"Hentikan! Hentikan, Bas!" Emak menarik tanganku yang terus memukul Mas Romi, "Kamu apa-apaan tiba-tiba berbuat seperti ini? Malu dilihat tetangga." Emak terus memarahiku. Tapi sama saja. Ucapannya tak mampu meredam amarah yang sudah memuncak di dadaku.
Napasku terengah-engah karena tenaga terkuras dengan aksiku menghajar pria yang saat ini juga terkulai menahan sakit."Aku tidak peduli dilihat tetangga. Sekalian biar mereka tahu kelakuan Mas Romi." Aku berteriak seperti orang yang kesurupan. "Biarkan aku menghajarnya, Mak." Aku mengibaskan pegangan tangan Emak. Kemudian berlari dan menghajar Mas Romi yang sudah tak berdaya.Emak kembali menahanku. Dia menangis meraung mendekap tubuhku. "Ayo duduk dulu, Nak. Jangan lakukan ini. Emak enggak tak sanggup melihat kalian berkelahi."Badanku terhuyung ke tanah. Emak masih mendekapku. Aku berteriak sekuat tenaga. Untuk menahan gejolak yang ada di dada."Iki ono opo?" Lelaki paruh baya terhenyak menyaksikan pemandangan menyedihkan di depan matanya. Dia adalah Pak Dhe Haryono--kakaknya Emak."Kang Har, mereka tiba-tiba berkelahi. Tanpa aku tau apa penyebabnya." Emak menatap sendu pada Pak Dhe, kemudian padaku, dan Mas Romi.Pak Dhe mendekatiku dan menepuk pundakku. "Bas, jika ada masalah, selesaikan baik-baik. Jangan seperti ini. Kalian kakak beradik. Tak pantas sedarah saling menumpahkan darah."Dengan napas yang masih terengah-engah, aku menatap Mas Romi tajam. Ingin sekali aku membun^hnya. Aku memang orang yang suka bercanda. Tapi, jika ada yang menyenggolku, aku bisa marah tak terkendali.Mas Romi adalah kakakku. Dia sangat kuhormati karena umurnya yang lebih tua. Tapi, mengetahui kebejat^nnya, rasanya tangan ini panas dan belum puas jika belum memberinya pelajaran. Sabar ..., sabar .... Itu yang keluar dari mulut Emak--wanita yang membesarkan kami dengan air mata dan keringatnya. Sangat mudah mengucapkan kata itu. Tapi, jika dalam posisiku saat ini, sangat sulit untuk mempraktekannya."Pak Dhe jangan ikut campur. Ini masalahku dengan Mas Romi," ujarku tanpa menatap wajah pria yang kulitnya sudah mulai keriput."Sebenarnya masalah apa, Bas?" Barang kali Pak Dhe bisa membantu."Semua sudah terjadi Pak Dhe. Tidak akan bisa dirubah.""Bicara yang jelas. Supaya Pak Dhe paham.""Dia, lelaki yang sok bijak dalam segala hal. Sok perhatian terhadapku. Selalu menanyakan kabarku di rantau. Ternyata sudah menghancurkan kebahagiaanku, Pak Dhe! Dia sudah menodai istriku! Hah! Dia harus kumat!kan." Aku hendak berdiri. Tapi, Pak Dhe menahanku dibantu bantu warga lainnya. Aku tak bisa lepas dari pegangan mereka. "Lepaskan aku! Aku harus menghab^sinya! Hah! Lepas!" PLAK.Pak Dhe menamp^rku dan menatap tajam mataku. "Ibas, dengarkan Pak Dhe. Ini negara hukum. Kalau Romi memang melakukan perbuatan itu, dia bisa kamu laporkan ke polisi. Bukan main hakim sendiri. Dengan kamu membun^hnya, apa yang akan kamu dapat? Penyesalan, Bas. Kamu akan merasa bersalah seumur hidup. Kamu juga akan diberi gelar pembun^h." Aku menangis menundukkan kepala yang terasa begitu berat. Mimpiku membina rumah tangga bahagia terasa hancur. Membayangkan Mas Romi mendekam di penjar@ dan melihat perut istriku semakin membesar dan bersemayam janin darah dagingnya saja aku tak sanggup. "Tuduhanmu tak beralasan, Bas. Aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan padaku. Ini fitnah." Mas Romi buka suara setelah lama diam menikmati perih di tubuhnya."Lalu, apa kamu kira istriku di nodai setan yang menyerupai wajahmu? Begitu!" Kunaikkan kepala dan melebarkan mata ke arahnya."Aku berani sumpah, Bas. Aku tidak mungkin melakukan itu pada adik iparku sendiri.""Aku lebih percaya istriku dari pada kamu, Mas. Aku tahu kamu seperti apa.""Kalau memang aku pelakunya, apa buktinya?""Perut istriku sudah menjadi bukti nyata. Apa?! Masih mau mengelak?"Tetangga saling menatap tak percaya dengan semua yang kuutarakan. Mereka saling berbisik mengomentari apa yang mereka dengar dan lihat saat ini."Aneh, kalau Romi pelakunya, kenapa dia tidak mengaku saja?""Iya, masak iya Aisma dinodai hantu. Jaman sekarang memangnya masih ada hal begituan?"Halah, paling memang Romi. Hanya saja dia enggak mau ngaku."Suara ibu-ibu nyaring sampai ke telingaku. Hanya saja, aku tak ingin mengomentari apa yang terlintas dipikiran mereka."Sebaiknya kita masuk. Selesaikan secara baik-baik." Pak Dhe menjadi penengah dalam masalah ini."Mari Bapak-bapak, bantu mereka masuk!" Beberapa orang memapahku dan Mas Romi masuk ke kediaman Emak.Aku duduk dengan mengepalkan tangan dan menunduk menoleh ke samping agar mata ini tak menatap wajah pria itu. Melihat dari sudut mata saja, rasanya aku ingin menghantamnya."Tolong, salah satu jemput Isma dan bawa ke sini. Supaya jelas duduk perkaranya. Dan tolong untuk semuanya, jangan ada yang menyebarkan berita ini kemanapun. Untuk perangkat desa, aku yang akan nembusi agar masalah tidak diperpanjang. Aku tidak mau keluargaku menjadi viral dengan berita yang memalukan." Pak Dhe menyerukan pada orang-orang yang berkerumun. "Aku yang akan menjemput Isma." Kudengar itu suara Miko. Dia meminjam kuda besi milik warga. Ternyata dirinya tadi mengikutiku dan aku tak menyadarinya."Silahkan. Lebih cepat lebih baik." ***Aisma datang bersama temanku. Dia memakai setelah baju longgar. Kulihat da
"Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang.""Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir."Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali.""Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tab
Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp
"Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana."Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang
Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.
Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.
Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara