Share

Bab 4

Sebelumnya, Liana tidak pernah menyangka kalau kejadian pacar yang selingkuh dengan sahabatnya akan menimpa dirinya. Dia selalu berpikir kalau itu adalah kejadian absurd yang ditulis oleh seorang penulis skenario. Baru setelah itu benar-benar terjadi padanya, Liana akhirnya memahami pepatah yang mengatakan, 'Tanpa ada kejadian dari kehidupan, tidak akan ada seni'.

Dia masih ingat betapa mendalam keterkejutan dan perasaan terkhianatinya saat membuka pintu asrama sekolah hari itu dan melihat Hamdan serta Winda sedang bersama.

Salah satunya adalah sahabatnya dan yang lainnya adalah orang yang paling dia andalkan selain kakaknya. Tetapi, mereka menggunakan cara yang paling kotor dan paling tajam untuk menyakiti hati Liana.

"Liana?" Winda tertegun sejenak.

Liana sudah mengalihkan pandangannya dan menyeret kopernya ke dalam.

Dia tidak berniat menyapa mereka. Bagaimanapun, masa lalu telah berlalu. Dia dan Hamdan sudah putus dan persahabatannya dengan Winda juga telah berakhir. Mulai sekarang, dia tidak ingin berurusan dengan kedua orang ini lagi.

Winda meraih lengan Hamdan dan berjalan masuk, lalu pintu lift tertutup. Winda menoleh ke arah Liana dan berkata, "Kudengar kamu mendapatkan pekerjaan. Apa kamu akan melakukan perjalanan bisnis?"

Liana menunduk dan mengiakan. Dia menganggap itu sudah selesai.

Setelah Winda melihat ini, dia tidak berkata apa-apa lagi.

Saat lift sampai dilantai satu, Liana menarik koper dan berjalan keluar. Tanpa diduga, dia melakukan kesalahan dengan tergesa-gesa dan salah satu roda koper tersangkut di celah. Liana menariknya dengan kuat dua kali, wajahnya sudah memerah, tetapi kopernya sama sekali tidak bergerak.

Tepat saat dia tidak tahu harus berbuat apa, Hamdan mengulurkan tangannya dan mendorong koper dengan pelan, akhirnya roda koper itu keluar.

"Terima kasih." Liana mengucapkan terima kasih dengan pelan dan pergi karena malu.

Pintu lift tertutup kembali dan berlanjut turun ke bawah.

Winda melirik Hamdan dan berkata dengan intonasi yang tidak jelas, "Sepertinya Liana sudah banyak berubah dan aku rasa dia masih marah pada kita. Menurutmu, apa aku harus menemuinya dan meminta maaf padanya?"

"Apa itu perlu?" Hamdan berkata dengan tenang, "Sudah terjadi seperti ini, apa gunanya minta maaf?"

Winda mengerucutkan bibirnya dan berkata dengan sedih, "Hamdan, apa kamu menyalahkanku?"

Hamdan hanya diam.

Winda melepaskan tangannya dari lengan Hamdan dan berkata, "Hamdan, kalau kamu nggak bisa melepaskan Liana, aku akan menjelaskan masalah kita padanya. Ini awalnya memang salahku dan aku akan bertanggung jawab. Liana orang yang baik, dia pasti bisa memaafkanmu ...."

Pintu lift terbuka dan tempat parkir bawah tanah di lantai dua terang benderang.

Winda berlari keluar lift sambil menangis dan dihadang oleh sebuah mobil yang melaju kencang dengan klaksonnya yang berbunyi keras, Winda berdiri di tengah jalan seolah dia kehilangan kemampuan untuk bereaksi, mengangkat tangannya untuk menutupi matanya, tapi lupa menghindarinya.

Untungnya, Hamdan datang dengan cepat dan mengulurkan tangan untuk menariknya tepat waktu. Rem mobil hampir berasap, melewati mereka berdua dan berhenti dengan suara melengking. Pengemudi itu mengeluarkan kepalanya keluar jendela mengutuk beberapa kata, kemudian dia pergi.

"Kamu mau mati?" Hamdan memegang pergelangan tangan Winda, dia berkata dengan suara yang bergetar.

Adegan tadi terlalu mendebarkan, kalau dia terlambat satu detik saja, Winda mungkin sudah mati.

Winda juga sangat ketakutan hingga wajahnya menjadi pucat. Air matanya terus mengalir, dia menangis sampai gemetar dan melemparkan dirinya ke pelukan Hamdan. Dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Hamdan menghela napas, lalu mengulurkan tangannya untuk memeluknya dan dengan lembut menghiburnya. "Sudah, jangan menangis lagi ...."

....

