Share

3. The Number

''The Number'.


Nama yang telah lama menjadi teror, menghantui kehidupan di negara ini sejak satu setengah abad terakhir. Sekelompok profesional keji, pembunuh bayaran tanpa pandang bulu. Tak ada yang tahu pasti mengenai dia, mereka, atau siapalah orang-orang ini.


Segala tentang 'The Number' sungguh masih misteri. 


Bahkan tidak ada jaminan jika suatu saat nanti mereka akan terekspos.


Kau cukup memberi nama dan alamat orang yang kau benci di situs mereka, maka dengan bayaran sepadan, ia kan mati dengan coretan luka di tubuhnya. Bahkan hingga kasus mutilasi atau lebih parah. Memuaskan keinginan klien tentu penting.


Tidak ada yang pasti dari pembunuh ini, namun beberapa bocoran mereka publikasikan entah dengan tujuan apa.


'The Number' memiliki aturan tersendiri, 9 korban dalam sebulan. Tidak lebih, tidak kurang. Jika permintaan terlampau banyak, maka yang berikutnya akan dijadwalkan bulan selanjutnya. Jika tak ada permintaan, mereka akan membunuh siapa pun, di mana pun dan tanpa alasan, hingga jumlah korban dalam sebulan genap 9 orang.


Mengapa? Hanya mereka yang tahu. Bagi mereka semua itu hanyalah permainan, mencabut nyawa orang lain tidak lebih sekadar untuk kesenangan.


Sejak awal debut pembunuh bayaran 'The Number', mereka telah menentukan akhir aksi mereka, yaitu pada generasi ke-9. Petunjuk tentang hal ini selalu dicantumkan di tubuh korban dalam rangkaian alfabet. 


'EIGHT' yang sudah 13 tahun ini muncul menandakan penerus ke-8 dari organisasi tersebut. Diikuti angka kecil diujung alfabet, menunjukkan urutan korban tiap bulannya. Tidak ada yang tahu pasti berapa lama sebuah nomor akan bertahan, namun rata-rata dalam rentang belasan sampai 30 tahun. Sungguh mencekam untuk hari-hari dengan tumpahan darah.


Tiap generasi ‘The Number’ memiliki cara berbeda dalam menghabisi targetnya, seperti ‘EIGHT’ yang menggunakan goresan kecil dengan Arsenik berdosis tinggi, semakin banyak goresan maka korban ‘kan semakin cepat mati. Pembunuhan singkat.


Sedangkan ‘SEVEN’ menggunakan pisau dengan Tetrodotoxin yang lebih dikenal dengan sebutan TTX, dapat membunuh korban dalam hitungan jam. Ia selalu melepaskan korban setelah menggoreskan nama di tubuh target. Sayang sejauh ini obat untuk TTX belum ditemukan. 


Selebihnya menggunakan pedang, pisau, atau palu berukuran besar seperti pada kasus ‘FOUR’, yang kemudian menuliskan nomornya dengan ceceran otak di samping pecahan kepala dan tengkorak korban.


'The Number' tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka seperti malaikat kematian, mustahil dihentikan. 


Jika sudah diputuskan, target tidak akan lolos.  Halangan apa pun, mereka bagai hantu yang dapat menembusnya. Orang-orang itu bergerak tanpa suara. Lihai, licik, dan tanpa peringatan. Selalu memiliki persiapan penuh bahkan untuk melewati penjagaan ketat.


Meski kau bersembunyi di kamar mandi pusat perbelanjaan, atau di sebuah pesta megah nan meriah dengan ribuan orang yang berlalu-lalang, 'The Number' akkan tetap datang. 


Dan untuk saat ini, 'EIGHT' yang akan membawakanmu sebuah sabit kematian.'

-unknown author-


Seorang gadis tertawa renyah dibalik meja kerja pamannya, bangga akan artikel yang ia tulis. Satu sudut bibir tertarik ke atas, kejam di wajah terlihat jelas, seakan telah menemukan mangsa untuk dilahap.


Klik!


