Share

Intervensi dan Intuisi

Januar bergeming sesaat setelah ia membuka pintu ruangan Satria. Tadinya ia hanya ingin menumpang istirahat, tidur-tiduran sebentar sebelum pergi ke ruangan Christian untuk berbicara kembali tentang jadwal field trip kelompok tiga yang diubahnya sepihak tanpa persetujuan sang dosen pengampu. Namun, Christian justru ada di sana, sedang berbincang dengan si pemilik ruangan. Oh, sepertinya mereka saling mengenal sebagai sesama dosen.

“Siang, Prof.”

“Ya, siang. Ada apa kamu ke sini?”

“Udah biasa dia ke sini, Bang. Temen gue, sekaligus asisten. Rupanya anak kelas lo juga, toh,” ujar Satria.

Christian hanya mengangguk tak acuh, lanjut menghisap rokok elektriknya. Seketika saja aroma blueberry menguar di ruangan Satria. Bau itu menyegarkan sekaligus membuat pusing. Januar heran saja. Dosen merokok di lingkungan kampus YMU adalah sesuatu yang mendekati haram, tapi kenapa Satria yang ketat aturan dan jelas punya hak untuk menegur malah membiarkan? Sosok dosen itu semakin misterius, setidaknya di mata Januar. Siapa dia sebenarnya?

“Ekhm …Prof, sebenarnya ada yang mau saya bicarakan, dan kebetulan kita ketemu di sini.”

“Kenapa lagi? Kamu mau mengubah jadwal field trip setelah mengubah susunan kelompok?”

Januar terdiam. Terhitung sudah dua kali Christian menjadi cenayang hari ini. Pertama soal nama lengkap Irene, dan kedua, soal niat Januar. “Kok …bisa tahu, Prof? Saya bahkan belum bilang apa-apa.”

“Udah ketebak. Kamu mau mengubah jadwal jadi hari apa? Mulai besok saya sudah ada di situs. Apa perlu kita berangkat bareng?”

“Mohon diubah menjadi besok jika berkenan, Prof.”

“Oke, tapi saya nggak yakin tujuan kamu akan tercapai.”

“Tujuan?”

“Ya. Kamu mau mencegah Irene Yocelyn pergi ke aksi mahasiswa, makanya kamu mengganti jadwal. Sebelumnya, kamu juga bersedia pindah kelompok supaya dia bekerja dengan nyaman. Apa benar dugaan saya?” Christian membuat hipotesis tanpa diminta, bergaya layaknya detektif yang sedang berusaha memecahkan sebuah kasus.

Satria di tempatnya membaca situasi. Dua orang di hadapannya kini tampak bersitegang, dan satu-satunya penyebab paling mungkin adalah Christian yang memahami permasalahan di antara Irene dan Januar lewat penilaian intuisinya yang singkat tapi selalu akurat. Itu adalah bakat alaminya sejak lama.

Januar menghela. “Ya, dugaan Anda benar, tapi saya rasa Anda tidak perlu mengatakannya pada Irene atau siapa pun itu.”

“Loh, terserah saya, dong, mau berbicara kepada siapa. Sejak awal kita tidak pernah punya perjanjian untuk menjaga rahasia, atau menahan pemikiran satu sama lain, ‘kan?” Christian tersenyum miring, membuat Januar geram. “Ini masalah pribadi saya, dan sejak awal saya tidak berniat berbagi, atau bahkan sekedar diintervensi oleh Anda.”

“Bukannya kamu yang memaksa saya mengintervensi?” bantah Christian. “Harusnya kamu berterima kasih karena saya lebih banyak diam ketika kamu bertindak seenak jidat perihal aturan kelas, kelompok, dan field trip. Benar apa benar?” tandasnya tegas.

Skak mat! Januar tidak bisa menimpali. Apa yang dikatakan Christian benar, maka sudah sepantasnya ia mengangguk dan meminta maaf atas kelancangannya mendebat seorang dosen yang sepertinya bukan sembarang dosen itu. “Maaf, Prof. Saya akan bertanggung jawab penuh atas kegiatan kelompok empat di Landheyan.”

Christian hanya memutar matanya malas. “Ya, silakan datang besok ke Landheyan jam sembilan pagi, dan bawa kebutuhan berkemah. Kita akan menginap di sana tiga malam.”

