Di depan ruang rawat inap rumah sakit, tampak seorang gadis tengah terduduk dengan lemas. Pandangan matanya tampak kosong dengan wajah yang begitu pucat. Sepinya lorong rumah sakit seolah mendukung suasana hatinya yang kelam. Gadis itu mencoba menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Berusaha menenangkan dirinya dari rasa terkejut. Ingin rasanya dia menangis dan berteriak, tapi mulutnya seolah mendadak bisu. Lagi-lagi dia hanya bisa memendam perasaan sedihnya.
Fasya, gadis itu masih terduduk sambil memainkan tangannya gelisah. Dia ingin lari sejauh mungkin, tapi dia tidak bisa meninggalkan orang yang ia sayangi di dalam ruang rawat inap itu. "Kakek," gumam Fasya mengusap wajahnya kasar. Saat kembali membuka mata, Fasya terkejut dengan keberadaan seorang pria yang berdiri di depannya. Dia mengangkat wajahnya dan menelan ludahnya gugup. Mendadak tenggorokannya terasa kering. Pria di hadapan Fasya mengulurkan sebuah botol air mineral. Dia bisa melihat ada raut kebingungan dari wajah gadis itu. "Ambil," ucapnya singkat. Fasya dengan pelan menerimanya. Dia memilih untuk kembali menunduk, "Terima kasih." Pria itu diam dan memilih untuk duduk di samping Fasya. Tidak ada percakapan di antara mereka. Semua masih terasa asing. Fasya tidak mengenal pria itu dan begitu juga sebaliknya. "Siapa nama kamu?" "Fasya," jawabnya pelan. "Saya Adnan." Fasya hanya bisa mengangguk. Dia bingung harus menjawab apa. Dia bukan tipe orang yang mudah akrab dengan orang baru. Apalagi dengan pria di sampingnya. Saat pertama kali bertatap muka, Fasya langsung tahu jika dia harus segera menghindar. "Fasya..," panggil Adnan lagi. Kali ini ada nada putus asa dari ucapannya. Matanya terpejam erat tampak lelah dengan apa yang ia lalui akhir-akhir ini. "I—iya?" Entah kenapa perasaan Fasya menjadi tidak enak. "Ayo, kita menikah." Ucapan itu membuat Fasya terkejut. Dia menjatuhkan botol di tangannya dan menatap Adnan tidak percaya. Demi Tuhan, bukan ini yang Fasya inginkan. Mereka baru bertemu hari ini dan ia tidak menyangka jika Adnan akan benar-benar melakukan ini. "Mas Adnan gila?!" Adnan menatap Fasya datar. Dia tidak berniat membantah ucapan Fasya. Toh benar jika dia memang sudah gila. Siapa yang berani mengajak seorang gadis menikah di saat pertama kali bertemu? "Demi kakek saya." "Saya nggak bisa." Fasya menggeleng tegas. "Demi kakek kamu juga." Kali ini Adnan memberikan ultimatum yang membuat Fasya terdiam. Fasya kembali menunduk hingga rambut panjang mulai menutupi wajahnya. Perlahan matanya memanas dengan tangan yang terkepal. Dia sangat ingin berteriak untuk mengungkapkan perasaannya, tapi ia tidak bisa. Fasya memilih untuk menggigit bibirnya hingga berdarah. Rasa sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan sakit hatinya. "Saya—" "Saya mohon." Fasya menatap Adnan terkejut. Apa dia baru saja mendengar pria itu memohon? Dia masih ingat bagaimana pria itu berteriak di dalam ruangan karena menolak perjodohan yang dibuat kakek mereka dan menatap rendah dirinya dengan penuh kebencian. "Kesehatan Kakek Faris bukan urusan saya." Fasya mengutuk dirinya sendiri setelah mengatakan itu. Dia merasa menjadi orang yang jahat. "Bagaimana dengan kesehatan Kakek Farhat, kakek kamu?" Fasya terdiam mendengar itu. Benar, bagaimana jika kesehatan kakeknya juga menurun? "Kakek saya sehat." "Bagus kalau sehat. Semoga kesehatan Kakek Farhat nggak menurun seperti Kakek saya." Fasya menatap Adnan tajam. Matanya masih buram karena air mata. "Maksud Mas Adnan apa?!" "Kamu paham maksud saya. Apa kamu tega liat Kakek Farhat sedih?" Fasya berdiri dan mengusap air matanya kasar, "Jawaban saya masih sama. Saya nggak mau nikah sama Mas Adnan!" "Fasya..." Suara