Share

Utang Budi

Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.

“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.

“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.

Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pelipis lebih jelas. “Makanya, jangan ngeyel. Disuruh kuliah malah demo,” gumamnya mengomel. Januar tidak sepenuhnya bermaksud demikian, ia hanya butuh emosi pengalih agar tidak terlalu grogi.

Januar tidak pernah menyangka bahwa ia akan sedekat ini dengan Irene, orang yang sangat membencinya empat tahun terakhir. Ia tidak berniat berlama-lama berdekatan dengan Irene, tapi sesuatu di dada gadis itu tak sengaja menarik perhatiannya.

Bekas luka, cukup panjang melintang di sana.

Bekas luka apa itu? Januar mencoba menerka-nerka. Namun, sebelum sempat pertanyaannya terjawab, kesadaran Irene sudah kembali. Reaksinya sudah ditebak ketika mendapati Januar di posisi nyaris tanpa jarak seperti itu.

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di wajah Januar hingga ia tersungkur ke dashboard mobil. “Ngapain kamu?!” amuk Irene, ia menarik kerah kemeja Januar sampai pria itu tercekik. “Selain pengecut ternyata kamu juga melakukan pelecehan? Saya benar-benar nggak habis pikir sama kamu, Raka Januar!”

Januar mencoba tenang, menunjukkan kepasrahan dengan mengangkat kedua tangan. “Saya yakin kamu lihat saya tadi, ‘kan? Saya menolong kamu keluar dari kerumunan dan gas air mata, dan lihat ini …” Januar menunjukkan kapas dengan betadin, serta kotak P3K di dashboard. “Saya cuma ngobatin kamu. Lihat, tuh, pelipis kamu, bocor. Apa tega saya biarkan?”

Irene menyentuh pelipisnya segera. “Aw!” rintihnya, miris melihat darahnya sendiri di sana.

See? Saya nggak macam-macam. Gas air mata itu bikin kamu pingsan, dan saya harus menghilangkannya.” Januar turut menunjukkan sapu tangan marun yang dibasahinya tadi sebagai bukti tambahan. “Bisa dimengerti? Saya nggak segitunya tertarik sama kamu sampai harus melakukan pelecehan,” sindirnya halus.

Irene akhirnya melepaskan cengkraman tangannya di kerah Januar, menghempas pria itu lebih kasar. “Di mana ini? Kenapa kamu bisa di sana tadi?”

“Ya karena saya datang.”

“Kenapa kamu datang?”

“Karena saya bisa, dan kebetulan mau.”

Irene memutar matanya malas, menyebalkan sekali Januar. Irene sudah tak mau berlama-lama di dekat pria itu. Energi Januar yang aneh, suasana mereka yang canggung, dan tubuhnya yang sakit-sakit. Irene lantas membuka kunci pintu mobil hendak keluar, tapi sayangnya tak bisa, Januar menguncinya. “Buka!”

“Mau ke mana?”

“Bukan urusan kamu. Buka!”

“Buka aja,” ujar Januar, padahal jelas-jelas ia yang menguncinya tadi.

“Ck! Apaan, sih!”

Irene maju, hendak membuka kunci dari pintu mobil pengemudi di sisi Januar, tapi pria itu cepat menahan tangannya. “Saya tanya, kamu mau ke mana? Ini udah malam, hampir jam sepuluh. Aksi sudah dibubarkan polisi, teman-teman kamu udah pulang, dan kamu luka. Bilang sama saya ke mana tujuan kamu, biar saya antar,” titah Januar memaksa.

Demi Tuhan, Irene tak mengerti dengan apa yang baru saja ia saksikan. Raka Januar, apakah itu sungguh dirinya? Sejak kapan ia menjadi orang yang sangat peduli? Rasanya tidak mungkin kepribadian seseorang berubah sedrastis dan secepat itu.

Mengabaikan Irene yang bingung, Januar lantas menyalakan mesin mobil, mengambil haluan parkir. Terlalu lama menunggu Irene menjawab. “Saya antar kamu pulang.”

“Jangan.”

“Kenapa? Takut dimarahi ayah kamu?”

Irene tak menjawab, dan Januar sudah paham apa maksudnya.

“Kalau gitu ke rumah sakit.”

“Jangan juga.”

Januar memejamkan matanya, mencoba bersabar sekali lagi. Gadis di sebelahnya memang tidak tahu malu. Sudah ditolong bukannya berterima kasih malah membuat jengkel dan banyak mau. “Terus kamu mau ke mana, Irene Yocelyn? Jangan buat saya kesal dan bingung karena bawa anak perempuan semalam ini.”

“Ya terus kenapa dibawa kalau nggak mau bingung?”

“Menurut kamu apa lagi alasannya selain saya peduli?” jawab Januar jujur, membuat Irene sempat tersentak beberapa detik. “I—ya, tapi kenapa harus peduli? Saya nggak meminta, butuh apalagi!”

“Karena memang saya aja yang butuh peduli sama kamu. Apa itu cukup menjawab?” Januar spontan, membuat Irene kini menaikkan sebelah bibirnya. “Dih?”

Januar hampir terkekeh geli. Ekspresi Irene yang satu itu adalah favoritnya. “Kita ke Landheyan kalau kamu nggak mau ke rumah atau ke rumah sakit.”

“Jangan dulu. Saya masih punya utang sama Prof. Christian.”

“Utang? Utang apa?”

Irene memalingkan pandangannya ke luar, menurunkan sedikit kaca jendela. Pikirannya kini tertuju pada Christian yang pagi tadi tiba-tiba mengizinkan, bahkan mendukungnya mengikuti aksi mahasiswa. Alih-alih ayahnya, justru profesor itulah yang membuatnya berdiri untuk Tian di podium hari ini.

“Utang …utang budi. Saya harus membayarnya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status