"TANTE!" Gadis kecil itu menjerit. Kedua tangannya memeluk pinggang perempuan yang dia sebut-sebut Ibu sejak tadi setelah tanganku mendarat sempurna pada pipinya.
"Kenapa Tante memukul Ibu? Apa salah Ibu? Bukankah tadi Tante yang meminta untuk ke mari," sambung gadis kecil itu lagi.Perempuan berparas jelita di hadapanku ini masih memegangi pipinya. Jejak kemerahan yang ditinggalkan lima jariku, kontras membekas di kulitnya yang bersih mulus."Berapa lama kamu menikah dengan Mas Rafka, hah? Kenapa harus suamiku yang kamu rebut? Pernikahanku terlalu sempurna untuk kamu rusak!" desisku di antara gigi yang bergemeletuk menahan luapan amarah."Rafka ...?" ulang perempuan di hadapanku ini dengan lirih."Iya! Rafka Mahesa. Suamiku yang disebut-sebut ayah oleh putrimu ini. Berapa lama? Sudah berapa lama kamu merebutnya dariku!" teriakku membentak di depan wajahnya."Tante! Berhenti! Jangan sakiti Ibu lagi. Jangan berbicara keras-keras pada Ibu. Apa salah Ibu pada Tante? Bukannya Tante yang ingin aku bawa ke sini, tapi kenapa sekarang Tante marah-marah pada Ibu?" Gadis kecil polos itu seolah tidak rela aku membentak ibunya."Kita ... bisa bicara baik-baik lebih dulu, Fanisa," ujarnya terdengar begitu lembut dan menyebutkan namaku. Entah bagaimana pula dia bisa tahu. Tapi aku yakin, dia tahu aku serta namaku dari Mas Rafka. Lelaki yang akan kupastikan menyesal itu pasti telah membandingkan aku dengan perempuan ini."Ch! Bicara baik-baik apa maksud kamu? Apa lagi yang harus dibicarakan dengan baik-baik, hah? Sudah jelas, kalau kamu ini sudah merebut Mas Rafka. Bahkan kamu tahu namaku. Artinya apa? Artinya kamu sudah lebih dulu tahu siapa aku dan hubunganku dengan Mas Rafka. Tapi entah dari apa hati kalian terbuat, sampai kalian melakukan ini di belakangku!" ujarku menggebu."Tante! Kalau Tante memang tidak jadi membawa aku dan Ibu untuk bertemu Ayah, tidak apa-apa. Aku tidak akan marah pada Tante. Tapi bisakah Tante berhenti memarahi Ibu? Apa salah Ibu pada Tante?" Gadis kecil itu kembali menyela. Dia bak pelindung terdepan untuk Ibunya."Iya! Aku memang tidak akan membawa kamu dan Ibu kamu ini bertemu Ayahmu. Tapi aku akan melakukan satu hal. Aku yang akan membuat Ayah kamu itu datang ke mari dan tanpa apa-apa selain hanya baju yang dia pakai!" tukasku pada gadis kecil itu. Meski wajahnya nampak tak mengerti, tapi sepasang netranya telah nampak berkaca-kaca."Ah, Fan—""Ssst!" Aku menyela dengan cepat. Mengalihkan tatapanku pada perempuan berparas jelita ini kembali."Kamu tahu? Aku sangat benci berbagi sesuatu yang mana seharusnya adalah utuh menjadi milikku. Aku akan menyerahkan Mas Rafka karena aku tidak sudi hidup bersama pengkhianat! Kamu bisa memungutnya setelah aku menendang dan membuangnya sebentar lagi! Sampah memang harus masuk ke dalam tempatnya!" umpatku kesal.Cepat aku pun berbalik badan hendak meninggalkan rumah mungil ini. Hingga tubuhku sudah membelakangi Ibu dan anak itu dan melangkah. Aku teringat sesuatu.Lekas aku pun membalikkan badanku lagi dan membungkuk pada gadis kecil yang sudah mengembalikan dompetku itu. Gadis kecil yang telah membawaku pada kenyataan pahit ini."Aku hampir lupa. Aku akan bilang pada ayahmu untuk segera ke sini. Tapi aku perlu tahu, siapa namamu anak manis?!" tanyaku cepat."A-ku ... Belfania, Tante," jawabnya nampak takut-takut.Aku hanya mengangguk dan kembali berbalik badan. Mengangkat kakiku melangkah menjauh dari mereka."Fanisa tunggu, Fanisa! Kamu bisa dengarkan aku dulu. Tunggu!" Teriakan Ibu dari Belfania terdengar dari arah belakang. Bahkan derap langkahnya pun turut terdengar seperti menyusulku. Akan tetapi aku tak menggubris, aku tetap melanjutkan langkahku untuk segera keluar dari rumah mungil ini."Fanisa tunggu, Fanisa. Dengarkan aku agar kamu bisa mengerti!" teriak perempuan itu lagi dan tentunya