Sekali tekan, perangkat di atas meja memproses artikel tersebut, mempersiapkannya agar terkirim pada setiap perusahaan media dan informan terkemuka dalam satu waktu.


"Haaahh! Besok pagi artikel ini akan memenuhi media dan koran! nama ‘The Number’ akan semakin ditakuti. Biar kulihat reaksi mereka atas kengerian ini!" Ia tertawa lagi, tak sekeras sebelumnya, namun lebih jahat dan tak terkendali.


Suara pintu dibuka terdengar.


Tiba-tiba tawa tadi hilang, bibirnya terkatup rapat, rahang mengeras. Cekatan gadis itu meraih pisau, menyembunyikannya dibalik punggung. Insting membunuh bekerja cepat, berbagai skenario penghabisan singkat terancang sempurna. Setenang mungkin ia  menunggu di balik pintu ruang kerja, menunggu siapa pun yang tengah  melangkah masuk.


“Tak boleh ada pencuri yang dibiarkan keluar hidup-hidup setelah masuk ke rumah ini,” geramnya.


Gerendel perak bergerak, ia sudah siap menerjang sosok dibaliknya. Perlahan tapi pasti, pintu terbuka. 


Denting logam beradu mengambang beberapa saat di udara, diikuti sebilah pisau yang jatuh berkelontang di lantai. Serangan gadis itu tertahan, seorang pria cekatan memelantingkan senjata lawannya dengan sebilah pisau tumpul.


"Paman? Mengapa kau tidak bilang akan pulang larut?! Membuatku panik saja!" teriaknya saat mengenali orang di hadapan mata. Malas gadis itu menarik kembali pisau di tangan, melengos pergi. Jengkel dengan paman yang malah terkekeh.


"Ninaaa, Nina! Kamu ini. Sudah dilatih membunuh, tapi masih panik hanya dengan kedatangan seorang pencuri kelas rendah." Lelaki itu terpingkal sembari menyelipkan pisau ke pinggang, lalu melangkah membuntuti gadis di hadapannya.


Yang diajak bicara malah mendengus kesal, tentu tidak bisa disamakan. "Jelas berbeda! Membunuh target antah-berantah dibanding melawan pencuri yang siaga dan penuh persiapan, kau tahu sendiri itu! Kau kan melatihku untuk membunuh dengan instan, bukan berkelahi dalam jangka panjang." 


"Baiklah, Sayang. Aku mengalah." Lelaki itu menyerah, tak mudah melawan gadis remaja yang sedang marah, keponakannya memang keras kepala.

"Hei," Ia menepuk pundak gadis yang sudah dianggap anak sendiri sambil beranjak duduk bersama, "kau harus banyak belajar bertarung juga, ada saatnya kita mendapat target dengan penjagaan ketat."


"Iya, aku tahu!"


"Kau tahu Louis Anthony? Dia bukan target mudah, kediamannya memiliki penjagaan ketat dan kita harus merencanakan misi kali ini dengan matang. Kau mengerti, bukan?" Mendengar itu si gadis tersenyum. 


Masih ada satu hari lagi sebelum saatnya tiba, dan gadis dengan gigi gingsul itu sudah sangat amat siap.


"Aku sudah merencanakannya."

-=9=-

"Hey, Nina!" yang dipanggil berhenti, menoleh ke sumber suara. Seorang gadis dengan rambut gelombang berlari menghampiri sambil terengah. Nina mengernyit, bertanya dengan mimik wajah, ‘Ada Apa?’


"Huh! Dasar pendiam! Kenapa langsung melengos pergi? Seharusnya ‘kan kau menungguku!" omel Deary langsung merangkul sahabatnya, melangkah beriringan.


“Hmm, seingatku kita tidak ada janji atau rencana untuk pulang bersama,." Ada sedikit rasa geli mendengar betapa polosnya jawaban anak itu. Tapi mau bagaimana lagi, sejak kecil mereka memang seperti ini.


