Share

SETELAH TALAK TIGA
SETELAH TALAK TIGA
Penulis: YATI CAHAYA HATI

1. KETUK PALU

“Tega sekali kamu menyakitiki aku lagi, Mas! Apa masih belum cukup pengabdianku sebagai seorang istri!” aku berurai air mata saat suamiku meminta ijin untuk menikah lagi.

“Kamu hanya punya dua pilihan, mengijinkanku menikah lagi atau kita cerai!” ucap suamiku dengan tegas.

“Istighfar, Mas! Apa kau sadar dengan yang baru saja kau ucapkan? Apa kau lupa kita belum lama rujuk untuk yang kedua kalinya? Kalau kau menjatuhkan talak yang ketiga kalinya, kita akan sulit untuk rujuk kembali!”

“Haach aku tidak perduli! Dan ingat, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Kau sudah pernah membuktikannya sendiri’kan, dengan mudahnya aku menjatuhkan talak kepadamu dua kali. Dan bodohnya kamu yang mau aku ajak kembali rujuk!”

“Mas! Tega sekali kau mengucapkan kata-kata itu!” selaku di tengah tangis pilu.

“Diam! Keputusanku sudah bulat. Ijinkan aku menikah lagi atau cerai! Pikirkan baik-baik!”

“Kenapa kau lebih memilih wanita yang jelas-jelas hanya tertarik kepada hartamu saja? apa kau jug tidak memikirkan nasib anak kita? Kasihan dia!”

“Justru karena demi Tiara, aku masih memberikan pilihan kepadamu! Kalau bukan karena dia sudah aku ceraikan kamu!”

Mas Arman mengambil kunci mobil dan pergi dari rumah. Dengan susah payah aku membujuknya, tetap saja dia pergi. Pasti ke tempat perempuan yang sudah menghancurkan pernikahanku.

Aku bersandar pada pintu. Perlahan, menjatuhkan tubuh ke lantai bersama deraian air mata. Aku menangis meratapi kemalangan nasibku. Apa aku tak ada artinya di hadapannya, sehingga dengan mudahnya dia menceraikan aku lalu dengan mudah pula meminta rujuk kembali.

Selama ini aku bertahan demi putri semata wayangku. Kalau bukan karena dia, aku sudah tak ingin disakiti terus menerus seperti ini.

“Aku tidak kuat lagi ya, Alloh. Sampai kapan aku harus bertahan. Demi anakku. Apa yang harus kulakukan? Aku tak sudi untuk di madu!”

Semakin aku mengingat putri semata wayangku, semakin hati ini tersayat. Haruskah dia berkembang tanpa seorang ayah yang mendampinginya. Ataukah harus selalu melihat ayahnya menyakiti ibunya. Aku tak tahu apa yang harus kuputuskan.

***

Tok tok tok. Suara ketuk palu hakim seketika meruntuhkan jiwa. Sekuat apapun menahan tangis, airmata tetap mengalir dengan deras. Hati ini luluh lantak bak di terjang air bah. Rasanya sudah tak ada artinya hidupku ini. Tega sekali Mas Arman menyakiti dan terasa menusuk hingga tulang dan persendian.

Ini kali ketiga kami bertemu di persidangan. Dua kali Mas Arman menjatuhkan talak kepadaku. Namun semua kondisi masih bisa diperbaiki hingga kami berdua memutuskan untuk rujuk demi anak semata wayang kami. Tapi ini yang ketiga kalinya dia menjatuhkan talak. Artinya sudah tertutup jalan untuk kami bersama. Musnah sudah impian yang sudah kami renda selama lima tahun.

Dadaku naik turun tak beraturan menahan sesak. Sangat berbeda dengan Mas Arman. Dia tersenyum sinis sembari menatap ke arahku. Aku tak tahu persis apa arti senyuman itu. Yang pasti dia sudah merasa menang.

Aku harus menguatkan diri. Tak boleh terlihat lemah di mata pria yang masih sangat aku sayangi. Menghapus air mata dan mencoba mencari jalan keluar. Namun tak kusangaka, Mas Arman berdiri di hadapan untuk menghentikan langkahku.

Pria itu melipat kedua tangan di dada dan menatap ke arahku.

“Kau tahu’kan aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku! Kalau kau setuju aku menikahi Mayang, kau takkan aku ceraikan! Kamu pikir enak jadi janda yang tak punya penghasilan!” jangan nyesel karena kamu akan menjadi orang miskin. Aku takkan memberimu sepeser uang sebagai pelajaran untukmu!”

