke sana sekarang." Kusela ucapan perempuan dari seberang telepon kemudian menghentikan panggilan dan memacu mobil lebih kencang menuju rumah sakit. Zainab benar-benar membuatku takut. Kondisinya masih sangat lemah. Apalagi, emosinya yang kadang tidak terkontrol. Setibanya di rumah sakit, pihak rumah sakit hanya meminta maaf dan hanya ada satu petunjuk terakhir mengenai kepergian Zainab. Katanya, Zainab menaiki angkutan umum yang menuju selatan sekitar lima puluh menit yang lalu. Aku pun bergegas menelusuri jalan yang biasanya dilalui angkutan umum yang dimaksud sambil melihat kiri kanan. Semoga aku bisa menemukan Zainab segera. Nihil. Namun, pikiranku seketika tertuju pada suatu tempat setelah sampai di pemberhentian utama angkutan umum tadi--terminal. Apa mungkin kalau Zainab pergi ke sana? Namun, Zainab tidak memegang uang sepeser pun. Ah, aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti kata hati. Semoga Zainab benar ada di sana. ***Setelah perjalanan hampir satu jam, aku sampai di desa kelahiran Zainab. Desa tempatku tanpa sengaja menjadi pembunuh. Dan benar adanya, Zainab duduk beralaskan tanah sambil memeluk nisan sang ayah. Aku mendekat perlahan. Terlihat bahunya berguncang. Isakannya pun terdengar cukup keras dan menyayat hati. Astagfirullah ... hanya istigfar yang terus keluar dari bibir ini. Kesedihan itu aku yang membuatnya. Jadi mana mungkin aku meninggalkan gadis lugu itu. "Za," panggilan seraya menepuk bahunya. Dia menoleh dengan wajah yang basah dan mata sembab. Kemudian, kembali membuang pandang. "Dari mana Bapak tahu kalau saya di sini?" ucapnya sesegukan. "Aku gak tahu, Za. Hanya insting, tapi dari mana kamu dapat uang untuk bisa sampai ke sini?""Saya bukan orang gila, Pak. Saya masih punya akal untuk bisa mencari uang dengan halal. Hanya butuh uang dua puluh lima ribu untuk sampai di sini.""Ayo, pulang!""Rumah saya di sini, Pak. Saya masih punya rumah peninggalan Ayah. Meskipun kecil, tapi penuh ketenangan."Kutarik napas panjang sebelum merangkai kata. Ucapan Zainab terasa menghunjam hati ini. Tinggal di rumah bersama Ibu memang bukan jalan yang tepat untyknya. Traumanya justru semakin parah. "Aku sudah punya rumah sendiri, Za. Rencananya memang akan kutempati setelah menikah. Kita akan tinggal di sana saja.""Lebih baik Bapak ceraikan saya. Saya ingin melanjutkan hidup normal seperti dulu, Pak. Saya mau kuliah dan mewujudkan cita-cita saya.""Kamu masih bisa kuliah, Za. Aku yang akan mengurusnya.""Saya mau Bapak ceraikan saya. Saya malu, Pak. Saya gak mau dianggap perempuan penggoda. Saya tahu kalau Bapak sudah punya calon. Jadi, akan lebih baik kalau kita bercerai. Bapak bisa menikah dengan perempuan yang Bapak cintai.""Aku tidak akan menceraikan kamu ataupun menikah lagi. Hanya kamu satu-satunya istriku sekarang dan selamanya."Zainab menghapus jejak air mata di wajahnya dengan ujung jilbab. Kemudian, bibirnya tersenyum mengejek. "Jangan sesumbar, Pak!"