Share

Irene Yocelyn Riyanto

Yogyakarta Multicultural University alias YMU, kampus internasional elit di Jawa itu memang terkenal dengan mahasiswanya yang penuh prestasi dan ambisi. Lihat saja, seminggu setelah libur ujian semester, kampus itu sudah kembali ramai layaknya hari perkuliahan biasa. Mungkin mereka sudah bosan dengan kegiatan libur kuliah yang begitu-begitu saja.

Program baru universitas yang mewajibkan mahasiswa dari berbagai jurusan, jenjang pendidikan, dan asal negara untuk mengikuti semester pendek selama dua bulan itu menuai berbagai respon. Sepertiga menyambut positif, sepertiga biasa-biasa saja, dan sepertiganya lagi menyambut negatif, kesal liburannya terganggu. Namun, tidak peduli setuju atau tidak, ratusan mahasiswa itu akan ditempatkan pada subjek perkuliahan yang dipastikan tidak ada hubungannya dengan bidang keilmuan mereka.

Januar contohnya. Mahasiswa S3 komunikasi itu sudah mendapatkan bocoran dari dosennya bahwa ia akan ditempatkan di kelas arkeologi bersama mahasiswa S1 dan S2 dari rumpun ilmu sosial humaniora. Januar cukup antusias, tapi antusiasmenya itu seketika luntur usai melihat satu nama yang akan menjadi teman sekelasnya dua bulan kedepan.

Irene Yocelyn Riyanto.

Mahasiswa S1 ilmu politik yang pernah mempermalukannya empat tahun lalu saat ospek universitas itu tampak datang melintasi kerumunan mahasiswa di depan mading. Paras cantik dan otak cemerlang bahkan membuatnya digadang-gadang sebagai Tuan Putri FISIPOL.

“Gila! Itu Irene, ‘kan, Jan? Makin cakep aja tuh cewek kayak bidadari!”

Hawa panas Rayen terasa ketika sosok itu berbicara, membuat Januar kesal. Tahan, ia tak bisa berbicara dengan makhluk astral itu di sini atau rumor bahwa dirinya adalah seorang indigo satanis akan kembali mencuat.

“Irene! Kita satu kelas!” seru seorang mahasiswa, terdengar cukup keras sampai Januar menoleh. Tampak mahasiswa berponi dengan pakaian warna dominan beige itu mengajak tos Irene dengan gayanya yang petakilan. Januar tebak dia bukan mahasiswa Indonesia jika dinilai dari pelafalan bahasanya, dan jika dinilai dari gaya busananya kemungkinan dia berasal dari Jepang atau Korea Selatan.

“Eh, Kak Januar? Masuk ke kelas ini juga, ya?” tanya seorang mahasiswi filsafat yang Januar kenal bernama Wendy. Kalau Januar tidak salah, ia adalah teman dekat Irene.

“Oh, hai. Iya, Wen. Kamu di kelas ini juga?”

“Iya, Kak. Wah, kebetulan banget aku sekelas sama orang-orang yang aku kenal. Ada Irene, Ko Deri, sama Yo-han,” tunjuknya pada satu per satu nama yang disebutkan.

“Oh gitu, bagus deh.” Januar menanggapi seadanya, lalu sedetik kemudian ia lekas berbalik badan. Irene mendapati keberadaannya.

“Raka Januar?”

Januar menghela, aksi kaburnya ketahuan. Demi harga diri, mau tak mau ia harus berbalik. “Iya, saya. Ada apa?” tanyanya tegas, berniat tak mau menghilangkan kharisma.

Irene tersenyum tipis mengolok. “Kamu ikut kelas arkeologi sama anak-anak S1? Katanya nggak level sama junior?” sindirnya.

Irene sepertinya belum bosan untuk mengungkit topik debat fenomenalnya dengan Januar di lapangan ospek empat tahun lalu. Saat itu, mereka bertengkar hebat, dan Januar disinyalir menggunakan kekuasaannya sebagai ketua BEM untuk menghukum Irene yang menentang aturan yang dibuatnya. Dari sudut pandang Irene, Januar kalah, dan dia bersikap kasar setelah kehilangan harga dirinya di depan ratusan mahasiswa baru.