parau itu mengejutkan mereka berdua. Tepat di pintu ruangan, terlihat Kakek Farhat menatap cucunya sedih. Dia kecewa dengan jawaban yang ia dengar dari cucunya. "Kek, aku masih muda, Kek." Fasya kembali menangis dan menggenggam tangan kakeknya erat. Mencoba untuk mengubah pikiran kakeknya mengenai perjodohan mendadak ini. "Kamu liat Kakek, Sya. Kakek sudah tua, sudah nggak bisa jaga kamu lagi kayak dulu." Fasya menggeleng cepat, "Kakek jangan ngomong gitu." "Untuk kali ini aja, Sya. Kabulin permintaan Kakek." Kakek Farhat mulai menangis. Saat melihat keadaan sahabatnya yang merupakan kakek Adnan kritis, akhirnya perjanjian yang dulu pernah terlupakan kembali teringat. Ini saatnya mereka menyatukan dua keluarga. Dengan menjodohkan cucu mereka masing-masing, Efasya dan Adnan. "Kek, aku nggak mau!" "Fasya...," pria tua itu mulai menyentuh dadanya yang terasa sesak. "Kek, Kakek kenapa?" Fasya mulai panik. "Nek! Nenek! Dokter!" teriaknya saat kakeknya mulai terjatuh lemas. Tak lama dokter datang dan mulai membawa Kakek Fasya untuk diperiksa. Ini yang Fasya takutkan. Dia takut jika penyakit kakeknya akan kambuh saat mendengar penolakannya. Fasya selalu berusaha menjadi cucu yang baik selama ini demi menjaga kesehatan kakenya, tapi dengan perjodohan? Fasya masih belum bisa menerimanya. Di kursi tunggu, Adnan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dia bisa melihat betapa keras kepalanya Fasya. Apa yang mereka takutkan benar terjadi. Kesehatan kakek mereka sama-sama kembali menurun. "Bahkan mereka punya penyakit yang sama," gumam Adnan tidak percaya. Dia menatap Fasya lekat. Jujur saja, jauh di dalam hatinya Adnan juga memiliki jawaban yang sama dengan Fasya. Dia juga ingin menolak perjodohan ini. Namun demi kakeknya dia rela mengorbankan perasaannya. Lalu sekarang, apa yang ia rasakan saat melihat kakeknya terbaring sakit juga telah dirasakan Fasya. "Jadi?" tanya Adnan. Air mata Fasya kembali tumpah. Kali ini dia menangis dengan diam. Perlahan kepalanya mulai mengangguk. "Ayo, kita menikah." "Demi Kakek," ucap Adnan. Fasya mengangguk pasrah, "Demi Kakek." *** Semua orang yang berada di dalam ruangan serba putih itu tampak tegang saat mendengar Adnan mulai mengucapkan ijab qabul. Fasya yang duduk di sampingnya hanya bisa menunduk dengan pasrah. Lagi-lagi air mata mengalir dari matanya. Sebuah elusan lembut di punggungnga membuatnya sedikit kuat. Fasya melirik dan tersenyum tipis pada neneknya. Setelah itu dia melihat kakeknya yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya begitu pucat tapi senyum lega tak pernah hilang dari wajahnya. Suara saksi terdengar lantang sebagai pertanda jika mulai saat ini dan detik ini, semuanya tidak akan lagi sama. Adnan telah menjadi seorang suami dan Fasya telah menjadi seorang istri. Tidak ada yang menyangka jika mereka akan menikah di kali pertama bertemu. Jika saya kesehatan kakek mereka tidak memburuk, mereka masih memiliki waktu dan bisa memutar otak untuk keluar dari perjodohan ini. Namun rasa sayang mereka ke pada kakek yang tengah berjuang untuk hidup membuat mereka menyerah dan pasrah. Lupakan dengan kebahagaiaan diri sendiri. Baik Adnan dan Fasya hanya ingin melihat kakek mereka bisa hidup dengan sehat dan tenang. "Selamat, Nduk." Tangis Fasya kembali pecah. Dia memeluk neneknya dengan napas yang tersengal. Dia masih tidak menyangka jika akan menikah di usia yang cukup muda, 20 tahun. Meskipun Fasya bukan tipe gadis yang hobi bermain, akan tetapi dia juga ingin menikmati masa mudanya dengan caranya sendiri. "Maafin, Nenek." Fasya menggeleng saat mendengar suara bergetar neneknya. Dia sudah rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Oleh karena itu