Share

My Lover is Cheating
My Lover is Cheating
Author: AlphQueen

Bab. 1. Surat Undangan Dari Jodohnya Orang

“Enggak mau pokoknya, Bu. Neng nggak mau tinggal di sini lagi. Neng mau kita pindah aja. Titik! Nggak pake koma, apalagi Puspa. Tau, kan, Bu ... siapa Titik Puspa?"

Selesai menghabiskan sepuluh kantong kripik singkong pedas, aku langsung duduk di kursi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan.  Sementara tatapan, sengaja aku fokuskan pada Ibu. Perasaanku benar-benar kacau setelah mendapati kekasih hati, ternyata mempunyai persinggahan hati yang lain. Lebih hancur lagi, setelah baru saja menerima kabar dari kertas yang tanpa menyentuhnya saja dapat kutebak isinya apa.

Surat undangan!

“Ibu lihat sendiri, kan? Untuk apa coba dia mengirim kertas undangan itu padaku?” Lantas aku menunjuk kertas yang teronggok di lantai kamar, setelah tadi kutepis dari tangan Ibu saat menyodorkannya padaku.

“Pamer, Bu. Dia mau pamer. Astaga! Sengaja biar hatiku semakin teriris-iris!” lanjutku. Kali ini seraya menarik kedua kaki sampai naik dan melipatnya di kursi. Duduk bersila, aku pun menopang pipi dengan kedua tangan. “Jahat memang dia, tuh. Tega gitu, lihat aku datang ke pernikahannya? Ish! Nggak banget. Siapa pulak yang mau datang?"

Seperti biasa, Ibu pun hanya menggeleng-geleng tiap kali melihat aku merajuk yang katanya percis anak kecil. Bahkan Ibu tertawa-tawa pelan, seperti tak peduli dengan apa yang aku rasakan sekarang ini.

“Jadi, daripada aku sama Ibu datang ke acaranya ... mending, mulai sekarang kita siap-siap buat pindah rumah aja, Bu.” Aku bicara lagi. Karena rasanya, tak puas jika belum mengomel sampai ke akar-akarnya.

“Neng ... Neng. Kamu itu memang aneh, ya?” Ibu yang sedari tadi duduk di ranjang pun berduri dan melangkah maju ke belakangku. “Lagian, memangnya gampang pindah rumah? Susahlah!” lanjutnya, sambil memegang kedua sisi pundakku. 

Suaranya begitu halus dan menenangkan. Begitu juga sentuh tangannya yang lembut juga menghangatkan. Namun, tetap saja, amarah dalam hati dan otakku ini tak dapat luluh begitu saja. Rasanya, detak jantungku begitu menggebu-gebu.

“Ya, tinggal jual aja rumah ini, Bu. Terus kita beli cilok. Eh, maksud Neng beli rumah di tempat lain gitu. Kan, gampang!” Aku merajuk sembari melipat kedua tangan di dada. Sementara bibir cemberut, yang semoga saja tak mirip curut. “Aneh apanya coba?”

“Ya, anehlah.” Ibu berdecak, lagi-lagi sambil tertawa. “Kemarin kan kamu sendiri yang menolak lamaran Bian. Lalu, sekarang kenapa macam cacing kepanasan? Biarlah si bian nikah sama wanita lain. Toh, sudah jodohnya. Kita mah tinggal datang, terus kasih doa supaya pernikahannya langgeng dan tanpa ada perselingkuhan."

Bibirku, seketika kian merengut. Kesal, karena apa yang dibicarakan Ibu adalah benar. Aku yang salah, karena saat Bian menunjukkan keseriusan, aku tolak dengan alasan masih ingin memantapkan diri dan juga hati.

“Terus ... soal jual rumah, Neng pikir jual cilok yang sekali keliling langsung habis? Duh, Gusti. Ini anak kenapa, sih?” ibu mengomel lagi. Kali ini, sentuh tangannya beralih ke kepala. Dan, ia menguceknya seperti bukan pada gadis dewasa. 

