Share

PRS - 3

"TANTE!" Gadis kecil itu menjerit. Kedua tangannya memeluk pinggang perempuan yang dia sebut-sebut Ibu sejak tadi setelah tanganku mendarat sempurna pada pipinya.

"Kenapa Tante memukul Ibu? Apa salah Ibu? Bukankah tadi Tante yang meminta untuk ke mari," sambung gadis kecil itu lagi.

Perempuan berparas jelita di hadapanku ini masih memegangi pipinya. Jejak kemerahan yang ditinggalkan lima jariku, kontras membekas di kulitnya yang bersih mulus.

"Berapa lama kamu menikah dengan Mas Rafka, hah? Kenapa harus suamiku yang kamu rebut? Pernikahanku terlalu sempurna untuk kamu rusak!" desisku di antara gigi yang bergemeletuk menahan luapan amarah.

"Rafka ...?" ulang perempuan di hadapanku ini dengan lirih.

"Iya! Rafka Mahesa. Suamiku yang disebut-sebut ayah oleh putrimu ini. Berapa lama? Sudah berapa lama kamu merebutnya dariku!" teriakku membentak di depan wajahnya.

"Tante! Berhenti! Jangan sakiti Ibu lagi. Jangan berbicara keras-keras pada Ibu. Apa salah Ibu pada Tante? Bukannya Tante yang ingin aku bawa ke sini, tapi kenapa sekarang Tante marah-marah pada Ibu?" Gadis kecil polos itu seolah tidak rela aku membentak ibunya.

"Kita ... bisa bicara baik-baik lebih dulu, Fanisa," ujarnya terdengar begitu lembut dan menyebutkan namaku. Entah bagaimana pula dia bisa tahu. Tapi aku yakin, dia tahu aku serta namaku dari Mas Rafka. Lelaki yang akan kupastikan menyesal itu pasti telah membandingkan aku dengan perempuan ini.

"Ch! Bicara baik-baik apa maksud kamu? Apa lagi yang harus dibicarakan dengan baik-baik, hah? Sudah jelas, kalau kamu ini sudah merebut Mas Rafka. Bahkan kamu tahu namaku. Artinya apa? Artinya kamu sudah lebih dulu tahu siapa aku dan hubunganku dengan Mas Rafka. Tapi entah dari apa hati kalian terbuat, sampai kalian melakukan ini di belakangku!" ujarku menggebu.

"Tante! Kalau Tante memang tidak jadi membawa aku dan Ibu untuk bertemu Ayah, tidak apa-apa. Aku tidak akan marah pada Tante. Tapi bisakah Tante berhenti memarahi Ibu? Apa salah Ibu pada Tante?" Gadis kecil itu kembali menyela. Dia bak pelindung terdepan untuk Ibunya.

"Iya! Aku memang tidak akan membawa kamu dan Ibu kamu ini bertemu Ayahmu. Tapi aku akan melakukan satu hal. Aku yang akan membuat Ayah kamu itu datang ke mari dan tanpa apa-apa selain hanya baju yang dia pakai!" tukasku pada gadis kecil itu. Meski wajahnya nampak tak mengerti, tapi sepasang netranya telah nampak berkaca-kaca.

"Ah, Fan—"

"Ssst!" Aku menyela dengan cepat. Mengalihkan tatapanku pada perempuan berparas jelita ini kembali.

"Kamu tahu? Aku sangat benci berbagi sesuatu yang mana seharusnya adalah utuh menjadi milikku. Aku akan menyerahkan Mas Rafka karena aku tidak sudi hidup bersama pengkhianat! Kamu bisa memungutnya setelah aku menendang dan membuangnya sebentar lagi! Sampah memang harus masuk ke dalam tempatnya!" umpatku kesal.

Cepat aku pun berbalik badan hendak meninggalkan rumah mungil ini. Hingga tubuhku sudah membelakangi Ibu dan anak itu dan melangkah. Aku teringat sesuatu.

Lekas aku pun membalikkan badanku lagi dan membungkuk pada gadis kecil yang sudah mengembalikan dompetku itu. Gadis kecil yang telah membawaku pada kenyataan pahit ini.

"Aku hampir lupa. Aku akan bilang pada ayahmu untuk segera ke sini. Tapi aku perlu tahu, siapa namamu anak manis?!" tanyaku cepat.

"A-ku ... Belfania, Tante," jawabnya nampak takut-takut.

Aku hanya mengangguk dan kembali berbalik badan. Mengangkat kakiku melangkah menjauh dari mereka.