semua orang harus bahagia. Biarkan hanya dirinya yang menangis di sini, tidak dengan yang lain. "Cium tangan suamimu, Nduk." Perlahan Fasya melepaskan pelukannya dan mulai beralih pada Adnan. Pria itu juga enggan untuk melihatnya. Tentu saja, meskipun sudah setuju, dirinya dan Adnan sangat terpaksa melakukan pernikahan ini. Dengan ragu, Fasya meraih tangan Adnan dan menciumnya ragu. Hanya sebentar, karena setelah itu Adnan menarik tangannya cepat. Hal itu kembali mengusik Fasya. Saat ini dia sudah menjadi istri dari pria yang memandangnya sebelah mata saat pertama kali bertemu tadi pagi. "Ter—ima kasih, Cucuku." Tiba-tiba Kakek Faris berbicara dengan suara serak. Semua orang beralih pada pria tua itu. Wajah pucatnya terlihat bersinar dengan senyum bahagianya. Adnan dan Fasya hanya bisa mengangguk. Setidaknya di balik kesedihan mereka, ada senyum dari orang-orang yang mereka sayangi. *** TBCLima hari telah berlalu. Hari ini adalah hari terakhir di mana Kakek Farhat dan Kakek Faris dirawat di rumah sakit. Entah kenapa ikatan persahabatan mereka begitu kuat. Mereka sama-sama memiliki riwayat penyakit jantung. Setelah menggelar pernikahan cucunya lima hari yang lalu, kesehatan mereka juga berangsur membaik. Ada perasaan lega di hati Adnan dan Fasya melihat itu. Setidaknya pengorbanan mereka tidak sia-sia. "Ayo, suapan terakhir, Kek. Buka mulutnya." Fasya kembali menyuapi kakeknya. "Makasih ya, Nduk. Kakek sayang sama kamu." Kakek Farhat tersenyum dan mengelus kepala Fasya sayang. "Mulai sekarang Kakek harus janji untuk jaga kesehatan. Nenek sama Fasya nggak mau liat Kakek sakit lagi kayak gini." Fasya mengangguk setuju saat mendengar ucapan neneknya. "Pasti, Kakek akan jaga kesehatan. Kakek masih mau liat cicit Kakek nanti," ucapnya dengan terkekeh pelan. Fasya berdeham dan beranjak untuk meletakkan piring kotor di atas nakas. Dia memilih untuk menghindar
Di dalam mobil, Fasya tampak memainkan tangannya gelisah. Sesekali dia melirik Adnan yang tengah menyetir di sampingnya. Dia ingin bertanya tapi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan karena ini menyangkut masa depan hidupnya. "Jadi?" tanya Fasha pada akhirnya. Adnan hanya melirik sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Untuk saat ini kita jalanin dulu sampai keadaan membaik," ucapnya. "Apa yang harus dijalanin?" tanya Fasya bingung. Adnan menghela napas kasar, "Pernikahan ini. Setidaknya di depan Kakek kita harus menjalankan peran suami-istri." "Kalau di belakang Kakek?" "Terserah kamu. Kita jalan sendiri-sendiri." Fasya tersenyum lega mendengar itu. Mungkin ucapan Adnan ada benarnya. Lebih baik mereka bersandiwara terlebih dahulu sampai keadaan kembali normal. Setelah itu mereka akan memikirkan kembali apa yang harus dilakukan untuk lepas dari pernikahan konyol ini. "Aku tinggal di rumah
Hari baru telah tiba. Dengan bersenandung, Fasya tampak memoles wajahnya di depan cermin. Polesan make-up yang tidak terlalu tebal melekat sempurna di wajahnya. Fasya terlihat cantik dengan riasan yang cocok di wajahnya. Setelah selesai, dia mulai memasukkan beberapa barang yang sekiranya ia butuhkan ke dalam tas bahunya. Fasya mengambil laptop dan bergegas keluar dari kamar. Hari ini adalah hari pertamanya magang, oleh karena itu dia tidak boleh terlambat. "Selamat pagi, Mbak?" sapa Bibi Sari saat Fasya mulai memasuki area meja makan. "Pagi, Bik." Fasya tersenyum dan memilih untuk duduk di kursi paling ujung. Matanya sesekali melirik pada pria yang tengah sarapan dengan tenang. Setelan kemeja yang rapi telah melekat di tubuh Adnan, menandakan jika pria itu akan berangkat bekerja. "Mau sarapan roti atau nasi, Mbak?" tanya Bibi Sari. "Hm...," Fasya tampak berpikir, "Nasi aja, Bik." Fasya terkejut saat Bibi Sari mulai mengambilkan sarapan untuknya. Dengan cepat Fasya
