Menjejakkan kaki dan terjebak di kawasan Hutan Terlarang, sungguh tidak pernah terbayangkan sedikit pun oleh mereka sebelumnya. Bahkan, Lima Serangkai yang dulunya selalu bersama di mana pun berada, sekarang bisa terpisah-pisah begitu saja.
Sementara empat sahabatnya juga terpencar, saling mencari dan saling ingin menyelamatkan. Jazlan yang cenderung penakut bahkan harus seorang diri berpetualang, masuk lebih dalam, jauh ke area terdalam Hutan Terlarang.
Siang itu, Jazlan tersesat hingga sampai di area Padang Rumput luas bersama dengan banyak pendaki lainnya. Walaupun masih terhitung terang, tapi suasananya saat itu lebih ke arah mencekam.
SREEK.. SREEK… SREEK!
Suara gesekan rumput terdengar, dari arah yang tidak terlihat ada pendaki sama sekali. Jazlan dan para pendaki lain pun terhentak, menghentikan langkah.
“HEI! SIAPA DI SANA? TOLONG JANGAN BERCANDA!” teriak Jazlan untuk memastikan sumber suara bukan dari pendaki lainnya.
Tidak ada yang menjawab. Para pendaki lain pun tidak ada yang berkata-kata, diam, tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
‘Benar juga, dalam suasana seperti ini, siapa juga yang masih sempat terpikir untuk bermain-main? Bahkan spesialis komedi sepertiku tidak berminat sama sekali,’ gumam Jazlan dalam hati.
Semakin lama waktu berlalu, suara gesekan menyibak rumput tidak lagi terdengar. Para pendaki pun mulai merangsek, melanjutkan berjalan, berharap segera bisa keluar dari area Padang Rumput itu. Sayangnya, baru beberapa langkah mereka lewati, suara teriakan pun terdengar.
“AAARGH……TO…LONG. LE..PAS…KAN… TO!”
Suara patah-patah itu sukses membuat setiap pendaki di Padang Rumput tercekat. Di tambah, sorot mata tajam tiba-tiba saja muncul di sekeliling, meneror, siap menerkam siapa saja yang ada di Padang Rumput itu.
‘Satu pasang, dua pasang, tiga, sembilan, tiga belas, du..a.. pu..luh…sial matilah aku!’ gumam Jazlan sambil mengarahkan pandangan matanya ke sekeliling, menghitung jumlah sorot mata yang terlihat.
Untuk sekejap kemudian, ia berteriak “LARI…….!”
****
Dua belas jam sebelumnya.
“Aargh… akhirnya sampai Pos Empat juga. Capek banget rasanya,” kata Rosie sambil merentangkan tangannya lebar-lebar, melakukan peregangan.
“Jelas saja capek, 6 jam summit ditambah 4 jam lagi untuk turunnya, pundak ketemu lutut juga, itu sih gila!” keluh Cantigi.
Mendengar keluhan Cantigi, Rosie dan Jhagad hanya tertawa. Mereka juga merasakan hal yang sama, lelah, tapi ada kelegaan dan kesenangan yang membuncah luar biasa. Akhirnya Lima Serangkai ARCJJ Awan, Rosie, Cantigi, Jhagad dan Jazlan berhasil menapakkan kakinya di Puncak Tertinggi Gunung Argon.
“Eh Wan, Wan geseran sedikit!” kata Jazlan kepada Awan yang sudah terlebih dahulu beristirahat di atas matras.
Awan yang cenderung sedikit bicara pun langsung bergerak. Tapi, bukannya bergeser, ia justru melemparkan satu matras ke arah Jazlan. Awan memang tidak terlalu suka dengan hal yang merepotkan.
“Aih.. Kau benar-benar ya!” kata Jazlan sedikit kesal.
BRUK
“Argh.. leganya!” Jazlan akhirnya bisa merebahkan diri di atas matras yang telah direntangkannya di samping Awan.
Sementara mereka beristirahat, para pendaki lain di Pos Empat ini sudah ada yang berkemas-kemas, bersiap untuk turun ke basecamp. Mengingat, perjalanan sampai ke basecamp juga masih cukup jauh.
“Eh, Gad! Kita juga turun sekarang?” tanya Rosie.
Mendengar pertanyaan Rosie, Jazlan langsung terjingkat, mengambil posisi duduk sambil berkata, “Time out! Time out! Kakiku bisa copot sungguhan kalau turun sekarang, besok pagi saja turunnya!”
“Iya, Gad! Besok saja ya?” Rosie menambahkan sambil memberikan ekspresi memohon.
