Share

Ikut Menjelajah Bunker

Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya.

How the fuck is …”

“Profesor?”

Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene.

“Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.”

“Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima kasih.”

Irene mengangguk, tapi ia tidak langsung beranjak meski sudah dipersilakan. Ada barang lain yang perlu ia berikan pada Christian. “Saya yang berterima kasih, Profesor,” ujarnya, memberikan sebuah buku catatan kecil berjilid kulit dengan ukiran aksara Jawa kuno.

Christian mengerutkan dahinya, mengalihkan sejenak fokusnya dari perkamen. Benda unik yang diberikan Irene cukup menarik perhatiannya. “Apa ini?”

“Hadiah.”

“Hadiah?”

Irene tersenyum simpul. “Iya. Bukan apa-apa, sih. Tapi saya berterima kasih pada Anda karena …aksi mahasiswa kemarin itu sangat penting, dan seharusnya saya mendapat hukuman karena tidak datang ke Landheyan sesuai jadwal.”

“Hmm, jadi karena itu muka kamu lebam-lebam?”

Irene hanya cengengesan memegangi wajahnya yang memang masih bengkak di beberapa bagian. “Ya, begitulah. Meski hanya kebetulan Anda memberi tugas lain kemarin, tetap saja saya harus berterima kasih karena akhirnya bisa tetap pergi.”

Christian menaik turunkan alisnya. “Itu bukan kebetulan. Saya memang tau kamu aktivis, berikut kegiatan-kegiatan pentingnya.”

“Oh, begitu. Anda sangat mengamati mahasiswa Anda kalau begitu.”

“Tidak juga. Banyak hal tiba-tiba melintasi saya lewat orang lain, omongan orang, atau media sosial, lalu saya jadi tertarik. Jangan salah paham,” ungkap Christian dingin, membuat Irene merutuk dalam hati. Sial, bisa-bisanya ia berbicara seperti itu pada dosennya. Dasar terlalu percaya diri.

“Begitu, ya?”

“Ya. Terima kasih atas hadiahnya, dan jangan panggil saya dengan sebutan ‘Anda’ lagi. Saya nggak nyaman.”

“O-oke, jadi …Profesor? Setiap saat?”

“Boleh Profesor, boleh Christian. Terserah kamu, asal jangan ‘Anda’. Saya bukan pejabat.”

Irene terkekeh pelan, ternyata dosennya itu lucu juga. “Baik. Oh, ya, itu apa, Prof? Peta situs?” tunjuk Irene pada perkamen yang sedari tadi tak dilepas Christian.

“Hm. Kenapa? Kamu penasaran lagi?”

“Ya, tentu. Apa situs Landheyan ini belum sepenuhnya diperiksa, Prof?”

“Belum. Saya baru datang bulan lalu, dan banyak bagian-bagian yang belum dieksplorasi karena kami kurang personel.”

“Peserta summer class ada dua puluh orang, apa itu bisa membantu?”

Christian menggeleng, menunjukkan detail peta di atas perkamen itu pada Irene. “Kamu lihat, strukturnya sangat rumit. Landheyan berbentuk seperti …bunker besar? Ya, seperti itu kurang lebih, dan di dalam bunker ini ada labirin-labirin lagi, jalur-jalur yang sangat rumit, dan diperkirakan ada tiga tingkat.”

“Yang tampak saat ini baru atapnya. Ngeri, ‘kan? Gimana kalau kalian hilang? Saya, sih, nggak mau tanggung jawab.”

Irene lantas mendekat selangkah, meneliti gambaran tiga dimensi situs Landheyan yang memang sudah rumit bahkan jika dilihat dari petanya saja. “Profesor sudah sampai mana eksplorasinya? Saya pikir kurang menarik kalau summer class ini nggak masuk ke dalam situs dan menemukan harta karun atau warkat di dalamnya.”

Christian tersenyum tipis. Irene rupanya masih ingat dengan penjelasannya dua hari lalu, soal alasan trivialnya mendalami arkeologi. “Lebih baik nggak dapat harta karun dari pada anak-anak saya hilang.”

“Kalau ada ahlinya, kami merasa aman, sih, Prof.”

“Kamu ini keras kepala juga.”

“Bukan keras kepala, saya hanya penasaran. Kami membayar mahal untuk summer class ini, jadi pengalamannya harus komprehensif dan unik. Kami nggak mau rugi hanya karena rasa takut,” terang Irene realistis, membuat Christian tertawa.

Ah, jadi begini rasanya memiliki mahasiswi aktivis paling kritis satu kampus? Ke depannya Christian harus lebih berhati-hati dengan ucapan dan pendapatnya. “Ya sudah, kamu serius mau ikut mengeksplorasi bagian dalam Landheyan yang belum terjamah ini? Saya kasih clue sedikit, pekerjaan ini nggak mudah, dan jauh dari kata bersenang-senang.”

“Ya, mau. Saya juga nggak bilang kalau saya tertarik hanya untuk bersenang-senang,” jawab Irene percaya diri. Sekali lagi, Christian harus mengapresiasi mentalitas mahasiswinya yang satu ini. “Baik, saya izinkan, tapi khusus hanya untuk kelompok kalian saja, tidak dengan kelompok yang lain.”

“Kenapa yang lain nggak boleh?”

“Karena kelompok kamu adalah kelompok spesial. Anggaran yang diberikan kampus lewat bayaran kuliah kalian itu juga nggak akan cukup untuk mengakomodir dua puluh orang sekaligus. Bagaimana? Masuk akal tidak?” Christian, menyindir balik Irene yang sangat perhitungan dan kapitalis.

“Oke. Saya akan daftar di urutan pertama kalau begitu.”

“Kamu selalu jadi yang pertama, bahkan dalam urutan absen,” ujar Christian, tanpa bermaksud menjelaskan dari mana ia tahu nama lengkap Irene tanpa melihat daftar nama tempo hari. Namun, Irene yang berhak mendapat jawaban lebih ingin menyimpan pertanyaan itu dulu kali ini. Ia berencana menjadikan pertanyaan itu sebagai alasan atau topik pembicaraan dengan Christian di lain waktu.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Prof.”

“Ehm …tunggu,” cegah Christian, membuat Irene kembali berbalik. “Ya? Ada apa, Prof?”

“Itu …aksi kemarin, apa hasilnya? Apa tuntutan kalian diterima?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status