"Sebaiknya kita masuk. Selesaikan secara baik-baik." Pak Dhe menjadi penengah dalam masalah ini.
"Mari Bapak-bapak, bantu mereka masuk!" Beberapa orang memapahku dan Mas Romi masuk ke kediaman Emak.Aku duduk dengan mengepalkan tangan dan menunduk menoleh ke samping agar mata ini tak menatap wajah pria itu. Melihat dari sudut mata saja, rasanya aku ingin menghantamnya."Tolong, salah satu jemput Isma dan bawa ke sini. Supaya jelas duduk perkaranya. Dan tolong untuk semuanya, jangan ada yang menyebarkan berita ini kemanapun. Untuk perangkat desa, aku yang akan nembusi agar masalah tidak diperpanjang. Aku tidak mau keluargaku menjadi viral dengan berita yang memalukan." Pak Dhe menyerukan pada orang-orang yang berkerumun. "Aku yang akan menjemput Isma." Kudengar itu suara Miko. Dia meminjam kuda besi milik warga. Ternyata dirinya tadi mengikutiku dan aku tak menyadarinya."Silahkan. Lebih cepat lebih baik." ***Aisma datang bersama temanku. Dia memakai setelah baju longgar. Kulihat dari kaca jendela ruang tamu, dia berjalan dengan sangat lambat."Sini, duduk sini, Isma!" Pak Dhe Haryono menunjukkan kursi untuknya. Sementara Emak berdiri diantara putranya dengan menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar."Isma, tolong kamu bicara yang jujur. Apakah janin di perutmu adalah benih dari Romi?" Pak Dhe terlihat santai, tapi tegas.Tapi istriku bukannya menjawab, dia justru menangis. Bahkan sejak kepulanganku, aku sudah melihatnya meneteskan air mata lebih dari tiga kali. Sedalam itu rasa sakitnya. Sebenarnya aku bisa saja mengajaknya di rantau bersamaku, dulu. Hanya saja aku tidak mau istriku melihat hari-hariku dalam keprihatinan. Aku ingin istriku hidup bahagia dan berkecukupan. Tidak perlu tahu aku kelaparann atau tidak. Sungguh aku menyesalinya."Isma, jelaskan. Biar tuduhan Ibas tidak menjadi fitnah," pungkas Pak Dhe Haryono.Isma menghela napas. Kemudian menceritakan klonologinya."Saat itu tengah malam hujan deras dan lampu mati. Aku menyalakan senter di ponsel dan menyibak tirai kamar. Ternyata di luar dan rumah warga masih menyala. Aku keluar untuk mengecek siapa tahu hanya konsleting saja. Tapi, tiba-tiba saja mulutku ditikam dari belakang. Ponselku jatuh dan aku tidak bisa melihat apa-apa. Dia melucutiku dengan paksa. Aku berteriak meminta tolong, tapi tidak ada yang mendengar suara parauku. Derasnya hujan, suara angin, dan petir membuat suaraku tak terdengar tetangga. Mungkin juga mereka sudah tertidur. Tanpa aku bisa berteriak dan meminta tolong. Lalu terjadilah." Istriku kembali terisak.Jari-jariku semakin mengerat. Aku berdiri dan menggebrak meja sampai semua terhenyak. Kakiku hendak melangkah dan tangan menuju leher Mas Romi. Tapi, lagi-lagi tubuhku ditahan oleh beberapa orang."Sabar dulu, Bas. Semua belum jelas." Temanku Miko menepuk pundakku."Isma, kamu bilang lampu mati. Apa kamu bisa melihat dengan jelas wajahnya. Aku yakin kamu salah orang, Isma. Karena Romi tidak akan melakukan hal sekeji itu." Emak mencecar istriku."Nak Isma, mertuamu benar. Dalam keadaan gelap, bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau itu kakak iparmu?" Pak Dhe menimpali."Isma, kamu jangan menfitnahku. Tidak mungkin aku tertarik denganmu." Mas Romi menatap istriku kemudian menunduk. "Dari suaranya. Kebetulan saat itu dia menerima telepon dari seseorang. Saat aku terkulai lemah. Tapi pendengaranku masih tajam. Dalam sisa tenaga yang masih ada, aku mengambil alat potong kuku dan menggunakan bagian runcingnya untuk menggores tangannya. Dia kabur setelah melakukan perbuatan bejatnya. Pagi harinya, kebetulan Mas Romi menyapaku dan aku melihat bekas goresan itu tepat di tangan kirinya. Meski