"Tika, Kartika kau harus cepat pulang," kata Ida. Dia datang dengan tergopoh-gopoh menjemput Kartika di kali.
Kartika yang sedang menanjak di jalan setapak tertegun sejenak. Memandang heran kepada Ida. Dia membetulkan ember cucian yang digendongnya.
"Ada apa?" tanya Kartika dengan napas memburu.
"Bapakmu ... bapakmu digebukin orang!"
"Apa!?"
Gadis itu berlari cepat meninggalkan Ida. Hatinya begitu tersentak mendengar bapaknya dipukulin orang. Bapaknya memang sering mabuk, tetapi tidak pernah berkelahi, apalagi sampai dihajar orang.
"Ada persoalan apakah gerangan? Sehingga Bapak seperti itu?" batinnya.
Berjuta tanya berkecamuk dalam hati Kartika. Gadis itu terus berlari, dia meninggalkan sandal jepitnya yang terputus di tengah jalan.
Namun, gadis itu mematung saat tiba di depan rumahnya. Tampak bapaknya babak belur dihajar seorang lelaki kekar. Ia berdiri di depan bapaknya dengan kesombongannya.
"Bayar hutangmu!" bentak lelaki itu.
Kartika melihat bapaknya hanya terdiam, sembari menyeka lelehan darah di sudut bibirnya. Mukanya biru lebam bekas tonjokan, tetapi bapaknya diam tidak melawan.
Gadis itu tidak tahan, dia tidak memedulikan bajunya yang basah. Dia juga tidak memedulikan badannya tercetak jelas pada pakaiannya tersebut, gadis itu ingin melawan.
Ingin sekali rasanya menendang mulut yang sudah meludahi muka bapaknya. Mempraktikkan ilmu silat yang diajarkan ustadz selepas ngaji. Walau tidak mungkin menang, tetapi setidaknya dia sudah membela bapaknya.
"Hentikan!" jerit Kartika.
Orang asing itu membalikkan badan, matanya membola melihat tubuh Kartika yang seolah-olah telanjang. Ia menelan ludahnya yang seketika memenuhi mulutnya. Jakunnya turun naik. Tiba-tiba ia merasa sesak di bagian bawah celananya.
"Harso!" teriak bapaknya.
Orang yang dipanggil Harso itu tetap memandang Kartika. Napasnya seketika terasa megap-megap melihat pemandangan di depan matanya.
Emaknya Kartika tergopoh-gopoh datang dengan menggendong adiknya. Secepatnya menyeret tangan Kartika dan membawanya masuk.
"Aku ingin melawan dia, Mak," sungut Kartika. Hatinya kesal karena niatnya tidak kesampaian.
"Sudahlah, gak usah ikut campur, ganti bajumu!" suruh ibunya.
Kartika masih sempat mengintip keluar, dia melihat Harso dan bapaknya tidak lagi berkelahi. Bapaknya sudah berdiri dan terlibat pembicaraan serius. Beberapa kali bapaknya menggelengkan kepalanya.
******
Kartika berganti pakaian dengan hati penuh tanda tanya. Mengapa secepat itu bapaknya dengan Harso berbaikan. Sungguh tidak masuk di akal. Mereka kini berbicara di ruang tamu rumahnya. Obrolan tentang juta-juta terdengar samar sampai ke telinganya. Kartika menduga, mungkin mereka sedang menghitung utang bapaknya.
Kartika masih ingat pandangan Harso padanya tadi. Bagaikan seorang musafir yang kehausan di tengah padang pasir, kemudian melihat sumur dengan airnya yang jernih. Dia seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat. Bulu kuduknya meremang seketika.
Kartika memandang ke luar lewat jendela. Kemarau sedang memperlihatkan keperkasaannya. Daun-daun merangkul dahannya dengan erat. Mereka tidak mau terpisah karena kekeringan, layu dan lepas tertiup angin.
Ibunya masuk dengan wajah masygul. Raut wajahnya kusut seperti cucian yang belum disetrika. Dia duduk di pinggir tempat tidur milik Kartika. Wajahnya pucat, membisu tak mampu bicara.
"Mak." Kartika menegur. Ibunya bergeming, seperti tidak mendengar suara Kartika.
Kartika turut diam, menunggu perkataan keluar dari mulut ibunya. Gadis lugu itu memperhatikan kucing yang bergelung di kakinya. Menguap dan menggesek-gesekkan bulunya yang lembut.
"Tika ... kau harus berbenah!" suruh ibunya lirih.
