Tanpa membuang waktu Romi langsung melepas jasnya, lalu ia melompat ke dalam kolam.
"Ugh … ugh," Khanza terus meminum air hingga membuatnya tidak sadar diri. Romi langsung meraih Khanza membawa gadis itu naik. Salman langsung membantu Romi menaikkan Khanza.
"Ya Allah ... Khanza pingsan Bang," ucap Salman khawatir, tanpa menghiraukan ucapan Salman. Romi langsung mencium bibir Khanza memberinya nafas buatan.
Salman kaget bukan main melihat tindakan Romi, namun ia berusaha positif thinking. Berkali-kali Romi memberi nafas buatan hasilnya nihil, Khanza hanya batuk sekali membuat Romi semakin panik.
"Bang kita bawa ke rumah sakit aja," usul Salman yang dibalas anggukan oleh Romi.
"Biar saya yang bawa kamu lanjut pesta kamu aja, kasian kalo di tinggal." jawab Romi, lalu ia mengambil jasnya kamudian ia menggendong Khanza keluar.
Disisi lain Salman masih bingung dengan semua tindakan Romi. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali menepis pikiran jeleknya.
"Dana, Adam!" panggil Salman setengah berteriak membuat kedua ponakannya yang sedang bersembunyi langsung takut.
"Kalian yang dorong Khanza?!" bentak Salman, keduanya langsung menunduk takut.
"Kami hanya bercanda Om," jawab Dana membuat Salman semakin geram.
"Bercanda kalian bilang, lihat apa yang terjadi kalo sampe Khansa kenapa-kenapa, awas kalian ya," ancam Salman, lalu meninggalkan keduanya.
"Huhu ... Ini gara-gara kamu Dam," ucap Dana membuat Adam langsung menggeleng.
"Nggak gara-gara kamu juga," jawab Adam tidak mau salah.
"Tapi kamu yang nyuruh, aku cuma ikut aja," lanjut Dana.
"Gak, nanti aku bilang sama Om Salman kalo kamu juga salah." lanjut Adam
"Ih ... Nggak, kamu yang salah ..." teriak Dana membuat Adam menutup telinganya.
***
Sampai di rumah sakit, Khanza langsung di tangani oleh dokter. Lama Romi menunggu hingga akhirnya dokter tersebut keluar.
"Bagaimana keadaan istri saya Dokter?" tanya Romi begitu Dokter selesai memeriksa Khanza.
"Istri bapak tidak apa-apa hanya saja terlalu banyak meminum air. Tapi sudah di tangani sebentar lagi akan siuman," jawab Dokter membuat Romi bernafas lega.
"Terima kasih Dokter," lanjut Romi yang dibalas anggukan oleh Dokter.
Setelah Dokter pergi, Romi langsung masuk, ia melihat Khanza belum sadarkan diri.
"Kenapa aku harus di hadapkan dengan gadis bandel ini. Udah tau sakit segala sok-sokan pergi ke pesta, tenggelam dan akhirnya rumah sakit, ampun ..." gumam Romi sambil memperhatikan Khanza. Beberapa menit kemudian Khanza mulai membuka matanya.
Ia bingung melihat sekelilingnya hingga akhirnya pandangannya tertuju pada Romi yang sedang menatapnya juga dengan tatapan datar.
"Apa? Mau marah liat saya disini," ucap Romi tanpa aba-aba, membuat Khanza langsung mengalihkan pandangannya. Perlahan ia duduk sambil sandaran di sisi ranjang rumah sakit.
"Kenapa kamu sangat keras kepala?" tanya Romi yang masih menahan rasa kesal dari tadi.
"Maksudnya?" tanya Khanza membuat Romi langsung menghela nafas panjang.
"Masih nanya maksudnya setelah ngerepotin orang terus. Kamu nggak sadar apa setiap hari ada aja ulah yang kamu buat, why?" cecar Romi membuat Khanza diam ikutan emosi mendengar Romi ngegas.
"Udah tau sakit masih pergi ke pesta, kemaren-kemaren ada aja ulah kamu, sebenarnya tujuan kamu apa sih?
Kamu mau dapat perhatian dan simpati dari saya atau apa? Mending kamu ngomong tujuan kami sebenarnya apa.
Jadi jelas saya nggak terlalu pusing setiap hari mikirin ulah kamu, mau saya biarin saya terus di hantui kata-kata Ayah saya, maunya gimana?" lanjut Romi.
Perlahan mata Khanza mulai memanas mendengar semua itu ternyata selama ini hanya terpaksa.
"Ceraikan aku," jawab Khanza membuat Romi langsung menatapnya tajam.
