“Hati-hati, Mbak, kalau ngomong. Saya bisa tuntut Anda!" Damar ikut bicara. “Heh, aku Bu RT di sini, ya. Aku bisa usir kamu dari sini!““Menuduh tanpa bukti bisa dipidanakan, saya bisa membayar pengacara untuk membuat Anda di penjara!“ imbuh Damar. "Sudah, cukup! Baik, aku tidak akan ngobrol dengan suamimu lagi. Tapi tolong jangan bikin keributan dan katakan pada suamimu jangan ganggu hidupku lagi.““Baik, jika aku melihat kamu dekat-dekat dengan suamiku lagi. Maka aku akan melaporkan kalian dengan pasal perselingkuhan. Ngerti!“ bentak Tika. Ratih hanya mengangguk. Biasanya Tika tak seperti itu. Mungkin orang-orang yang tidak suka dengan Ratih membuat laporan yang tidak-tidak yang akhirnya menyulut cemburu di hati Tika. Tika pergi dengan mulutnya yang masih meracau tak jelas. Damar menatap Ratih sangat tajam. Damar mendekati Ratih. “Maafkan aku! Aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu.““Kamu nggak salah. Memang sudah resiko jadi janda, ya, seperti ini.“ Kelopak mata Rati
JSO 11Ratih merasakan mendengar suara orang bercakap-cakap. Ada yang menggenggam tangannya dan nyeri di kepala sudah sedikit berkurang. Ratih membuka mata. Ia sudah berada di rumah, terbaring di kursi panjang di depan televisi. Rea erat menautkan jemarinya sambil terisak. “Buk, Ibuk sudah sadar?“ Panggilan Rea membuat Ratih mengangguk. “Kamu sudah sadar Ratih?“ tanya Radit yang berdiri di sana bersama beberapa warga. Ratih duduk sambil mengurut keningnya. “Iya, aku sudah baik.““Warga menemukanmu pingsan di samping gapura. Mereka membawamu pulang, lalu menghubungiku.““Mbak Ratih, kalau masih panas kita antar ke rumah sakit saja Pak RT," ucap Pak Joni, pemilik warung di ujung gang. Kabarnya, beliau yang pertama kali menemukan Ratih pingsan di jalan. “Nggak perlu, aku sudah baik, kok. Nanti minum obat lagi juga sembuh. Terima kasih semuanya. Maaf sudah merepotkan Bapak Ibu semua.“ Mendengar pernyataan dari Ratih beberapa orang pamit meninggalkan rumah Ratih, hanya tertinggal Bu T
Ratih melongo, ia memandang ponsel tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tahu Damar sedang bercanda. Tidak mungkin seorang lelaki sesempurna Damar bisa menyukai dirinya yang berparas biasa-biasa saja. Ratih menepuk-nepuk pipinya. “Halo ... Ratih, kamu masih di situ, 'kan? Halo!“Ratih bukan Cinderela. Cerita seperti itu hanya ada di dalam negeri dongeng dan sinetron ikan terbang saja. Ini dunia Ratih, seorang janda beranak dua yang tidak memiliki sepatu kaca. “Halo, Ratih. Aku yakin kamu masih mendengarku.““Iya, aku mendengarmu. Mendengar leluconmu! Jangan mengajakku bercanda, Tuan. Anda salah tempat.““Kenapa nada bicaramu jadi seperti itu? Aku sungguh-sungguh! Dengan cara apa aku harus membuktikan keseriusanku?““Mas Damar tahu? Aku sekarang sedang duduk di depan cermin, dan aku sedang memandang diriku sendiri. Aku tahu diri, Mas.““Benar, aku bisa mencari istri seperti artis. Mantan istriku pun seperti artis. Tapi aku maunya kamu.““Mas Damar pasti hobi nonton sinetron ikan te
Notifikasi dari m-Banking berbunyi. Transaksi transfer masuk dan saldo rekeningnya bertambah. Netra Ratih membola melihat jumlah angka yang tertera di sana. [Kirimkan nomor rekeningmu, aku akan mengembalikannya, aku tidak bisa menerima uang darimu.] Ratih langsung mengirim pesan kepada Damar. [Pakai untuk berobat, jika kurang, nanti kutransfer lagi.][Aku tidak mau! Aku masih punya uang untuk berobat.][Kalau begitu, gunakan untuk membayar semua hutang-hutangmu. Lalu, istirahat di rumah. Jangan bekerja dulu sampai kamu sembuh!][Bagaimana bisa begitu? Aku tidak mau dikasihani.][Aku tidak sedang mengasihanimu. Aku sedang melaksanakan kewajibanku sebagai suami. Aku tidak mau anak-anak dan istriku terlantar.][Suami?][Iya, meski masih menjadi suami online-mu.][Kita tidak punya kesepakatan untuk itu. Tidak ada pernikahan dan tidak ada suami ataupun istri!] tegas Ratih. [Aku tidak butuh persetujuanmu, aku hanya melakukan apa yang aku inginkan. Dan aku senang melakukan ini. Aku senang