"Apakah laki-laki itu mengusir kita, Mak?" tanya Kartika.
Ibunya menggeleng lemah, bulir air mata yang sejak tadi ditahannya meluncur juga di pipinya. Kantung matanya seperti tak kering-kering sebab air itu tidak berhenti menetes.
"Lalu?"
"Dia menginginkanmu sebagai pelunasan utang Bapakmu," jawab ibunya.
"Maksudnya?" Kartika masih tidak mengerti.
"Kau harus bekerja padanya."
"Aku bersedia, Mak," jawab Kartika.
Meledak tangis ibunya di pundak Kartika. Menangisi kepolosan anaknya yang belum genap berusia dua puluh tahun. Dia tidak tahu pekerjaan macam apa yang akan dijalaninya nanti. Sebagai seorang ibu, perasaannya begitu hancur.
Kartika berpikir, dia hanya akan menjadi pembantu rumah tangga. Tidak apa-apa, dia rela. Asalkan ibu dan bapaknya serta adiknya hidup tentram tanpa ada yang mengganggu.
Kartika berkemas, memasukkan sebagian baju lusuhnya ke tas besar. Ibunya memandang dengan hati yang terluka.
"Emak tidak usah menangis, aku memang harus bekerja kan, Mak? Sekolahku sudah selesai," hibur Kartika.
****
"Besok aku datang lagi, menyerahkan sisa uangmu!" teriak Harso kepada bapak Kartika.
Lelaki itu tertawa penuh kepuasan melihat Kartika ikut dirinya. Tadi dia sudah menyelesaikan pembicaraan dengan temannya dari kota. Ada sebuah harga yang disebutkan yang membuat dirinya begitu bersemangat. Lima puluh juta, dia bisa ambil empat puluh juta, sisanya buat bapak Kartika. Meski utang bapak Kartika itu hanya beberapa juta saja.
Kartika pergi diiringi tangisan ibu dan adiknya. Bapaknya hanya duduk mematung di kursi reyot ruang tamunya. Mukanya merah, menahan perasaan haru serta bekas pukulan Harso tadi. Biarpun bapaknya seorang laki-laki brengsek, tetap saja hati kecilnya tidak rela Kartika pergi. Namun, lelaki miskin seperti dia, tidak mempunyai banyak pilihan.
"Nanti pulang lagi ke desa, bajumu akan bagus-bagus seperti artis," kata Harso di bis.
Kartika diam saja, mencoba menikmati perjalanannya dengan melihat ke luar. Pikirannya melanglang, teringat ibunya, adiknya, bapaknya juga ... Saiful. Lelaki itu selalu mampu membuat Kartika menyembunyikan senyum saat sedang mengaji. Tatapannya teduh membuat murid-muridnya selalu betah belajar dengannya.
"Sudah sampai," kata Harso. "Ayo!"
Lelaki itu menuntun Kartika menuju suatu tempat. Di sana sudah menunggu seorang lelaki berkacamata hitam. Dari penampilan serta mobilnya yang mengkilap, sudah bisa ditebak kalau ia orang kaya.
Harso bersama orang kaya itu berjalan menjauhi Kartika. Sebuah amplop coklat cukup tebal berpindah tangan. Kartika berdiri sambil menjinjing tasnya, tidak berani mendekat hanya memperhatikan dari kejauhan.
Harso mendekati Kartika, menyelipkan sesuatu di tangan gadis itu. Entah senyum atau seringai yang lelaki itu pamerkan. Dia berkata,"Ikutlah dengan Tuan Heru."
Kartika tidak menjawab, dia sudah pasrah dengan takdirnya. Dia sudah mengikhlaskan dirinya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Nilai-nilai bagus di ijazahnya tidak berguna kini.
Tuan Heru membawa Kartika ke sebuah rumah kecil yang asri. Kartika suka melihatnya, dia akan betah tinggal di sini. Tuan Heru tidak banyak berbicara, lelaki ganteng itu hanya diam ketika menyetir mobilnya tadi.
"Siapa namamu?" tanya Tuan Heru.
"Kartika, Tuan," jawab Kartika.
Sejenak Tuan Heru seperti berpikir, entahlah, Kartika tidak tahu isi pikirannya. Lelaki itu melihatnya tanpa kedip, seperti hendak menelanjangi gadis cantik itu.
"Sekarang namamu, Kamilia," ujar Tuan Heru.
"Ka ... Ka ... Kamilia, Tuan?" tanya Kartika terbata-bata.