"Inilah kamu, jika di tanya tujuan dan maksud kamu malah minta cerai se-"
"Aku beban 'kan? Ngerepotin terus, nggak tau malu, matre. Bukan tipe kamu, bikin ulah mulu sebaik-baiknya jalan adalah pisah biar kamu nggak ada beban.
Aku nggak minta di perhatiin kamu sendiri yang selalu merhatiin. Kamu yang tiba-tiba bikin baper, buat apa?
Kalo emang nggak suka bilang, ayo pisah. Aku juga nggak kuat sama kamu Kak. Kamu terlalu level tinggi buat aku yang level rendah, kampungan, norak." bantah Khanza panjang lebar membuat Romi diam mencerna ucapan gadis itu.
"Kalo kamu emang terpaksa lakukan semua ini, kenapa kamu menolongku tadi?
Kenapa kamu nggak membiarkanku mati saja biar kamu puas," lanjut Khanza, Romi yang mendengar itu kembali emosi.
"Karena kamu tanggung jawab saya Khanza, kamu pikir saya menikahi kamu cuma karena wasiat.
Gak Khanza nggak, asal kamu tahu malam sebelum akad di langsungnya orang tuaku sudah memintaku berjanji dan bersumpah untuk menjagamu.
Aku memang berjanji tapi hatiku nggak bisa di bohongi, aku tidak menginginkan itu semua," bantah Romi.
Khanza yang mendengar itu langsung mengusap air matanya kasar, lalu mencabut infus dengan paksa dari tangannya hingga mengeluarkan darah.
"Apa yang kamu lakukan? Lihat tanganmu," kesal Romi kaget melihat Khanza mencabut infusnya.
"Jangan perdulikan aku, malam ini juga aku ingin kita pisah biarkan aku pergi." ujar Khanza, lalu ia berjalan keluar membuat Romi harus kembali menahan amarah.
"Bisa nggak jangan keras kepala," tegas Romi yang tidak di hiraukan oleh Khanza ia terus berjalan membuat Romi mau tidak mau harus mengikuti gadit itu.
"Khanza saya stop, jangan keras kepala kamu lagi sakit." ucap Romi bingung harus bagaimana.
"Gak, aku memang keras kepala kalo tidak suka jangan ikuti aku." jawab Khanza terus mempercepat langkahnya.
Romi langsung mengejar Khanza, detik kemudian ia menarik tangan gadis itu, membuat Khanza hampir saja terhuyung ke belakang.
"Bisa nggak kamu jangan keras kepala, bakal ada masanya kita pisah. Bukan cara seperti ini lagi-lagi kamu selalu membuat ulah," ucap Romi. Tapi tidak dengan Khanza matanya langsung menatap tajam Romi.
"Aku bilang sekarang kenapa harus tinggi nanti yang ada nanti ulahku semakin banyak. Kamu stres, kamu pusing, kamu kesal mending kita pisah sekarang," sanggah Khanza.
Romi yang harus mati-matian menahan emosi langsung menggendong Khanza dan membawanya ke dalam mobil.
"Lepas!" teriak Khanza namun tidak di hiraukan oleh Romi. Ia langsung masuk ke dalam mobil mulai menjalankan mobil ke rumahnya.
Sampai di rumah Khanza langsung masuk ke kama,r lalu ia menyusun semua pakaiannya ke dalam koper. Ia sudah terlanjur emosi semua kata-kata Romi sangat menyakitinya.
"Sekarang aku mau kita pisah kalo kamu tidak mau menalakku gak apa-apa. Tapi aku sudah tidak bisa disini lagi," ucap Khanza.
Romi tidak menghiraukan ucapan itu ia langsung mengunci pintu kamar tanpa sepengetahuan Khanza.
Setelah selesai mengemasi semua barang-barangnya, Khanza langsung menyeret kopernya berniat untuk keluar. Namun begitu sampe pintu ia langsung heran karena pintunya di kunci.
"Kok gak bisa," gumam Khanza sambil berusaha membuka pintu tersebut.
