Share

Serangan Energi Landheyan

Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.

“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.

“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.

“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.

“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”

Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggota kelompok itu tertarik untuk menyusuri gua dan bunker seperti dirinya.

“Prinsip hidup Irene itu kalau ada yang susah, kenapa harus pilih yang mudah,” ledek Deri yang disepakati Wendy dan Yo-han. Tidak halnya dengan Januar, ia netral-netral saja meski beberapa kali memicingkan mata akibat silau dan terpaan pasir halus di wajahnya.

Oh, sebenarnya tidak hanya silau dan gerah yang Januar rasakan, tapi juga perasaannya yang menjadi tidak menentu. Perasaan tak bisa dijelaskan yang biasanya muncul ketika ia akan melihat sesuatu, entah itu adalah wujud sosok astral, atau penglihatan abstrak seperti dalam mimpi buruknya belakangan ini.

Tadi malam juga Januar mendapatkan penglihatan yang sama, yaitu kelebatan bayangan banyak orang disertai jeritan-jeritan manusia yang menyayat hati. Namun, kali ini Januar turut merasa tubuhnya terhempas berkali-kali ke dalam skenario mimpi buruknya sendiri. Dalam arti lain, mimpi itu terasa lebih hidup dari sebelumnya.

“Jan, kayaknya bakal rame,” bisik Rayen yang sudah muncul sejak kemarin. Ia dan Yoel tentu harus ada di sana untuk menjaga Januar sesuai perintah Eyang Kakung.

Januar paham, bahwa keramaian yang dimaksud bukanlah keramaian manusia, tapi sosok astral dengan berbagai rupa, mulai dari yang dapat dijelaskan, sampai yang sama sekali tidak berbentuk. Dari sana juga Januar mulai mengaitkan perubahan dari mimpinya semalam, apakah itu karena Landheyan?

Pria itu terus berpikir, beberapa kali memejamkan matanya, enggan melihat terlalu jauh ke sekitar area Landheyan. Ia hanya terus berjalan di belakang Irene dan Christian yang mengobrol sepanjang perjalanan layaknya turis dan tour guide.

Oh, tapi tunggu, sejak kapan mereka berdua akrab sampai tertawa-tawa seperti itu? Batin Januar sempat-sempatnya curiga.

“Sebagian besar nggak terkendali, dan hampir mati. Hanya sedikit yang masih berusaha mengendalikan diri.” Yoel datang menambahkan informasi.

“Siapa yang bakal lebih kerja banyak menurut lo? Gue, atau lo?” tanya Rayen. Dua makhluk astral itu tampaknya mulai mendiskusikan perihal pembagian tugas seperti biasa. “Mungkin lo. Terlalu panas di sini sampai gue rasanya mau meleleh. Ini tempat kerja lo, Yen,” jawab Yoel.

Yoel memang tidak kuat dengan energi panas dari sosok astral tak terkendali. Memusnahkan mereka juga bukan tugasnya, tapi tugas Rayen. Tugas Yoel adalah menenangkan mereka yang masih terkendali dengan energi dinginnya. Seperti itulah Yoel dan Rayen membagi tugas untuk menjaga Januar sesuai perintah sang leluhur, Eyang Kakung.

“Lebih baik menyebar sekarang. Periksa wilayah,” titah Rayen.

“Oke. Lo hati-hati, Jan.” Yoel menepuk bahu Januar sekilas.

Kedua sosok itu kemudian menghilang, meninggalkan Januar yang cukup mengetahui isi percakapan mereka dan menelannya penuh kewaspadaan. Jika dipikir-pikir, ia hebat juga, mampu membagi fokus dan mendengarkan penuh pembicaraan Rayen-Yoel dan Irene-Christian. Kedua percakapan itu sama-sama penting untuknya.

“Nah, di sini gerbang sebenarnya.” Christian akhirnya berhenti di depan dua tumpukan batu yang hampir membentuk sebuah gapura sederhana. Berbagai reaksi muncul dari kelima mahasiswanya, mulai dari yang terkagum, terkejut, sampai terlihat biasa saja.

“Wah, belum terbuka semua tapi sudah terbayang keren sekali di bawahnya,” ujar Yo-han. Bersama Wendy, selebriti internet Korea Selatan itu sudah mengabadikan visual Landheyan dengan ponselnya.

Deri, Januar, dan Irene juga tak tinggal diam, mereka sedikit mendekat ke depan, melihat lebih jelas penampakan Landheyan yang sudah digali di bagian dataran yang lebih rendah dari tempat berdiri mereka saat ini.

“Mirip kawah gunung. Iya nggak?” tanya Irene.

“Ya, mirip,” jawab Januar tanpa diminta, padahal tadi Irene hanya bertanya pada Deri. Gadis itu pun berdecih sebal begitu tahu bahwa Januar berdiri di belakangnya sejak tadi.

“Kenapa bisa ada gurun di desa kayak gini? Kontur sama jenis tanahnya aja kontras banget sama di desa?”

“Udah paham sampe situ aja, Rene,” puji Deri.

“Baca duluan.”

“Oh, kirain diajarin profesornya langsung.” Januar kembali menyambung, membuat Irene kali ini menoleh. “Nggak usah sok tau!”

“Emang nggak boleh kalau nebak?”

“Gak bo …aduh!”

Irene tiba-tiba sempoyongan, seolah terdorong oleh sesuatu sampai hampir terjatuh kalau tidak ada Januar yang menahan di depannya.

“Lo kenapa, Rene? Masih pusing gara-gara kemaren? Istirahat aja, deh,” tanya Deri khawatir.

“Ada apa?”

Christian, Wendy, dan Yo-han menghampiri, lalu mereka terkejut sekaligus heran begitu mendapati Irene yang memegangi kepalanya …di pelukan Januar.

Sadar sedang diperhatikan, Irene pun lekas menarik diri. Meski demikian, Januar masih tetap memegang tangan Irene agar ia tak kembali sempoyongan. Demi Tuhan, Irene benar-benar tak sengaja. Tubuhnya tiba-tiba terdorong oleh sesuatu.

“Irene diserang? Oleh energi mereka?” tebak Januar dalam hati seraya terus memperhatikan Irene yang kelimpungan di depannya. Ia pun segera mengambil inisiatif. “Profesor, saya izin bawa Irene ke tenda medis. Kami menyusul kalau memungkinkan.”

Christian mengangguk mengizinkan. “Ya sudah. Sisanya tetap di sini, ikuti saya.”

“Baik, Prof.”

“Ayo, ikut saya.” Januar lekas merangkul Irene menuju tenda medis, tapi gadis itu berusaha menepis tangan Januar di bahunya. “Nggak usah—”

“Nurut sama saya! Kamu nggak bisa lama-lama di sini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status