"Ya, persiapkan dirimu, nanti malam aku ke sini," jawabnya tanpa ekspresi. "Kamu boleh memakan apa pun yang ada di sini."
Setelah Tuan Heru pergi, tinggal Kartika yang tetap berdiri. Hatinya bertanya-tanya, "Pekerjaan apa sebenarnya yang harus aku lakukan?"
"Namaku Kamilia ... Kamilia." Berulang kali Kartika mengeja nama tersebut.
Gadis itu memandang kepalan tangannya. Ada dua lembaran merah yang tadi Harso selipkan ke tangannya.Kamilia melangkah masuk kamar. Memeriksa isi lemari yang berisi baju-baju bagus. Entah milik siapa.Kamilia heran, mengapa pembantu seperti dirinya diperlakukan seperti ini.Kamilia melangkah ke luar kamar, perutnya lapar sejak pagi belum diisi. Banyak makanan yang bisa dia makan. Diambilnya sepotong roti serta segelas air. Kamilia duduk di meja makan. Pikirannya menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.Kenyang sudah perutnya kini. Kamilia membuka tas bajunya, ada kain sembahyang di sana. Kamilia membersihkan diri kemudian berserah kepada sang pemilik untuk nasibnya kali ini. Dia cemas kalau pekerjaan yang akan dijalaninya ternyata bukan sebagai pembantu.Malam hari, Tuan Heru datang. Minyak wangi seperti tumpah di badannya, harum sekali. Kamilia menyambutnya dengan diam."Mengapa kau tidak memakai baju yang kusediak
Sumpah terlanjur terpatri, mengakar ke dalam dadanya. Semakin kuat saat Kamilia setiap hari menerima pelecehan-pelecehan terhadap raganya.Rupanya Tuan Heru mempunyai istri dan anak. Itu diketahui Kamilia saat tidak sengaja menguping pembicaraan mereka di telpon. Istrinya tahu keberadaannya."Pelacur mana lagi yang kau simpan di rumah itu, hah?" tanya istri Tuan Heru di telpon."Aku tidak menyembunyikan siapa pun," jawab Tuan Heru mencoba berkilah."Aku pastikan ia akan babak belur di tanganku!" ancam istri Tuan Heru.Kamilia yang mendengar suara sayup-sayup itu meremang bulu kuduknya. Terus terang dirinya takut mati, apalagi keadaannya kini tengah berlumur dosa. Sekuat apa pun dirinya menekan kecemasannya, tak urung mukanya pucat pasi membayangkan hal yang mungkin terjadi kepadanya. Dikepalkan tangannya, memastikan ilmu bela diri yang tidak sepenuhnya dia kuasai, masih ada kekuatannya.Saat ini Kamilia menemani makan tuannya di rumah. Tentu
Kamilia memalingkan muka. Rasanya ingin sekali melebur bersama malam. Dirinya saat ini, tidak ingin bertemu dengan si pemilik suara. Seandainya bisa, dia ingin berubah menjadi angin, menyelinap pergi tanpa diketahui. "Kartika?" Ia masih mengulangi pertanyaannya. Kamilia menghapus kesedihan dari matanya, seulas senyum dia paksa untuk tampil sempurna di bibirnya. Pemilik suara itu adalah pengisi mimpinya selama ini. Sebelum petaka ini mampir memporak-porandakan hidupnya. "Kang Saiful." Kamilia tersenyum. Nasib baik, malam begitu kelam sehingga sang pemilik mimpi tidak melihat bilur-bilur merah di tubuh Kamilia. Kenistaan yang harus Kamilia sembunyikan dari siapa pun. Jawaban apa yang harus Kamilia berikan, seandainya Saiful bertanya dari mana tanda penganiayaan itu berasal. "Aku mencarimu saat kau tidak datang mengaji. Ibumu bilang kau pergi ke kota untuk bekerja. Benarkah?" tanya Saiful. "Benar." Kamilia menjawab pendek. Dirinya berdiri
Kamilia tersenyum getir, kenangan demi kenangan menyelinap satu persatu ke dalam benaknya. Memasung rindu yang enggan beranjak.Setelah cukup beristirahat, Kamilia keluar kamar menjelang sore. Ternyata penghuni rumah ini bukan cuma Tante Melly beserta dirinya. Ada banyak wanita muda di sini. Kamilia hanya memandang tanpa berani bertanya."Eh, sini!" Seorang wanita muda melambaikan tangannya ke arah dirinya."Aku?" tanya Kamilia sambil menunjuk dirinya sendiri."Ya."Kamilia berjalan pelan menuju ke arah wanita itu. Beberapa kali melewati wanita-wanita lain yang sedang berdandan. Mereka bersiap-siap berangkat bekerja. Pandangan mereka seolah-olah berkata,"Berlarilah secepat kau bisa!""Kamu gak dandan, Mila? Kenalin aku Calista." Wanita cantik itu memperkenalkan diri. Entah dari mana pula dia tahu nama Kamilia."Aku dandan untuk apa?" tanya Kamilia heran."Loh?" Calista menautkan kedua alisnya tanda heran."Ayo cepa