"Jangan bilang ini ulah kamu, buka aku mau pergi." ucap Khanza dengan kesal, tapi Romi hanya dia memperhatikan gadis itu. Merasa tidak di perdulikan Khanza mendekati Romi, lalu menatap tajam laki-laki itu."Mau kamu apa sih? Sini kuncinya, aku mau pergi." kesal Khanza berusaha mengambil kunci dari tangan Romi. Namun Romi malah mengangkat tangannya ke atas, ke belakang sehingga Khanza berputar-putar."Sini gak!" bentak Khanza, dadanya bahkan naik turun menahan emosinya, membuat Romi diam sejenak saat Khanza hendak menarik paksa kunci tersebut.Romi langsung menarik tubuh mungil itu ke ranjang.Bruk! Mereka berdua jatuh dengan posisi Khanza di atas tubuh Romi. Khanza semakin kesal ia langsung berusaha bangkit. Namun usahanya gagal saat Romi malah membalikkan posisi mereka.Khanza yang hendak memberontak langsung di tahan oleh Romi. Kedua tangannya di taruh di atas membuat gadis itu tidak bisa bergerak."Awas …," berontak Khanza, sekarang matanya malah memanas ia sangat membenci Romi. Ro
Detik kemudian ia mendengar suara tawa dari sudut. Bagitu ia menoleh ia langsung menghela nafas panjang. Kemudian ia bangkit lalu berjalan ke kamar mandi lalu melaksanakan sholat.Pukul 7.00 Romi sudah rapi dengan pakaian kantornya. Ia melihat Khanza hanya sibuk dengan lap topnya, tanpa melihat ke arahnya sedikitpun.Setelah rapi, Romi langsung keluar dari kamar karena ia ada rapat penting pagi ini. Begitu sampai di halaman rumah, ia langsung keingat dengan Khanza.Tiba-tiba ia merasa tidak enak hati meninggalkan gadis itu. Khawatir gadis itu melarikan diri setelah ia berangkat ke kantor.Berulang kali Romi menarik nafas, lalu ia kembali masuk ke dalam rumah untuk menemui Khanza.Ceklek! Pintu kamar kembali terbuka membuat Khanza langsung menoleh dan bingung, apalagi melihat Romi mendekatinya.'Mau ngapain lagi ini orang." ucap Khanza dalam hati."Ikut ke kantor," ucap Romi datar namun mampu menjadi Khanza kaget."Hah?" Khanza bingung, Romi langsung memasukkan tangannya ke dalam saku
Drt … Drt … Drt Ponsel Romi bergetar, ia langsung merogoh saku celananya.[Halo] [Pak, satu jam lagi anaknya Pak Hendra datang untuk rapat sama Bapak] ucap Vina sekretaris Romi.Romi yang mendengar itu langsung melihat Khanza sekilas, lalu ia sedikit menjauh.[Oke, kalo dia datang jangan suruh ke ruangan saya ya, suruh langsung ke ruangan rapat, rapatnya disana aja,] jawab Romi.[Baik Pak] Setelah selesai, Romi langsung mendekati Khanza yang tengah asik memandang."Saya nyuruh kamu kesini ngapain?" tanya Romi membuat Khanza kaget lalu ia berbalik."Iya nanti istirahat, masa mandang aja nggak boleh. Biasanya aku nggak pernah diginiin, mau ngapain dan kemanapun biasanya di biarin aja." jawab Khanza dengan polosnya membuat Romi kembali gemas."Saya cuma nyuruh kamu istirahat bukannya ngomel-ngomel," ujar Romi datar."Iya-iya, ih ngeselin banget deh," kesal Khanza sambil menghentakkan kakinya menuju ranjang. Romi yang melihat itu langsung geleng-geleng kepala."Saya ada rapat, ingat janga
Berkali-kali Khanza menarik nafas dalam-dalam sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Sekarang ia mengerti kenapa Romi akhir-akhir ini sangat peduli padanya, ternyata untuk di jadiin taruhan."Tapi kamu mau apain Khanza kalo misalnya kamu menang?""Nggak aku apa-apain sih, palingan pacaran aja mungkin selama dua minggu. Karena bagaimanapun juga pasti Khanza bakal kecewa banget kalo dia tau aku ngajak dia pacaran karena cuma ya itu taruhan," Khanza tidak sanggup lagi mendengar ucapan karyawan itu. Ia langsung memilih masuk ke toilet perempuan lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tidak menyangka Romi sejahat itu padanya.Hampir setengah jam ia di kamar mandi, Khanza kembali ke ruangan Romi.Di sisi lain, Romi tengah panik karena melihat Khanza sudah tidak ada saat hendak membuka pintu. Romi langsung kaget melihat Khanza sudah di depan pintu, ia langsung menghela nafas panjang."Kamu darimana aja?" tanya Romi, lagi-lagi air mata Khanza turun membuat Romi kaget sekaligus bingung."Kamu k