Memasuki ruang pertemuan, mata Fasya langsung tertuju pada sekumpulan mahasiswa dengan almamater kebanggaan dari kampus mereka. Mereka semua duduk rapi dengan wajah yang serius, siap mendengarkan materi kunjungan hari ini. Seketika Fasya meringis. Apa dia pernah seserius ini saat kuliah? Sepertinya tidak. "Ini, kalian bagiin kertas ini ke mereka semua ya. Setelah itu duduk di belakang laptop," ucap Shanon memberi arahan. Fasya dan Dinar kompak mengangguk dan segera melaksanakan tugas mereka. Melihat Damar yang sudah berdiri di depan podium, sepertinya pria itu yang akan mengisi materi kunjungan hari ini. Setelah membagikan kertas yang Fasya yakini berisi materi pembahasan hari ini, dia mulai duduk di depan laptop untuk membantu Damar melakukan presentasi. Mendengar penjelasan Damar mengenai perusahaan, Fasya seperti ikut belajar banyak hal di sini. Ini masih hari pertamanya tapi dia sudah mendapatkan banyak informasi. Awalnya yang ia ketahui hanya tentang departemen tempat
Hari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi. "Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu. "Nanti aja, Mbak." "Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh. "Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti." Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini. "Udah jam 7, bi
Suara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras. "Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal. Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya. Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya. "Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tanga
Sebagai mahasiswa magang, tentu pekerjaan Fasya tidak seberat karyawan tetap. Namun baru beberapa hari menjalani magang entah kenapa dia sudah mulai merasakan lelahnya bekerja. Fasya memang senang saat di kantor, tetapi saat pulang dia mulai merasakan lelah pada tubuhnya. Apa ini yang dirasakan oleh para pekerja? Dia meringis saat mengingat kakeknya yang sudah tua tetapi masih bisa mengurus peternakan sapi di desa. Sepertinya Fasya harus mulai lebih menghargai uang sekarang. Setelah pulang magang, mandi adalah pilihan terbaik. Fasya keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Mungkin setelah ini dia akan sedikit bersantai sambil menunggu jam makan malam tiba. Baru saja ingin meluruskan kakinya di tempat tidur, Fasya mendengar suara ketukan pada pintunya. "Bibi?" sapa Fasya saat tau jika Bibi Sari yang mengetuk pintu kamarnya. "Maaf, Mbak. Ada tamu di bawah." Kening Fasya berkerut, "Tamu? Siapa, Bik?" "Katanya namanya Denis?" "Tamu Bapak?" Bibi Sari
Kehidupan rumah tangga Fasya dan Adnan sangatlah aneh. Saat ini mereka tengah duduk di meja makan di mana Adnan dan Fasya masing-masing duduk di ujung meja. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka selain dentingan sendok dengan piring. Ini pertama kalinya Fasya melihat Adnan setelah pria itu kembali dari luar kota tadi siang. Sesekali Fasya melirik Adnan yang masih fokus makan. Dia melihat pria itu dengan pandangan menilai. Bahkan dia memiringkan kepalanya untuk berpikir. Yang ada di otak Fasya saat ini adalah Adnan mirip seperti robot. Tidak ada yang pria itu lakukan selain makan, berbeda dengan Fasya yang tidak bisa diam dan sesekali melirik ponselnya agar tidak jenuh. Ingatan Fasya kembali pada semalam, di mana Adnan menghubunginya dan berkata hal yang membuatnya bingung. Hingga saat ini Fasya masih penasaran kenapa Adnan melarangnya bertemu dengan Denis? Mereka adalah sepupu seharusnya Adnan tidak boleh seperti itu. Apa mungkin memamg Adnan yang menyebalkan di sini? F