“Ibumu ke mana, Kinar. Boleh Om bicara dengan Ibumu?““Aku tanya sekali lagi, sejak kapan Ibuk jadi istrinya Om?“ Ada getar pada suara Kinar. Mungkin ia sedang menangis, atau sedang menahan tangis. “Om bisa jelaskan ini semua nanti. Sekarang Om ingin tahu bagaimana kabar Ibumu, apakah dia sudah jadi pergi ke Dokter?“ Damar ingin menjelaskan kepada Kinar? Penjelasan seperti apa? Tentang dirinya yang memaksa Ratih untuk menjadi istri online-nya? Damar mengurut pelipisnya. “Om Damar menyukai Ibuk?“ pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari mulut Kinar setelah sekian detik tidak ada jawaban. “Iya, aku menyukai Ibumu.““Hanya suka?“ Pertanyaan Kinar terlalu kritis untuk remaja berusia 13 tahun.Damar tak menjawab, ia menghela napas panjang. Ia lebih baik menghadapi puluhan client bisnis dari pada diinterogasi oleh Kinar. “Kalau Om suka sama Ibuk. Om bisa ke sini sekarang? Tadi Ibuk pingsan lagi di puskesmas, sekarang sudah di rumah sakit dan Ibuk belum sadar. Aku tidak tahu harus bagaiman
“Semua itu salah paham, Kinar. Om Damar cuma becanda, kamu nggak usah ambil hati,“ ucap Ratih. “Ibuk nggak bohong? Atau kalian pacaran?““Om maunya serius, tapi Ibumu yang nggak mau.“ Mendengar ucapan Damar, Ratih langsung melotot. “Om Damar bohong, Kinar. Ini semua hanya lelucon!“ tegas Ratih. “Aku serius, dan kalau aku benar-benar serius, apa kamu mengizinkan aku menikah dengan Ibumu dan menjadi ayah kalian?“Mimik muka Kinar berubah seketika. Wajahnya memerah dan penuh dengan rasa tidak suka. “Bapakku sudah meninggal dan aku tidak mau punya Bapak baru. Aku tidak mengizinkan Ibuk menikah lagi!“ seru Kinar. Ia berdiri lalu keluar kamar. Ratih berusaha bangun, ia memanggil Kinar. Namun, Damar mencegahnya, Ratih belum kuat untuk melakukan itu semua. “Biar aku yang bicara dengan Kinar.““Jangan memaksakan apa pun pada Kinar. Aku tidak mau dia marah. Katakan kalau semua ini bohong, hanya lelucon, aku mohon!““Iya, kamu tenang! Kamu sedang sakit. Kalau kamu banyak pikiran maka tidak
“Kalian dari mana saja, kenapa lama?“ tanya Ratih saat Damar dan Kinar muncul bersamaan di kamar inap. “Lihat ikan di kolam, Buk,“ sahut Kinar. Ia langsung mendekati Rea yang masih bermain ponsel di sofa. “Kamu nggak usah memikirkan apa-apa, aku dan Kinar baik-baik saja.““Apa yang kalian bicarakan?“ cecar Ratih. “Besok saja, kalau kamu sudah sembuh, baru kita obrolkan lagi soal ini.““Kenapa harus menunggu besok? Aku pengennya sekarang. Semakin lama kalian menunda, maka aku semakin kepikiran.““Selain keras kepala, ternyata kamu nggak sabaran, ya!“ ucap Damar sembari melepas tawa kecil. “Nanti biar Kinar saja yang ngomong. Aku takut salah ngomong,“ imbuh Damar. “Om Damar saja yang ngomong,“ sahut Kinar cepat. “Kamu yakin, Kinar?“ Damar menatap gadis remaja yang sekarang tengah asik menikmati kacang oven itu. Kinar mengangguk, matanya melirik ke arah Ratih yang masih bermimik penasaran. “Kinar menyetujui hubungan kita,“ ucap Damar singkat. Damar yakin tanpa menjelaskan panjang l
“Dia tetanggaku, kebetulan dia Pak RT di tempatku,“ jawab Ratih pelan. “Oh, kenalkan. Saya Damar.“ Damar mengulurkan tangan. Radit menerima uluran tangan itu, tetapi matanya masih menyiratkan rasa tidak suka pada Damar. “Bagaimana saya harus memanggil? Saya kira saya lebih tua dari kamu.““Panggil nama saja. Saya memang Pak RT, tapi saya man--““Tidak usah diperjelas, Dit. Aku pernah bilang berkali-kali ke kamu!“ potong Ratih. “Ada anak-anak juga!“ imbuh Ratih dengan nada suara yang lebih tinggi. "Baik, maafkan aku! Bagaimana keadaanmu? Aku dapat kabar kalau kamu pingsan di puskemas lalu dibawa ke sini,“ tanya Radit. Ia berjalan mendekati tempat tidur Ratih, kini ia berdiri berseberangan dengan Damar. “Aku sudah lebih baik. Apa istrimu tahu kamu ke sini? Aku tidak mau ada keributan di rumah sakit.““Dia pergi setelah malam itu. Dia tetap ingin bercerai denganku. Dia bilang, tidak akan hidup dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya," ucap Radit yang seketika membuat Damar