Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp
"Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana."Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang
Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.
Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.
Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara
"Ternyata kalian sudah pulang. Eh, Ibas, dengar-dengar bayimu beneran darah daging Romi. Terus, apa kamu masih mau merawatnya? Kalau aku sih ogah, Bas." Budi--suami Mbak diah menanyaiku ketika aku pulang. Ucapannya memang pelan dan terbilang lembut. Hanya saja cukup menusuk ke dadaku.Aku memicingkan mata, kemudian bertanya, "Mas Budi tahu dari siapa kok dengar-dengar?"Mas Budi tertawa. "Bas, Emakmu yang menyebarkan berita itu. Dengan bangga dia berjalan dan memberi tahu pada orang-orang yang ia temui di jalan."Emak? Aku tidak menyangka kalau dia setega itu padaku. "Bas, apa berita itu benar dan sudah terbukti?" Mas Budi memelankan suaranya. Aku mengangguk. Dari sudut mata, kulihat Isma tidak nyaman dengan perbincangan ini."Oalah, Bas. Punya musuh kok ya saudara sendiri. Aku ikut prihatin." Mas Budi penepuk pundakku beberapa kali."Maaf, Mas. Aku harus masuk. Kasihan Isma dan bayinya. Pemisi." Aku sedikit menunduk dan disambut anggukan oleh lelaki yang umurnya di atasku.Aku memba
"Kamu lagi. Ngapain kamu ke sini? Apa omonganku waktu itu kurang jelas? Kamu bukan kakakku lagi. Kita sudah tak ada hubungan keluarga," hardikku. Kuanggat alisku yang rambutnya berwarna hitam pekat.Emak pasang badan dan membela putra kesayangannya itu. "Sadar, Rom. Memutus tali silaturahmi itu tidak baik. Kamu tahu itu kan?"Emak salah. Seharusnya Emak yang sadar. Emak sudah memelihara penjahat di dalam rumah. Aku heran, jangan-jangan Mas Romi sudah mencuci otak Emak.""Jaga bicaramu, Bas!" Emak cuma ingin kalian tidak bermusuhan. Itu saja. Ini cuma masalah sepele, Bas. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau memang kamu enggak mau meninggalkan istrimu, jangan salahkan Romi jika dia akan sering ke sini menemui istrimu. Eh, menemui anaknya maksud Emak. Emak tidak akan membiarkan hubungan persaudaraan kalian putus begitu saja. Kalau ada yang harus pergi, dia adalah Isma.""Kalian enggak punya hati.""Enggak punya hati katamu? Aku ke sini baik-baik, Bas. Aku mau meminta maaf pada Isma. S