"Huh! Kita ini sahabat, sudah seharusnya pulang bersama. Bahkan berangkat bersama kalau saja rumah kita searah. Memang aku harus selalu mengingatkanmu? Tentu tidak. Kau ini memang kurang  peka!"


Mereka berdua memang terjalin dalam persahabatan dengan individu kontras, satu pendiam dan yang lain cerewet. Tapi Deary memaklumi, menolak tersinggung meski sikap sahabatnya sering kali terkesan tidak peduli. Ia memiliki hati tulus sesosok bidadari.


Tak lama setelah mereka jalan bersandingan, Rey, Riri dan Anthony bergabung—mereka  masih satu kelompok sampai pelajaran biologi minggu depan. Namun tidak seperti kelompok lain di kelas yang mengerjakan tugas sampai beberapa pertemuan, adanya anak baru itu membuat tugas mereka selesai hanya pada pertemuan pertama. Yah, meski dengan waktu beberapa jam.


Lalu mengapa mereka berkumpul jika tak ada yang harus dikerjakan bersama?


Lagi-lagi anak cerdas itu yang angkat bicara, memberi usul, "Kalian kan sudah tahu rahasiaku, agar tak ada yang tahu kalau tugas kita sudah selesai, bagaimana kalau kita kumpul bareng setiap habis sekolah? Setidaknya dengan begitu tak akan terjadi cemburu sosial kalau ada kerja kelompok lagi.”


Semua langsung menyetujui, kecuali Nina.


Rey agak kecewa, karena memang gadis itulah yang menjadi alasannya mengutarakan ide. Satu hal yang ia sadari, tak ada kesempatan untuk mendekat tanpa alasan  pasti, malah mungkin harus resmi.


"Ayolah, Na. Hitung-hitung membantu Rey, balas budi karena berkatnya tugas kita cepat usai." bujuk Anthony.


"Iya, Na. Lumayan ‘kan, Tuan putri." Deary berbisik, menyikutkan lengan sambil melirik ke arah Rey, senyum menggoda tampak jelas di bibirnya. 


Awalnya Nina tak peduli. Namun akhirnya, setelah beberapa saat dibujuk rayu, ia melontar persetujuan. Meski hanya anggukan dan segaris senyum samar, cukup sudah membuat  hati pemuda itu bersorak menabuh genderang senang.


'Tak bisa, aku tak bisa menolak permintaan mereka, itu terlalu mencurigakan. Ada Rey di sini, kalau sampai aku membuatnya curiga, dia bisa mengetahui semuanya. Anak baru ini tidak mudah dibodohi. Santai, Nina. Tak apa, kau hanya perlu membicarakan semua ini pada paman dan mendapat persetujuannya. Kau harus yakin, semua akan baik-baik saja,' benak gadis pendiam itu khawatir.


Semua itu berjalan sampai hari ini.


"Nina! Sudah lihat artikel pagi ini di koran? Tentang 'The Number'." Deary memecah keheningan saat mereka sedang menunggu pesanan di sebuah restoran, tahu sekali minat sahabatnya. Hari ini giliran si gadis sunyi yang menanggung biaya makan siang.


Sontak semua menoleh, topik tentang pembunuh satu ini memang menyita perhatian, terutama bagi Nina.


"Iya, aku sudah membacanya. Bagaimana menurutmu artikel itu, Deary?" ucapnya disambut   anggukan sok bijak.


"Bagus, memang mengerikan, tapi juga mengesankan. Aku tidak habis pikir orang seprofesional mereka malah menjadi pembunuh, kenapa tak membuat organisasi pahlawan saja? Atau mendirikan padepokan bela diri, pasti banyak peminat," celoteh gadis rewel itu tak karuan, membuat beberapa temannya tertawa geli.


Nina tersenyum, lesung pipit mengembang di kedua sisi bibir tipis, kecantikannya sungguh bertambah sore itu. Akhirnya ada yang sependapat denganku, misteri memang menakjubkan!


Rey memperhatikan, memuji senyum yang membuat darahnya berdesir terpesona. Ah ... Apa aku benar-benar menyukai gadis ini? 