Dadaku bergemuruh. Semudah itu dia mengucapkan kalimat yang menusuk hati. Aku memberanikan diri untuk menatap matanya dengan tajam untuk membalas ucapannya yang sangat pedas.

“Dengar, mas! Aku tidak butuh apapun darimu. Kalau aku meginginkan hartamu, aku pasti menggugat harta gono-gini. Tapi aku tidak melakukannya! Aku hanya membutuhkan hak asuh Tiara. Dan sebagai kompensasinya, aku tak meminta hartamu sedikitpun!”

“Hach! Sombong sekali kamu! Oh ya. Apa kau menginginkan salam perpisahan dariku? Kemarilah! Aku akan memberikan pelukan hangat dan juga ciuman untuk yang terakhir kalinya. Kau pasti mengharapkan itu’kan?”

Mas Arman melebarkan tangannya dan membuatku kesal. Lelaki itu benar-benar akan memelukku. Aku takkan membiarkannya

Plaak. Satu tamparan keras mendarat di pipinya. “Aku takkan membiarkan kau menyentuhku dengan tangan kotormu itu!”

“Dasar perempuan tak tahu malu! Beraninya kau menamparkan calon suamiku!”

Dalam sekejap, si pelakor sudah berdiri di hadapanku dengan dan bersiap untuk melayangkan tangannya ke arahku. Untung saja aku sigap menepis tangannya dengan kasar.

“Kau memang pantas bersanding dengan lelaki pengecut seperti dia!”

“Jaga ucapan kamu! Aku sudah membuktikan ucapanku, kalau akulah yang akan menjadi pemenangnya! Akulah yang akan menyingkirkanmu dari kehidupan suamimu! Dia lebih memilihku dari pada kamu!” ucap si pelakor dengan menunjukku sangat tidak sopan. Tentu saja hal itu membuatku kesal.

“Aku tidak pernah menyesal karena sudah melakukan hal yang tepat. Membuang sampah pada tempatnya! Aku juga kasihan padamu kalau selama ini hanya menjadi tempat untuk membuang lendir yang menjijikan dari Dia!” amarahku sudah tak terkontrol lagi.Toh Arman sekarang bukan suamiku. Jadi aku sudah tak perlu menghormatinya lagi.

Aku melihat wajah si pelakor itu memerah dan terlihat sangat marah. Aku sudah siap untuk meladeni amarahnya.

Benar saja, tangan wanita itu mulai terangkat tinggi hendak menamparku. Dengan sigap aku menagkap tangannya dan sedikit memelintirnya.

“Aw!” pekik si pelakor.

“Jangan pernah menggangu kehidupanku lagi! Mengerti kamu!”

Aku melangkah dengan tergesa. Meningglkan sampah yang memang sudah semestinya aku buang. Selamat tinggal Mas Arman. Aku akan melupakanmu untuk selamanya.

***

Mutiara Annisa, putri kecilku yang berusia tujuh tahun, kini sudah tumbuh menjadi anak yang pandai. Dua tahun sudah anak itu kehilangan sosok ayahnya. Jangankan nafkah untuk putriku, menjenguknya saja tak pernah. Mas Arman hilang bak ditelan bumi. Aku membanting tulang demi kelangsungan hidup kami. Untung saja ibu menyerahkan urusan toko materialnya kepadaku hingga aku mampu menghidupi Tiara.

“Aw!” tiba-tiba tanpa sengaja aku menabrak seseorang hingga membuat kantong plastik yang beisi obat jatuh berserakan.

“Maaf!” ucap pria yang memakai jas putih sembari mengambil obat yang berceceran di lantai. Sepertinya pria tersebut salah satu dokter di rumah sakit ini.

“Tidak apa-apa,” jawabku singkat.

“Sekali lagi saya minta maaf,” ucap pria tersebut dengan ramah sembari memberikan obat kepadaku. Kemudian berjalan dengan tergesa bersama seorang perawat.

Tanpa sengaja, tangannya menyentuh tanganku hingga membuat aliran darahku seperti berhenti sesaat. Walau dia seorang pria tapi tangannya halus sekali. Dan aku seperti tak asing dengannya.

“Sepertinya dia dokter yang membantu persalinanku dulu,” ucapku sembari berpikir.

“Khanza!” aku tersentak saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Rasanya tidak asing dengan suaranya. Karena penasaran, aku segera menoleh dan sangat terkejut saat tahu siapa yang baru saja menepuk bahuku. Bola mata membulat sempurna dan tanpa sadar mulutku menganga lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status