Dari malam ke malam Kamilia semakin pintar bersolek. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keberaniannya melepas pakaian kepada pelanggannya.Tante Melly semakin terkenal di kalangan para penikmat cinta sesaat setelah kedatangan Kamilia. Tentu saja dari bulan ke bulan pundi-pundi Kamilia pun semakin menggembung. Kamilia bukan lagi gadis kampung yang kusam, uang telah mengubahnya menjadi secantik model."Mila, jangan lupa kirim adikmu uang!" perintah Tante Melly. Di suatu malam saat ada seorang cukong berduit tebal membooking Kamilia. Pria itu royal dan sepertinya suka dengan suguhan yang Kamilia persembahkan."Tentu, Tante ... tentu," jawab Kamilia.Kamilia tidak pernah lupa mengirim uang buat ibunya di kampung, melalui rekening tetangganya dia sukses membuat ibunya kini dihargai orang. Sejak Kamilia bekerja, ibunya tidak payah lagi kalau buat sekadar belanja makan.Tante Melly memang begitu perhatian kepada anak buahnya. Mereka harus berdanda
Musim hujan semakin jemawa. Menyiksa semua mahkluk dengan dingin yang menusuk tulang. Tentu saja Tuan Hendra semakin rajin menyambangi Kamilia. Membawa uang penukaran raga. Senanglah hati Kamilia. Tuan Hendra berupaya agar Kamilia jatuh cinta padanya. Lelaki itu menutup semua akses Kamilia untuk dikenal lelaki lain. Tidak ada yang salah, karena perempuan itu suka hati. Mengabulkan semua permintaan Tuan Hendra.
Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga Kamilia mengikuti kehendak juru kamera itu. Dia akan keluar rumah diam-diam tanpa Hendra. Hal yang paling dibenci lelaki itu. Keraguan menyelimutinya saat mobil putih itu membawanya ke Kafe Senja. Tadi dia sudah mengirim pesan, agar fotografer itu datang tepat waktu. Kamilia takut, ketika Hendra pulang dirinya tidak ada di rumah. "Siapa dia?" Kamilia langsung saja menodong juru kamera itu dengan pertanyaan. "Sabar, Mila," jawabnya sambil mengerling nakal. "Maksudmu apa, Bagas?" tanya Kamilia. Ternyata namanya Bagas, sang juru kamera itu. "Ada harganya," jawab Bagas serius. "Berapa?" "Aku tidak meminta uang sebagai imbalan," jawab Bagas. Rupanya dia sudah mulai berani kurang ajar. Kamilia mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Bagas. Sesaat kemudian Bagas mengirim isyarat dengan mengelus tangan Kamilia. Tentu saja Kamilia menolak, perempuan itu menepiskan tangan Bagas.
Kamilia terkejut dengan pernyataan Tante Melly. Dia tak menyangka kalau Calista ternyata sudah melakukan operasi plastik. Itu berarti …."Apakah Tante tahu wajahnya dia yang sekarang?" tanya Kamilia penasaran."Tante pernah dikirim foto saat dia bersama pacarnya," ujar Tante Melly. Dengan cepat dia gulirkan HP-nya. Terlihat di layar seorang laki-laki bersama seorang wanita. Namun, rambut wanita tersebut menghalangi wajahnya.Kamilia melongoknya. Kembali didapatinya sebuah kejutan. Lelaki itu adalah Bagas. Ternyata benar, Calista itu adalah orang yang dia kenal. Ah … sempit sekali dunia ini."Mengapa tiba-tiba kamu kangen Calista, Mila? Bukankah kalian saling tidak menyukai?" goda Tante Melly."Gak ada apa-apa, Tante. Aku hanya heran dia tak ada di sini," jawab Kamilia."Kirain kangen, hihihi." Tante Melly terkikik geli."Ayo kita ke Mall, Tante. Hari ini aku ingin mengajak Tante makan suki," ajak Kamilia."M