Liana naik taksi kembali ke asrama sekolah. Ini adalah satu-satunya tempat dia bisa tinggal setelah keluar dari rumah kakaknya. Awalnya, asrama itu untuk empat orang, karena ini adalah akhir semester tahun terakhir, setelah mendapatkan pekerjaan mereka semua pindah satu per satu.

Liana biasanya tidak tinggal di sini, tetapi tokonya belum dipindahkan.

Sebelum kejadian perselingkuhan itu, Winda tinggal sendirian di sini. Karena keluarganya tinggal di luar kota dan dia juga belum mendapatkan pekerjaan magang.

Saat Liana datang malam itu, dia mendengar dari teman-teman sekelasnya kalau ada pemadaman listrik di asrama. Dia khawatir Winda akan takut sendirian, jadi dia datang untuk menemaninya. Tetapi, saat membuka pintu dia malah melihat pemandangan itu ....

Sekarang Winda tidak tinggal di sini lagi. Kudengar Hamdan menyewakan rumah untuknya di luar.

Liana sangat sibuk sejak dia bergabung dengan Perusahaan Lewis. Dia bangun pagi dan pulang larut malam. Dia sangat terkejut karena melihat mereka berdua di lingkungan tempat tinggal kakaknya hari ini.

Tidak disangka, rumah yang disewakan Hamdan untuk Winda ternyata ada di komplek kakaknya dan juga di gedung yang sama.

Entah itu hanya kebetulan atau memang disengaja, Liana sudah tidak mau memikirkannya lagi. Sekarang dia merasa kalau pindah adalah hal yang benar. Ada banyak peluang untuk bertemu seseorang dan itu tidak bisa dihindari. Singkatnya, dia hanya merasa tidak nyaman.

Setelah membereskan tempat tidur, ponsel Liana berdering.

Itu adalah telepon dari kakaknya. Suaranya terdengar sedikit menangis saat dia berbicara, "Liana, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, 'kan? Kenapa nggak pamitan padaku? Kamu dimana? Aku akan datang menjemputmu."

Liana bersandar di tempat tidur, "Kak, aku pindah lagi ke asrama sekolah. Saat lulus masa magang nanti, aku bisa mendaftar di asrama karyawan di perusahaan ...."

"Ada tempat di rumah, kenapa tinggal di asrama karyawan? Tunggu aku, kakak akan segera datang menjemputmu ...."

"Kak!" Liana berteriak dengan sungguh-sungguh.

Linda langsung terdiam.

Liana menahan semua emosi sedihnya, menatap ke langit-langit dan berpura-pura santai. "Kakak, aku sudah dewasa. Aku nggak mau jadi bebanmu lagi dan aku juga ingin jadi sandaranmu."

Linda duduk di kursi ruang tamu, memegang ponsel dan air mata terus mengalir. Dia menyeka air matanya dan berkata, "Aku nggak perlu bergantung padamu. Aku cuma butuh kamu di sisiku. Nggak peduli berapa umurmu, kamu akan selalu jadi adikku."

"Kak, terima kasih. Tapi kali ini aku benar-benar ingin bisa mandiri. Kak, kamu akan mendukungku, 'kan?"

Suara Linda terdengar serak, "Bagaimana kalau aku nggak mendukungmu? Apa kamu akan langsung pulang?"

"Nggak." Liana tersenyum, air mata mengalir tanpa suara, "Saat tumbuh dewasa, apa pun yang aku lakukan, kakakku akan mendukungku. Dia adalah kakak perempuan terbaik di dunia."

Linda tidak berbicara untuk waktu yang lama. Meski dia telah mencoba yang terbaik untuk menahan diri, Liana masih mendengar isak tangisnya.

"Kak, saat aku menghasilkan banyak uang nanti, aku akan membelikanmu rumah besar dan membukakan toko untukmu. Kamu dan kakak ipar nggak perlu bekerja terlalu keras lagi."

Barulah saat itu Linda tertawa dan berkata, "Kamu ini! Aku nggak mau rumah besar atau toko. Kakak iparmu dan aku cuma orang biasa dan kami nggak berharap untuk berumur panjang. Liana, kamu cuma perlu ingat ini, kakak nggak mau apa pun, kakak cuma mau kamu baik-baik saja. Selama kamu bahagia, aku lebih puas dari apa pun."

"Ya." Liana mengangguk dalam, "Kak, aku pasti bisa melakukannya!"

Setelah menutup telepon, Liana menangis untuk beberapa saat.

Tok, tok, tok ....

Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu. Liana menyeka air matanya dan pergi untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, ternyata hari sudah berganti malam dan wajah tampan Yohan membesar di depannya ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status