“Gimana, Gi? Wan?” tanya Jhagad.
Jhagad memang sosok pemimpin, yang keputusannya akan selalu dituruti oleh ke empat sahabatnya. Namun, ia tidak pernah sekali pun lupa untuk menanyakan pendapat dari setiap sahabatnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
“Aku terserah, Gad. Menginap semalam lagi mungkin bukan ide yang buruk” kata Cantigi mendukung.
Sementara Awan, yang biasanya selalu ikut saja, entah kenapa tampak ragu-ragu. Walaupun akhirnya tetap mengangguk setuju. Keputusan pun dibuat, mereka akan menginap satu malam lagi di Pos Empat.
“YES! YUHUUU!” Jazlan dan Rosie berteriak kegirangan, sampai membuat semua pendaki di area Pos Empat menatap tajam ke arah mereka.
Awan pun segera beranjak dari tempat duduknya, masuk ke dalam tenda. Cantigi memalingkan wajah, pura-pura tidak kenal dengan mereka berdua. Sedang Jhagad, hanya bisa berbalik arah, sambil memberikan ekspresi permohonan maaf kepada para pendaki atas kebisingan yang tercipta.
Sore pun menjelang. Sementara Rosie dan Jazlan memasak, Jhagad membantu pendaki yang baru datang mendirikan tenda di dekat tenda mereka.
“Eh, Gi! Mau kemana?” tanya Jhagad yang melihat Cantigi yang melewatinya.
“Ambil air!” jawab Cantigi sambil menunjukkan botol-botol kosong yang dibawanya.
“Tunggu sebentar. Kutemani!”
“Tidak perlu, ada Awan, itu!”
Awan pun terlihat sudah menunggu Cantigi di jalanan yang mengarah menuju sumber air. Mengambil air di sumber air Pos Empat memang sedikit membutuhkan perjuangan. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena jalanannya licin penuh dengan lumut, Cantigi dan Awan harus melewatinya pelan-pelan agar tidak terpeleset.
Butuh sekitar sepuluh menit hingga mereka sampai di sumber mata airnya. Cantigi pun menyempatkan menenggak sedikit air sebelum mengisi botol kosong yang dibawanya.
“Luar biasa segar.”
Awan pun ikutan mengambil sedikit air dan meninumnya. Kemudian, mengangguk, tanda setuju dengan perkataan Cantigi sebelumnya.
Setelah semua botol mereka terisi penuh, mereka berdua pun berjalan meninggalkan sumber mata air, menuju kembali ke tenda. Dalam perjalanan kembali, entah kenapa terasa seperti ada yang mengawasi mereka. Padahal jelas-jelas mereka hanya berdua saja.
“Wan!” panggil Cantigi, sambil tetap berjalan pelan.
Awan yang sejak pertama kali memasuki kawasan sumber air sudah merasakan hal aneh pun tidak kaget sama sekali. Pandangannya sejak awal sudah sibuk mengawasi semua semak-semak di sekeliling mereka. Selama ini ia diam saja karena memang tidak ingin membuat Cantigi panik saja.
SREK..!
Terdengar suara sekelebat dari arah semak-semak. Mereka berdua pun menghentikan langkah. Menatap nanar sekitar.
“Wan!” pangil Cantigi sekali lagi.
Awan hanya menoleh ke arah Cantigi sambil meletakkan jari telunjuk ke depan mulutnya sendiri, meminta Cantigi untuk tidak bersuara.
SREK.. SREK..!
Suara gesekan terdengar lagi. Kali ini sepertinya berasal dari arah semak-semak di sebelah kanan, dekat dengan tempat mereka berdua berdiri. Semak-semak itu pelan mulai bergerak-gerak, sedikit demi sedikit tersibak, seperti ada yang tengah melewatinya. Awan dan Cantigi secara otomatis menghadapkan diri ke arah semak-semak itu.
“Gi!” panggil Awan pelan.
Cantigi pun reflek melihat ke arah Awan. Melihatnya lamat-lamat. Cantigi sadar dengan bahasa tubuh Awan yang menginginkannya agar tetap di tempat, selagi ia pergi memeriksa semak-semak itu. Namun, jelas, Cantigi menolaknya.
“Tidak! Aku ikut denganmu!”
Awan yang juga sudah hafal benar dengan perangai Cantigi pun membiarkannya saja, sesukanya. Karena jelas, di suasana seperti ini, berdebat tidak akan membantu sama sekali. Justru menambah pelik, sedang Awan bukan orang yang suka dengan hal rumit apalagi pelik. Sementara itu, suara gesekan semakin keras, tanda sumbernya sudah semakin dekat.