saat kejadian dia memakai penutup wajah, aku yakin dialah orangnya." Mata Isma membelalak ketika mengucap."Jangan ngarang cerita kamu, Isma!" seru Mas Romi dengan mata melebar."Diam kamu, Mas!" hardikku."Cek saja bekas lukanya. Barang kali masih ada!" seru salah seorang warga.Pak Dhe mengoreksi tangan Mas Romi. Benar adanya di sana ada bekas luka."Dasar bajin^an. Kubun^h kamu! Aku tidak punya saudara sepertimu." Aku kembali berdiri dan hendak melakukan perbuatan yang bisa mematikan orang.""Ibas! Kamu sabar dulu!" Pak Dhe kembali membentak."Pak Dhe jangan menghalangiku. Manusia seperti dia harus lenyap. Perbuatannya seperti hewan. Apa Pak Dhe bisa sabar jika berada di posisiku? Aku enggak yakin Pak Dhe bisa bilang sabar." Aku manatap tajam ke arah pria yang dituakan itu. "Lepaskan tanganku!" Beberapa orang pria itu menunduk dan melapas pegangannya. Mungkin, ucapanku cukup menusuk ke hati mereka."Apa tidak ada wanita lain yang bisa kamu ajak nikah, Mas?! Sampai-sampai istriku yang kamu gagahi. Ayo! Ikut aku ke kantor polisi! Kamu harus mendekam di sana seumur hidup." Aku menarik tangan Mas Romi. Tapi aku kembali dipisah, karena Ibu masih saja menahan tubuh Mas Romi. Kenapa mereka harus ikut campur masalahku? Sedangkan mereka tak tahu perasaanku."Aku menyukai Isma!" seru Mas Romi.Semua orang terhenyak. Termasuk aku dan Isma sendiri. Spontan tanganku menghantam pipinya. Sehingga darah keluar dari bibirnya. Suasana kembali gaduh."Ibas, Emak mohon ... jangan bawa Romi. Emak enggak bisa melihatnya di jeruji besi.""Jadi, Emak bahagia melihat keluargaku hancur?" Aku menggigit bibir bawah dan menahan suara di kerongkongan agar tidak sampai mengeluarkan kata kasar pada wanita yang melahirkanku."Ceraikan istrimu. Agar Romi menikahinya. Dengan begitu, kakakmu bisa bertanggung jawab. Masalah beres dan keluarga kita akan terlepas dari masalah!" Emak memunggungiku. Badannya bergetar. Aku tahu dia menyembunyikan air matanya.Aku menolehnya. Kemudian beralih ke istriku. Wanita yang kunikahi itu menggelengkan kepala, mata berkaca. Aku yakin, dia juga tidak akan mau dinikahi Mas Romi."Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang.""Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir."Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali.""Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tab
Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp
"Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana."Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang
Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.
Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.
Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara
"Ternyata kalian sudah pulang. Eh, Ibas, dengar-dengar bayimu beneran darah daging Romi. Terus, apa kamu masih mau merawatnya? Kalau aku sih ogah, Bas." Budi--suami Mbak diah menanyaiku ketika aku pulang. Ucapannya memang pelan dan terbilang lembut. Hanya saja cukup menusuk ke dadaku.Aku memicingkan mata, kemudian bertanya, "Mas Budi tahu dari siapa kok dengar-dengar?"Mas Budi tertawa. "Bas, Emakmu yang menyebarkan berita itu. Dengan bangga dia berjalan dan memberi tahu pada orang-orang yang ia temui di jalan."Emak? Aku tidak menyangka kalau dia setega itu padaku. "Bas, apa berita itu benar dan sudah terbukti?" Mas Budi memelankan suaranya. Aku mengangguk. Dari sudut mata, kulihat Isma tidak nyaman dengan perbincangan ini."Oalah, Bas. Punya musuh kok ya saudara sendiri. Aku ikut prihatin." Mas Budi penepuk pundakku beberapa kali."Maaf, Mas. Aku harus masuk. Kasihan Isma dan bayinya. Pemisi." Aku sedikit menunduk dan disambut anggukan oleh lelaki yang umurnya di atasku.Aku memba