****

Berkali-kali Januar melirik jam tangannya di sela-sela pekerjaan mendirikan tenda bersama Deri. Ia gelisah, karena Irene belum muncul satu jam dari jadwal tiba yang disepakati. Sebetulnya tidak hanya Irene yang belum datang, tapi juga Wendy dan Yo-han. Wendy sendiri sempat mengabari Deri bahwa mereka terjebak macet karena aksi mahasiswa yang sudah dimulai sejak pagi di jalan-jalan utama Yogyakarta. Mereka pun bisa maklum, apalagi tiga orang itu juga menggunakan mobil, semakin memperlambat perjalanan.

“Prof. Christian kemana, ya? Gak liat dari tadi.”

“Nggak tau.”

Deri bergabung di meja yang sama dengan Januar usai pekerjaan mereka selesai, mengeluarkan beberapa makanan yang ia bawa dari dalam tasnya. “Jangan-jangan Irene sengaja nelat hari ini karena dia mampir aksi dulu, ya?”

Januar mendelik tajam. “Dia mau dicoret dari summer class gitu maksud lo? Mahasiswa gila akademik kayak dia mana mungkin macam-macam?” bantah Januar, tak sengaja berujar dengan nada tinggi. Maklum, ia sudah kepikiran soal Irene sejak tadi, dan Deri malah membuat kekhawatirannya semakin menjadi-jadi.

“Tau banget lo soal Irene, Bang. Bukannya kalian musuhan?” Deri tersenyum menggoda, membuat Januar lekas memalingkan pandangannya. “Musuh bisa jauh lebih tau dibanding teman. Jangan salah paham.”

“Saya sih nggak salah paham, tapi gagal paham.”

Seseorang menyambung percakapan. Oh, rupanya Christian, ia baru muncul dengan pakaian outdoor yang sedikit kotor. Mungkin baru kembali dari pusat penggalian. “Mana yang lain?” tanyanya, merebut air mineral Januar tanpa izin.

“Tiga sekawan lagi kejebak macet, Prof. Ada demo,” jawab Deri.

“Oh.”

“Oh doang? Nggak ada sanksi buat yang telat?” Januar sinis. Meski tak berpengalaman sebanyak Christian, Januar juga seorang pengajar, dan ia selalu punya aturan ketat soal keterlambatan mahasiswa.

Profesor itu menelan airnya usai dipakai berkumur-kumur terlebih dahulu. “Gimana, ya? Saya nggak suka memberi hukuman ke mahasiswa saya. Saya lebih senang mereka berjiwa bebas, melakukan apa yang mereka inginkan, dan sekedar respect pada tanggung jawab professional mereka dengan saya sebagai dosennya.”

“Begitu, dan Irene pasti paham,” final Christian, membuat Januar meliriknya cepat. “Irene? Kenapa spesifik jadi Irene?”

“Karena dia yang kamu pikirkan sedari tadi.”

Telak sudah. Januar tidak bisa menimpali, hanya bisa salah tingkah mencari-cari pengalih perhatian, sementara Deri berpura-pura minum guna menahan tawa. Hampir saja ia tersedak.

Christian tersenyum miring. “Saya bercanda, tapi rupanya kamu serius. Jadi, apa konsepnya? Musuh jadi cinta? Cih, klasik amat!” cibirnya, membuat Deri tertawa seketika. “Kita sepemikiran, Prof. Tos dulu!”

“Ogah.”

Deri mencebik, gagal sok akrab dengan profesor barunya. Sementara itu, Januar yang sudah mati gaya mencoba menetralkan suasana. “Apa kegiatan kita setelah ini? Nggak mungkin nggak ada jadwal, kan?” Januar akhirnya menemukan topik pengalihan.

“Kegiatan hari ini? Nggak ada.”

“Hah? Gimana maksudnya, Prof? Ngapain kita dateng ke sini kalau nggak ada kegiatan?”

Christian menunjuk Januar dengan dagunya. “Kamu tanya aja sama orang yang seenaknya mengubah jadwal kelompok kalian tapi ngatain saya enggak punya aturan barusan. Kalau di rencana saya, sih, memang nggak ada kegiatan mahasiswa sampai tiga hari ke depan. Salah siapa jadinya?” ujarnya lepas tangan.

“Wah, parah. Apa alasannya lo ngubah-ngubah jadwal kelompok tanpa persetujuan, Bang?” protes Deri, tapi Januar tak tertarik untuk menjawabnya.

“Oh, ya, satu lagi. Yang kalian tunggu bukan tiga orang, tapi hanya dua,” lanjut Christian. Senyum misterius itu pun kembali, membuat Januar dan Deri mengantisipasi. “Irene nggak akan datang hari ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status