SREEK.. SREEK.. SREK…!
Bukannya menjauh, Cantigi dan Awan justru melangkahkan kakinya mendekati semak-semak itu. Awan mengambil langkah tepat di depan Cantigi untuk berjaga-jaga. Pelan tapi pasti, tangan Awan mulai menjangkau sisi terluar semak belukar.
GLUP..
Cantigi menelan ludah, mempersiapkan diri dengan apa saja yang mungkin akan dilihatnya setelah ini. Belum sampai tangan Awan menyibak semak belukar, tanpa diduga, seekor mahluk berbulu belang terlihat sudah melompat, menerjang ke arah Awan. Dengan ukuran yang cukup besar, mau tidak mau Awan pun reflek menghindar, hingga tubuhnya terjatuh ke belakang.
“AWAS WAN….!!!,” teriak Cantigi parau
Dalam hitungan detik, Awan sudah tergeletak di tanah dengan posisi kedua tangan menutupi bagian wajah. Berusaha melindungi bagian-bagian sensitif seperti mata dan kepalanya agar tidak mengalami cedera.Cantigi yang juga terperanjat melihat mahluk itu melompat, menyambar ke arah Awan pun tidak berpikir panjang segera melangkah dengan tergesa-gesa, berniat menolong Awan. Sialnya, lumut-lumut membuat pijakannya begitu licin, ia pun gagal mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ketika tubuh Cantigi siap terjatuh ke belakang, tiba-tiba saja muncul seseorang dari belakang.“Kau tidak apa-apa?” tanya seorang laki-laki sambil menarik tangan Cantigi tepat waktu sebelum benar-benar terjatuh.“Eh, tidak apa-apa, terima kasih!” jawab Cantigi singkat, lantas melihat ke arah Awan.Awan ternyata sudah berdiri sambil menggendong mahluk berbulu belang itu. Ternyata, mahluk itu hanyalah seekor ke
Di bawah pohon dengan daun yang cukup lebat, sesosok wanita yang sepertinya tidak asing terlihat duduk sambil manikmati indahnya danau dengan air terjun kecil tepat di sebelahnya. Di antara rinai pepohonan dalam hutan, sangat tentram dengan hanya gemarcik air yang mengisi heningnya suasana.Cantigi pelan tetapi pasti melangkah mendekati sosok wanita itu. Hawa dingin khas dataran tinggi mulai memeluk erat tubuhnya. Semakin dekat jarak dengan sosok wanita itu, tubuh Cantigi semakin bergetar karena dinginnya. Keraguan mulai muncul ketika Cantigi dan sosok wanita itu hanya berjarak tujuh langkah saja. Cantigi baru sadar ada serigala yang mencoba mendekati sosok wanita itu juga.“HEI! AWAS!!!”Cantigi berusaha memperingatkan sosok wanita itu. Namun, Cantigi tidak dapat bersuara. Sekeras apapun Cantigi berteriak, tetap
Pagi menjelang, pukul delapan rombongan Jhagad sudah bersiap untuk turun. Tegar terlihat juga telah siap untuk turun. Entah disengaja atau tidak mereka pun turun bersama-sama menuju Pos Tiga. Selama perjalanan turun, tidak ada halangan yang berarti kali ini.Sampai di dekat persimpangan Hutan Terlarang, tiba-tiba saja suasana menjadi sangat ramai. Banyak pendaki berhamburan dari arah Pos Tiga menuju ke Pos Empat.“LARI… KEBAKARAN!!!,” teriak para pendaki sambil berlarian.“Bang, ada apa?” tanya Jhagad pada salah satu pendaki yang berhasil dicegatnya.“Kebakaran Bang, Pos Tiga sudah mulai terbakar,” jawab pendaki itu singkat lalu melanjutkan langkahnya berlari.Api yang melahap pohon-pohon di arah Pos Tiga pun mulai terlihat dari perbatasan Hutan Terlarang. Para pendaki banyak yang berlari menuju ke arah satu-satunya jembatan gantun