***Setelah perdebatan yang cukup lama, Zainab pun mengikuti perintahku. Dia gadis yang cerdas dan tahu kewajiban sebagai seorang istri yang harus patuh pada suaminya. Sambil tetap fokus ke arah jalan, sesekali kulirik Zainab yang sudah terlelap di bangku samping kemudi ini. Aku berjanji akan menghapus semua kesedihanmu, Za. Aku membawanya ke rumah yang sudah kubeli dengan keringat sendiri. Meskipun sebenarnya juga tidak tega meninggalkan Ibu sendirian di rumah sebesar itu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku juga harus memikirkan beban psikis yang akan membuat emosi Zainab semakin tak terkendali. Aku tidak ingin kejadian bunuh diri tadi terulang lagi. Sampai di rumah, gadis kecil itu masih lelap dalam tidurnya. Aku menggendongnya masuk ke rumah agar dia tidak terbangun. Zainab pasti kelelahan secara fisik dan juga psikis. Kulihat sekilas, perban yang membalut pergelangan tangannya memerah. Sepertinya, lukanya basah lagi. Kuhubungi rumah sakit untuk mengirimkan perawat untuk mengganti perban yang dan juga membawakan obat Zainab yang masih tertinggal. Aku akan merawatnya di rumah saja. Selagi Zainab masih tertidur, aku berselancar di online shop setelah memesan makanan. Mencari beberapa perlengkapan untuk Zainab melanjutkan kuliah. Aku akan mengajaknya ke kampus untuk mendaftar sebagai mahasiswi baru jika kondisinya sudah lebih baik. Aku akan membantunya untuk mewujudkan mimpi. Tanpa terasa waktu susah menunjukkan pukul tiga sore. Tepat saat azan Asar berkumandang. Ah,sial!Aku tidak sadar jika hari ini melupakan satu jadual mengajar tanpa memberi tahu. Sebagai gantinya, aku harus mengirimkan materi dan tugas melalui online. Selepas salat Asar dan mengirimkan tugas untuk mahasiswa, aku merebahkan badan di sofa depan televisi. Sejenak memejamkan mata untuk menghalau penat seharian ini. ***Aku merasakan bahu ini berguncang pelan. Ah, aku tertidur rupanya. "Apa Bapak memesan makanan? Ada orang yang mengantar makanan di depan, tapi saya tidak ada uang untuk membayarnya," ucap Zainab polos. Aku menarik kedua tangan ke atas untuk merenggangkan otot sejenak. "Makanan itu sudah kubayar lewat aplikasi, Za. Jadi kamu tinggal terima saja."Gadis itu menunduk, diam. "Tidak apa-apa, biar aku yang terima." Kuacak rambutnya yang dikuncir ekor kuda. Satu paket pizza dan dua porsi ayam kremes menjadi menu makan kami kali ini. Aku tersenyum melihat Zainab makan dengan lahap. Sepertinya, dia kelaparan karena belum makan sejak pagi. Benar-benar menggemaskan. "Kenapa Bapak melihat saya seperti itu?"Deg! Aku tersedak karena terkejut. Zainab memergoki ku yang memperhatikannya sejak tadi. Dia pun membukakan satu botol air mineral untukku.Ada apa denganku? Kenapa aku merasa begitu damai saat melihat senyum Zainab?Satu pekan setelah pindah dari rumah Ibu, kondisi Zainab perlahan membaik. Aku bersyukur karena tidak sia-sia mengambil cuti selama lima hari dengan imbalan senyum dari gadis berlesung pipi itu. Hari ini pun aku sengaja mengubah jadual kelas agak siang agar bisa mengantar Zainab kembali kontrol ke rumah sakit untuk memastikan kesembuhan luka di pergelangan tangannya. Sekaligus berkunjung ke psikiater yang menanganinya."Saya tidak mau ke psikiater, Pak. Saya tidak gila," tolak Zainab. Kulirik sekilas, ia menoleh ke arahku yang sedang fokus menyetir."Tidak ada yang mengatakan kamu gila, Za. Kamu hanya ada trauma pada suatu kejadian. Nanti hanya akan ngobrol saja," jelasku dengan pandangan lurus ke depan."Bapak jadi mendaftarkan saya kuliah, 'kan? Saya ingin segera belajar seperti dulu.""Nanti setelah dari rumah sakit, kita langsung ke kampus. Aku ada jadual kelas siang sekalian mendaftarkan kamu. Tapi kamu harus bisa mengejar ketinggalan dua bulan p
Aku masih saja ingin tertawa saat mengingat wajah Zainab yang sangat lugu itu. Dia benar-benar mengira kalau aku sudah menyentuh bagian penting dari tubuhnya. Dan lagi karenanya, mi instan yang kubuat menjadi lembek dan kehabisan air.Apes!"Bapak beneran gak ngapa-ngapain saya, 'kan?" tanyanya lagi. Sekarang kami duduk di sofa ruang tengah dan menyantap makan malam yang gagal."Iya, sudah" jawabku sambil menikmati mi instan yang lembek."Berarti, Bapak juga udah lihat—" Ucapannya kembali menggantung."Iya," jawabku lagi."Tuh, 'kan! Bapak curang." Zainab merengek sembari memukul bahuku cukup keras.Aku membuang napas, lalu meletakkan sendok dan garpu dengan kasar. Kugeser tubuh hingga berhadapan dengan Zainab. Kutatap mata indah itu lekat.Zainab mulai salah tingkah dan membuang muka.Aku sama sekali tidak mengeluarkan suara dan sedikit mengangkat bagian bawah kaus yang kukenaka
"Za!" panggilku sesaat setelah mobil berhenti di tempat parkir kampus."Iya," jawabnya dengan mata yang kembali berbinar.Kamu memang masih tergolong remaja, Za. Cantik meskipun tanpa polesan wajah sama sekali. Beberapa saat aku kembali terpesona dengan wajah cantik istri kecilku."Ini buat pegangan. Kamu bisa pakai untuk jajan atau membeli sesuatu yang kamu butuhkan." Kuserahkan beberapa lembar uang berwarna merah untuknya."Apa tidak kebanyakan, Pak? Ayah biasanya kasih saya uang saku cuma sepuluh ribu, paling banyak dua puluh ribu."Aku tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. Zainab benar-benar gadis yang sangat lugu. Aku semakin mengaguminya."Kamu itu istriku, Za. Kamu berhak mendapat nafkah dariku.""Ini saya terima ya, Pak. Mau saya tabung buat beli handphone." Dimasukkannya uang itu secara asal di dalam tasnya."Kalau handphone, nanti aku belikan setelah pulang dari kampus. Nanti, kala
Makan malam ini terasa sangat kaku karena aku dan Zainab sama-sama diam. Entah masakan apa ini, tapi cukup enak dan nyaman di lidahku. Aku juga tidak tahu kapan dia memasak.Ah, sudahlah! Aku tidak ingin lagi memedulikan apa yang dilakukannya setelah ucapannya yang menganggapku bukan siapa-siapa.Selesai makan malam, aku mulai mengemasi barang-barangku di kamar utama dan memindahkannya ke kamar sebelah. Lebih baik aku dan Zainab tidur terpisah. Aku tidak ingin jika cinta ini malah menyiksaku lahir dan batin.Aku harus mengakui kalau sudah ada rasa cinta di hati ini, tapi aku juga tahu diri. Mana mungkin Zainab mau mencintai pembunuh ayahnya."Barang-barang Bapak mau dibawa ke mana?" tanyanya, tapi enggan kujawab.Zainab mengekorku hingga masuk ke kamar yang akan kutempati."Bapak kenapa? Sejak dari Mal tadi, Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Bapak ada masalah?" tanyanya lugu.Dasar Zainab! Apa dia tidak
Aku menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang pada nama Zainab. Sikap dan tingkahnya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat semenjak pulang dari kampus. Dia tidak seperti Zainab yang kukenal dua bulan terakhir ini."Nanti, Bapak mau aku masakin apa? Di rumah masih komplet bahan makanannya." Zainab terus menggamit lenganku hingga sampai di tempat parkir.Aku yang seharusnya senang, tapi nyatanya aku malah merasa risih karena banyak pasang mata yang memandang aneh dan penuh selidik. Kemudian, terlihat mereka saling kasak-kusuk dengan orang di sebelahnya.Aku tidak ingin jika nama Zainab menjadi gunjingan di kalangan mahasiswa karena dituduh mendekati dosennya untuk mendapat nilai sempurna. Namun, berita akan berbalik jika mereka tahu kami sudah menikah. Entah aku atau Zainab yang akan mendapat image buruk. Hingga tanpa sadar, perkataan yang tidak semestinya terlontar."Aku gak suka dengan sikapmu yang seperti ini. Seperti