"Iya Bang Khanza dari arah toilet sih awalnya. Tapi dia masuk ke ruangan Abang trus keluar lagi. Saya sempat manggil tapi nggak di jawab," terang Salman membuat Romi langsung panik."Kalo gitu saya ke dalam dulu ya," ucap Romi lalu ia buru-buru masuk ke ruangannya, begitu sampai benar saja Khanza sudah tidak ada."Ya Tuhan ... Kenapa gadis ini selalu membuatku panik," gumam Romi mencari Khanza kesana-kemari.Tanpa membuang waktu Romi langsung menyambar kunci mobil, lalu ia membawa mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya."Sial! Macet lagi," kesalnya Romi sambil meremas setir mobil.Hampir setengah jam menempuh perjalanan akhirnya Romi sampai di rumah. Buru-buru Romi keluar, lalu ia masuk ke dalam rumah."Khanza!" panggil Romi begitu ia sampai di ambang pintu.Mendengar tidak ada jawaban, Romi langsung naik ke kamar. Begitu sampai ia melihat Khanza sedang mengemasi pakaiannya dengan air mata yang tak kunjung reda."Kamu mau kemana?" tanya Romi sambil mengatur nafasnya. Khanza tid
"Khanza ... " panggil Romi mulai panik namun tidak ada sahutan sedikitpun. Ia langsung bangkit dari ranjang, detik kemudian ia mematung melihat bercak darah di seprai putih.Romi sadar dari lamunannya, ia langsung buru-buru keluar kamar mencari Khanza. Ia mencari ke seluruh rumah namun hasilnya nihil."Za, kamu kemana sih? Kenapa kamu suka sekali buat saya kesal." gumam Romi sambil memegang pinggangnya yang terasa pegal. Kemudian ia meraih ponselnya berniat menghubungi Khanza. Saat mencari kontak Khanza, ia langsung tersadar."O iya ya, 'kan nggak punya kontaknya," ucapnya lalu ia kembali duduk lesu di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya. Pandangannya kembali tertuju ke bercak merah di seprai.Tiba-tiba saja bibirnya melengkung indah melihat itu. Rasa bangga dan bahagia tiba-tiba menyelimutinya, ia merasa laki-laki yang paling beruntung saat ini.***Disisi lain, Khanza turun dari angkot tepat di depan rumah Salman. Ia menekan bel rumah Salman, tidak berapa lama kemudian keluarlah
[Terminal Bus menuju Jawa sih Bang, cuma saya nggak tahu Khanza naik yang mana, soalnya tadi saya buru-buru nggak sempat nanya juga dan saya nggak tau juga dia punya uang atau nggak] bohong Salman, ia ingin memberi pelajaran pada Romi. Romi yang mendengar itu yang awalnya duduk langsung berdiri mencoba mengatur nafasnya, lalu ia kembali duduk dan mencoba tetap tenang agar Salman tidak curiga.[Ta--tapi Khanza ada ngomong mau kemana nggak? Atau ke rumah siapa gitu?] lagi-lagi Romi khawatir, sekarang ia mengetuk-ngetukkan jerinya ke meja rias.[Waduh nggak tuh Bang, karena jujur saya pun bingung kenapa Khanza pergi padahal sebentar lagi dia mau wisuda. tapi itu lah bocahnya keras kepala, kayaknya Khanza mau rileksin diri deh bang, soalnya kalo aku lihat sekilas tadi di kayak orang putus cinta hehe.Terus juga cara jalannya agak aneh Bang, kayaknya dia jatuh deh jadinya gitu kayak bebek hahah ...] bohong Salman padahal ia hanya menguji Romi.Deg! 'Cara jalan Khanza aneh,' ucap Romi dal
Setelah dokter pergi Salman mengatur nafasnya pelan-pelan, karena dadanya sekarang sudah sangat sesak mendengar pernyataan barusan. Setelah merasa aman, Salman perlahan mendekati Khanza yang tengah menangis di ranjang rumah sakit."Za," panggil Salman, Khanza langsung menoleh melihat Salman."Man a--aku-" Khanza berhenti berbicara saat Salman mengangguk pertanda paham perasaan gadis itu sekarang."Aku harus gimana Man di perutku udah ada bayi," lirihnya pilu. Salman sendiri pun sebenarnya tengah kecewa, ia tidak mengerti harus senang atau sedih dengan keadaan Khanza sekarang."Za aku tidak tahu harus bagaimana, tapi sebagai sahabat aku cuma mau nasehatin kamu jangan pernah menyalahkan bayi itu. Dia tidak mengerti apa-apa bayi itu butuh sosok ibu kayak kamu.Jadi jangan pernah menganggapnya beban, karena bagaimanapun juga dia adalah darah daging kamu." nasehat Salman walaupun hatinya sebenarnya sangat bertolak belakang dengan mulutnya.Khanza diam sejenak mencoba mencerna kata-kata Sa