“Ish ... Ibu! Kenapa jadi Ibu yang ngomel-ngomel, sih? Kan, yang lagi kesel tuh Neng.” Aku langsung beringsut, mengubah posisi duduk sampai bersihadap dengannya. Kemudian mendongak, masih dengan ekspresi kesal.

“Yang ngomel tuh siapa, sih? Ibu cuman perintilin masalahnya, biar kamu itu sadar, Neng. Coba, deh kamu pikirin lagi. Ini tuh masalah jodoh. Kita nggak tahu karena itu semua adalah rahasia Tuhan. Lagian, harusnya kamu bersyukur dong. Saat Bian ketahuan selingkuh, itu artinya, Tuhan udah bukain jalan buat kamu. Dia kasih tahu, kalau bian bukan lelaki yang baik untuk kamu, Neng!"

“Iya. Tapi kan kemarin tuh bukannya aku nolak, Bu. Aku cuman minta waktu. Minta waktu, sampai aku benar-benar siap gitu, Bu. Eh, taunya dia malah begitu. Gimana nggak bikin aku kesel coba?"

“Lah, sama saja atuh.” Ibu tergelak pelan, menertawakanku sudah pasti. “Coba kamu pikir, Neng. Bian kan lima tahun lebih tua darimu. Itu artinya, usia Bian sudah sangat matang. Dan ... di usia segitu matang, kamu pikir Bian bisa nahan keinginannya?”

“Ya, masa nggak bisa nunggu sampai beberapa waktu gitu?” Aku masih mendongak, melihat Ibu yang masih saja tertawa-tawa kecil. Ngeselin. Tapi, emang pantas diketawain, sih.

“Nahan syahwat sampai beberapa waktu gitu? Berapa lama, Neng?” Ibu mencubit pelan pipi tirusku. “Kalau dia bisa nahan, nggak bakal anak orang sampai hamil, Neng.”

“Y-ya, iya, sih. Tapi tetep ajalah, Bu. Dia itu udah bikin aku sakit hati. Dan itu rasanya nggak enak, Bu. Nggak enak banget pokoknya!” Aku kembali pada duduk semula, membelakangi Ibu. “Apalagi kalau ingat seberapa lama aku berhubungan dengannya. Masa, cuman gara-gara aku minta waktu buat menikah, dia tega ninggalin aku?”

“Jodoh emang jorok, Neng. Sejorok Neng.”

Ibu, dengan gaya santainya masih saja tertawa pelan. Duh ... makin ngeselin lama-lama. Kalau saja nggak bakal bikin aku durhaka,  udah kuajak gelut dia. Ya, masa  ... anak sendiri diketawain begitu. Ini kan lagi sedih ceritanya.

“Apaan coba, malah bawa-bawa Neng?” Aku makin cemberut, kesal karena Ibu terus saja membela Bian yang jelas-jelas ninggalin aku pas lagi sayang-sayangnya. "Wangi gini juga."

“Ya, memang iya. Jodoh itu sejorok Neng yang jarang mandi, yang langsung ngubek-ngubek kulkas buat cari makan tiap bangun tidur. Padahal belum cebok, belum cuci muka. Coba kalau rajin, pasti jodohnya nggak bakal mau jauh-jauh dari Neng.” Tawa Ibu seketika menggelar.

“Auk, ah. Ibu nggak asyik! Masa, dari tadi yang dibela si Bian terus? Neng jadi curiga!” Aku mendesah, semakin kesal. Lalu melipat kedua tangan di meja sebelum menumpukan kepala di sana, dengan posisi wajah menoleh ke arah Ibu yang sudah berdiri di samping kiri.

“Lah, curiga apa kamu? Jangan aneh-aneh, deh.” Tawa Ibu pun seketika berhenti. Berganti seringai heran di wajahnya yang masih tampak muda. Padahal, kalau dihitung, usia Ibu hampir mencapai kepala lima.

