"Mual dan nafsu makan berkurang sudah biasa dirasakan wanita hamil. Ini kubuatkan resep vitamin. Istrinya dijaga ya, Pak. Jangan kecapean atau stres."
Aku mendengar ucapan dokter. Tapi tak mengindahkannya. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Setelah wanita bersegam putih itu memberikan kertas kecil, aku segera keluar dari ruangan tanpa mengajak istriku. Dia mengikutiku setelah kudengar berpamitan pada wanita yang memeriksanya."Mas, tunggu aku, Mas!" Aisma--berteriak memanggilku.Aku berjalan cepat tanpa memperdulikannya. Apa lagi dengan isi di perutnya. Dia terus mengejarku sampai di parkiran."Mas, maafkan aku!" Istriku kembali memohon. "Naik!" Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Banyak pertanyaan di benakku. Tapi aku tidak mau ribut di tempat umum.***Ketika masuk rumah, aku membanting semua barang yang terlihat oleh mata. Aku tidak peduli lagi berapa uang yang habis untuk membeli perabotan yang ada di kediamanku. Semua serasa tak berguna lagi.Sementara istriku duduk menyender di pojokan pintu sembari menangis melihatku maluapkan segala amarah yang terpendam.Perjuanganku di kota orang serasa sia-sia. Hidup berkecukupan bersama keluarga kecilku tinggal mimpi. Pengorbananku di kota orang tak ada artinya lagi."Mas, hentikan, Mas ...!" Dari sudut mata aku melihat istriku meneteskan air mata dengan kedua tangan menutup mulutnya.Aku melangkah mendekatinya dan mencengkeram kedua pipinya. Rahangku mengeras dan otot di sekitar leher terasa tegang."Katakan padaku, siapa kekasih gelapmu! Katakan!" Darahku terasa mendidih sampai ke ubun-ubun.Dia hanya menangis. Suaranya kian berat. Matanya terpejam dengan isakan tangis yang tak henti."Tidak, Mas. Aku, aku tidak pernah mengkhianatimu. Ak-aku tidak punya selingkuhan," ucapnya dengan lirih dan terbata."Terus kamu mau bilang itu anakku?"Istriku hanya menggelengkan kepala.Aku berdiri dan masuk ke dapur. Memporak-porandakan semua barang yang ada di sana. Kemudian kuambil sebilah pisau. Pandanganku dan hatiku gelap tak bisa berpikir sehat lagi.Kemudian keluar dan kembali menatap istriku yang masih menangis. Dia pun menatapku dengan ketakutan."Bun*h aku jika bisa membuatmu puas, Mas!" Dia berdiri dan merentangkan tangannya, "bunuh aku, Mas. Karena aku juga sudah tidak bersemangat untuk hidup. Aku, aku sudah tak pantas disebut istri. Aku lebih baik mat! dari pada kamu menuduhku selingk^h." Aisma mendekatiku dan menarik tanganku yang memegang benda tajam dan mengarahkan pada perutnya. 'Tidak, aku bukan pembun^h.' Pikiran dan hatiku mulai tak sejalan.Perlahan tanganku melemas dan benda tajam itu jatuh bersamaan denga tubuhku yang menyatu dengan lantai. "Kenapa jadi seperti ini?" Tanganku meninju lantai berwarna putih yang menjadi tumpuan badanku."Maafkan aku, Mas!" Istriku kembali mendekatiku."Mundur! Sebelum aku kehilangan akal."Wanita berbadan dua itu mundur dengan perlahan."Jika kamu tidak selingk^h, lalu siapa? Siapa ...!" "Mas, Mas Romi. Di-dia yang melakukanya. Di-dia memaksaku dan aku tak bisa melepaskan diri." Dengan terbata istriku menceritakan kronologi kejadian dari awal kedatangan pria bejat itu sampai akhirnya terjadilah perbuatan liarnya.Berkali-kali napas ini menghembuskan napas dengan kasar. Aku menajamkan pendengaran dan menguatkan hati untuk mendengar kisah dari mulutnya."Mas Romi? Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini." Aku bergumam dan mengepal tangan. Berdiri, kemudian keluar meninggalkan istriku."Mas, tolong, Mas. Jangan ke sana! Aku tidak mau kamu celaka." Istriku mengejarku dan menggenggam tanganku. Sementara pandanganku tajam lurus ke depan. Di dalam otakku hanya ada satu tujuan. Menghajar lelaki yang sudah kurang ajar pada istriku."Lepaskan! Kubilang lepaskan!" Istriku menggelengkan kepala. Terpaksa aku melepas tangannya dengan paksa dan aku melanjutkan tujuanku.Di jalan aku bertemu teman yang biasa nongkrong denganku sebelum aku menikah."Ibas! Kapan pulang? Mau kemana? Buru-buru amat." Dia menahan tanganku. Masih sama perasaan dan pikiranku. Tak peduli dengan lingkungan sekitar. Aku hanya bergeming dan memilih fokus pada rumah yang ada di ujung sana."Bas, kamu tidak apa-apa kan?" Miko menepuk pundakku. Aku menoleh tangan yang seolah menyadarkan lamunan.Aku menyingkirkan tangannya dan menatapnya tajam. Orang lain tak perlu ikut campur dengan urusanku.