Share

Luka Istri TKW Yang Dikhianati
Luka Istri TKW Yang Dikhianati
Penulis: TrianaR

Bab 1. Kepulanganku

Part 1

"Akhirnya sampai juga. Welcome Indonesia."

Senyumanku mengembang seketika saat keluar dari Bandara. Kembali menghirup udara segar di negeri tercinta. Setelah 5 tahun bekerja di negeri orang menjadi pahlawan devisa.

Satu hal yang paling aku rindukan, bertemu dengan putriku yang kini usianya sudah 8 tahun. Kutinggalkan ia saat umurnya masih 3 tahun, semua kulakukan karena ekonomi keluarga morat-marit. Suami yang hanya buruh serabutan tak mampu mencukupi kehidupan kami termasuk orang tuanya. Kami memang masih menumpang di rumah mertua.

Terpaksa aku menerima ajakan teman yang sama-sama menjadi TKW di luar negeri. Mengadu nasib di negeri orang. Dengan harapan ekonomi kami bisa terangkat. Karena itu pula, sekarang kami punya rumah mungil di samping rumah mertua. Bukankah itu sudah cukup? Aku akan kembali bersama keluarga. Dan usaha kecil-kecilan di rumah sembari mengurus anak dan juga suami.

Aku pernah pulang ke kampung halaman, tapi itu 2 tahun yang lalu, saat aku mendapatkan cuti dari majikan. Setelah itu aku kembali terbang hingga akhir masa kontrakku.

Rasanya sudah cukup, menahan rindu dengan orang-orang terkasih dan tercinta. Rasa rindu yang begitu menyesakkan dada karena tak bisa melihatnya leluasa atau merengkuhnya dalam sepiku.

Kutarik koperku menuju ke pangkalan taksi. Hari ini aku pulang tanpa memberi tahu keluarga. Aku ingin membuat kejutan pada mereka, terutama Mas Herdy dan juga Adinda.

Senyumku mengembang lagi ketika membayangkan wajah mereka yang bahagia bertemu denganku.

Untuk menuju ke kampung halaman, memang butuh waktu yang lama. Aku harus menempuh perjalanan lima jam sampai di rumah, dengan tiga kali naik angkutan umum, yang pertama naik taksi menuju ke terminal lalu lanjut naik Bus sampai kota tujuan. Setelah itu bisa naik ojek maupun angkot hingga sampai di rumah.

Jam menunjukkan pukul 11.30 siang, aku memang memilih penerbangan pagi, agar sampai di rumah sore hari.

Saat ini, aku sudah menaiki taksi. Sepanjang jalan tak henti-hentinya menatap layar ponsel, melihat foto-foto Adinda yang dikirimi Mas Herdy. Tapi dua mingguan ini, suamiku susah sekali dihubungi. Nomornya tak pernah aktif, mungkin memang dia sibuk mengurus anak kami yang katanya begitu aktif.

"Sayang, bunda sudah gak sabar ketemu dengan kalian," lirihku seraya mengecup foto Adinda.

Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di terminal, lantas turun dan membayar tagihan taksi dan memilih menaiki Bus ke kota tujuan.

Mendengarkan musik lewat youtube hingga tanpa terasa tertidur di bus. Tak banyak yang kubawa, hanya satu koper serta tas ransel yang kugendong, berisi pakaian dan barang keperluanku saja. Aku bukan termasuk orang yang konsumtif membelanjakan barang yang tak terlalu penting. Atau hanya membeli yang kubutuhkan saja. Karena aku punya targetku sendiri. Menabung untuk biaya pendidikan Adinda. Setidaknya anakku harus sekolah sampai perguruan tinggi. Tak sepertiku yang hanya lulusan SMP, tapi aku sempat ikut kelas kejar paket C yang setara dengan SMA.

Selama ini uang gaji aku bagi dua, bila dirupiahkan, 7 juta kukirim untuk Mas Herdy, untuk kebututuhan hidup dan juga nabung bikin rumah. Sementara yang 3,5 juta untuk kebutuhanku sendiri. Tak jarang, uang itu utuh kutabung, karena kebutuhan makan dan lainnya, semua ditanggung oleh majikan.

Beberapa bulan terakhir ini Mas Herdy memang sering meminta uang lebih dari biasanya, banyak alasan yang ia bilang, buat bikin kanopi serta pagar rumah. Atau alasan lain lagi.

[Sayang, apa kamu gak punya uang simpanan? Mas lagi butuh nih buat bikin kanopi sama pagar rumah] tulisnya dalam pesan saat itu.