“Curiga, kalau Ibu tuh seneng liat aku sama Bian pisah! Secara, dulu tuh Ibu sempat nggak suka, kan, sama bian?"

“Lah ... mana ada begitu?” Ibu kembali tertawa-tawa. Namun, kali ini semakin kencang seraya bangkit dari duduknya. “Ada-ada saja kamu. Dah, sana mandi. Atau hujan-hujanan tuh. Udah jam sepuluh juga. Makan aja diduluin, iler sama upil masih nempel!”

“Mana ada upil sama iler, Bu!” Aku langsung berdiri tegak, melihat Ibu yang berjalan santai ke arah pintu. Ngeselin emang. Masa anak sendiri dikata ada upil sama iler? Tadi, kan abis wudu.

Ya, walaupun habis salat tidur lagi sih emang. Awok awok.

“Coba ngaca!” titah Ibu begitu sampai di ambang pintu. Lalu, dengan santainya Ibu bilang, “Gimana Bian nggak berpaling coba? Ya, Allah Gusti.”

“Ibu!!!!!!” seruku seraya loncat dari ranjang, lalu menatap lekat bayangan wajah sendiri di balik cermin. Barangkali, Ibu memang benar. “Astagah!” seruku lagi sambil berlari ke kamar mandi.

Aih!

Ternyata, ilerku memang sepanjang jalan kenangan.

Huaaaaa.

*** 

Wajahku cantik, tubuhku pun tak kalah seksi dari artis-artis dalam sinetron. Tapi ,kenapa dengan mudahnya Bian berpaling ke lain hati? Apa iya hanya karena aku meminta waktu? Atau, hanya karena dia nggak bisa menahan keinginannya, sampai-sampai menghamili anak orang?

“Ya, Rabb. Sakit kali hati ini. Kira-kira, ada bengkelnya apa tidak?"

Aku mendesis begitu kembali masuk ke kamar, lalu melempar tubuh ke ranjang sambil merentangkan kedua tangan dengan perasaan semakin kacau dan risau. Epeknya, ingatan-ingatan tentang Bian seketika berputar, seolah menari-nari dalam pandangan.

Bian yang dengan keromantisannya saat nyatain cinta. Lalu, hampir tak pernah absen saat mengantar dan menjemputku seusai kerja, sampai aku membuat Monic menjadi pengangguran. Belum lagi saat malam minggu datang menyapa, Bian menjadikannya malam spesial untuk mengajakku nonton bioskop atau sekadar jalan-jalan di sekitar perumahan.

Dia, mantan kekasihku itu sama sekali nggak ada cacat-cacatnya. Bahkan, tak pernah sekalipun dia meminta sesuatu yang menjurus ke seks. Tapi, sekarang?

“Argh! Kenapa gue nggak bisa move on dari dia, sih? Padahal, udah sebulan Bian mutusin—“

“Masih mikirin Bian?”

“Ya Allah, Bu. Bikin kaget aja tau nggak?”

Aku langsung terperanjat, bangun begitu suara Ibu tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Entah sejak kapan Ibu di sana. Tapi, sudah pasti ibu menguping apa yang baru saja aku katakan.

“Gimana mau move on kalau begitu terus?” tanyanya, seolah tak peduli dengan keterkejutanku barusan. Padahal, aku hampir jantungan.

“Ish ... siapa yang mikirin Bian, Bu?”

“Ya, kali ibu nggak denger. Mata kamu juga basah. Pasti habis nangis-nangis lagi, kan?” selidik Ibu, persis Pak Satpam perumahan kalau ada pengunjung baru yang datang. Segala ditanyain, ampe ke status-statusnya.

Kali janda, gitu katanya.

“Mana ada nangis, Bu? Neng habis dari kamar mandi barusan, basuh muka. Kan Ibu sendiri yang bilang tadi, kalau Neng ada upil sama iler!"