"Eh, sekarang tanggal 28 Februari ‘kan?! Itu artinya besok mereka akan memulai hitungan korban baru!" Anthony buka mulut tiba-tiba, mengingat ini adalah akhir bulan.


"Eh? Iya, ya?" sahut Deary.


Sekejap mereka langsung mendiskusikan siapa, kapan dan dimana korban selanjutnya akan jatuh. Dalam hal ini, Nina memiliki frekuensi bicara paling banyak, jelas saja karena topik pembicaraan terkait tentang misteri, hal kesukaannya.


Rey  diam, memperhatikan gadis itu dalam sunyi. Sungguh bersyukur melihat ia berbicara sesemangat ini, hal yang menurutnya akan sangat jarang terjadi.


Satu anak yang tidak membuka mulut sejak Deary mengusut artikel pagi ini, Riri. Ia  hanya bungkam, seakan bersembunyi di balik bayang-bayang dari kericuhan siang. Sama sekali tak tertarik pada pembicaraan empat kawannya.


"Bisakah kalian diam!" Gadis berambut pendek itu mendadak berteriak dalam satu sentakan, membuat pembicaraan yang lain terhenti, plus menarik perhatian orang-orang di meja lain.


"Bisakah kalian berhenti membicarakan hal itu? Kalian lupa tujuan utama kita ke sini? Ada yang ulang tahun besok!" tunjuknya ke pria jangkung dengan rambut cepak, berusaha tetap memamerkan wajah menggelembung sebal.


Tak ada respon untuk sesaat, seakan kalimat Riri butuh pemahaman lebih. 


Tak lama, sorakan-sorakan timbul. Teringat jika ketua kelompok mereka akan merayakan pesta ulang tahun, tawa dan ucapan selamat membuncah pecah, membanjiri ruang di restoran, meredam suara lain.


Hanya Rey yang menggaruk kepala meski tak gatal. 


Baru saja dia menyaksikan gadis manis di hadapannya antusias, dan topik pembicaraan sudah berubah. Tidakkah mereka bisa tenang sesaat dalam obrolan misteri?


Dilihatnya Nina tertawa lepas, ikut mendorong Anthony yang menjadi bulan-bulanan. Rambut hitam panjangnya tersibak angin, senyum mengembang memamerkan gigi gingsul manis.  Hey! Ia tak membisu seperti biasanya. Apakah gadis itu juga menyukai pesta?


Nina tertawa senang, kebahagiaan tercetak jelas di wajahnya. Sejak dulu gadis manis ini memang menyukai pesta. Karena saat pesta, baik ulang tahun atau bukan, sifat sang paman akan berubah total. Sungguh berbeda dari keseharian yang mengerikan.


“Na, kau menyukai pesta?” Anggukan antusias dengan senyum gembira menyambutnya.


Rey ikut tertawa, satu hal lagi yang menjadi kunci untuk mendekati gadis itu selain misteri: Pesta. ‘Besok-besok jika aku mendapatkannya, aku akan sering membawanya ke pesta besar.’ Benaknya semangat.


Sore itu, sekelompok anak muda bersenang-senang di restoran. Tak peduli meski sejak kedatangan mereka, seantero pengunjung memperhatikan. Tawa berhamburan tanda kebahagiaan, semua orang yang melihatnya tahu bahwa mereka adalah teman dekat dan si jangkung berambut cepak jelas sedang menjadi sumber candaan.


Canda, tawa dan kegembiraan menyelimuti. Biasanya, ketenangan yang berlebihan akan membuat manusia lalai terhadap bahaya yang mengintai. Buta situasi, membawa langkah pada celaka dan petaka, bahkan kematian.


Tanpa ada yang sadar, Louis Anthony telah masuk dalam perangkap. Terkunci dalam bidik mematikan. Tinggal menunggu waktu sebelum pelatuk ditekan, permainan dimulai.


Esok, persis saat pergantian hari, sabit kematian 'The Number' akan diayunkan. 


Tepat di leher sang ketua.

-=9=-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status