***"Mas Romi, keluar! Keluar kamu, Mas!" Aku berteriak di depan rumahnya yang masih satu RT denganku. Aku mengedarkan pandangan. Tetangga dekatnya ada yang penasaran dan mengintip di jendela. Dan tak segan pula melihat secara langsung. Aku tidak peduli. Bisa dibilang aku sedang kesetanan. "Keluar, Mas!" Aku mengulang."Ibas, kapan kamu pulang?" Dia tersenyum, tetapi terlihat kepanikan di wajahnya.Tanpa basa-basi aku maju dan menarik kaosnya. Kemudian menjatuhkan tubuhnya."Kamu kenapa, Bas? Santai dulu. Jangan seperti ini. Kalau ada masalah, kita bisa bicarakan baik-baik." Mas Romi mencoba menasehatiku. Tapi ucapannya bagai angin yang cuma lewat di telinga dan keluar begitu saja.Sepuas hati aku menghajarnya. Melampiaskan kekesalan di dada. Tidak ada yang meleraiku. Entah mereka takut atau tidak ingin terlibat dalam masalah keuargaku."Hentikan, hentikan ...!" Teriakan itu berhasil menghentikan tanganku sejenak. Tubuhku capek, lemas. Tapi tak sebanding dengan sakit hati ini."Hentikan! Hentikan, Bas!" Emak menarik tanganku yang terus memukul Mas Romi, "Kamu apa-apaan tiba-tiba berbuat seperti ini? Malu dilihat tetangga." Emak terus memarahiku. Tapi sama saja. Ucapannya tak mampu meredam amarah yang sudah memuncak di dadaku.Napasku terengah-engah karena tenaga terkuras dengan aksiku menghajar pria yang saat ini juga terkulai menahan sakit."Aku tidak peduli dilihat tetangga. Sekalian biar mereka tahu kelakuan Mas Romi." Aku berteriak seperti orang yang kesurupan. "Biarkan aku menghajarnya, Mak." Aku mengibaskan pegangan tangan Emak. Kemudian berlari dan menghajar Mas Romi yang sudah tak berdaya.Emak kembali menahanku. Dia menangis meraung mendekap tubuhku. "Ayo duduk dulu, Nak. Jangan lakukan ini. Emak enggak tak sanggup melihat kalian berkelahi."Badanku terhuyung ke tanah. Emak masih mendekapku. Aku berteriak sekuat tenaga. Untuk menahan gejolak yang ada di dada."Iki ono opo?" Lelaki paruh baya terhenyak menyaksikan pemandangan menyedihkan di depan ma
"Sebaiknya kita masuk. Selesaikan secara baik-baik." Pak Dhe menjadi penengah dalam masalah ini."Mari Bapak-bapak, bantu mereka masuk!" Beberapa orang memapahku dan Mas Romi masuk ke kediaman Emak.Aku duduk dengan mengepalkan tangan dan menunduk menoleh ke samping agar mata ini tak menatap wajah pria itu. Melihat dari sudut mata saja, rasanya aku ingin menghantamnya."Tolong, salah satu jemput Isma dan bawa ke sini. Supaya jelas duduk perkaranya. Dan tolong untuk semuanya, jangan ada yang menyebarkan berita ini kemanapun. Untuk perangkat desa, aku yang akan nembusi agar masalah tidak diperpanjang. Aku tidak mau keluargaku menjadi viral dengan berita yang memalukan." Pak Dhe menyerukan pada orang-orang yang berkerumun. "Aku yang akan menjemput Isma." Kudengar itu suara Miko. Dia meminjam kuda besi milik warga. Ternyata dirinya tadi mengikutiku dan aku tak menyadarinya."Silahkan. Lebih cepat lebih baik." ***Aisma datang bersama temanku. Dia memakai setelah baju longgar. Kulihat da
"Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang.""Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir."Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali.""Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tab
Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp
"Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana."Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang
Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.
Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.