Share

BAB 4

"Sebaiknya kita masuk. Selesaikan secara baik-baik." Pak Dhe menjadi penengah dalam masalah ini.

"Mari Bapak-bapak, bantu mereka masuk!" Beberapa orang memapahku dan Mas Romi masuk ke kediaman Emak.

Aku duduk dengan mengepalkan tangan dan menunduk menoleh ke samping agar mata ini tak menatap wajah pria itu. Melihat dari sudut mata saja, rasanya aku ingin menghantamnya.

"Tolong, salah satu jemput Isma dan bawa ke sini. Supaya jelas duduk perkaranya. Dan tolong untuk semuanya, jangan ada yang menyebarkan berita ini kemanapun. Untuk perangkat desa, aku yang akan nembusi agar masalah tidak diperpanjang. Aku tidak mau keluargaku menjadi viral dengan berita yang memalukan." Pak Dhe menyerukan pada orang-orang yang berkerumun. 

"Aku yang akan menjemput Isma." Kudengar itu suara Miko. Dia meminjam kuda besi milik warga. Ternyata dirinya tadi mengikutiku dan aku tak menyadarinya.

"Silahkan. Lebih cepat lebih baik." 

***

Aisma datang bersama temanku. Dia memakai setelah baju longgar. Kulihat dari kaca jendela ruang tamu, dia berjalan dengan sangat lambat.

"Sini, duduk sini, Isma!" Pak Dhe Haryono menunjukkan kursi untuknya. Sementara Emak berdiri diantara putranya dengan menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar.

"Isma, tolong kamu bicara yang jujur. Apakah janin di perutmu adalah benih dari Romi?" Pak Dhe terlihat santai, tapi tegas.

Tapi istriku bukannya menjawab, dia justru menangis. Bahkan sejak kepulanganku, aku sudah melihatnya meneteskan air mata lebih dari tiga kali. Sedalam itu rasa sakitnya. 

Sebenarnya aku bisa saja mengajaknya di rantau bersamaku, dulu. Hanya saja aku tidak mau istriku melihat hari-hariku dalam keprihatinan.  Aku ingin istriku hidup bahagia dan berkecukupan. Tidak perlu tahu aku kelaparann atau tidak. Sungguh aku menyesalinya.

"Isma, jelaskan. Biar tuduhan Ibas tidak menjadi fitnah," pungkas Pak Dhe Haryono.

Isma menghela napas. Kemudian menceritakan klonologinya.

"Saat itu tengah malam hujan deras dan lampu mati. Aku menyalakan senter di ponsel dan menyibak tirai kamar. Ternyata di luar dan rumah warga masih menyala. Aku keluar untuk mengecek siapa tahu hanya konsleting saja. Tapi, tiba-tiba saja mulutku ditikam dari belakang. Ponselku jatuh dan aku tidak bisa melihat apa-apa. Dia melucutiku dengan paksa. Aku berteriak meminta tolong, tapi tidak ada yang mendengar suara parauku. Derasnya hujan, suara angin, dan petir membuat suaraku tak terdengar tetangga. Mungkin juga mereka sudah tertidur. Tanpa aku bisa berteriak dan meminta tolong. Lalu terjadilah." Istriku kembali terisak.

Jari-jariku semakin mengerat. Aku berdiri dan menggebrak meja sampai semua terhenyak. Kakiku hendak melangkah dan tangan menuju leher Mas Romi. Tapi, lagi-lagi tubuhku ditahan oleh beberapa orang.

"Sabar dulu, Bas. Semua belum jelas." Temanku Miko menepuk pundakku.

"Isma, kamu bilang lampu mati. Apa kamu bisa melihat dengan jelas wajahnya. Aku yakin kamu salah orang, Isma. Karena Romi tidak akan melakukan hal sekeji itu." Emak mencecar istriku.

"Nak Isma, mertuamu benar. Dalam keadaan gelap, bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau itu kakak iparmu?" Pak Dhe menimpali.

"Isma, kamu jangan menfitnahku. Tidak mungkin aku tertarik denganmu." Mas Romi menatap istriku kemudian menunduk. 

"Dari suaranya. Kebetulan saat itu dia menerima telepon dari seseorang.  Saat aku terkulai lemah. Tapi pendengaranku masih tajam. Dalam sisa tenaga yang masih ada, aku mengambil alat potong kuku dan menggunakan bagian runcingnya untuk menggores tangannya. Dia kabur setelah melakukan perbuatan bejatnya. Pagi harinya, kebetulan Mas Romi menyapaku dan aku melihat bekas goresan itu tepat di tangan kirinya. Meski saat kejadian dia memakai penutup wajah, aku yakin dialah orangnya." Mata Isma membelalak ketika mengucap.

"Jangan ngarang cerita kamu, Isma!" seru Mas Romi dengan mata melebar.

"Diam kamu, Mas!" hardikku.

"Cek saja bekas lukanya. Barang kali masih ada!" seru salah seorang warga.

Pak Dhe mengoreksi tangan Mas Romi. Benar adanya di sana ada bekas luka.

"Dasar bajin^an. Kubun^h kamu! Aku tidak punya saudara sepertimu." Aku kembali berdiri dan hendak melakukan perbuatan yang  bisa mematikan orang."

"Ibas! Kamu sabar dulu!" Pak Dhe kembali membentak.

"Pak Dhe jangan menghalangiku. Manusia seperti dia harus lenyap. Perbuatannya seperti hewan. Apa Pak Dhe bisa sabar jika berada di posisiku? Aku enggak yakin Pak Dhe bisa bilang sabar." Aku manatap tajam ke arah pria yang dituakan itu. 

"Lepaskan tanganku!" Beberapa orang pria itu menunduk dan melapas pegangannya. Mungkin, ucapanku cukup menusuk ke hati mereka.

"Apa tidak ada wanita lain yang bisa kamu ajak nikah, Mas?! Sampai-sampai istriku yang kamu gagahi. Ayo! Ikut aku ke kantor polisi! Kamu harus mendekam di sana seumur hidup." Aku menarik tangan Mas Romi. Tapi aku kembali dipisah, karena Ibu masih saja menahan tubuh Mas Romi. Kenapa mereka harus ikut campur masalahku? Sedangkan mereka tak tahu perasaanku.

"Aku menyukai Isma!" seru Mas Romi.

Semua orang terhenyak. Termasuk aku dan Isma sendiri. Spontan tanganku menghantam pipinya. Sehingga darah keluar dari bibirnya. Suasana kembali gaduh.

"Ibas, Emak mohon ... jangan bawa Romi. Emak enggak bisa melihatnya di jeruji besi."

"Jadi, Emak bahagia melihat keluargaku hancur?" Aku menggigit bibir bawah dan menahan suara di kerongkongan agar tidak sampai mengeluarkan kata kasar pada wanita yang melahirkanku.

"Ceraikan istrimu. Agar Romi menikahinya. Dengan begitu, kakakmu bisa bertanggung jawab. Masalah beres dan keluarga kita akan terlepas dari masalah!" Emak memunggungiku. Badannya bergetar. Aku tahu dia menyembunyikan air matanya.

Aku menolehnya. Kemudian beralih ke istriku. Wanita yang kunikahi itu menggelengkan kepala, mata berkaca. Aku yakin, dia juga tidak akan mau dinikahi Mas Romi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status