“Yakin?”

Ibu kembali menyelidik, dengan intonasi sedikit lebih pelan. Hampir tak terdengar, kalah saing oleh gemerencik di luar sana.Hujan memang sedang mengguyur kota, setelah waktu memasuki musim hujan sejak sebulan lalu. Tepat ketika hatiku potek, langit seolah ikut merundung atas kesedihan yang kurasakan. 

“Iyalah!” Buru-buru kuusap air di wajah yang memang tercampur air mata. Tapi, Ibu memang nggak boleh tahu kalau aku masih saja menangisi kepergian Bian.

“Ya, sudah kalau begitu. Ikut ibu, yuk. Ada tamu tuh di depan.” Tiba-tiba, wajah ngeselin Ibu berubah. Berganti seringai seperti biasanya, santai.

“Woah ... hujan-hujan begini siapa yang datang bertamu, Bu?” Aku langsung beranjak duduk bersila. Semangat jika ada yang datang berkunjung. Karena biasanya, kalau bukan Martabak sebagai buah tangan, pasti sekantong keresek buah-buahan.

“Lihat aja sendiri. Ibu mau bikin minuman hangat dulu buat mereka. Kasihan, kehujanan soalnya,” timpalnya sambil melengos.

“E-eh ... tungguin Neng, Bu.” Aku langsung beranjak turun, lalu menyusul Ibu yang sudah keluar dari kamar. “Kasih tahu dulu, siapa yang datang? Kenapa Neng mesti nemuin tamunya?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan temen-temenmu atuh, Neng? Ya, masa ibu harus panggil tetangga? Kan, mereka mau nemuin kamu.” Kening Ibu pun seketika mengerut, sampai mencipta lipatan-lipatan kecil di sana.

“Huft ....” Aku menghela napas,  merasa lega. “Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Kan, Neng nggak perlu senewen, Bu.”

“Lah ... emang kamu pikir siapa yang datang? Kenapa juga harus senewen?”

“Neng pikir Bian yang datang. Eh, maksudku ... aku pikir Bibi yang datang,Bu.”

“Hilih! Ibu bilang juga apa. Kamu itu masih aja mikirin Bian.” Ibu tergelak pelan, merasa menang, kurasa. “Gimana bisa move on kalau begitu terus?”

“Sebenarnya aku dah coba buat move on, Bu. Tapi adaaa aja gitu godaan setan terkutuk yang bikin aku inget dia mulu!”  Aku menyengir sambil bersandar di kusen pintu. Lantas bergaya bak anak kecil minta jajan, manja.

“Dahlah sana. Pusing ibu, kalau kamu terus mikirin Bian. Apalagi malah nyalahin setan! Marah ntar dia.” Ibu melengos, masih dengan sisa tawanya.

Huaaaaa.

“Kalau gitu aku mau Bian aja deh, Bu. Eh! Aku mau cilok aja maksudnya, Bu. Ya Allah ... nyesek banget ini hati. Bawa ke bengkel, kek, gitu!" ujarku  sambil mendongak barang sekejap. Berharap, Tuhan akan mendengar apa yang kuharapkan.

“Iya-iya. Nanti ibu bikinin cilok.” Sambil berjalan ke arah dapur Ibu tergelak lagi. “Mau cilok goang kek. Cilok bumbu kacang kek. Atau cilok apa gitu, asal Neng jangan minta pindah terus! Ya Allah. Begini amat punya anak gadis yang kalau ada apa-apa, pasti minta cilok.”

“Ibu!” rutukku, begitu mendengar kata terakhir yang digumamkannya.

“Iya-iya, Neng. Ya Allah Gusti.” Ibu menggeleng, bahkan menepuk kening.

“Jangan ketawa mulu, Bu.”

“Iya, Neng. Iyaaaaa!” serunya, begitu jarak sudah semakin jauh.

Tapi, Ibu masih aja tertawa. 

Ngeselin!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status