Hari ini genap dua bulan pernikahan tak terencana itu. Dan lebih tepatnya satu pekan setelah Zainab keluar dari rumah sakit. Aku mengajak Zainab untuk makan malam di luar. Candle light dinner istilahnya. Gaun warna hijau muda dipadu jilbab pasmina warna senada membuat wajah Zainab yang baby face itu tampak lebih dewasa. Cantik.Aku sampai terpana saat melihatnya keluar dari salon. Meskipun make up yang diaplikasikan di wajahnya tidak begitu tebal, istri kecilku itu tampak sangat anggun dan memesona. Dia sebenarnya tidak mau memakai make up. Tidak biasa katanya. Namun, demi menuruti perintahku, Zainab menekan egonya."Tapi jangan tebal-tebal!" pintanya dengan raut muka sedikit masam.Sebuah hotel yang cukup terkenal di kota ini menjadi tujuanku. Satu kamar dengan dekorasi indah di lantai sepuluh sudah kupesan secara khusus. Bahkan, aku meminta untuk membuatkan makan malam istimewa di balkon kamar. Aku ingin membuat satu hari istimewa untuk Zainab kare
Aku terkejut pada respon Zainab yang biasa saja saat kuperlihatkan berita miring yang sedang beredar di kampus. Dia malah tertawa kecil di hadapanku. Padahal, berita ini pasti akan menjatuhkan image-ku sebagai dosen yang biasanya cukup disegani oleh para mahasiswa.Namun, Zainab sepertinya tidak mengerti kegelisahanku. Sebentar lagi, pasti akan ada telepon dari Pak Syamsul selaku rektor di kampus.Tamatlah riwayatku!"Mas Idan gak perlu takut. Kita kan, sudah menikah. Kita tinggal bawa bukti surat nikah kita, dan semua beres," jawab Zainab enteng."Aku tahu itu, Za. Namun, bagaimana dengan persepsi mereka saat melihat pernikahan kita dengan usia yang terpaut cukup jauh. Bahkan, mereka pasti mengira kalau kita menyembunyikan pernikahan ini karena ada aib.""Katanya dosen bahasa dan sastra, tapi kok, gak bisa merangkai kata?" balas Zainab.Mati aku! Kenapa Zainab malah memojokkanku seperti itu? Dia sama sekali tidak takut dengan masalah yang s
Aku dan Zainab sekarang berada di ruang redaksi majalah kampus yang berisi mahasiwa jurusan jurnalistik. Kami layaknya tahanan yang diinterogasi karena melakukan tindakan kriminal. Menyebalkan!Seorang mahasiswa yang belakangan mendekati Zainab juga ada di ruangan ini. Tatapan matanya tampak sinis memandangku."Ham, lo potoin Pak Zaidan sama Zainab!" perintah salah satu mahasiswa yang tadi mewawancaraiku dan Zainab.Aku dan Zainab diminta memegang surat nikah kami di depan dada lalu difoto oleh mahasiswa yang selalu dipanggil 'Ham'.Setelah masalah berita hoax di kampus itu tuntas, aku berencana mengajak Zainab untuk mengunjungi Ibu. Sudah satu bulan ini aku tidak pernah mengunjunginya. Tidak tega juga rasanya membiarkannya hidup sendirian di usia senja. Sekaligus meminta restu agar aku bisa dengan terang-terangan mengatakan pada dunia kalau Zainab adalah istriku."Za, karena hari ini tidak ada kelas, aku mau nengok Ibu sebentar, ya. Nant