"Fanisa tunggu, Fanisa! Kamu bisa dengarkan aku dulu. Tunggu!" Teriakan Ibu dari Belfania terdengar dari arah belakang. Bahkan derap langkahnya pun turut terdengar seperti menyusulku. Akan tetapi aku tak menggubris, aku tetap melanjutkan langkahku untuk segera keluar dari rumah mungil ini.

"Fanisa tunggu, Fanisa. Dengarkan aku agar kamu bisa mengerti!" teriak perempuan itu lagi dan tentunya membuat langkah ini terhenti.

"Aku sudah mengerti semuanya! Aku sudah mengerti! Apalagi yang harus aku dengarkan, perempuan asing?!" berangku tanpa membalikkan badan.

"Ceritanya akan sangat panjang dan kamu harus mendengarnya dari awal!" Suaranya terdengar jelas dari belakang.

Tubuhku yang tegak berdiri, benar-benar menegang. Sungguh perempuan gila. Dia tidak waras jika aku mau mendengar semuanya dari awal. Artinya aku harus tahu bagaimana awal mula pertemuannya dengan Mas Rafka. Lalu bagaimana mereka saling jatuh cinta. Kemudian menikah dan malam pertama yang mereka lalui. Yang benar saja aku harus mendengarkannya. Dasar perempuan gila!

Perlahan aku membalikkan badan. Perempuan asing itu berdiri hanya terpaut satu meter saja dariku. Kami saling tatap. Penampilan kami jauh berbeda. Dia begitu tertutup, ujung pakaiannya bahkan hampir menyentuh tanah. Mata bulat serta dagu yang terbelah menambah anggun paras jelitanya.

"Apalagi yang harus aku dengar? Kamu pikir aku akan percaya? Setelah semua yang terjadi, aku masih akan mempercayai apa yang keluar dari mulut kamu? Hahaha ... Aku tidak gila seperti kamu! Aku tidak akan mempertahankan pengkhianat. Aku membencinya! Mulai detik ini setelah aku mendepaknya, kamu bisa mengambil dan memungutnya. Kalian sama-sama sampah! Sampah!" Aku berteriak keras dengan menatap sepasang netra beriris coklat pekat perempuan ini.

Dadaku memburu. Napasku berderu tak beraturan.

Sesak.

Aku membencinya. Membenci perempuan berparas jelita yang telah berhasil membuat Mas Rafka mengkhianatiku, bahkan sampai ada anak diantara mereka.

Aku benar-benar hancur.

Aku hancur dan aku tidak ingin hancur sendirian.

Masih dengan amarah yang membuncah, aku membalikan badan dengan cepat, melangkah dengan tergesa dan begitu lebar menjauh dari halaman rumah milik perempuan di belakangku.

"Fanisa tunggu Fanisa! Jangan pergi dalam keadaan marah, aku akan menjelaskan semuanya. Tolong kamu dengarkan, setelah itu aku yakin kamu pasti akan mengerti!" teriak perempuan di belakangku itu lagi.

Aku sudah tak peduli lagi.

Aku lebih peduli dengan hati dan perasaanku yang terluka. Amat sangat terluka. Bahkan air mata telah berjatuhan membasahi wajahku.

Tak dapat dibendung, tak dapat lagi kutahan. Hatiku benar-benar terluka.

Sakit.

Sangat sakit.

Laki-laki yang begitu aku percaya. Laki-laki yang begitu sempurna di mataku sebagai imam dan kepala keluarga yang selama ini aku hormati ternyata sampai hati telah membagi cintanya.

Aku menangis sesenggukan. Tangis yang terus berderai mengiringi langkahku menyusuri jalanan. Aku menghentikan taksi yang kebetulan melintas lalu menaikinya untuk menuju penginapan.

Taksi melaju. Tangisku tumpah ruah. Aku tak peduli dengan supir taksi di kursi kemudi, aku masih terus menangis. Meluapkan sakit yang terasa begitu menghimpit dan menyesakkan dada.

Entah saja kapan Mas Rafka mengkhianatiku bersama perempuan itu. Namun terlihat dari usia anak perempuan tadi, aku taksir dia sudah berusia sekitar 8 tahun.

Artinya sudah 8 tahun Mas Rafka bersama perempuan itu dan menjalin hubungan di belakangku selama ini. Atau bahkan, bisa lebih dari itu. Aku sudah dikhianati dan dibohongi habis-habisan.

Sialan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status