Share

BAB 2

"Mual dan nafsu makan berkurang sudah biasa dirasakan wanita hamil. Ini kubuatkan resep vitamin. Istrinya dijaga ya, Pak. Jangan kecapean atau stres." 

Aku mendengar ucapan dokter. Tapi tak mengindahkannya. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Setelah wanita bersegam putih itu memberikan kertas kecil, aku segera keluar dari ruangan tanpa mengajak istriku. 

Dia mengikutiku setelah kudengar berpamitan pada wanita yang memeriksanya.

"Mas, tunggu aku, Mas!" Aisma--berteriak memanggilku.

Aku berjalan cepat tanpa memperdulikannya. Apa lagi dengan isi di perutnya. Dia terus mengejarku sampai di parkiran.

"Mas, maafkan aku!" Istriku kembali memohon. 

"Naik!" Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Banyak pertanyaan di benakku. Tapi aku tidak mau ribut di tempat umum.

***

Ketika masuk rumah, aku membanting semua barang yang terlihat oleh mata. Aku tidak peduli lagi berapa uang yang habis untuk membeli perabotan yang ada di kediamanku. Semua serasa tak berguna lagi.

Sementara istriku duduk menyender di pojokan pintu sembari menangis melihatku maluapkan segala amarah yang terpendam.

Perjuanganku di kota orang serasa sia-sia. Hidup berkecukupan bersama keluarga kecilku tinggal mimpi. Pengorbananku di kota orang tak ada artinya lagi.

"Mas, hentikan, Mas ...!" Dari sudut mata aku melihat istriku meneteskan air mata dengan kedua tangan menutup mulutnya.

Aku melangkah mendekatinya dan mencengkeram kedua pipinya. Rahangku mengeras dan otot di sekitar leher terasa tegang.

"Katakan padaku, siapa kekasih gelapmu! Katakan!" Darahku terasa mendidih sampai ke ubun-ubun.

Dia hanya menangis. Suaranya kian berat. Matanya terpejam dengan isakan tangis yang tak henti.

"Tidak, Mas. Aku, aku tidak pernah mengkhianatimu. Ak-aku tidak punya selingkuhan," ucapnya dengan lirih dan terbata.

"Terus kamu mau bilang itu anakku?"

Istriku hanya menggelengkan kepala.

Aku berdiri dan masuk ke dapur. Memporak-porandakan semua barang yang ada di sana. Kemudian kuambil sebilah pisau. Pandanganku dan hatiku gelap tak bisa berpikir sehat lagi.

Kemudian keluar dan kembali menatap istriku yang masih menangis. Dia pun menatapku dengan ketakutan.

"Bun*h aku jika bisa membuatmu puas, Mas!" Dia berdiri dan merentangkan tangannya, "bunuh aku, Mas. Karena aku juga sudah tidak bersemangat untuk hidup. Aku, aku sudah tak pantas disebut istri. Aku lebih baik mat! dari pada kamu menuduhku selingk^h." Aisma   mendekatiku dan menarik tanganku yang memegang benda tajam dan mengarahkan pada perutnya. 

'Tidak, aku bukan pembun^h.' Pikiran dan hatiku mulai tak sejalan.

Perlahan tanganku melemas dan benda tajam itu jatuh bersamaan denga tubuhku yang menyatu dengan lantai. 

"Kenapa jadi seperti ini?" Tanganku meninju lantai berwarna putih yang menjadi tumpuan badanku.

"Maafkan aku, Mas!" Istriku kembali mendekatiku.

"Mundur! Sebelum aku kehilangan akal."

Wanita berbadan dua itu mundur dengan perlahan.

"Jika kamu tidak selingk^h, lalu siapa? Siapa ...!" 

"Mas, Mas Romi. Di-dia yang melakukanya. Di-dia memaksaku dan aku tak bisa melepaskan diri." Dengan terbata istriku menceritakan kronologi kejadian dari awal kedatangan pria bejat itu sampai akhirnya terjadilah perbuatan liarnya.

Berkali-kali napas ini menghembuskan napas dengan kasar. Aku menajamkan pendengaran dan menguatkan hati untuk mendengar kisah dari mulutnya.

"Mas Romi? Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini." Aku bergumam dan mengepal tangan. Berdiri, kemudian keluar meninggalkan istriku.

"Mas, tolong, Mas. Jangan ke sana! Aku tidak mau kamu celaka." Istriku mengejarku dan menggenggam tanganku. Sementara pandanganku tajam lurus ke depan. Di dalam otakku hanya ada satu tujuan. Menghajar lelaki yang sudah kurang ajar pada istriku.

"Lepaskan! Kubilang lepaskan!" 

Istriku menggelengkan kepala. Terpaksa aku melepas tangannya dengan paksa dan aku melanjutkan tujuanku.

Di jalan aku bertemu teman yang biasa nongkrong denganku sebelum aku menikah.

"Ibas! Kapan pulang? Mau kemana? Buru-buru amat." Dia menahan tanganku. Masih sama perasaan dan pikiranku. Tak peduli dengan lingkungan sekitar. Aku hanya bergeming dan memilih fokus pada rumah yang ada di ujung sana.

"Bas, kamu tidak apa-apa kan?" Miko menepuk pundakku. Aku menoleh tangan yang seolah menyadarkan lamunan.

Aku menyingkirkan tangannya dan menatapnya tajam. Orang lain tak perlu ikut campur dengan urusanku.

***

"Mas Romi, keluar! Keluar kamu, Mas!" Aku berteriak di depan rumahnya yang masih satu RT denganku. 

Aku mengedarkan pandangan. Tetangga dekatnya ada yang penasaran dan mengintip di jendela. Dan tak segan pula melihat secara langsung. Aku tidak peduli. Bisa dibilang aku sedang kesetanan. 

"Keluar, Mas!" Aku mengulang.

"Ibas, kapan kamu pulang?" Dia tersenyum, tetapi terlihat kepanikan di wajahnya.

Tanpa basa-basi aku maju dan menarik kaosnya. Kemudian menjatuhkan tubuhnya.

"Kamu kenapa, Bas? Santai dulu. Jangan seperti ini. Kalau ada masalah, kita bisa bicarakan baik-baik." Mas Romi mencoba menasehatiku. Tapi ucapannya bagai angin yang cuma lewat di telinga dan keluar begitu saja.

Sepuas hati aku menghajarnya. Melampiaskan kekesalan di dada. Tidak ada yang meleraiku. Entah mereka takut atau tidak ingin terlibat dalam masalah keuargaku.

"Hentikan, hentikan ...!" Teriakan itu berhasil menghentikan tanganku sejenak. Tubuhku capek, lemas. Tapi tak sebanding dengan sakit hati ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status