Semua orang tahu insiden itu, karena Irene adalah mahasiswi pertama yang menentang seorang Raka Januar, ketua BEM dan Resimen Mahasiswa yang terkenal kejam pada mahasiswa baru. Kini, mereka juga menjadi dua sosok yang sepadan popularitasnya, sama-sama menempati jajaran mahasiswa most wanted di YMU dengan reputasi akademik gemilang.

“Apa yang ingin kamu katakan? Saya nggak ada waktu untuk berdebat sama kamu.” Januar mengetuk-ngetuk arlojinya.

“Sayang sekali, padahal kita bisa berdebat kapan saja. Bahkan dulu kita belum selesai.”

“Apa yang perlu diselesaikan, Yocelyn? Bukankah jelas kalau kamu pada akhirnya tunduk pada aturan main saya?”

“Itu dulu, dan sekarang kita setara.”

Januar terkekeh pelan. “Kata siapa? Sampai kapan pun saya adalah senior kamu,” ujarnya arogan. Susah payah Januar menahan diri, tapi gadis di hadapannya ini terlalu provokatif. Setara katanya?

“Kebijaksanaan pemikiran tidak memandang usia dan jenjang pendidikan. Siapa yang tahu kalau aktivis sarjana vokal, mahasiswa magister terbaik, sekaligus calon doktor itu masih berpikiran sempit sampai sekarang?”

Januar mengepalkan tangan kanannya, membuat Rayen di sebelahnya panik. “Jan, lo cabut sekarang. Jangan mengulang kesalahan yang sama!”

Hanya hening kemudian, dua orang itu bertatapan sengit. Wendy pun mulai ketar-ketir karena keramaian mahasiswa mulai tertarik pada mereka. Oh, ayolah. Mereka adalah tontonan seru musim panas yang sesungguhnya.

“Ada apa, Irene?”

Mahasiswa berponi yang sepertinya bernama Lee Yo-han tadi menginterupsi dengan polos. “Oh? Hai?” Ia menyapa Januar ramah. Ia tersenyum lebar seraya mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Lee Yo-han, dari Busan, Korea Selatan. Nama kamu siapa? Mari berteman.”

Januar mengerutkan dahinya heran, tapi ia masih sopan untuk menjabat tangan pria bernama Lee Yo-han itu. “Raka Januar. Kita tidak perlu berteman. Terima kasih.”

“Ah …tidak perlu, ya? Baik.” Yo-han kikuk, merasa ditolak.

Irene yang melihat interaksi canggung itu semakin muak. “Kamu masih saja arogan, Januar. Saya nggak bisa membayangkan bagaimana kalau kita sekelas nantinya.”

Januar menghela, mencoba tenang sekali lagi. Ia tidak boleh meladeni Irene sama buruknya. “Kamu pikir saya tertarik untuk membayangkan?”

“Kelas ini akan berlangsung selama dua bulan, dan ada kemungkinan kita akan satu kelompok tugas. Saya memberi tawaran buat kamu untuk pindah kelas kalau tidak mau ribut.”

“Kenapa saya harus pindah? Saya biasa aja, tuh. Jangan berlebihan, jalani saja perkuliahan seperti biasa, dan berhenti bersikap kekanak-kanakan.”

“Oh, jadi sekarang sudah dewasa?” tantang Irene. “Mari kita lihat, apakah sifat asli kamu itu akan terus tertutupi ketika kamu ada di dekat saya atau tidak.”

“Ya, ya. Silakan saja, terserah kamu. Permisi.”

Januar akhirnya meninggalkan kerumunan usai Rayen menarik-nariknya paksa. Sementara itu, Irene di tempatnya menggertakan rahangnya, memperhatikan punggung Januar yang semakin menjauh. Sial, Januar selalu saja seperti ini setiap kali bertemu dengannya. Namun, di sisi lain Irene juga bingung. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Januar?

Irene tak butuh maaf, tidak juga sikap baik mahasiswa yang menjadi musuh lamanya itu. Satu hal yang Irene tahu adalah bahwa dirinya menikmati setiap pertengkarannya dengan Januar.

Kemenangan debat Irene atas Januar saat ospek empat tahun lalu begitu membakar ambisi dan adrenalin, hingga tanpa disadari hal itu mendorongnya untuk terus mencari kesempatan debat yang lebih panas dan menantang dengan Januar sampai sekarang.

“Kenapa masih diungkit sih, Rene? Memangnya sefatal apa—”

“Sefatal apa? Sangat fatal. Kamu nggak akan ngerti, Wen. Jangan ikut campur.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status