Share

BAB 5

"Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang."

"Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir.

"Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali."

"Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.

Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.

Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tabiat dan perilaku pasti berbeda. 

"Begini saja. Karena saat kejadian tidak ada saksi atau bukti yang menguatkan kalau Romi pelakunya, sebaiknya kita tunggu sampai bayi itu lahir. Nanti tes DNA. Kita buktikan, hasilnya cocok atau tidak." Pak Dhe mengedarkan mata pada kami secara bergantian.

"Setuju!" Dengan lantang Mas Romi menjawab. Sedangkan aku hanya diam. Karena pendapat Pak Dhe ada benarnya. Semua harus dibuktikan. 

***

Sejak kejadian itu aku masih hidup serumah dengan istriku. Tapi, kami tak saling bertegur sapa. Bicara hanya seperlunya saja. Entah kenapa perasaan ini jadi berbeda. 

Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Berangkat pagi pulang malam. Selalu seperti itu. Karena jika melihat bentuk badan dan perut Isma membuatku naik darah seperti melihat Mas Romi sedang mentertawakanku.

Aku pergi dari rumah bukan untuk bekerja. Tapi mencari hiburan yang bisa mengalihkanku dengan bayangan wanita yang ada di rumah. Aku pergi memancing, nongkrong di pos kamling, dan kuliner dengan Miko. 

Setiap tengah malam aku baru pulang. Disaat itu istriku sudah terlelap dan aku akan tidur di kamar sebelah. Terkadang rasa rindu menyelinap. Aku ingin menyentuhnya. Membelai rambutnya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Tapi urung kulakukan, aku tak bisa. Bukan karena jijik. Tapi aku tak berdaya.

Kuhamburkan uang hasil jerih payahku di rantau. Karena nominal yang ada di rekeningku saat ini berasa tidak ada artinya lagi.

"Ini kopinya, Mas!" Isma masih melayaniku sebagai seorang istri. Sedangkan aku hanya cuek terhadapnya. Kali ini aku cuma memberinya nafkah lahir saja. Supaya dia masih bisa belanja.

"Mas, kenapa kamu seperti menjauh dariku? Aku hanya seperti boneka pajangan. Aku enggak bisa seperti ini. Mas!" ujar Isma ketika di meja makan. 

"Lalu, aku harus bagaimana? Aku hanya sedang butuh menyendiri." Setelah minum sedikit kopi hangat buatannya, gegas aku keluar.

Kadang terbesit dalam benakku jika aku tidak yakin kalau yang ada di perut istriku bukanlah hasil dari musibah yang menimpanya. Tapi, adanya hubungan yang terlarang.

"Sekarang rencana kemana, Brow?" Miko makan kacang open di pos kamling.

"Mancing saja. Sekalian melatih kesabaran."

"Jangan terlalu dipirkan, Brow?  Tinggal beberapa bulan lagi semua akan jelas. Di perut istrimu anak Romi atau bukan." Miko menatapku dan kembali fokus dengan biji kacang yang dia keluarkan dari kulitnya.

"Bagaimana aku bisa santai, Mik. Aku masih mencintai istriku. Tapi aku juga enggak bisa menyentuhnya. Kalau dia hamil karena selingkuh, enggak pikir panjang. Aku akan meninggalkannya. Tapi, dalam keadaan ini aku tidak bisa menyalahkannya. Justru aku yang merasa bersalah karena tidak bisa melindunginya."

"Kalau kamu menyentuhnya, nanti anaknya perpaduanmu dan Romi dong." Miko tertawa puas meledekku.

"Dasar kampret!" Miko semakin tertawa.

"Ya siapa tahu, nanti hidungnya punya romi. Telinganya punyamu. Wkwkwkw ...."

"Miko, kamu kan selama ini mencari uang di rumah. Selama aku merantau, apa kamu pernah melihat sesuatu yang mencurgakan ketika mellihat Mas Romi?" 

"Mencurigakan? Apa ya, Bas. Enggak ada sih. Hanya saja siang itu aku memang pernah melihat dia dari arah rumahmu. Kupikir dia datang ke rumahmu karena kamu sudah pulang. Jadi, aku juga enggak menanyainya saat itu." Merdengar cerita Miko, aku mulai semakin penasaran. Apakah Mas Romi sering ke rumahku, atau kebetulan dari rumah tetanggaku?

"Jangan bahas lagi. Mending kita pergi sekarang." Miko menepuk pundakku.

Aku dan Miko pulang ke rumah masing-masing untuk mengambil semua keperluan ke pemancingan.

***

"Bas, istrimu ...!" Mbak Diah tetangga depan rumah berpapasan di gang menuju rumahku.

"Ada apa dengan istriku, Mbak?" tanyaku datar.

"Istrimu menjerit kesakitan. Buruan!" Aku berlari mengikuti Mbak Diah. Di rumahku sudah banyak orang.

"Bas, ayo buruan bawa istrimu ke rumah sakit!" beberapa orang membantu mengangkat Isma ke mobil yang kubeli dalam kondisi sudah setengah pakai.

Istriku terus menjerit kesakitan. Dia menyender di bahu Mbak Diah di kursi belakang.

"Buruan, Bas!" seru Mbak Diah.

"Iya, Mbak. Ini sudah ngebut. Astaga, pakai macet segala!" Aku memukul benda bulat di tanganku.

Suara Isma semakin membuatku panik. Aku memang tidak suka dengan janin di kandungannya. Tapi, bagaimanapun aku masih mencintainya.

Menit kemudian mobil kembali melaju. Sebisa mungkin aku harus sampai di rumah sakit.

***

Sampai di rumah sakit, istriku langsung ditangani dokter.

"Maaf, Pak. Dari hasil pemeriksaan, istri anda telah mengonsumsi obat pelemah kandungan. Tolong jangan diulangi, karena bisa membahayakan janin di rahimnya." 

Aku dan Mbak Diah terhenyak mendengar apa yanh disampaikan wanita bersegam putih itu. Mulut kami menganga, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terdengar.

Ternyata istriku ingin menghabisi janinnya. Itu artinya, dia juga bisa membahayakan nyawanya sendiri.

***

"Bas, kasihan istrimu. Pasti dia prustasi dan stres dengan keadaan dirinya. Kamu harus memberinya semangat. Jangan sampai istrimu bunuh diri," ujar Mbak Diah ketika kami sudah pulang dari rumah sakit. Aku hanya manggut-manggut.

"Bas, bagaimana keadaan Isma!" Mas Romi datang dengan wajah panik. Aku segera berdiri dan menatapnya.

"Untuk apa kamu ke sini? Semua ini gara-gara kamu. Pergi kamu dari rumahku! Aku tidak mau melihatmu. Apa lagi Isma. Dia pasti jijik padamu. Pergi sebelum aku berbuat nekat."

"Jangan lupa, Bas. Di dalam rahim Isma ada anakku. Aku harus tahu keadaannya."

"Selama Isma belum kuceraikan, dia masih jadi tanggung jawabku. Pergi!" Aku mengangkat kursi dan hampir kuhantamkan pada kakinya. Tapi, lelaki yang sudah menghancurkan kebahagianku itu keburu berlari.

Lagi, kini Emak yang datang untuk menjenguk menantunya.

"Bas, ada apa dengan Isma? Kata orang dia baru pulang dari rumah sakit." Emak menuju kamar. Aku hanya diam ketika dia bertanya.

"Isma, kamu kenapa?"

"Aku mau mati, Mak. Aku sudah kotor. Suamiku tidak menginginkanku lagi. Aku akan mati!" Tatapannya kosong

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status