membuat langkah ini terhenti."Aku sudah mengerti semuanya! Aku sudah mengerti! Apalagi yang harus aku dengarkan, perempuan asing?!" berangku tanpa membalikkan badan."Ceritanya akan sangat panjang dan kamu harus mendengarnya dari awal!" Suaranya terdengar jelas dari belakang.Tubuhku yang tegak berdiri, benar-benar menegang. Sungguh perempuan gila. Dia tidak waras jika aku mau mendengar semuanya dari awal. Artinya aku harus tahu bagaimana awal mula pertemuannya dengan Mas Rafka. Lalu bagaimana mereka saling jatuh cinta. Kemudian menikah dan malam pertama yang mereka lalui. Yang benar saja aku harus mendengarkannya. Dasar perempuan gila!Perlahan aku membalikkan badan. Perempuan asing itu berdiri hanya terpaut satu meter saja dariku. Kami saling tatap. Penampilan kami jauh berbeda. Dia begitu tertutup, ujung pakaiannya bahkan hampir menyentuh tanah. Mata bulat serta dagu yang terbelah menambah anggun paras jelitanya."Apalagi yang harus aku dengar? Kamu pikir aku akan percaya? Setelah semua yang terjadi, aku masih akan mempercayai apa yang keluar dari mulut kamu? Hahaha ... Aku tidak gila seperti kamu! Aku tidak akan mempertahankan pengkhianat. Aku membencinya! Mulai detik ini setelah aku mendepaknya, kamu bisa mengambil dan memungutnya. Kalian sama-sama sampah! Sampah!" Aku berteriak keras dengan menatap sepasang netra beriris coklat pekat perempuan ini.Dadaku memburu. Napasku berderu tak beraturan.Sesak.Aku membencinya. Membenci perempuan berparas jelita yang telah berhasil membuat Mas Rafka mengkhianatiku, bahkan sampai ada anak diantara mereka.Aku benar-benar hancur.Aku hancur dan aku tidak ingin hancur sendirian.Masih dengan amarah yang membuncah, aku membalikan badan dengan cepat, melangkah dengan tergesa dan begitu lebar menjauh dari halaman rumah milik perempuan di belakangku."Fanisa tunggu Fanisa! Jangan pergi dalam keadaan marah, aku akan menjelaskan semuanya. Tolong kamu dengarkan, setelah itu aku yakin kamu pasti akan mengerti!" teriak perempuan di belakangku itu lagi.Aku sudah tak peduli lagi.Aku lebih peduli dengan hati dan perasaanku yang terluka. Amat sangat terluka. Bahkan air mata telah berjatuhan membasahi wajahku.Tak dapat dibendung, tak dapat lagi kutahan. Hatiku benar-benar terluka.Sakit.Sangat sakit.Laki-laki yang begitu aku percaya. Laki-laki yang begitu sempurna di mataku sebagai imam dan kepala keluarga yang selama ini aku hormati ternyata sampai hati telah membagi cintanya.Aku menangis sesenggukan. Tangis yang terus berderai mengiringi langkahku menyusuri jalanan. Aku menghentikan taksi yang kebetulan melintas lalu menaikinya untuk menuju penginapan.Taksi melaju. Tangisku tumpah ruah. Aku tak peduli dengan supir taksi di kursi kemudi, aku masih terus menangis. Meluapkan sakit yang terasa begitu menghimpit dan menyesakkan dada.Entah saja kapan Mas Rafka mengkhianatiku bersama perempuan itu. Namun terlihat dari usia anak perempuan tadi, aku taksir dia sudah berusia sekitar 8 tahun.Artinya sudah 8 tahun Mas Rafka bersama perempuan itu dan menjalin hubungan di belakangku selama ini. Atau bahkan, bisa lebih dari itu. Aku sudah dikhianati dan dibohongi habis-habisan.Sialan.Setelah kurang lebih 2 jam dalam pesawat, aku akhirnya tiba di bandara. Kembali menaiki taksi online aku segera bertolak dari bandara untuk menuju rumah. Selama perjalanan pulang hatiku benar-benar kacau, pikiranku kalut dengan hati yang hampa dan kecewa bukan main.Hanya lima belas menit dari Bandara, aku sampai di rumah. Aku menatap rumah di hadapanku saat ini. Rumah di balik pagar putih yang menjulang. Sebuah rumah berlantai 2 yang berdiri kokoh di atas tanah seluas 120 meter persegi. Rumah impianku bersama Mas Rafka. Rumah yang benar-benar kami bangun dari nol sekitar tujuh tahun yang lalu setelah lima tahun lamanya kami tinggal di sebuah kontrakan.Selama perjalanan pulang, ponsel di dalam tas yang kupakai tak hentinya berdering. Namun sama sekali tidak membangkitkan niatku untuk sekedar melihatnya saja. Hanya satu tujuanku, segera pulang dan bertemu dengan Mas Rafka. Namun setelah kini kakiku menginjak halaman depan rumahku sendiri, aku merasa terpaku.Kakiku seakan tertancap k
Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu. Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana."Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekit
ELANG POV.Bugh!"Kurang ajar, Rafka! Beraninya dia menyakiti Fanisa. Awas saja kamu!" "Punya nyali berapa bedebah itu sampai berani menyakiti adikku dan membuatnya menangis seperti tadi. Dasar pengecut! Brengsek!""Agh!"Bugh Bugh Bugh!Tak hentinya aku mengumpat sambil memukuli stir kemudi. Aku sendiri bahkan menjadi saksi, saat Fanisa dan Rafka menandatangani surat perjanjian dalam pernikahan mereka. Di mana orang yang berani selingkuh dan mengkhianati pernikahan mereka, maka orang itu tidak berhak sedikit pun atas harta yang terkumpul selama pernikahan. Aku tahu dan menyaksikan mereka menyepakati surat perjanjian itu satu tahun setelah pernikahan mereka berlangsung.Aku kira, Rafka akan benar-benar menjaga adik perempuanku satu-satunya. Aku kira dengan surat perjanjian itu, Rafka tidak akan berani menyakiti Fanisa walau hanya seujung kuku. Aku kira, Fanisa adikku satu-satunya bersama dengan lelaki yang tepat. Karena selama ini kulihat Rafka merupakan lelaki yang tidak banyak nek
FANISA POV~Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.Hatiku kembali berdenyut.Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.Drrrt Drrrt Drrt.Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik."Halo?" j
POV ELANGAku menatap pantulan wajahku di depan cermin oval. Kusentuh pipi sebelah kananku yang tak mulus. Terdapat bekas luka melintang di bawah kelopak mataku hingga mendekati telinga. Luka yang timbul karena tusukan pecahan beling yang begitu dalam menembus lapisan kulit pipiku. Begitu dalamnya tusukan itu, hingga mengubah rupa wajahku.Dari tahun ke tahun, bekas lukanya tidak kunjung hilang. Seperti yang dikatakan dokter bertahun-tahun yang lalu. Hingga aku harus menerima bekas luka ini tetap ada di pipiku.Kujauhkan telapak tangan dari pipi. Seiring mata yang memejam. Teringat saat perempuan yang ada di rumah yang sama dengan Rafka mengamuk. Histeris dan mengusirku pergi dari sana.Melihat perempuan itu begitu kacau saat memintaku pergi membuatku tak berdaya. Membuatku yang seharusnya menyeret Rafka, justru melupakan tujuan utama datang ke kota ini. Lalu menjauh dari rumah mungil itu.Bahkan kulihat dari jauh, perempuan itu tak sadarkan diri dalam dekapan Rafka yang bercucuran da
POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya
Malam menyapa. Bulan bersinar penuh di singgasananya.Aku sudah kembali berada di dalam rumah sakit jiwa. Mengenakan sweater dan juga masker penutup wajah. Aku berjalan seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para pekerja di sini.Langkahku berhenti tepat di depan kamar yang diisi Purnama. Terlebih aku mendengar suara Rafka dari dalam sana.Aku mendekatkan tubuhku pada tembok. Mengintip dari celah tralis besi ke arah dalam. Ranjang itu masih ditempati Purnama. Perempuan itu nampak memejamkan matanya. Di sisi ranjang, terdapat Rafka duduk di dekat kepala Purnama. Sementara di hadapan Rafka, duduk seorang perempuan yang lebih tua darinya. Kutaksir usianya sudah sampai kepala lima. Namun masih terlihat sehat."Pak Rafka, saya Bu Rianti. Saya melakukan pendekatan pada pasien-pasien di sini dengan cara mendengarkan mereka. Berdasarkan laporan, Bu Purnama ini baru masuk hari ini dan keadaannya benar-benar kacau. Bahkan tadi pagi, ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Satu jam ya