[Tidak ada, Mas, kan semua sudah kuserahkan padamu. Kalau memang uangnya belum cukup tak perlu dibuat dulu, sabar dulu saja sampai uangnya terkumpul]

Aku sengaja membohonginya, karena aku ingin saat pulang nanti punya bekal uang buat modal usaha. Agar nanti tak kerepotan meminjam uang ke orang lain.

[Tapi Mas sudah ngomong sama tukangnya]

[Batalin saja, Mas. Menurutku, rumah sudah berdiri kokoh itupun sudah alhamdulillah. Yang lain pikirkan nanti, Mas]

Tak hanya satu pesan itu saja tapi ada pesan-pesan lainnya juga yang mengisyaratkan dia butuh uang.

[Kirimi Mas uang lagi, Dek. Adinda sakit, kata dokter harus dirawat. Tapi Mas gak punya pegangan uang]

[Kalau kamu gak punya uang, pinjem ke majikan dulu. Dek. Ini penting, demi kesembuhan Adinda]

Tentu saja hati ibu mana yang tidak kalang kabut mendengar kabar buruk putri tercinta. Rasanya sakit dan pilu, susah diungkapkan lewat kata-kata.

[Berapa, Mas?]

[Sekirar 5-10 juta, Dek]

Aku menghela nafas panjang, lebih merasa khawatir pada kondisi Adinda. Saat dia sakit aku justru tak bisa menemaninya, aku tak bisa berada di sampingnya. Air mata menetes tanpa henti, aku bukan ibu yang baik. Demi ekonomi, aku harus rela menggadaikan kebersamaan keluarga, terutama anakku yang haus kasih sayang ibu.

Mengenai kabar itu, tentu saja aku sangat percaya pada suamiku. Tak butuh waktu lama, akupun mentransfer sebanyak 10 juta demi kesembuhan Adinda.

[Sudah kutransfer, Mas. Tolong rawat dan jaga Adinda dengan baik]

[Iya, Dek. Kamu gak usah khawatir]

Namun setelah aku mengirimkan uang itu, Mas Herdy tak bisa dihubungi selama beberapa hari. Lalu ia pun mengirim pesan balasan padaku meminta maaf bahwa kemarin di Rumah Sakit tak sempat pegang handphone, dan sekarang kondisi Adinda sudah baik-baik saja. Ia pun mengirimkan foto putri kami, membuat hatiku lega. Uang yang kukirim tak sia-sia.

Selama ini, suamiku memang tak pernah mengupdate status atau story WA-nya, dari dulu memang begitu, dia terlalu cuek dan tertutup.

"Mbak, Mbak, sudah sampai!" tukas seorang kernet membuyarkan lamunanku.

Setelah 5 jam lebih 10 menit, akhirnya sampai juga di kota tujuan. Turun dari bus, sang kernet membantuku menurunkan koper dari bagasi. Aku langsung menaiki ojek dan menuju ke rumah.

Tak sampai 15 menit, sampai di depan rumah minimalis bercat hijau pupus.

Aku turun dari motor dan segera membayar ongkos ojeknya. Kupandangi dua rumah yang berdiri berdekatan. Ada bendera kuning yang tertancap di depan pagar dari kayu itu. Tak hanya itu, banyak bangku plastik warna hijau yang berjejer di halaman juga banyak orang yang hadir.

Aku termangu sejenak. Siapa yang meninggal? Seketika jantungku berdegup dengan kencang.

Salah seorang warga keluar dari rumah itu. Aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Maaf Bu, siapa yang meninggal?" tanyaku.

Dia tertegun sejenak, menatapku dari atas ke bawah, tapi sepertinya tak mengenali kalau aku ini Mutiara Suci, istri Mas Herdy yang terpaksa jadi TKW. Mungkin karena penampilanku sedikit berbeda.

"Oh itu, anaknya Mas Herdy. Adinda yang meninggal, kasihan itu sejak ditinggal ibunya gak keurus udah gitu malah--. Ehem, Mbak ini kerabat Mas Herdy ya?"

Aku mengangguk dan langsung berlalu ke dalam. Jantung yang sedari berdebar tak menentu makin berdetak kencang. Tak percaya kabar yang kudengar.

Kenapa putriku bisa meninggal? Mas Herdy tak mengabari kalau Adinda sakit.

Masuk ke dalam rumah, membuatku makin shock melihat jenazah yang sudah terbungkus kain kaffan dan juga tertutup kain jarik bersiap akan dimakamkan.

"Mu-mutiara? Ka-kau pu-pulang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status