Share

BAB 3

"Hentikan! Hentikan, Bas!" Emak menarik tanganku yang terus memukul Mas Romi, "Kamu apa-apaan tiba-tiba berbuat seperti ini? Malu dilihat tetangga." Emak terus memarahiku. Tapi sama saja. Ucapannya tak mampu meredam amarah yang sudah memuncak di dadaku.

Napasku terengah-engah karena tenaga terkuras dengan aksiku menghajar pria yang saat ini juga terkulai menahan sakit.

"Aku tidak peduli dilihat tetangga. Sekalian biar mereka tahu kelakuan Mas Romi." Aku berteriak seperti orang yang kesurupan. "Biarkan aku menghajarnya, Mak." Aku mengibaskan pegangan tangan Emak. Kemudian berlari dan menghajar Mas Romi yang sudah tak berdaya.

Emak kembali menahanku. Dia menangis meraung mendekap tubuhku. "Ayo duduk dulu, Nak. Jangan lakukan ini. Emak enggak tak sanggup melihat kalian berkelahi."

Badanku terhuyung ke tanah. Emak masih mendekapku. Aku berteriak sekuat tenaga. Untuk menahan gejolak yang ada di dada.

"Iki ono opo?" Lelaki paruh baya terhenyak menyaksikan pemandangan menyedihkan di depan matanya. Dia adalah Pak Dhe Haryono--kakaknya Emak.

"Kang Har, mereka tiba-tiba berkelahi. Tanpa aku tau apa penyebabnya." Emak menatap sendu pada Pak Dhe, kemudian padaku, dan Mas Romi.

Pak Dhe mendekatiku dan menepuk pundakku. "Bas, jika ada masalah, selesaikan baik-baik. Jangan seperti ini. Kalian kakak beradik. Tak pantas sedarah saling menumpahkan darah."

Dengan napas yang masih terengah-engah, aku menatap Mas Romi tajam. Ingin sekali aku membun^hnya. Aku memang orang yang  suka bercanda. Tapi, jika ada yang menyenggolku, aku bisa marah tak terkendali.

Mas Romi adalah kakakku. Dia sangat kuhormati karena umurnya yang lebih tua. Tapi, mengetahui kebejat^nnya, rasanya tangan ini panas dan belum puas jika belum memberinya pelajaran. 

Sabar ..., sabar .... Itu yang keluar dari mulut Emak--wanita yang membesarkan kami dengan air mata dan keringatnya. Sangat mudah mengucapkan kata itu. Tapi, jika dalam posisiku saat ini, sangat sulit untuk mempraktekannya.

"Pak Dhe jangan ikut campur. Ini masalahku dengan Mas Romi," ujarku tanpa menatap wajah pria yang kulitnya sudah mulai keriput.

"Sebenarnya masalah apa, Bas?" Barang kali Pak Dhe bisa membantu.

"Semua sudah terjadi Pak Dhe. Tidak akan bisa dirubah."

"Bicara yang jelas. Supaya Pak Dhe paham."

"Dia, lelaki yang sok bijak dalam segala hal. Sok perhatian terhadapku. Selalu menanyakan kabarku di rantau. Ternyata sudah menghancurkan kebahagiaanku, Pak Dhe! Dia sudah menodai istriku! Hah! Dia harus kumat!kan." Aku hendak berdiri. Tapi, Pak Dhe menahanku dibantu bantu warga lainnya. Aku tak bisa lepas dari pegangan mereka. "Lepaskan aku! Aku harus menghab^sinya! Hah! Lepas!" 

PLAK.

Pak Dhe menamp^rku dan menatap tajam mataku. "Ibas, dengarkan Pak Dhe. Ini negara hukum. Kalau Romi memang melakukan perbuatan itu, dia bisa kamu laporkan ke polisi. Bukan main hakim sendiri. Dengan kamu membun^hnya, apa yang akan kamu dapat? Penyesalan, Bas. Kamu akan merasa bersalah seumur hidup. Kamu juga akan diberi gelar pembun^h." 

Aku menangis menundukkan kepala yang terasa begitu berat. Mimpiku membina rumah tangga bahagia terasa hancur. Membayangkan Mas Romi mendekam di penjar@ dan melihat perut istriku semakin membesar dan bersemayam janin darah dagingnya saja aku tak sanggup. 

"Tuduhanmu tak beralasan, Bas. Aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan padaku. Ini fitnah." Mas Romi buka suara setelah lama diam menikmati perih di tubuhnya.

"Lalu, apa kamu kira istriku di nodai setan yang menyerupai wajahmu? Begitu!" Kunaikkan kepala dan melebarkan mata ke arahnya.

"Aku berani sumpah, Bas. Aku tidak mungkin melakukan itu pada adik iparku sendiri."

"Aku lebih percaya istriku dari pada kamu, Mas. Aku tahu kamu seperti apa."

"Kalau memang aku pelakunya, apa buktinya?"

"Perut istriku sudah menjadi bukti nyata. Apa?! Masih mau mengelak?"

Tetangga saling menatap tak percaya dengan semua yang kuutarakan. Mereka saling berbisik mengomentari apa yang mereka dengar dan lihat saat ini.

"Aneh, kalau Romi pelakunya, kenapa dia tidak mengaku saja?"

"Iya, masak iya Aisma dinodai hantu. Jaman sekarang memangnya masih ada hal begituan?

"Halah, paling memang Romi. Hanya saja dia enggak mau ngaku."

Suara ibu-ibu nyaring sampai ke telingaku. Hanya saja, aku tak ingin mengomentari apa yang terlintas dipikiran mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status