Setelah mendapat kabar dari orang rumah, Kakak Rosie langsung menuju ke basecamp Gunung Argon saat itu juga. Hal serupa juga dilakukan oleh para keluarga pendaki yang masih terjebak di Gunung Argon saat itu.Akibatnya, basecamp Gunung Argon pun dipenuhi oleh keluarga para pendaki yang masih terjebak kebakaran. Tidak sedikit ibu yang menangis histeris mengkhawatirkan keadaan putra putrinya. Pihak basecamp pun masih berusaha menenangkan keluarga para pendaki. Mereka pun menyiapkan tempat yang layak untuk menjadi tempat istirahat sementara keluarga pendaki.Seorang laki-laki muda dengan perawakan tinggi tegap turun dari mobil dan langsung mendekati petugas informasi basecamp.“Pak, saya kakak dari Rosie Hanan. Boleh saya tahu informasi terakhir terkait kondisi adik saya?” tanya laki-laki itu.“Rosie Hanan ya, sebentar. Iya benar, Rosie Hanan naik ber
Awan yang tadinya lebih fokus ke arah semak-semak pun menoleh.Tidak disangka, di balik batuan besar itu ada danau yang terhampar luas. Uniknya, mereka tidak merasa jalanan yang menurun sebelumnya, namun tanpa sadar, jika sebelumnya sebelah kiri ada tebing cukup tinggi yang membatasi sungai, sekarang berubah menjadi danau luas.‘Sungguh topografi yang unik’ gumam Awan dalam hati.Awan dan Rosie pun berjalan sedikit menurun, mendekati pinggiran danau. Hal pertama yang mereka lakukan setelah sampai di pinggiran danau adalah, mulai menyapukan mata ke seluruh sisi danau. Mencari keberadaan Cantigi, Jhagad dan Tegar.PLUK..Sesekali, riak kecil air danau pun membuat fokus mereka berdua teralihkan. Berharap itulah pertanda kehidupan dari yang mereka cari. Namun sayang, riak-riak air itu hanyalah percikan ikan yang melompat bermain-main kegirangan.
Awan pun terdiam, tidak jadi atau tidak bisa berkata apa-apa. Jari telunjuknya diletakkan di depan mulutnya, menyuruh Rosie agar tidak bersuara.SSST…Rosie mengangguk pelan, paham dengan bahasa tubuh Awan.Mata Awan masih sibuk melihat ke arah sumber suara. Awan tahu benar, ada jarak aman ketika sedang berhadapan dengan binatang liar. Selagi jarak itu terjaga, kemungkinan aman dari terkaman masih besar.Namun, tentu hal ini bukan jaminan, karena alam liar selalu banyak memberikan kejutan. Kewaspadaan adalah satu-satunya kunci, agar bisa menyelamatkan diri.“Ros!” ucap Awan sedikit berbisik.“Apa?” tanya Rosie sangat pelan.“Kalau kubilang lari, kau harus cepat lari!”“Lalu, kau sendiri?Awan tidak menjawab apa-apa.“Wan?&
Di sisi lain Hutan Terlarang, terlihat para pendaki juga mulai kelelahan. Di area yang cukup luas, mereka satu persatu terduduk di tanah, melemaskan kaki yang sedari tadi dipaksa berlari. Ada yang mengeluarkan air untuk sekadar melepas dahaganya. Ada juga yang memilih menggeletakkan tubuhnya, telentang melepas lelah.Beberapa pendaki lain masih terus berdatangan ke area tersebut. Seorang laki-laki tinggi tegap, yang tidak lain adalah Jazlan, terlihat berjalan sempoyongan, sambil menggandeng bahu seorang pendaki muda yang jalannya terseok-seok.<<Flashback>>Ketika hendak menuju jembatan gantung, kerumunan para pendaki yang berlarian kian tidak terbendung. Jazlan yang notabennya memiliki badan tinggi besar pun sampai terseret karena saking banyaknya pendaki yang menyerbu, berebut untuk menuju jembatan gantung itu. Apalagi R
“SSST…” Jazlan hanya mengkode agar Riki diam.Jazlan yang bisa dibilang cenderung penakut pun tiba-tiba merasa seluruh bulu kudunya berdiri. Pikirannya melayang, membayangkan apa saja yang bisa menjadi sumber suara.“Astaga! Kenapa juga aku teringat kejadian di Hutan Mati sekarang?” Jazlan keceplosan mengucapkan apa yang ada di pikirannya sendiri.“Hah, kau bicara apa?” Riki tidak mengerti.“Eh, lupakan, aku sedang bicara sendiri!” kata Jazlan sedikit berbisik.Walaupun masih terhitung terang, tapi suasanya kali ini lebih ke arah mencekam. Bahkan para pendaki yang ada di area itu pun hanya berdiri kaku, melihat ke arah sumber suara. Tidak ada satupun yang berani berinisitif memastikan apa yang menyibak rimbunnya rumput di sana.“HEI! SIAPA DI SANA? TOLONG JANGAN BERCANDA!” teriak Jazlan yang m